Wednesday, June 22, 2005

Tangis dan Kematian

Ada berita duka hari ini, di radio tempat saya kerja.

Salah seorang mantan penyiar, meninggal. Suasana kantor langsung suram. Sepertinya semua sedih. Ada yang menangis. Menitikkan air mata. Atau, hanya melamun saja. Saya termasuk yang tidak tau harus bagaimana. Pertama, saya belum kenal orang yang meninggal itu. Kedua, saya selalu merasa canggung ketika berada di tengah-tengah suasana duka.

Hanya, ada yang terlintas. Melihat semua bersedih. Saya jadi berpikir, apakah kalau saya meninggal, orang-orang akan bersedih juga? Apakah akan ada yang menangisi kepergian saya? Berapa banyak yang akan bersedih? Atau, orang lain hanya akan menanggapinya dengan biasa saja. Tidak ada yang hilang dari kehidupan mereka.

Pernahkah kamu berpikir seperti itu juga?

Apakah ukuran berarti atau tidaknya kamu bagi orang lain ditentukan dari banyaknya orang yang menangis di pemakamanmu? Dan banyaknya orang yang mengantar jenasahmu ke pemakaman. Atau, ketika mendengar kamu tiada.

Apa yang membuat orang menangis di pemakaman? Apakah karena sedih dengan keadaan yang meninggal itu? Apakah sedih karena tidak bisa bertemu lagi dengan orang yang meninggal itu?

Apakah perpisahan itu harus selalu diwarnai dengan air mata? Ataukah kita justru harus bahagia? Karena orang yang meninggal itu, bisa jadi, pergi ke tempat yang lebih baik. Tidak perlu lagi memikirkan urusan dunia. Entahlah.

Ah sudahlah. Maaf kalau sekali lagi membuatmu bingung.

Wednesday, June 15, 2005

Susahnya Memilih

Hidup itu, adalah membuat pilihan.

Milih baju. Milih makanan. Milih pasangan. Milih presiden. Milih partai. Dan sejuta pilihan lain yang harus kita ambil tiap hari. Tapi, kadang-kadang menentukan pilihan itu tidak semudah yang kita bayangkan. Apalagi memilih sesuatu yang tidak sederhana.

Saya mengalami itu sekarang.

Milih mana? Terus jadi penyiar, tapi tinggalkan pekerjaan jadi jurnalis--di majalah yang harus saya akui, masih amat sangat nyaman? Atau, terus jadi jurnalis, tapi tinggalkan karir penyiar yang baru saya rintis--pekerjaan yang juga pernah saya impikan, yang sekarang sepertinya begitu mulus datang kepada saya.

Pihak radio, menjanjikan kepuasan finansial. Setidaknya, lebih dari yang saya terima di majalah. Sementara, pihak majalah, hanya menjanjikan pengangkatan jadi karyawan. Tidak lebih.

Sekarang, saya harus memilih. Tinggalkan salah satu. Padahal, saya dulu pernah berniat, tidak akan mau menerima tawaran meninggalkan majalah ini, apapun bentuknya. Minimal harus satu sampai tiga tahun kerja. Itu yang pernah terlintas di kepala saya, ketika diterima kerja di majalah ini. Dan sekarang, kesungguhan akan niat itu sedang diuji Tuhan.

Benar-benar dilema. Dua-duanya adalah mimpi saya. Dan ternyata, saya tau sekarang, kalau tidak selamanya mimpi itu mudah didapat. Kalaupun mungkin, awalnya seperti mudah didapat. Dua pekerjaan ini. Tapi, ternyata kini saya menghadapi saat-saat paling sulit dalam hidup saya.

Ini tidak semudah memilih makanan. Karena, apapun pilihan saya, masa depan saya dipengaruhi ini. Dan itu yang berat. Memikirkan masa depan. Walaupun rejeki sudah diatur, tetap saja, saya bicara masa depan! Walaupun seringkali, saya tidak terlalu pusing memikirkan masa depan, saya tidak mau salah menentukan pilihan.

Tapi, ini berat. Benar-benar berat.

Friday, June 10, 2005

Payudara

Ini tentang payudara.

Tunggu dulu. Saya tidak akan porno. Saya hanya ingin mengungkapkan sebuah teori. Tentang kata "payudara".

Mari kita telaah dari segi bahasa. Haha. Saya pisahkan dua kata itu, "payu" dan "dara". Payu, dalam bahasa Sunda, berarti laku. Sedangkan dara, kita tau itu berarti perempuan.

Gabungkan dua kata tadi, laku dan perempuan. Dan pikirkan payudara. Bukankah itu, yang membuat seorang perempuan jadi perempuan? Karena dia punya payudara. Dan itukah yang membedakan perempuan dengan laki-laki, bukan? Itu pula yang sering membuat perempuan jadi lebih menarik, atau lebih laku, di mata laki-laki.

Berarti, tepatlah kalau kita sebut bagian tubuh itu dengan payudara.

Dan, bukankah kadang-kadang, perempuan mencoba segala cara agar payudara-nya terlihat indah? Agar sebagai dara, dia jadi payu, alias laku? Makanya, produk pengencang payudara diproduksi. Tujuannya tentu saja untuk membuat perempuan lebih laku.

Ah sudahlah. Saya menulis ini karena besok harus membahas produk yang berhubungan dengan payudara. Jadi, mari kita angkat gelas untuk payudara. Dan, untuk laki-laki, mari kita berterima kasih. Karena Tuhan telah menciptakan payudara. Karena kita diberi kesempatan untuk bisa tertarik melihat payudara. Haha.

Semakin melantur nih. Sudah dulu ya.

Pengemis di Pagi Hari

Katanya, pengemis adalah pemalas.

Tapi, belakangan ini, saya mulai mempertanyakan tuduhan pemalas itu. Bukan apa-apa. Sebulan setengah terakhir ini, saya menyaksikan sesuatu yang belum pernah saya saksikan sebelumnya.

Pengemis pergi ke "tempat kerja". Saya pernah menulis soal ini. Pengemis di jembatan penyeberangan depan Plaza BII Thamrin. Nah, jembatan itu adalah tempat kerjanya. Dan ternyata, salah seorang pengemis itu--perempuan setengah baya, yang terlihat masih segar, namun dengan baju yang lusuh--datang pagi-pagi sekali ke sana.

Setengah enam pagi, ibu itu biasanya sudah datang ke jembatan. Langit Jakarta masih gelap. Udara masih dingin. Jalan Thamrin masih agak sepi. Tapi, si ibu sudah duduk di jembatan. Mengharap belas kasihan dari orang yang lewat.

Beberapa kali, si ibu itu bahkan datang bersamaan dengan saya--yang belakangan ini harus bangun pagi dan kerja pagi. Bahkan, saya sering kali masih tidak semangat pergi sepagi itu. Tapi, si ibu itu selalu terlihat berjalan dengan semangat ke atas jembatan. Setidaknya, dari ayunan kakinya yang tidak gontai.

Ketika itulah, saya berpikir ulang soal definisi pemalas. Kalau ibu itu mau bangun pagi, dan siap-siap duduk di jembatan penyeberangan, setiap hari kerja, mengharap belas kasihan, apakah itu pemalas? Katanya, orang yang selalu bangun pagi, bukan pemalas.

Mungkin, tidak semua pengemis serajin ibu itu. Tapi, kalau dipikir-pikir, toh semua pengemis juga masih mengeluarkan tenaganya untuk meminta-minta. Untuk beberapa hal, mereka tidak sepemalas seperti yang orang kira. Seperti yang saya kira. Atau, mungkin seperti yang kamu kira.

Salam,

Sunday, June 05, 2005

Easy Come Easy Go

18 April 2005, saya siaran untuk pertama kalinya.

Semuanya datang tiba-tiba. Dari mulai tawaran, hingga akhirnya diterimanya saya di radio itu. Seperti rejeki durian runtuh. Padahal, bukan persoalan mudah buat orang lain, bisa siaran. Tentu saja, itu membuat saya bingung [kok bisa ya?] bangga [wah, berarti saya punya potensi!], dan takut [tidak bisa memenuhi ekspektasi orang].

Sudah lebih satu bulan saya siaran. Belum terdengar baik di udara, memang. Tapi, titik nyaman sudah mulai saya masuki. Nyaman bangun pagi. Nyaman di kantor baru. Nyaman dengan teman-teman baru. Nyaman dengan pekerjaan baru. Nyaman di rumah baru.

Tapi, itu semua harus saya lepaskan. Karena bos besar di majalah, rupanya tidak mengijinkan. Padahal, dulu tidak ada masalah. Entah kenapa, tiba-tiba dia tidak suka dengan pekerjaan sampingan saya. Dan dia ingin saya mundur. Ya sudah. Saya penuhi. Berarti, hingga 18 Juli 2005 nanti [masa kontrak percobaan], saya masih punya sekitar satu setengah bulan lagi, menikmati ini.

Saya tidak ingin punya pikiran buruk apa-apa. Yang jelas, ketika saya baru saja memandang ke depan. Memikirkan langkah-langkah agar saya bisa memuaskan banyak orang di radio, saya harus menerima kenyataan, kalau langkah saya tidak boleh diteruskan.

Walaupun saya juga kadang tidak yakin, bisa lolos dari masa percobaan, tetap saja saya merasa tidak enak dengan teman-teman di radio. Yang sudah bekerja keras, mencoba membuat saya jadi baik di udara. Tapi, bagaimana lagi? Saya juga harus memikirkan agar majalah saya tidak dicap buruk oleh bos besar. Sad but true.

Tentu saja, saya harus memilih pekerjaan yang pertama. Karena, sebagai rock journalist saja, saya belum mantap. Hahaha. Saya harus selesaikan dulu ini. Biarlah karir satu lagi, saya tunda dulu. Toh, kalau memang rejeki, tidak akan ke mana. Semua ada hikmahnya. Saya yakin itu. Dan mudah-mudahan saja, perjalanan saya tidak berhenti sampai di sini saja.

Seperti kata saya di atas, mudah datang, ternyata mudah pergi.

Terjebak Lagi!

Pernah terjebak di presentasi MLM?

Saya pernah. Sejak kelas satu SMA, sudah empat kali malah. Dan yang ke-4, baru saja saya alami tadi siang. Modus operandinya pasti selalu mirip. Mengajak bertemu. Dengan alasan minta pendapat soal bisnis yang dikerjakan orang yang mengajaknya itu.

Kali ini, yang mengajak, adik kelas saya di kampus. Memang dari awal saya sudah curiga. Tanpa ada angin, dia mengajak bertemu. Di lobby Gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia. Minta pendapat soal bisnis yang sedang digeluti dia bersama teman-temannya. Tempatnya saja sudah mencurigakan buat saya. Tapi, saya tetap berusaha punya pandangan baik. Mungkin, dia benar-benar ingin minta pendapat.

"Boleh aja. Asal jangan ngajak ke pertemuan MLM, gua pasti bisa," begitu kata saya di SMS.

Dan ternyata. Kecurigaan saya benar setelah pertemuan itu saya hadiri. Walaupun, dia tidak menyebut itu sebagai MLM, tapi waralaba pribadi, dengan sistem networking. Tetap, bagi saya itu sama saja. Mau Multi Level Marketing kek, Mau waralaba pribadi kek. Semua terdengar sama.

Sama-sama membingungkan. Sama-sama tidak menariknya bagi saya. Setidaknya sampai detik ini. Bukan berarti saya memandang sebelah mata bisnis itu. Hanya saja, saya tidak tertarik. Dan mudah-mudahan, saya tidak perlu terjebak lagi ke dalam situasi seperti itu.

Mudah-mudahan.

Friday, June 03, 2005

Memikirkan Kematian

Berapa usiamu?

Hari ini, saya genap 26 tahun. Setidaknya kata kalender Masehi. Berarti sudah lebih dari seperempat abad saya berkeliaran di dunia. Bicara soal usia, ada yang sedikit memalukan sebenarnya.

Begini. Sejak kecil--waktu saya masih duduk di bangku SD, saya selalu berpikir, tidak akan bisa sampai ke usia 26 tahun. Bukan apa-apa. Saya selalu punya pandangan kalau saya akan mati esok hari.

Bahkan, saya pernah yakin, kalau usia saya tidak akan lebih dari 18 tahun. Saya lupa. Apa yang membuat saya punya pikiran seperti itu. Yang jelas, pernah ada di satu masa, saya punya pikiran bahwa saya akan mati esok hari.

Well, what do you know? Sekarang saya 26 tahun. Lebih delapan tahun, dari yang pernah saya kira. Hahaha. Padahal, kalau mau dipikir-pikir lagi, buat apa juga khawatir kalau saya mati esok hari? Toh, itu pasti akan datang juga. Dan kita tidak seharusnya takut, bukan?

Dan punya pikiran seperti itu, rupanya malah menyiksa diri saja. Jadi seperti orang yang tidak punya harapan, impian. Dan tidak maksimal dalam melakukan sesuatu. Itu sebabnya, saya agak malas belajar. Karena punya pikiran, bahwa buat apa susah-susah belajar, umurnya juga tidak akan sampai di SMP, SMA, atau kuliah? Begitu pikir saya dulu. Walaupun, ada baiknya juga sih. Saya lebih menghargai hari yang sedang saya nikmati.

Sesekali, pikiran seperti itu menghampiri saya. Padahal, saya bukan anak kecil lagi. Atau, mungkin saya sebenarnya masih belum berubah? Hanya tampilan luarnya saja yang berubah. Sementara, di dalamnya masih sama.

Entahlah.

Thursday, June 02, 2005

Beast of Burden

I'll never be your beast of burden
My back is broad but it's a-hurting
All I want is for you to make love to me

I'll never be your beast of burden
I've walked for miles, my feet are hurting
All I want is (for) you to make love to me (yeah)

Am I hard enough?
Am I rough enough?
Am I rich enough?
I'm not too blind to see

I'll never be your beast of burden
So let's go home and draw the curtains
Music on the radio, come on, baby, make sweet love with me, yeah

Oh little sister

Pretty, pretty, pretty, pretty, pretty girls

You're a pretty, pretty, pretty, pretty, pretty, pretty girl
Pretty, pretty, such a pretty, pretty, pretty girl
Come on, baby, please, please, please

I'll tell you

You can put me out on the street
Put me out with no shoes on my feet
But put me out, put me out, put me out of misery, hey

All your sickness, I can suck it up
Throw it all at me, I can shrug it off
There's one thing, baby, I don't understand
You keep on telling me I ain't your kind of man

Ain't I rough enough?
Ain't I tough enough?
Ain't I rich enough, in love enough? Ooh please

I'll never be your beast of burden
Never, never, never, never, never be

I don't need no beast of burden
I need no fussing, I need no nursing
Never, never, never, never, never need

Mick Jagger & Keith Richards, 1977