Tuesday, April 26, 2005

Motorcycle Diaries

Sekali lagi, saya tempuh Bandung - Jakarta dengan motor.

Padahal, dulu pernah berkata tidak akan lagi naek motor Bandung - Jakarta. "Moal-moal deui, naek motor Bandung - Jakarta!" kata saya kepada sobat saya. Ternyata, kemarin saya mengulangnya. Masih dengan sobat yang sama.

Dan motorcycle diaries pun kembali ditulis.

Salah seorang sobat saya menikah kemarin. Agak tidak terkira juga. Karena yang ternyata dinikahi, adalah mantan pacar adik saya. Ah... Bukti kalau masa depan benar-benar tidak terkira.

Seperti biasa. Pernikahan adalah salah satu magnet ampuh penarik banyak orang. Teman-teman saya pun berkumpul. Sehari sebelum pernikahan. Bukan pesta bujang dengan penari eksotis. Tapi, sepak bola indoor. Menyaksikan mereka bermain, seperti kembali ke masa lalu. Sekitar tahun 1999 - 2000.

Wajah boleh sama. Permainan boleh sama. Tapi, isi kepala sudah berbeda. Status juga sudah berbeda. Well, walaupun ada beberapa yang masih jadi mahasiswa. [ternyata, ada yang lebih lama dari pada saya]. Intinya, seperti melihat sebuah film asik yang dire-run. Menyenangkan. Nostaljik.

Yang pasti, ada yang belum berubah. Topik pembicaraan saya dengan sobat saya di atas jok motor, selama Bandung - Jakarta. Masih perempuan. Rupanya, untuk yang satu ini, kami belum juga menemukan ketenangan. Haha.

Tapi, ada satu yang membedakan motorcycle diaries kali ini. Karena saya dan sobat saya datang ke Ibu Kota bukan untuk melakukan perjalanan tanpa tujuan. Tapi, untuk menaklukan kota ini. Yah, walaupun sebelum menaklukan Ibu Kota, agaknya saya harus belajar menaklukan perempuan dulu. Hehe.

Salam,

Monday, April 18, 2005

They Gave Me The Airwaves!

Gosh.... It's my first day on air!

Hahaha. So not me! Kalimat pembuka itu ditulis teman saya, il-matto. Alias Avianto Nugroho. Tapi, kurang lebih itu menggambarkan kondisi psikologis saya hari ini. Menyenangkan. Menegangkan. Sekaligus penuh tantangan.

Memang, berbicara, bukan sesuatu yang baru buat saya. Sudah sering saya melakukannya. Di depan kelas. Di lapangan. Di panggung. Atau, di perbincangan biasa. Tapi, ini sesuatu yang berbeda. Jauh berbeda.

Karena banyak sekali aturannya. Harus baca ad-libs, lah. Ada beberapa kata yang tidak boleh diucapkan, lah. Ada batas waktunya, lah. Belum lagi teknik bicaranya. Ya, pokoknya yang begitulah. Segala aturan itu.

Ini tantangannya. Selama ini, saya selalu tidak mau tunduk pada aturan. Selama ini, saya selalu bicara seenaknya. Apa adanya. Apa yang saya rasakan itulah yang keluar.

Ah. Saya harus acungkan jempol buat mereka yang sudah bertahun-tahun jadi penyiar. Teman-teman saya; Yarra Aristi, Andira Pramanta. Mereka sudah berlari. Sementara saya, baru saja belajar berdiri. Masih jauh dari berjalan, apalagi berlari.

Perjalanan masih panjang. Ya, apapun yang terjadi. Setidaknya, apa yang pernah saya impikan, bisa terwujud. Mudah-mudahan saja, ini bukan cuma mimpi indah. Di mana, di pagi harinya saya terbangun. Dan hanya merasakan kesenangan sesaat. Kita lihat saja nanti.

Salam,