Wednesday, November 23, 2005

Jealous Guy

Pacar saya bilang, saya cemburuan.

Kadang-kadang sih. Tidak selalu begitu. Biasanya, kalau mood saya lagi kurang asik. Kalau saya lagi capek. Kalau saya lagi lapar. Sifat itu muncul. Kondisi fisik dan psikologis yang kurang bagus itu, akan memunculkan sifat cemburuan saya, kalau distimuli oleh cerita pacar saya soal laki-laki lain.

Sepele sebenarnya. Misalnya ketika pacar saya cerita, ada pemain perkusi yang oke. Secara tampang dan permainan. Ada sahabat dia yang band-nya baru saja dikontrak oleh cafe. Soal dia yang salah kirim SMS. Atau, soal dia bertemu dengan temannya mantan dia. Atau, ketika pacar saya menyebut nama mantannya.

Padahal, buat saya, laki-laki cemburu itu, seperti kata John Lennon, adalah laki-laki yang merasa tidak aman. Khawatir akan kehilangan pasangannya. Oke, kadang memang, ada perasaan itu. Takut kehilangan. Maklum, saya pernah disakiti. Jadi sedikit trauma.

Tapi intinya, saya percaya kepada Tetta, pacar saya. Dia telah meyakinkan saya berkali-kali, kalau perasaan dia kepada saya tidak main-main. Dan saya juga, meyakinkan kepada diri saya, kalau saya tidak punya alasan untuk cemburu. Tapi, entah kenapa, sifat itu kadang muncul.

Mungkin bukan juga karena saya takut kehilangan. Tapi karena kadang, ketika saya dengar cerita pacar saya soal kekaguman dia pada bakat atau kelebihan laki-laki lain, yang ternyata bakatnya tidak saya miliki, saya jadi iri. Tanda tak mampu lah. Hehehe.

Ini yang sedang saya perangi sekarang. Menghilangkan sifat cemburuan, yang walaupun kecil, tapi bisa mengganggu saya juga. "Cemburuan mah bukan sifat laki-laki maskulin Leh," kata Attan, sahabat saya, pakar maskulinitas.

Apa memang begitu?

Thursday, November 17, 2005

Bagiku Agamaku Bagimu Agamamu

Kasihan sekali, Islam.

Begitu yang sering terlintas di kepala saya belakangan ini, kalo mengingat kata itu; Islam. Agama yang saya anut, karena orangtua saya juga menganutnya. Lantas, kenapa saya kasihan? Banyak hal. Tapi, ada beberapa fakta yang terlihat di depan mata saya yang kemudian membuat saya merasa kasihan.

Ini soal beberapa hal yang kemudian bisa dibilang mewakili Islam. Pertama, soal para peminta sumbangan. Coba lihat, hampir setiap hari kamu temukan itu. Yang mereka minta, biasanya untuk pembangunan mesjid atau untuk yayasan. Kalau yang di pinggir jalan sih, mungkin masih sedikit bisa dimaklumi. Karena bangunannya tampak. Lalu, bagaimana dengan yang ada di bis kota? Yang kadang-kadang, si peminta sumbangannya, adalah perempuan setengah baya, yang memakai jilbab. Bermodalkan kotak kayu yang di depannya dihiasi kertas dilaminating bergambar mesjid dan alamatnya. Tentu saja akan muncul pertanyaan soal jujur tidaknya perempuan tadi dan sekian banyak para peminta sumbangan yang lain di bis kota. Dan agama Islam dijadikan alasan.

Kedua, coba lihat tayangan soal para pemburu mahluk halus di televisi. "Orang-orang pintar" itu pasti memakai atribut Islam. Seperti layaknya para da'i. Dan mereka menggunakan bacaan-bacaan dalam bahasa Arab--entah itu dari al-Qur'an atau bukan, saya kurang paham--untuk menghadapi mahluk halus.

Ketiga, soal pemboman. Para tersangka pelaku pemboman erat sekali dengan agama Islam. Bukan cuma yang di Indonesia. Tapi juga di belahan bumi lain. Maka Islam=terorisme. Sedih sekali. Kenapa juga mereka harus mengatasnamakan agama untuk menghancurkan? Dengan dalih mereka yang dibom itu, adalah kaum kafir. Saya sedih.

Keempat, soal FPI. Kamu pasti tau, beberapa aksi mereka. Yang menghancurkan cafe-cafe, dengan alasan itu tempat penuh dengan dosa. Padahal, katanya FPI juga masih bisa dibeli dengan uang. Lagipula, menurut saya, dengan aksi menghancurkan cafe-cafe, tidak akan membuat orang insyaf. Mungkin ada yang bisa terpengaruh. Tapi, saya tidak melihat efektivitas dari kegiatan penghancuran itu. Malah, akan semakin memperburuk citra Islam. Menyebarkan ketakutan. Sekali lagi, saya sedih.

Walaupun memang, masih ada tokoh-tokoh Islam yang masih bisa menimbulkan simpatik, tetap saja beberapa fakta di atas, membuat saya sedih. Dan saya juga sedih. Karena banyak orang Islam, sudah melupakan ajaran-ajarannya. Juga banyak yang hanya namanya saja terdengar Islami. Tapi kelakuannya tidak. Tidak sedikit juga yang luntur. "Imanku yang dulu tegar, kini hancur dalam sesat kehidupan," begitu kata Slank.

Saya salah satunya.

Thursday, November 10, 2005

Saya Tamu yang Pemalu

Ini cerita tentang saya di rumah pacar saya.

Sampai sekarang, baru empat kali saya datang ke rumah pacar saya. Nah, jam terbang yang sedikit ini tentu saja berpengaruh pada tingkat kegugupan saya. Banyak hal terlintas di kepala. Tapi rasanya yang paling banyak, soal apakah mereka akan menerima saya juga. Seperti halnya pacar saya.

"Perjuangan" itu tidak berhenti sampai diterima jadi pacar, mempertahankan hubungan dan seterusnya. Tapi, juga mencoba diterima di keluarga pacar. Ini suatu perjuangan yang tidak mudah. Oke, mendapatkan hati satu orang saja, sepertinya berat, apalagi mendapatkan hati satu keluarga.

Pacar saya, adalah keluarga besar. Empat kakak beradik. Dia bungsu. Kakak-kakaknya sudah berkeluarga. Kakak pertama, beranak dua. Kakak kedua juga. Kakak ketiga, sayangnya keguguran, jadi belum punya anak.

Pada kunjungan pertama--waktu itu belum jadi pacar--saya bertemu hampir semua keluarga besar mereka. Kakaknya yang pertama dan suami serta anak-anaknya, Kakaknya yang ketiga, serta--ini dia nih--Ibu bapaknya. Bisa dibayangkan betapa gugupnya saya. Gila. Kunjungan pertama, sudah bertemu dengan keluarga besarnya.

Bayangkan. Saya ada di ruang keluarga. Di depan TV. Duduk di sebelah [waktu itu calon] pacar saya. Sementara itu, anggota keluarganya di sekeliling saya. Biasalah keluarga. Ngobrol. Alhamdulillah, saya bisa melewatinya dengan baik. Setidaknya menurut saya.

Kunjungan ke-dua, agak menegangkan. Karena saya pulang sekitar pukul sebelas malam. Dan bapaknya, waktu itu sudah mengkhawatirkan pacar saya. Karena dari pagi, dia belum bertemu. Tapi saya terbebas juga.

Kunjungan ke-tiga, di bulan puasa. Saya buka puasa bersama mereka. Menyantap makanan di meja makan mereka. Ini juga membuat saya grogi. Takut cara makan saya berantakan atau tidak pantas. Hehehe. Tapi saya bisa melewatinya juga.

Kunjungan ke-empat, kemarin. Saya sudah lumayan kurang grogi. Seperti biasa, rumahnya selalu penuh. Tapi, saya agak tenang. Karena sambutan mereka selalu hangat. Dan ketika duduk di ruang keluarga. Di depan TV. Saya tidak segugup ketika pertama kali.

Walau begitu, saya masih menganggap bapak pacar saya, jaga wibawa. Karena anggota keluarga yang lain, yang perempuan sikapnya jauh lebih hangat dibandingkan sang bapak. Tapi, saya bisa mengerti kok. Dia kepala keluarga. Dia adalah laki-laki di rumah itu. Tentu saja, dia harus menunjukkan siapa yang berkuasa. Setidaknya itu pikir saya.

Untung, sang bapak tidak terlalu dingin. Tidak hanya, menjawab "hmmm" ketika ditanya. Sudah lumayan berbasa-basi. Tapi "perjuangan" belum selesai. Masih jauh dari selesai. Dan saya yakin, masih banyak di luar sana, yang juga berjuang. Mencoba mendapatkan hati satu keluarga.

Untuk mereka, saya ucapkan semoga sukses.