Thursday, August 18, 2005

Something Happened to Me Yesterday

Perjalanan saya akhirnya dilanjutkan.

Lebih dari satu tahun, kendaraan itu tidak dikemudikan. Maklum, tidak ada orang yang mau saya ajak jadi teman seperjalanan. Yang terdahulu, memilih untuk turun dari kendaraan. Tidak melanjutkan perjalanan. Dan memilih naik kendaraan lain. Dan saya terpukul. Sempat tidak mau lagi melakukan perjalanan dengan kendaraan itu.

Kemarin, saya resmi punya teman seperjalanan yang baru. Mesin kendaraan sudah dipanaskan. Oli sudah diganti. Servis dan tune up sudah dilakukan. Tekanan ban sudah diperiksa. Surat-surat kendaraan sudah dibawa. Masukkan gigi, injak gas, angkat kopling dan berangkatlah kami.

Teman seperjalanan yang baru ini sangat menyenangkan. Dia bisa diajak bicara tentang apa saja. Dia tidak keberatan dengan album apa yang akan saya putar di kendaraan selama perjalanan. Malah, dia merasa pilihan album saya bagus. Dan katanya, itu salah satu alasan dia mau diajak menempuh perjalanan.

Ah senangnya. Menempuh perjalanan dengan kendaraan yang sudah lama tidak saya hidupkan. Bersama teman seperjalanan saya yang baru. Bahagianya saya. Haha. Sekarang sih, saya masih ingin berputar-putar keliling kota saja dulu. Menikmati perjalanan ini. Menikmati hal yang baru ini.

Di depan, pasti banyak kerikil tajam. Banyak perhentian. Banyak polisi lalu lintas. Banyak kemacetan. Tapi, di depan juga pasti ada jalan bebas hambatan. Ada pemandangan indah dan sejuk. Dan itu pasti bakal menghiasi perjalanan kami. Saya tau itu. Dan jalan panjang yang berliku dan berangin menanti kami. Kalau begitu, mudah-mudahan saja, dia bisa terus diajak bernyanyi selama perjalanan.

"The long and winding road. That leads to your door. Will never disappear. I've seen that road before. It always leads me here. Lead me to your door."

Wednesday, August 17, 2005

Nama Saya, Soleh Solihun!

What is in a name?

Apalah arti sebuah nama. Tapi, buat saya, itu pernah jadi sesuatu yang sangat penting. Pernah, ada satu masa, ketika saya sempat mempertanyakan nama pemberian orang tua saya; Soleh Solihun.

Kenapa mereka harus memberi nama itu? Begitu pikir saya di usia muda. Karena buat saya, nama itu tidak terdengar 'cool'. Haha. Nama itu sepertinya tidak akan membawa saya jadi seorang rock star. Coba bayangkan, di panggung, seorang rock n' roller bernama Soleh! Dan crowd berteriak. Soleh! Soleh! Soleh! Beda kan hasilnya, kalo yang diteriakkan adalah nama, Jim! Joey! Kaka! Mick! atau Keith!

Belum lagi, kalo jadi seorang penyiar, atau penulis. Masa' penyiar bernama Soleh Solihun. "Masih bersama Soleh Solihun di sini." Aneh kan kedengarannya. Terus, di bawah judul ditulis, by Soleh Solihun. Sangat tidak komersil sekali, begitu saya pikir. Makanya, waktu pertama kali diterima kerja di majalah, Sang GM sempat bertanya, mau memakai nama apa, buat tulisan? Dan saya tidak tau harus menjawab apa. Karena saya belum pernah punya nama panggung, atau nama komersil.

Akhirnya, saya memakai nama pemberian orang tua itu sampai sekarang. Belum pernah juga punya nama julukan. Masih bangga dengan nama itu. Sampai detik ini.

Dan kamu tau? Ternyata, nama itu bisa juga diteriakkan di konser. Di depan panggung. Saya pernah mengalaminya. Walaupun masih sekelas panggung musik di kampus. Dan ketika saya siaran pun, Soleh Solihun adalah nama yang saya pakai di gelombang udara. Tanpa ada perubahan apapun. Begitu juga di majalah. Saran Sang GM tidak pernah saya realisasikan. Nama itu masih saya pakai untuk majalah.

Dan lucunya, malah ada yang mengira, itu nama komersil saya. Di udara. Di majalah. Ada yang mengira itu bukan nama asli saya. Mereka tidak percaya kalau itu nama asli saya. Well what do you know, ternyata bisa juga nama seperti Soleh Solihun dianggap komersil. Haha.

Bagaimana menurutmu?

Friday, August 12, 2005

Sekali Lagi Bicara Ibu Kota

Jakarta.

Ternyata, pandangan saya tentang kota ini, sedikit berubah setelah saya tinggal di kota ini. Belum lama memang, September besok baru genap satu tahun. Dulu, waktu masih jarang ke kota ini, badan saya menolaknya. Gila! Panas sekali udaranya. Belum lagi matahari yang sepertinya lebih membakar. Sekarang, sepertinya badan saya baik-baik saja tuh menerima udara panas Ibu Kota.

Gedung bertingkatnya begitu juga. Dulu, di mata saya, gedung di kota ini, besar sekali ukurannya. Megah. Pencakar langit. Seakan-akan dari atapnya, kita bisa menyentuh awan. Tapi sekarang, gedung-gedung itu kok tidak terlihat sebesar dulu ya? Jalan Sudirman pun begitu. Dulu, kawasan ini terlihat luas sekali. Saya merasa kecil ketika berada di jalan ini. Tapi sekarang, ternyata Sudirman tidak seluas dulu.

Kamu pernah punya pikiran seperti itu? Bahwa sesuatu yang dulunya terasa besar di pikiranmu, sekarang terlihat biasa saja. Pikiran tentang Jakarta khususnya. Bahwa kota ini setelah ditinggali cukup lama, tidak sebesar dan sekejam yang kita kira sebelumnya.

Mungkin itu sebabnya, banyak orang berdatangan ke kota ini. Dengan segala kesan buruk tentang Ibu Kota, nyatanya orang-orang masih saja berdatangan ke sini. Saya tidak akan bicara lebih lanjut soal pembangunan yang tidak merata. Nanti malah semakin membosankan tulisan ini.

Yang jelas, saya rasa, kenapa juga akhirnya orang-orang bertahan di sini, karena secara psikologis mereka mulai menerima baik buruknya kota ini. Seperti juga saya. Padahal dulu saya pernah membenci kota ini. Panas. Kejam. Tidak nyaman. Sekarang, saya sepertinya mulai menikmati hidup di sini.

Ah Jakarta.

Thursday, August 11, 2005

If It's Too Loud Then You're Too Old

Saya ingin bicara rock.

Satu buku [saya lupa judulnya apa], pernah bilang begini. Orang yang menyukai musik rock, adalah mereka yang masih mencari jati diri. Biasanya mereka yang masih di usia belasan tahun. Lantas, saya teringat ucapan salah seorang sahabat saya. Katanya, kuping dia sudah tidak lagi bisa menerima musik rock. Karena dia sekarang lebih menyukai musik minim distorsi. Padahal, dari dia, saya dapat referensi banyak soal rock .

Lantas, sahabat saya yang lain, juga menunjukkan kecenderungan seperti itu. Kuping mereka sudah tidak seperti dulu. Musik-musik urban, dengan nuansa jazzy, atau musik yang kaya akan artificial sounds, tapi tidak bising, jadi lebih disukai telinga mereka.

Hal-hal ini mengaitkan saya pada buku tadi. Berarti sahabat-sahabat saya sudah beranjak tua. Sedangkan saya, masih setia pada rock. Walaupun saya tidak lantas membenci musik lain, tapi telinga saya masih menerima distorsi. Kalau begitu, saya masih muda dong. Seperti juga para rockers di luar sana, tidak pernah tua.

Ini kemudian menghubungkan tulisan saya pada judul di atas. Sebuah ungkapan populer tentang rock. "If it's too loud then you're too old". Pernyataan untuk mereka yang menganggap para pecinta rock, tidak dewasa, dan mengganggu.

Kalau begitu, kita sebenarnya menemukan solusi untuk mereka yang ingin awet muda. Mereka yang menolak tua. Dengarkan saja musik rock! Dan tanyakan pada dirimu sendiri, apakah itu terlalu bising? Karena kalau jawabnya iya, berarti kamu terlalu tua.

Tuesday, August 09, 2005

Bidadari Penyelamat

Seorang bidadari mengajak saya pergi.

Terbang tinggi. Begitu tinggi, sampai saya pikir, badan saya sangat ringan. Rasanya menyenangkan. Melayang. Dan semua terlihat jauh lebih menarik. Tidak ada masalah. Hidup jadi terasa lebih indah.

Kamu pernah mengalami itu? Saya yakin kamu pernah. Seperti juga saya dulu pernah mengalaminya. Tapi saya juga pernah jatuh dari ketinggian. Dan rasanya sakit sekali. Butuh waktu lama buat sembuh.

Makanya, ketika sekarang saya diajak terbang lagi, ada sedikit rasa takut. Bagaimana kalau saya jatuh lagi? Bagaimana kalau ini hanya kebahagiaan semu saja? Hanya kesenangan sesaat? Saya tidak ingin melewati proses menyebalkan itu lagi. Karena saya sudah sembuh sekarang. Dan hal terakhir yang saya inginkan adalah terjatuh lagi.

Tapi, sekali lagi, ini begitu menyenangkan. Terbang lagi. Melayang lagi.

...
saat air engkau suguhkan.
dan kita bicara tentang apa saja.
di Jakarta.
...

*Jimi Multhazam, untuk The Adams.