Saturday, May 28, 2005

Mempertanyakan Kebahagiaan

Apakah kamu bahagia?

Sekitar seminggu lalu, teman saya bercerita. Saya tidak tau, apakah saya boleh menyebutkan namanya di sini. Jadi, saya tidak akan sebutkan di sini. Kembali ke cerita tadi. Karena kesibukannya yang menyita waktu--bekerja di akhir pekan, tidak kenal 9 to 5, dan sepertinya hampir tidak ada kata libur--dia disudutkan keluarganya. Karena jalur yang ditempuhnya, sedikit berbeda dengan anggota keluarga yang lain.

Suatu saat, teman saya itu disudutkan. Karena itu tadi, bekerja di tanggal merah. Dan yang membuatnya semakin disudutkan, adalah terlontarnya kalimat, "Apakah kamu bahagia?"

Saya juga jadi bertanya-tanya. Apakah kalau seseorang tidak melakukan apa yang mungkin ideal bagi banyak orang, jadi tidak bahagia? Apa hak kita menanyakan kebahagiaan orang lain? Apakah karena teman saya tidak bekerja kantoran, dan harus kerja di hari libur atau akhir pekan berarti tidak bahagia?

Mungkin keluarganya bermaksud baik. Hanya ingin melihat teman saya itu bahagia--versi mereka. Tapi, yang mungkin mereka tidak tau, adalah bahwa teman saya itu bahagia kok dengan pilihannya.

Ini saya rasa sering terjadi pada banyak orang. Mungkin juga kamu. Mempertanyakan kebahagiaan orang lain. Dan berusaha membuat orang lain mengikuti saran dan caramu. Cuma karena kamu bisa bahagia dengan cara yang kamu tempuh.

Saya cuma mau berkata, jangan sekali-kali mempertanyakan kebahagiaan orang lain. Dan jangan memaksakan cara-cara tertentu, agar orang lain bahagia. Karena kebahagiaan itu tidak bisa dipaksakan.

Ah sudahlah. Bingung? Maaf.

Big Mouth Strikes Again

Komunikasi itu katanya irreversible.

Tidak bisa diulang. Yang sudah dikatakan, tidak bisa ditarik kembali. Ini cerita tentang saya dan mulut besar saya. Saya pernah menulis ini di tulisan yang lain. Betapa kadang-kadang saya tidak suka dengan sifat saya yang satu ini. Banyak omong. Sering menyinggung orang lain.

Itu terjadi lagi. Tapi, kali ini lewat tulisan yang jadi perpanjangan mulut saya. Maksudnya bercanda. Tapi, apa daya. Target saya, tidak suka candaan saya. Dia marah. Padahal, saya tidak bermaksud membuatnya marah. Bertambah satu lagi, daftar orang yang murka karena saya dan mulut besar saya.

Memang, sering kali saya tidak tau kapan harus berhenti. Ini tidak baik. Saya tau itu. People change, katanya. Dan sepertinya, saya belum berubah. Karena saya memakan korban lagi. Hal seperti inilah yang membuat saya kadang berharap jadi orang pendiam.

Tapi, bagaimana lagi? We can not not communicate.

Thursday, May 12, 2005

Kosong, Hampa dan Entah Apa Lagi Istilahnya

Pernah merasa ada yang kurang dalam hidup?
Tapi kamu tidak tau apa kekurangannya.
Yang jelas, kamu merasa hampa.
Tidak tau harus berbuat apa.
Tidak tau inginkan apa.

Kamu hanya merasa kurang.
Ada yang kamu inginkan.
Tapi sekali lagi kamu tidak tau apa itu.
Seperti ketika kecil, kamu suka merengek.
Akan hal yang tidak jelas kepada ibumu.

Kalau kamu pernah merasa begitu.
Maka, berarti saya tidak sendiri.
Karena sekarang saya sedang begitu.
Sedang jenuh mungkin.
Sedang masa transisi mungkin.

Entahlah.

Quo Vadis Soleh Solihun?

Ini tentang saya dan banyak omong.

Ada periode dalam hidup saya ketika saya jadi orang yang sangat banyak omong. Rasanya saya tidak bisa tidak berhenti ngomong. Ada baik dan buruknya. Ada orang yang terhibur. Ada yang jadi tersinggung. Marah karena omongan saya.

Itu masa-masa kuliah saya. Dan setelah saya lulus, saya punya niat untuk jadi orang yang tidak terlalu banyak omong. Bukan apa-apa. Kadang-kadang saya tidak suka dengan diri saya yang banyak omong itu. Terlalu cerewet. Kadang menjengkelkan. Walaupun kadang menghibur. Tapi, intinya saya tidak ingin jadi orang yang banyak omong. Itu saja!

Nah, sekarang saya harus banyak omong lagi. Suka tidak suka. Saya harus banyak omong. Tuntutan pekerjaan. Dan gawatnya. Saya harus banyak omong, di pagi hari. Bahkan ketika saya masih banyak omong pun, saya masih males ngomong!

Maka, niatan saya soal berhenti banyak omong pun harus diubah. Dan ini berat. Berat sekali. Saya harus berkompromi dengan diri saya yang pernah punya niat berhenti banyak omong. Saya harus kembali jadi diri saya yang dulu pernah ingin saya tinggalkan.

Doakan saya.

Friday, May 06, 2005

Semua Hanya Masalah Waktu

Kapan terakhir kali keinginan kamu terpenuhi?

Maksud saya, keinginan yang selama ini ada, tapi rasanya untuk terwujud saja seperti tidak mungkin. Saya yakin kamu punya. Begitu pula saya. Dan baru-baru ini beberapa keinginan saya terpenuhi. Saya tidak akan menceritakan apa saja keinginan itu.

Yang ingin saya bagi di sini, adalah perasaan ketika sampai di titik itu. Titik di mana semua yang tadinya saya pikir mustahil, malah jadi kenyataan. Senang. Tentu saja. Siapa juga yang tidak bakal senang kalau keinginannya terpenuhi?

Kalau sudah begitu, saya hanya bisa tertawa. Kalau ingat apa yang pernah saya pikirkan. Ya, mendapatkan sesuatu yang tidak terduga, pasti akan jadi kejutan yang menyenangkan. Saya hanya bisa menertawakan diri saya yang lama. Haha. Ternyata keinginan itu terwujud juga. Dan saya yang sekaranglah yang menikmatinya.

Pelajaran berharganya. Adalah semua memang ada waktunya. Dan kalau memang, itu harus terjadi atau terwujud, maka itu bakal terjadi. Kita hanya perlu sedikit bersabar. Dan sedikit menaruh kepercayaan. Itu saja.

Bingung ya? Maaf.