Wednesday, January 25, 2006

Pengakuan Seorang Laki-Laki Egois

Saya suka perempuan yang lebih muda.
Perempuan lebih tua atau seumur biasanya terasa lebih intimidatif buat saya. Ego laki-laki saya seakan terancam dengan kehadiran mereka. Kesan yang ada di kepala saya, mereka lebih serius, lebih dewasa, dan pandangan hidupnya sudah beberapa langkah di depan saya. Mereka juga sepertinya lebih berpengalaman dibanding saya. Akhirnya, saya selalu merasa seperti anak kecil. Tidak jadi laki-laki. Itu makanya saya merasa terancam. Hehe.
Kalau dipikir-pikir, memang selama ini saya tidak pernah naksir perempuan seumur atau yang lebih tua. Bukan apa-apa. Beberapa orang kawan saya ada yang pernah atau sedang mencoba menjalin hubungan dengan perempuan yang lebih tua. Saya angkat gelas buat mereka. Buat saya, butuh keberanian lebih untuk bisa dekat dengan perempuan lebih tua.
Mungkin karena saya tidak terlalu dekat dengan ibu saya. Hubungan kami baik. Hanya, saya tidak pernah meminta nasihat atau berkeluh kesah pada ibu. Bahkan ketika sedih pun, saya tidak lari ke pangkuan ibu--waktu kecil mungkin. Atau, mungkin karena perempuan lebih tua itu terlanjur diwakili oleh sosok ibu di kepala saya. Sosok yang membuat saya selalu merasa jadi anak kecil [walaupun pada dasarnya, saya selalu ingin memposisikan diri sebagai anak kecil di hadapan ibu].
Sedangkan dengan perempuan lebih muda. Saya merasa jadi laki-laki. Hehe. Bisa membimbing--ciee. Pandangan mereka sudah dewasa, jauh ke depan, tapi tidak ada di depan saya. Masih bisa saya imbangi. Sifat kekanak-kanakan mereka masih ada. Dan porsinya biasanya cukup mengimbangi sifat kekanak-kanakan saya. Itu makanya saya lebih nyaman dengan perempuan yang lebih muda. Sebagai teman maupun sebagai pasangan.
Jangan salah sangka dulu. Saya tidak membenci perempuan yang lebih tua atau seumur. Saya akrab kok, dengan teman perempuan yang lebih tua atau seumur. Tapi itu tadi. Jauh di lubuk hati, saya merasa seperti anak kecil. Belum tahu apa-apa. Terancam. Ada di bawah mereka. Dan saya tidak suka ada di bawah perempuan.
Kecuali dalam konteks lain tentunya.

Tuesday, January 24, 2006

hey ho! let's go!




ini salah satu kelompok musik kesukaan saya.

Pengakuan Seorang Laki-Laki Egois

Saya suka perempuan yang lebih muda.


Perempuan lebih tua atau seumur biasanya terasa lebih intimidatif buat saya. Ego laki-laki saya seakan terancam dengan kehadiran mereka. Kesan yang ada di kepala saya, mereka lebih serius, lebih dewasa, dan pandangan hidupnya sudah beberapa langkah di depan saya. Mereka juga sepertinya lebih berpengalaman dibanding saya. Akhirnya, saya selalu merasa seperti anak kecil. Tidak jadi laki-laki. Itu makanya saya merasa terancam. Hehe.


Kalau dipikir-pikir, memang selama ini saya tidak pernah naksir perempuan seumur atau yang lebih tua. Bukan apa-apa. Beberapa orang kawan saya ada yang pernah atau sedang mencoba menjalin hubungan dengan perempuan yang lebih tua. Saya angkat gelas buat mereka. Buat saya, butuh keberanian lebih untuk bisa dekat dengan perempuan lebih tua.


Mungkin karena saya tidak terlalu dekat dengan ibu saya. Hubungan kami baik. Hanya, saya tidak pernah meminta nasihat atau berkeluh kesah pada ibu. Bahkan ketika sedih pun, saya tidak lari ke pangkuan ibu--waktu kecil mungkin. Atau, mungkin karena perempuan lebih tua itu terlanjur diwakili oleh sosok ibu di kepala saya. Sosok yang membuat saya selalu merasa jadi anak kecil [walaupun pada dasarnya, saya selalu ingin memposisikan diri sebagai anak kecil di hadapan ibu].


Sedangkan dengan perempuan lebih muda. Saya merasa jadi laki-laki. Hehe. Bisa membimbing--ciee. Pandangan mereka sudah dewasa, jauh ke depan, tapi tidak ada di depan saya. Masih bisa saya imbangi. Sifat kekanak-kanakan mereka masih ada. Dan porsinya biasanya cukup mengimbangi sifat kekanak-kanakan saya. Itu makanya saya lebih nyaman dengan perempuan yang lebih muda. Sebagai teman maupun sebagai pasangan.


Jangan salah sangka dulu. Saya tidak membenci perempuan yang lebih tua atau seumur. Saya akrab kok, dengan teman perempuan yang lebih tua atau seumur. Tapi itu tadi. Jauh di lubuk hati, saya merasa seperti anak kecil. Belum tahu apa-apa. Terancam. Ada di bawah mereka. Dan saya tidak suka ada di bawah perempuan.


Kecuali dalam konteks lain tentunya.

Monday, January 23, 2006

Belum Lihat Kok Sudah Ribut

Taman bermain saya sedang ramai dibicarakan.
Sepertinya semua orang ingin ikut berkomentar. Politikus, ulama, selebritis, hingga media massa. Maklum, nama taman bermain saya yang baru ini memang lumayan dikenal banyak orang. Imejnya sangat kuat.
Tapi, tidak banyak orang tahu seperti apa sebenarnya isi taman bermain itu. Di kepala banyak orang, di taman bermain saya mereka hanya bakal menemukan perempuan telanjang. Tapi, soal cerita menarik yang bermanfaat dan informatif tidak banyak orang tahu.
Sekarang, banyak orang menyatakan keberatan atas rencana datangnya taman bermain itu. Mereka menghujat. Mereka mengancam. Padahal, melihatnya saja belum. Penjelasan soal tampilannya yang tidak akan mengikuti tampilan dari negeri asalnya sudah diberi, tapi masih banyak yang tidak percaya.
Tidak diberi penjelasan, banyak orang marah. Diberi penjelasan pun, masih saja tidak percaya. Kalau begitu, diam dulu lah. Sampai taman bermain saya benar-benar selesai dibangun, baru berkomentar. Ternyata, untuk yang satu ini pun masih banyak yang tidak bisa.
Serba salah.

Belum Lihat Kok Sudah Ribut

Taman bermain saya sedang ramai dibicarakan.


Sepertinya semua orang ingin ikut berkomentar. Politikus, ulama, selebritis, hingga media massa. Maklum, nama taman bermain saya yang baru ini memang lumayan dikenal banyak orang. Imejnya sangat kuat.


Tapi, tidak banyak orang tahu seperti apa sebenarnya isi taman bermain itu. Di kepala banyak orang, di taman bermain saya mereka hanya bakal menemukan perempuan telanjang. Tapi, soal cerita menarik yang bermanfaat dan informatif tidak banyak orang tahu.


Sekarang, banyak orang menyatakan keberatan atas rencana datangnya taman bermain itu. Mereka menghujat. Mereka mengancam. Padahal, melihatnya saja belum. Penjelasan soal tampilannya yang tidak akan mengikuti tampilan dari negeri asalnya sudah diberi, tapi masih banyak yang tidak percaya.


Tidak diberi penjelasan, banyak orang marah. Diberi penjelasan pun, masih saja tidak percaya. Kalau begitu, diam dulu lah. Sampai taman bermain saya benar-benar selesai dibangun, baru berkomentar. Ternyata, untuk yang satu ini pun masih banyak yang tidak bisa.


Serba salah.

Monday, January 16, 2006

A Hungry Man is An Angry Man

Kalau sedang lapar, saya sensitif.
Benar. Jangan sekali-kali menggoda atau meledek saya kalau perut saya sedang keroncongan. Entah kenapa, saya pasti jadi laki-laki yang sensitif. Entah istilah itu tepat atau tidak. Sensitif. Yang jelas, saya tidak bisa menerima ledekan, ejekan atau semua yang berhubungan dengan perasaan. Diledek teman, saya kesal. Pundung. Dendam. Ingin menonjok. Pokoknya, jangan main-main dengan saya kalau saya sedang lapar. Hehe.
Dan saya juga biasanya jadi cemburuan. Hehe. Kamu pernah baca tulisan saya yang judulnya Jealous Guy? Nah, sifat itu muncul kalau saya sedang lapar. Begini contohnya. Misalnya pacar saya cerita soal mantannya. Bisa cerita biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Tapi, kalau sedang lapar, saya biasanya jadi cemburu. Kesal mendengar cerita itu. Padahal, kalau perut sedang penuh, kenyang, saya akan menganggap cerita itu biasa saja.

Ini kelemahan saya. Tidak bisa berpikir dengan jernih kalau perut sedang kosong. Mungkin saya sama saja dengan binatang. Berbahaya kalau sedang lapar. Mungkin kamu juga seperti saya. Mungkin juga jutaan orang yang setiap hari kelaparan di luar sana. Kalau begitu, akhirnya bisa dimaklumi kenapa ada orang berbuat jahat dengan alasan mencari makan. Saya yang masih bisa membeli nasi saja, tidak bisa berpikir dengan jernih kalau lapar, apalagi mereka yang tidak punya uang untuk membeli nasi. Kamu pernah memikirkan itu?

Kembali ke perut saya. Setelah kenyang, kadang-kadang timbul masalah lain. Saya malah mengantuk. Jadi malas bekerja. Kepala malas berpikir.
Gawat.

Friday, January 06, 2006

Orangtua, Perempuan Setengah Telanjang dan Rencana Jangka Panjang

Ini tentang saya dan pekerjaan saya.
Kamu mungkin pernah baca tulisan saya soal sekarang saya jadi feature editor di taman bermain yang baru. Ya. Secara karir saya meningkat. Dari reporter jadi feature editor. Finansial juga tentunya meningkat. Alhamdulillah. Tapi, tanggungjawab juga semakin berat. Itu konsekuensinya. Saya bahagia. Tentu saja.
Apalagi setelah mengetahui kalau orangtua saya merestui kepindahan saya ke majalah ini. "Bukannya itu majalah porno ya kalau di luar negeri mah?" tanya ayah saya. "Ya yang di sini mah, gambarnya nggak akan seperti di sana," jawab saya. Sementara ibu saya, sepertinya tidak banyak tau soal imej taman bermain itu.
Intinya, saya dapat restu mereka. Yang mereka khawatirkan justru bukan soal isi majalah--agak heran juga saya, padahal mereka cukup relijius. Jauh relijius dari saya--tapi soal kesejahteraan dan kepastian bekerja di sana, ketika saya bilang sudah pindah kantor. "Kerja teh sering banget pindah-pindah ya," kata ibu saya singkat.
Orangtua saya dari dulu memang selalu mendukung keputusan saya. Alhamdulillah. Walaupun seringkali, mereka bertanya apakah saya tidak tertarik jadi pegawai BUMN, tapi mereka membiarkan saya memilih pekerjaan yang saya sukai.
Tapi, masih ada orangtua yang belum saya hadapi.
Orangtua pacar saya. Maklum, saya dan Tetta sudah punya rencana jangka panjang soal hubungan kami. Dengan kata lain, kami memandang serius hubungan ini. Tidak untuk main-main. Doakan kami ya. Hehe. Ah jadi melantur. Kembali ke topik pekerjaan. Singkatnya, orangtua Tetta belum tau kalau saya sekarang bekerja di taman bermain yang baru. Yang mereka tahu, saya wartawan. Itu saja. Dulu sih, waktu di Trax saya bilang, saya kerja di majalah musik.
Sampai sekarang, mereka belum bertanya lagi. Untungnya. Hehe.
Ini persoalannya. Ayahnya sedikit konservatif. Dari sekian banyak pandangan dia, gambar-gambar perempuan seksi di media, adalah salah satu yang tidak dia sukai. Satu waktu, dia melihat kalender keluaran Rip Curl, yang jadi bonus Trax. "Ini apa sih? Kok banyak gambar orang telanjangnya?" katanya mengomentari gambar perempuan dengan bikini sedang duduk di pinggir pantai.
Itu baru secuil. Kata pacar saya, beberapa waktu yang lalu juga dia pernah berkomentar soal gambar perempuan seksi. "Jadi kamu jangan bilang dulu sama papa ya," kata pacar saya soal pekerjaan yang baru ini. Saya mengikuti sarannya. Dan saya memaklumi hal ini. Wajar saja, saya yakin bukan cuma orangtua pacar saya yang keberatan soal itu.
Ironis. Soalnya, saya sering menggoda teman saya, yang tidak ingin namanya muncul di taman bermain itu. Ada hubungannya dengan keluarga, intinya seperti itu. Chicken. Begitu saya sering menggoda dia. Padahal, saya sendiri masih takut akan pendapat orangtua pacar. Dan sebisa mungkin menghindari obrolan soal pekerjaan saya.
Dua orang kakak dan suaminya masing-masing sih, sudah tau. Hanya satu orang kakaknya--yang kata pacar saya cukup konservatif--dan para paman serta bibinya yang belum tau. Karena memang saya juga belum ingin mereka tau. Maklum, saya masih berusaha mendapatkan perhatian mereka. Kalau posisi saya sudah cukup aman, mungkin saya akan lebih berani.
Tapi sebelum itu terjadi, saya masih harus tetap menghindari obrolan soal pekerjaan. Dan berdoa semoga saja mereka bisa terbuka dan menerima saya apa adanya. Seperti juga pacar saya menerima saya apa adanya. Bukan begitu sayang? :)
Salam,

Orangtua, Perempuan Setengah Telanjang dan Rencana Jangka Panjang

Ini tentang saya dan pekerjaan saya.


Kamu mungkin pernah baca tulisan saya soal sekarang saya jadi feature editor di taman bermain yang baru. Ya. Secara karir saya meningkat. Dari reporter jadi feature editor. Finansial juga tentunya meningkat. Alhamdulillah. Tapi, tanggungjawab juga semakin berat. Itu konsekuensinya. Saya bahagia. Tentu saja.


Apalagi setelah mengetahui kalau orangtua saya merestui kepindahan saya ke majalah ini. "Bukannya itu majalah porno ya kalau di luar negeri mah?" tanya ayah saya. "Ya yang di sini mah, gambarnya nggak akan seperti di sana," jawab saya. Sementara ibu saya, sepertinya tidak banyak tau soal imej taman bermain itu.


Intinya, saya dapat restu mereka. Yang mereka khawatirkan justru bukan soal isi majalah--agak heran juga saya, padahal mereka cukup relijius. Jauh relijius dari saya--tapi soal kesejahteraan dan kepastian bekerja di sana, ketika saya bilang sudah pindah kantor. "Kerja teh sering banget pindah-pindah ya," kata ibu saya singkat.


Orangtua saya dari dulu memang selalu mendukung keputusan saya. Alhamdulillah. Walaupun seringkali, mereka bertanya apakah saya tidak tertarik jadi pegawai BUMN, tapi mereka membiarkan saya memilih pekerjaan yang saya sukai.


Tapi, masih ada orangtua yang belum saya hadapi.


Orangtua pacar saya. Maklum, saya dan Tetta sudah punya rencana jangka panjang soal hubungan kami. Dengan kata lain, kami memandang serius hubungan ini. Tidak untuk main-main. Doakan kami ya. Hehe. Ah jadi melantur. Kembali ke topik pekerjaan. Singkatnya, orangtua Tetta belum tau kalau saya sekarang bekerja di taman bermain yang baru. Yang mereka tahu, saya wartawan. Itu saja. Dulu sih, waktu di Trax saya bilang, saya kerja di majalah musik.


Sampai sekarang, mereka belum bertanya lagi. Untungnya. Hehe.


Ini persoalannya. Ayahnya sedikit konservatif. Dari sekian banyak pandangan dia, gambar-gambar perempuan seksi di media, adalah salah satu yang tidak dia sukai. Satu waktu, dia melihat kalender keluaran Rip Curl, yang jadi bonus Trax. "Ini apa sih? Kok banyak gambar orang telanjangnya?" katanya mengomentari gambar perempuan dengan bikini sedang duduk di pinggir pantai.


Itu baru secuil. Kata pacar saya, beberapa waktu yang lalu juga dia pernah berkomentar soal gambar perempuan seksi. "Jadi kamu jangan bilang dulu sama papa ya," kata pacar saya soal pekerjaan yang baru ini. Saya mengikuti sarannya. Dan saya memaklumi hal ini. Wajar saja, saya yakin bukan cuma orangtua pacar saya yang keberatan soal itu.


Ironis. Soalnya, saya sering menggoda teman saya, yang tidak ingin namanya muncul di taman bermain itu. Ada hubungannya dengan keluarga, intinya seperti itu. Chicken. Begitu saya sering menggoda dia. Padahal, saya sendiri masih takut akan pendapat orangtua pacar. Dan sebisa mungkin menghindari obrolan soal pekerjaan saya.


Dua orang kakak dan suaminya masing-masing sih, sudah tau. Hanya satu orang kakaknya--yang kata pacar saya cukup konservatif--dan para paman serta bibinya yang belum tau. Karena memang saya juga belum ingin mereka tau. Maklum, saya masih berusaha mendapatkan perhatian mereka. Kalau posisi saya sudah cukup aman, mungkin saya akan lebih berani.


Tapi sebelum itu terjadi, saya masih harus tetap menghindari obrolan soal pekerjaan. Dan berdoa semoga saja mereka bisa terbuka dan menerima saya apa adanya. Seperti juga pacar saya menerima saya apa adanya. Bukan begitu sayang? :)


Salam,

Tuesday, January 03, 2006

Tuhan dan Saya

Seberapa sering kamu ingat Tuhan?
Tentunnya pertanyaan ini buat yang percaya pada Tuhan. Kembali ke pertanyaan tadi; saya sering. Tidak. Saya tidak sedang mengatakan saya orang yang relijius. Walaupun saya diberi nama yang cukup relijius oleh orangtua saya; Soleh Solihun. Yang kadang-kadang jadi beban untuk saya. Khawatir perilaku saya tidak cukup baik di mata orang lain.
Maaf jadi melantur. Kembali soal ingat Tuhan. Sepertinya Tuhan selalu Maha Pemurah dan Pengasih kepada saya. Sejak dari kecil, saya selalu diberi yang terbaik. Setidaknya itu yang saya pikir. Ini hitungannya masih duniawi memang. Sekolah selalu negeri. Ini tentu saja membuat orangtua senang. Di sekolah dan di kampus, saya punya teman cukup banyak. Secara sosial, posisi saya cukup baik. Bahagia lah.
Lantas, mendapat pekerjaan pun tidak sulit. Dan yang penting, saya menyukai pekerjaan yang saya geluti. Benda-benda duniawi yang saya inginkan, akhirnya bisa saya dapatkan juga. Walaupun belum semuanya. Terakhir, saya bertemu perempuan yang akhirnya jadi pacar dan menyayangi saya. Salah satu anugerah terindah yang pernah diberi Tuhan. Kebahagiaan psikologis melengkapi kebahagiaan yang selama ini telah saya dapatkan.
Tapi, ini yang kemudian kadang mengganggu saya.
Ternyata, saya tidak cukup berbuat baik. Masih banyak perintah Tuhan yang belum saya jalankan. Dan masih sering saya melanggar larangan Tuhan. Lebih gawatnya lagi, saya tahu banyak soal ajaran Tuhan. Well, tidak terlalu banyak mungkin. Tapi, lumayan lah. Kesadaran itu ada. Tapi untuk melaksanakannya belum.
Padahal saya tahu, banyak yang telah Tuhan berikan buat saya. Untuk urusan bersyukur atas nikmatnya, mungkin saya sudah cukup baik melakukannya. Tapi, itu semua baru tahap kesadaran saja. Belum pada perbuatan. Agak kurang adil juga, kalau akhirnya saya mengatakan ini karena pengaruh lingkungan. Tapi, mungkin akan berbeda juga keadaannya kalau saya tinggal di lingkungan pesantren. Di pedesaan mungkin. Hehe.
Seperti yang dulu pernah saya tulis. Rasanya iman saya mulai luntur. Gawatnya lagi. Saya sadar. Tapi, tidak juga berbuat sesuatu.
Help Me God.