Monday, March 27, 2006

Jurnalis Belel



Menurut kamu, penampilan fisik saya bagaimana?

 



Anehkah? Jelekkah? Menyeramkan? Unik? Eksentrik? Ganteng? Hehehe. Yang terakhir, sepertinya tidak mungkin deh. Bukan apa-apa. Tadi siang saya pergi ke Pemda Kabupaten Tangerang. Mau menemui narasumber.

 



Kantor pertama, divisi Humas dan Protokoler. Saya perkenalkan diri dan maksud saya ke sana. Si bapak, sambil mendengarkan saya bicara, memandang saya dari ujung kaki ke ujung rambut. Menurunkan kacamatanya setengah.

 



Kantor kedua, Ketentraman dan Ketertiban. Bapak-bapak berseragam Satpol PP memandang saya. Tidak jelas berapa jumlah mereka. Yang jelas, sebagian besar dari mereka memandang saya dari bawah sampai atas. Seperti bapak sebelumnya.

 



Padahal, saya bersama seorang teman. Perempuan. Dan dia tidak dapat pandangan seperti itu. Lantas, timbul pikiran di benak. Memangnya penampilan saya aneh ya. Padahal, saya cuma pake jaket dan celana jins belel, kaos hitam, kumis jenggot belum dicukur, dan rambut tidak terurus. Hehehe.

 



Apa mereka belum pernah lihat jurnalis seperti saya ya? Tapi, rasanya masih banyak jurnalis berpenampilan lebih lusuh dari saya. Hmmm. Ataukah, karena nama saya dan nama majalah saya cukup bertentangan ya. Tapi tidak juga. Kalau begitu sih, mereka langsung komentar. Seperti bapak pemda lainnya yang saya temui di kantor lainnya.

 



Lantas, kenapa mereka memandang saya seperti itu ya?

Jurnalis Belel

Menurut kamu, penampilan fisik saya bagaimana?
Anehkah? Jelekkah? Menyeramkan? Unik? Eksentrik? Ganteng? Hehehe. Yang terakhir, sepertinya tidak mungkin deh. Bukan apa-apa. Tadi siang saya pergi ke Pemda Kabupaten Tangerang. Mau menemui narasumber.

Kantor pertama, divisi Humas dan Protokoler. Saya perkenalkan diri dan maksud saya ke sana. Si bapak, sambil mendengarkan saya bicara, memandang saya dari ujung kaki ke ujung rambut. Menurunkan kacamatanya setengah.

Kantor kedua, Ketentraman dan Ketertiban. Bapak-bapak berseragam Satpol PP memandang saya. Tidak jelas berapa jumlah mereka. Yang jelas, sebagian besar dari mereka memandang saya dari bawah sampai atas. Seperti bapak sebelumnya.

Padahal, saya bersama seorang teman. Perempuan. Dan dia tidak dapat pandangan seperti itu. Lantas, timbul pikiran di benak. Memangnya penampilan saya aneh ya. Padahal, saya cuma pake jaket dan celana jins belel, kaos hitam, kumis jenggot belum dicukur, dan rambut tidak terurus. Hehehe.

Apa mereka belum pernah lihat jurnalis seperti saya ya? Tapi, rasanya masih banyak jurnalis berpenampilan lebih lusuh dari saya. Hmmm. Ataukah, karena nama saya dan nama majalah saya cukup bertentangan ya. Tapi tidak juga. Kalau begitu sih, mereka langsung komentar. Seperti bapak pemda lainnya yang saya temui di kantor lainnya.

Lantas, kenapa mereka memandang saya seperti itu ya?

Tuesday, March 21, 2006

Satu Lekong Dua Bencong

Ini cerita Jumat [17/3] malam lalu.

Kata orang, daerah UKI rawan. Banyak penjahat. Sering terjadi tindak kejahatan. Apalagi di malam hari. Kata saya, itu overrated. Hehe. Bukan apa-apa. Saya sudah sering ada di daerah itu, malam hari. Alhamdulillah, belum pernah melihat kejadian yang sering diceritakan banyak orang.

Sekali lagi, saya ada di sana. Pukul 23.40. Saya harus naik bus kota tujuan Cibinong. "Kalau ada apa-apa, lawan aja kalau premannya sedikit mah," kata Hagi, teman saya, ketika menurunkan saya di UKI malam itu. Tapi jujur, yang saya takuti malam itu, bukan suasana UKI di malam hari. Hanya takut tidak kebagian bus. Alhamdulillah, bus masih ada.

Saya turun di Citeureup kira-kira setengah jam kemudian. Tujuan saya; Gunung Putri. Bingung ya dengan nama-nama tempatnya? Hehehe. Maaf. Ikuti saja terus cerita saya. Intinya bukan di tempat kok. Maka, dari pintu tol Citeureup, saya naik angkot.

Di sinilah kejadian menegangkan itu terjadi.

Angkot itu relatif kosong. Satu penumpang di samping sopir. Empat di belakang, termasuk saya. Dua penumpang yang duduk di pojok lah, yang membuat jantung saya terus berdebar. Waktu baru masuk ke angkot itu pun, mereka sudah menarik perhatian. Aroma parfum murahan yang menyengat hidung. Kalau diibaratkan gula, maka parfum itu adalah gula yang biasa ada di sirop murahan yang bisa membuat perut sakit. Ini mungkin yang sering disebut banyak orang sebagai minyak nyongnyong itu!

Awalnya, saya kira mereka pelacur kelas teri yang baru pulang kerja. Itu sampai saya dengar suara mereka. Cempreng, nge-bass, dan sedikit genit. Sialan! Jantung saya langsung berdebar keras. Mereka bencong!

Ketika masih ada penumpang lain, saya tidak terlalu takut. Baru ketika di angkot itu, tersisa saya dan dua bencong di kursi belakang, perasaan saya semakin tidak karuan. Deg deg. Deg deg. Deg deg. Saya penasaran sekaligus takut. Hehe. Sesekali saya curi pandang. Melihat tampang mereka.

Yang banyak bicara, berambut pirang. Kontras dengan kulitnya yang gelap. Yang satu lagi, berambut hitam. Wajahnya tidak semulus si pirang. Banyak jerawat. Keduanya memakai gaun hitam. Si pirang, malah memakai kemben.

Ya. Saya takut bencong. Apa ya istilahnya Bencong Phobia mungkin? Buat saya, mereka lebih mengerikan dari penata rambut, penata rias, bahkan preman. Oke, saya beberapa kali memang pernah melihat bencong bersama teman-teman. Di Jalan Sumatra, Veteran [kalau tidak salah], Bandung. Tapi itu, dari dalam mobil. Mereka di luar. Saya merasa aman.

Dan saya belum pernah sedekat itu dengan bencong!
Yang membuat saya takut, adalah dandanan mereka. Banci salon sih, masih berwujud laki-laki. Walaupun gaya bicara mereka seperti perempuan. Tapi bencong, itu mengerikan. Pakaiannya perempuan, wajahnya laki-laki yang dimake up. Dan suaranya, antara laki-laki dan perempuan. Semakin melengkapi ketakutan saya. Hahaha.

Sambil ketakutan, saya dengarkan obrolan mereka. Sepertinya sedang curhat soal percintaan. Ah. Bencong juga manusia. Bisa jatuh cinta. Ada yang mencintai juga. Itu yang saya pikir. Dan di sana, saya mendengar beberapa kosa kata yang membuat saya bertanya-tanya.

Baru kali ini, saya dengar bahasa Bencong digunakan dalam kalimat. Keduanya bicara dalam tiga bahasa. Indonesia, Sunda kasar dan bahasa Bencong. Jadinya, perasaan saya campur aduk. Takut, ingin cepat turun, tapi penasaran, sekaligus ingin tertawa mendengar bahasa mereka.

Damn! Saya lupa kosa kata apa saja yang saya dengar malam itu. Tadinya mau saya tulis. Tapi, saya terlalu takut. Hehe. Yang jelas, ada kalimat yang masih membekas di benak saya.
"Dia nggak mau diesong." Yang jelas, mereka senang sekali memasukkan imbuhan ong dalam kata. Lekong. Bencong. Dan ong ong yang lain yang saya dengar malam itu.

Dan mendengar obrolan mereka, akhirnya saya jadi tahu dari mana asal kata [maaf] disepong. Hehehe. Lantas, siapa pula yang memulai bahasa Bencong itu? Pasti ada seorang bencong yang bertanggungjawab atas adanya bahasa mereka. Apakah para bencong itu tahu sejarah mereka? Siapa Founding Father [or should I say, mother?] mereka?

Jangan-jangan, sudah ada Ensiklopedia Bencong Indonesia yang hanya beredar di kalangan tersendiri. Di sana, ada semua yang kamu perlu ketahui tentang bencong. Kapan dimulainya gerakan bencong turun ke jalan. Jenis-jenis pekerjaan yang cocok untuk bencong. Hingga bagaimana mengubah nama laki-laki jadi nama bencong.

Salam,

Monday, March 20, 2006

Satu Lekong Dua Bencong

Ini cerita Jumat [17/3] malam lalu.


Kata orang, daerah UKI rawan. Banyak penjahat. Sering terjadi tindak kejahatan. Apalagi di malam hari. Kata saya, itu overrated. Hehe. Bukan apa-apa. Saya sudah sering ada di daerah itu, malam hari. Alhamdulillah, belum pernah melihat kejadian yang sering diceritakan banyak orang.

 




Sekali lagi, saya ada di sana. Pukul 23.40. Saya harus naik bus kota tujuan Cibinong. "Kalau ada apa-apa, lawan aja kalau premannya sedikit mah," kata Hagi, teman saya, ketika menurunkan saya di UKI malam itu. Tapi jujur, yang saya takuti malam itu, bukan suasana UKI di malam hari. Hanya takut tidak kebagian bus. Alhamdulillah, bus masih ada.

 




Saya turun di Citeureup kira-kira setengah jam kemudian. Tujuan saya; Gunung Putri. Bingung ya dengan nama-nama tempatnya? Hehehe. Maaf. Ikuti saja terus cerita saya. Intinya bukan di tempat kok. Maka, dari pintu tol Citeureup, saya naik angkot.

 




Di sinilah kejadian menegangkan itu terjadi.

 




Angkot itu relatif kosong. Satu penumpang di samping sopir. Empat di belakang, termasuk saya. Dua penumpang yang duduk di pojok lah, yang membuat jantung saya terus berdebar. Waktu baru masuk ke angkot itu pun, mereka sudah menarik perhatian. Aroma parfum murahan yang menyengat hidung. Kalau diibaratkan gula, maka parfum itu adalah gula yang biasa ada di sirop murahan yang bisa membuat perut sakit. Ini mungkin yang sering disebut banyak orang sebagai minyak nyongnyong itu!

 




Awalnya, saya kira mereka pelacur kelas teri yang baru pulang kerja. Itu sampai saya dengar suara mereka. Cempreng, nge-bass, dan sedikit genit. Sialan! Jantung saya langsung berdebar keras. Mereka bencong!

 




Ketika masih ada penumpang lain, saya tidak terlalu takut. Baru ketika di angkot itu, tersisa saya dan dua bencong di kursi belakang, perasaan saya semakin tidak karuan. Deg deg. Deg deg. Deg deg. Saya penasaran sekaligus takut. Hehe. Sesekali saya curi pandang. Melihat tampang mereka.

 




Yang banyak bicara, berambut pirang. Kontras dengan kulitnya yang gelap. Yang satu lagi, berambut hitam. Wajahnya tidak semulus si pirang. Banyak jerawat. Keduanya memakai gaun hitam. Si pirang, malah memakai kemben.

 




Ya. Saya takut bencong. Apa ya istilahnya Bencong Phobia mungkin? Buat saya, mereka lebih mengerikan dari penata rambut, penata rias, bahkan preman. Oke, saya beberapa kali memang pernah melihat bencong bersama teman-teman. Di Jalan Sumatra, Veteran [kalau tidak salah], Bandung. Tapi itu, dari dalam mobil. Mereka di luar. Saya merasa aman.

 




Dan saya belum pernah sedekat itu dengan bencong!

 




Yang membuat saya takut, adalah dandanan mereka. Banci salon sih, masih berwujud laki-laki. Walaupun gaya bicara mereka seperti perempuan. Tapi bencong, itu mengerikan. Pakaiannya perempuan, wajahnya laki-laki yang dimake up. Dan suaranya, antara laki-laki dan perempuan. Semakin melengkapi ketakutan saya. Hahaha.

 




Sambil ketakutan, saya dengarkan obrolan mereka. Sepertinya sedang curhat soal percintaan. Ah. Bencong juga manusia. Bisa jatuh cinta. Ada yang mencintai juga. Itu yang saya pikir. Dan di sana, saya mendengar beberapa kosa kata yang membuat saya bertanya-tanya.

 




Baru kali ini, saya dengar bahasa Bencong digunakan dalam kalimat. Keduanya bicara dalam tiga bahasa. Indonesia, Sunda kasar dan bahasa Bencong. Jadinya, perasaan saya campur aduk. Takut, ingin cepat turun, tapi penasaran, sekaligus ingin tertawa mendengar bahasa mereka.

 




Damn! Saya lupa kosa kata apa saja yang saya dengar malam itu. Tadinya mau saya tulis. Tapi, saya terlalu takut. Hehe. Yang jelas, ada kalimat yang masih membekas di benak saya.

 




"Dia nggak mau diesong." Yang jelas, mereka senang sekali memasukkan imbuhan ong dalam kata. Lekong. Bencong. Dan ong ong yang lain yang saya dengar malam itu.

 




Dan mendengar obrolan mereka, akhirnya saya jadi tahu dari mana asal kata [maaf] disepong. Hehehe. Lantas, siapa pula yang memulai bahasa Bencong itu? Pasti ada seorang bencong yang bertanggungjawab atas adanya bahasa mereka. Apakah para bencong itu tahu sejarah mereka? Siapa Founding Father [or should I say, mother?] mereka?

 




Jangan-jangan, sudah ada Ensiklopedia Bencong Indonesia yang hanya beredar di kalangan tersendiri. Di sana, ada semua yang kamu perlu ketahui tentang bencong. Kapan dimulainya gerakan bencong turun ke jalan. Jenis-jenis pekerjaan yang cocok untuk bencong. Hingga bagaimana mengubah nama laki-laki jadi nama bencong.

 




Salam,

Friday, March 17, 2006

Tai Udel

Seberapa sering kamu membersihkan pusar?


 


Saya jaraaang sekali.


 


Barusan, saya bersihkan. Banyak sekali kotorannya ternyata. Hehehe. Dan sialnya. Setiap habis ngorek-ngorek pusar, selalu sakit perut. Itu sebabnya, saya tidak suka membersihkan pusar.


 


Apa penjelasan ilmiahnya ya? Kenapa harus sakit perut?


 


Huh. Baru dikorek pake korek kuping saja, sudah bikin sakit perut. Makanya, saya salut pada mereka yang ditindik pusarnya. Apa perutnya tidak sakit terus ya?


 


Salam,

Tai Udel

Seberapa sering kamu membersihkan pusar?
Saya jaraaang sekali.

Barusan, saya bersihkan. Banyak sekali kotorannya ternyata. Hehehe. Dan sialnya. Setiap habis ngorek-ngorek pusar, selalu sakit perut. Itu sebabnya, saya tidak suka membersihkan pusar.

Apa penjelasan ilmiahnya ya? Kenapa harus sakit perut?

Huh. Baru dikorek pake korek kuping saja, sudah bikin sakit perut. Makanya, saya salut pada mereka yang ditindik pusarnya. Apa perutnya tidak sakit terus ya?

Salam,

Wednesday, March 15, 2006

Dekadensi Moral

Beberapa hari terakhir ini, ada yang terus berputar di kepala saya.
"Dekadensi moral". Banyak orang menggunakan itu dalam kalimatnya. Di koran. Di televisi. Kamu juga pasti pernah mendengar orang menggunakannya dalam kalimat. Entah kenapa, setiap mendengar atau membaca kata itu, saya selalu ingin tertawa.

Mungkin karena kata "dekadensi moral" terdengar begitu mutakhir buat saya. Siapapun yang menulis atau mengucapkannya, buat saya seperti orang yang paling tahu soal moral. Merasa diri lebih suci. Dan yang jelas, pandai menyusun kalimat. Hehe. Saya sendiri belum pernah menggunakan "dekadensi moral" dalam tulisan. Baru kali ini.

Penasaran. Saya ketik di google "dekadensi moral". Hasilnya 743 [0.03 detik]. Berikut saya masukan beberapa kutipan dari sana. Beginilah contoh bagaimana menggunakan "dekadensi moral" dalam kalimat:

Pernah dikenal dengan 'salome' dan 'antriani', fantasi primitif itu menjangkiti prilaku sekelompok pria eksekutif terhormat. Bahkan melibatkan atasan bawahan, pasangan suami istri, dan industri pelesiran. Sekedar variasi, penyakit jiwa atau dekadensi moral?
http://www.popular-maj.com/content/Preview/Liputankhusus/0299/

Jauhnya masyarakat Barat dari agama mereka telah menyebabkan dekadensi moral yang mengerikan. Homoseksual, nudisme, pengguguran janin, hubungan bebas di luar perkawinan, dan eksploitasi perempuan, merupakan perilaku yang dianggap biasa di Barat, dan bahkan dalam proses legalisasi oleh parlemen di sebagian negara.
http://www.irib.com/worldservice/MelayuRadio/perspektif/2005/april2005/paus.htm

Karena secara fungsional, layanan telepon sex paling tidak dapat menjadi salah satu media bagi “berkembang biaknya” kemesuman --yang pada gilirannya berdampak pada merebaknya dekadensi moral bangsa-- dan oleh karena itu bertentangan dengan ketentuan hukum dan nilai-nilai moral yang berlaku dalam masyarakat.
http://www.idp.com/adsjakarta/returnedstudents/article82.asp

Pada masa dua tahun terakhir ini dekadensi moral tidak lagi sekedar tawuran, tapi telah lebih parah lagi. Mahasiswa dan pelajar (sampai tingkat SD) telah dicekoki oleh narkoba.
http://media.isnet.org/islam/Etc/Orientasi.html

Daya saing pendidikan di Yogyakarta cenderung menurun karena terjadi dekadensi moral. Dekadensi moral itu misalnya berupa meningkatnya pengguna narkoba dan makin merebaknya generasi muda yang menganut aliran hidup bebas.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0501/10/x_ked.html

Jika rendahnya tingkat apresiasi sastra di Indonesia memang dapat dikaitkan dengan maraknya kasus korupsi dan dekadensi moral lainnya (seperti penebangan liar yang menghancurkan ekosistem lingkungan), kita harus berani menuduh dengan tegas bahwa kurikulum pendidikan yang menjadi biangnya.
http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/1210/bud2.html

Pernikahan adalah upaya menghindari dekadensi moral.
http://www.uika-bogor.ac.id/zkr04.htm

PADA dasarnya, ada dua lapis dekadensi moral yang terjadi dalam konteks kasus the Black July itu, yang mampu memaparkan gradasi keparahan dekadensi moral dinamika kehidupan politik dan berbangsa di Tanah Air ini.
http://kompas.com/kompas-cetak/0401/24/opini/795779.htm

Kalau kita lihat koran atau televisi, seolah-olah telah terjadi sebuah dekadensi moral yang luar biasa. Bayang­kan, di koran ada iklan gigolo!
swaramuslim.net/HIKAYAT/

Ada yang mengatakan mereka bermental bejat, komersiil, dekadensi moral, tak beriman, dan sebagainya. Semua ikut bicara: pendidik, agamawan, pakar, wartawan...
neumann.f2o.org/sarlito/mhsw.html

Dengan begini, kalau kamu ketik "dekadensi moral" di google. Tulisan saya yang ini, pasti akan ikut masuk dalam hasil pencarian. Hehe.

Salam,

Tuesday, March 14, 2006

Dekadensi Moral

Beberapa hari terakhir ini, ada yang terus berputar di kepala saya.


 


"Dekadensi moral". Banyak orang menggunakan itu dalam kalimatnya. Di koran. Di televisi. Kamu juga pasti pernah mendengar orang menggunakannya dalam kalimat. Entah kenapa, setiap mendengar atau membaca kata itu, saya selalu ingin tertawa.


 


Mungkin karena kata "dekadensi moral" terdengar begitu mutakhir buat saya. Siapapun yang menulis atau mengucapkannya, buat saya seperti orang yang paling tahu soal moral. Merasa diri lebih suci. Dan yang jelas, pandai menyusun kalimat. Hehe. Saya sendiri belum pernah menggunakan "dekadensi moral" dalam tulisan. Baru kali ini. 


 


Penasaran. Saya ketik di google "dekadensi moral". Hasilnya 743 [0.03 detik]. Berikut saya masukan beberapa kutipan dari sana. Beginilah contoh bagaimana menggunakan "dekadensi moral" dalam kalimat:


 


Pernah dikenal dengan 'salome' dan 'antriani', fantasi primitif itu menjangkiti prilaku sekelompok pria eksekutif terhormat. Bahkan melibatkan atasan bawahan, pasangan suami istri, dan industri pelesiran. Sekedar variasi, penyakit jiwa atau dekadensi moral?
http://www.popular-maj.com/content/Preview/Liputankhusus/0299/


 


Jauhnya masyarakat Barat dari agama mereka telah menyebabkan dekadensi moral yang mengerikan. Homoseksual, nudisme, pengguguran janin, hubungan bebas di luar perkawinan, dan eksploitasi perempuan, merupakan perilaku yang dianggap biasa di Barat, dan bahkan dalam proses legalisasi oleh parlemen di sebagian negara.
http://www.irib.com/worldservice/MelayuRadio/perspektif/2005/april2005/paus.htm


 


Karena secara fungsional, layanan telepon sex paling tidak dapat menjadi salah satu media bagi “berkembang biaknya” kemesuman --yang pada gilirannya berdampak pada merebaknya dekadensi moral bangsa-- dan oleh karena itu bertentangan dengan ketentuan hukum dan nilai-nilai moral yang berlaku dalam masyarakat.
http://www.idp.com/adsjakarta/returnedstudents/article82.asp


 


Pada masa dua tahun terakhir ini dekadensi moral tidak lagi sekedar tawuran, tapi telah lebih parah lagi. Mahasiswa dan pelajar (sampai tingkat SD) telah dicekoki oleh narkoba.


http://media.isnet.org/islam/Etc/Orientasi.html


 


Daya saing pendidikan di Yogyakarta cenderung menurun karena terjadi dekadensi moral. Dekadensi moral itu misalnya berupa meningkatnya pengguna narkoba dan makin merebaknya generasi muda yang menganut aliran hidup bebas.
http://www.suaramerdeka.com/harian/0501/10/x_ked.html


 


Jika rendahnya tingkat apresiasi sastra di Indonesia memang dapat dikaitkan dengan maraknya kasus korupsi dan dekadensi moral lainnya (seperti penebangan liar yang menghancurkan ekosistem lingkungan), kita harus berani menuduh dengan tegas bahwa kurikulum pendidikan yang menjadi biangnya.
http://www.sinarharapan.co.id/hiburan/budaya/2005/1210/bud2.html


 


Pernikahan adalah upaya menghindari dekadensi moral.
http://www.uika-bogor.ac.id/zkr04.htm


 


PADA dasarnya, ada dua lapis dekadensi moral yang terjadi dalam konteks kasus the Black July itu, yang mampu memaparkan gradasi keparahan dekadensi moral dinamika kehidupan politik dan berbangsa di Tanah Air ini.
http://kompas.com/kompas-cetak/0401/24/opini/795779.htm


 


Kalau kita lihat koran atau televisi, seolah-olah telah terjadi sebuah dekadensi moral yang luar biasa. Bayang­kan, di koran ada iklan gigolo!
swaramuslim.net/HIKAYAT/


 


Ada yang mengatakan mereka bermental bejat, komersiil, dekadensi moral, tak beriman, dan sebagainya. Semua ikut bicara: pendidik, agamawan, pakar, wartawan...
neumann.f2o.org/sarlito/mhsw.html


 


Dengan begini, kalau kamu ketik "dekadensi moral" di google. Tulisan saya yang ini, pasti akan ikut masuk dalam hasil pencarian. Hehe.


 


Salam,

Tuesday, March 07, 2006

Pintu Ke Mana Saja

Coba ada kamu.


Pasti hidup jadi lebih mudah.
Bisa pergi ke banyak tempat.


Tidak usah terjebak macet.
Tidak usah khawatir turun hujan.
Tidak usah khawatir terlambat.


Tidak perlu kos.
Tidak perlu BBM.
Tidak perlu keluar uang lebih banyak.


Dan yang terpenting.
Saya bisa bertemu pacar.
Kapan saja.


Saya ingin sekali menggunakannya sekarang.

Pintu Ke Mana Saja

Coba ada kamu.
Pasti hidup jadi lebih mudah.
Bisa pergi ke banyak tempat.

Tidak usah terjebak macet.
Tidak usah khawatir turun hujan.
Tidak usah khawatir terlambat.

Tidak perlu kos.
Tidak perlu BBM.
Tidak perlu keluar uang lebih banyak.

Dan yang terpenting.
Saya bisa bertemu pacar.
Kapan saja.

Saya ingin sekali menggunakannya sekarang.

Thursday, March 02, 2006

Diare

Mual.


Mules.


Lemas.


Panas.


Benar-benar menguras tenaga.

...


 

Diare

Mual.
Mules.
Lemas.
Panas.
Benar-benar menguras tenaga.

...