Saturday, April 29, 2006

Manusia Setengah Dewa

Wahai presiden kami yang baru
Kamu harus dengar suara ini
Suara yang keluar dari dalam goa
Goa yang penuh lumut kebosanan

Walau hidup adalah permainan
Walau hidup adalah hiburan
Tetapi kami tak mau dipermainkan
Dan kami juga bukan hiburan

Turunkan harga secepatnya
Berikan kami pekerjaan
Pasti kuangkat engkau
Menjadi manusia setengah dewa

Masalah moral masalah akhlak
Biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau

Tegakkan hukum setegak-tegaknya
Adil dan tegas tak pandang bulu
Pasti kuangkat engkau
Menjadi manusia setengah dewa

Turunkan harga secepatnya
Berikan kami pekerjaan
Tegakkan hukum setegak-tegaknya
Adil dan tegas tak pandang bulu
Pasti kuangkat engkau
Menjadi manusia setengah dewa

Wahai presiden kami yang baru
Kamu harus dengar suara ini

*jauh sebelum ada ribut-ribut soal RUU APP, Iwan Fals sudah menulis ini dalam album berjudul sama yang dirilis pada 2004.

Friday, April 28, 2006

Manusia Setengah Dewa

Wahai presiden kami yang baru
Kamu harus dengar suara ini
Suara yang keluar dari dalam goa
Goa yang penuh lumut kebosanan

Walau hidup adalah permainan
Walau hidup adalah hiburan
Tetapi kami tak mau dipermainkan
Dan kami juga bukan hiburan

Turunkan harga secepatnya
Berikan kami pekerjaan
Pasti kuangkat engkau
Menjadi manusia setengah dewa

Masalah moral masalah akhlak
Biar kami cari sendiri
Urus saja moralmu urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau

Tegakkan hukum setegak-tegaknya
Adil dan tegas tak pandang bulu
Pasti kuangkat engkau
Menjadi manusia setengah dewa

Turunkan harga secepatnya
Berikan kami pekerjaan
Tegakkan hukum setegak-tegaknya
Adil dan tegas tak pandang bulu
Pasti kuangkat engkau
Menjadi manusia setengah dewa

Wahai presiden kami yang baru
Kamu harus dengar suara ini

*jauh sebelum ada ribut-ribut soal RUU APP, Iwan Fals sudah menulis ini dalam album berjudul sama yang dirilis pada 2004.

Siksa Tengku

Selasa [25/4] malam kemarin, Tengku Firmansyah menyiksa saya.

Tahu dia kan? Suami Cindy Fatikasari. Bintang sinetron. Pernah jadi penyanyi juga--berduet dengan istrinya. Dan sekarang, dia mencoba peruntungan baru. Jadi sutradara. Karya pertamanya, sebuah film berjudul "d'Girlz Begins". Nah, lewat film itulah dia menyiksa saya. Secara psikologis.

Dua jam sebelum film itu diputar di EX 21, konferensi pers digelar di Hard Rock Cafe. Banyak wartawan datang. Hard Rock Cafe penuh sesak. Saya tidak tahu motivasi mereka berdatangan ke sana. Mencari berita? Makan gratis? Jalan-jalan? Kalau saya sih, datang ke sana karena doorprize yang menarik. Satu laptop, dua ipod, tiga digital camera dan tiga flashdisk. "Siapa tahu, kali ini beruntung," begitu pikir saya.

Seperti biasa, konferensi pers ngaret. Di undangan, tertulis pk. 18.00. Tapi, acara baru dibuka sekitar pk. 20.00. Entah MC-nya bodoh, entah untuk menghemat waktu. Yang jelas, sebelum para pembicara dikenalkan ke audiens, sebelum mereka diberi kesempatan presentasi, MC langsung memberi kesempatan rekan-rekan wartawan bertanya.

Oya, saya gunakan kata "rekan-rekan wartawan", karena itu sering digunakan oleh panitia di konferensi pers.

Para pembicaranya; Tengku Firmansyah, tiga aktris baru pemeran d'Girlz, produser dan perwakilan dari Softex sebagai sponsor. Blablabla. Konferensi pers digelar selama sekitar satu jam. Plus, penampilan kelompok musik pendatang baru; Tahta.

Tapi sialan. Di akhir acara, panitia mengumumkan kalau doorprize akan diundi setelah pemutaran film. Ini artinya, saya harus ikut menonton film itu. Mau tidak mau. Demi doorprize, saya jalani semua itu.

Memang, dari awal, saya sudah mengira film ini akan buruk. Judulnya saja tidak menarik. Pemilihan font-nya juga. Dan tag line mereka; Truth, Fun-living & Commitment. Rasanya seperti membaca slogan majalah gaya hidup. Belum lagi secara tata bahasa, d'Girlz Begins, tidak benar. Jamak harusnya diikuti dengan begin, bukan begins.

Ternyata, film itu jauh lebih buruk dari perkiraan saya. Lima menit pertama saja, sudah terlihat selera humor yang buruk dari sang sutradara. Adegan di markas penculik bayi. Penculik yang menyusui bayi dengan susu dalam botol, akhirnya dikotori bajunya oleh muntahan si bayi. Ini membuat si penculik muntah. Dan muntahan si penculik, diaduk-aduk oleh beberapa orang bayi yang sedang main di lantai.

Setelah itu, Irfan Hakim yang berperan sebagai bos penculik, datang. Dengan kumis palsu yang terlihat menggelikan. Singkat cerita, para penculik itu berhasil dilumpuhkan. Adegan ini ditutup dengan aksi tim yang berpakaian menyerupai SWAT datang membantu. Padahal, para penculik sudah dilumpuhkan.

Aksi Tengku Firmansyah di film itu juga tidak kalah menggelikan. Dia berperan sebagai Sam Sunyi, pembunuh berdarah dingin. Entah berapa orang ditembak Tengku di film itu. Beberapa kali, Tengku juga terlihat memainkan pistol dengan tangannya. Ingin pamer keahlian, mungkin.

Ada satu adegan ketika Sam Sunyi hendak ditangkap polisi yang ternyata sahabatnya sejak kecil. Ketika mereka masih sama-sama jadi tukang semir sepatu . "Demi mengenang persahabatan kita, bagaimana kalau kita berduel," kata Sam Sunyi kepada si polisi yang akan menangkapnya.

Maka, mereka pun berduel. Sam kalah cepat oleh si polisi. Karena sesaat sebelum menembak, Sam batuk berdarah. Mungkin maksud Tengku ingin membuat adegan itu berakhir dramatis. Tapi, tetap saja hasilnya menggelikan. Seperti juga dengan seluruh adegan di film itu.

Yang paling menggelikan dan sangat memaksakan sih, ada di adegan ketika d'Girlz dan dua orang teman mereka pulang ke rumah dari tempat dugem, sehabis minumannya diberi obat oleh Sam Sunyi. Hanya satu orang yang masih sadar. Yang lain, menggigil, meracau, parno. Di tengah-tengah kekacauan itu, tiba-tiba salah seorang dari mereka langsung sadar.

"Eh, lu bocor tuh," katanya sambil menunjuk pantat temannya yang merah oleh darah. "Mau yang mana? Yang merah atau yang biru?" lanjutnya sambil mengangkat dua bungkus Softex.

Gila. Benar-benar siksaan. Mau kabur di tengah-tengah acara, masih terbayang hadiah-hadiah itu. Akhirnya, satu setengah jam saya disiksa. Teriakan mengolok-olok terdengar hampir sepanjang film. Tengku tidak ada di studio yang sama. Entah apa yang akan dia rasakan kalau tahu, filmnya diolok-olok banyak orang.

Saya pikir, diserang FPI sudah buruk. Ternyata, ada yang lebih menyiksa. Hehehe. Dan sialannya lagi, walaupun film itu buruk, ternyata memancing saya untuk menulis. Tapi, kalau kamu berniat melatih kesabaran, tidak ingin mudah terpancing emosi, kamu bisa mulai dengan menonton film ini. Sungguh. Emosi dan kesabaran kamu benar-benar teruji di sini. Kalau penasaran juga, silakan klik di sini.

Oya, tidak satupun dari doorprize itu jatuh ke tangan saya.

Thursday, April 27, 2006

Siksa Tengku

Selasa [25/4] malam kemarin, Tengku Firmansyah menyiksa saya.

Tahu dia kan? Suami Cindy Fatikasari. Bintang sinetron. Pernah jadi penyanyi juga--berduet dengan istrinya. Dan sekarang, dia mencoba peruntungan baru. Jadi sutradara. Karya pertamanya, sebuah film berjudul "d'Girlz Begins". Nah, lewat film itulah dia menyiksa saya. Secara psikologis.

Dua jam sebelum film itu diputar di EX 21, konferensi pers digelar di Hard Rock Cafe. Banyak wartawan datang. Hard Rock Cafe penuh sesak. Saya tidak tahu motivasi mereka berdatangan ke sana. Mencari berita? Makan gratis? Jalan-jalan? Kalau saya sih, datang ke sana karena doorprize yang menarik. Satu laptop, dua ipod, tiga digital camera dan tiga flashdisk. "Siapa tahu, kali ini beruntung," begitu pikir saya.

Seperti biasa, konferensi pers ngaret. Di undangan, tertulis pk. 18.00. Tapi, acara baru dibuka sekitar pk. 20.00. Entah MC-nya bodoh, entah untuk menghemat waktu. Yang jelas, sebelum para pembicara dikenalkan ke audiens, sebelum mereka diberi kesempatan presentasi, MC langsung memberi kesempatan rekan-rekan wartawan bertanya.

Oya, saya gunakan kata "rekan-rekan wartawan", karena itu sering digunakan oleh panitia di konferensi pers.

Para pembicaranya; Tengku Firmansyah, tiga aktris baru pemeran d'Girlz, produser dan perwakilan dari Softex sebagai sponsor. Blablabla. Konferensi pers digelar selama sekitar satu jam. Plus, penampilan kelompok musik pendatang baru; Tahta.



Tapi sialan. Di akhir acara, panitia mengumumkan kalau doorprize akan diundi setelah pemutaran film. Ini artinya, saya harus ikut menonton film itu. Mau tidak mau. Demi doorprize, saya jalani semua itu.

Memang, dari awal, saya sudah mengira film ini akan buruk. Judulnya saja tidak menarik. Pemilihan font-nya juga. Dan tag line mereka; Truth, Fun-living & Commitment. Rasanya seperti membaca slogan majalah gaya hidup.

Ternyata, film itu jauh lebih buruk dari perkiraan saya. Lima menit pertama saja, sudah terlihat selera humor yang buruk dari sang sutradara. Adegan di markas penculik bayi. Penculik yang menyusui bayi dengan susu dalam botol, akhirnya dikotori bajunya oleh muntahan si bayi. Ini membuat si penculik muntah. Dan muntahan si penculik, diaduk-aduk oleh beberapa orang bayi yang sedang main di lantai.

Setelah itu, Irfan Hakim yang berperan sebagai bos penculik, datang. Dengan kumis palsu yang terlihat menggelikan. Singkat cerita, para penculik itu berhasil dilumpuhkan. Adegan ini ditutup dengan aksi tim yang berpakaian menyerupai SWAT datang membantu. Padahal, para penculik sudah dilumpuhkan.



Aksi Tengku Firmansyah di film itu juga tidak kalah menggelikan. Dia berperan sebagai Sam Sunyi, pembunuh berdarah dingin. Entah berapa orang ditembak Tengku di film itu. Beberapa kali, Tengku juga terlihat memainkan pistol dengan tangannya. Ingin pamer keahlian, mungkin.

Ada satu adegan ketika Sam Sunyi hendak ditangkap polisi yang ternyata sahabatnya sejak kecil. Ketika mereka masih sama-sama jadi tukang semir sepatu . "Demi mengenang persahabatan kita, bagaimana kalau kita berduel," kata Sam Sunyi kepada si polisi yang akan menangkapnya.

Maka, mereka pun berduel. Sam kalah cepat oleh si polisi. Karena sesaat sebelum menembak, Sam batuk berdarah. Mungkin maksud Tengku ingin membuat adegan itu berakhir dramatis. Tapi, tetap saja hasilnya menggelikan. Seperti juga dengan seluruh adegan di film itu.

Yang paling menggelikan dan sangat memaksakan sih, ada di adegan ketika d'Girlz dan dua orang teman mereka pulang ke rumah dari tempat dugem, sehabis minumannya diberi obat oleh Sam Sunyi. Hanya satu orang yang masih sadar. Yang lain, menggigil, meracau, parno. Di tengah-tengah kekacauan itu, tiba-tiba salah seorang dari mereka langsung sadar.



"Eh, lu bocor tuh," katanya sambil menunjuk pantat temannya yang merah oleh darah. "Mau yang mana? Yang merah atau yang biru?" lanjutnya sambil mengangkat dua bungkus Softex.

Gila. Benar-benar siksaan. Mau kabur di tengah-tengah acara, masih terbayang hadiah-hadiah itu. Akhirnya, satu setengah jam saya disiksa. Teriakan mengolok-olok terdengar hampir sepanjang film. Tengku tidak ada di studio yang sama. Entah apa yang akan dia rasakan kalau tahu, filmnya diolok-olok banyak orang.

Saya pikir, diserang FPI sudah buruk. Ternyata, ada yang lebih menyiksa. Hehehe. Dan sialannya lagi, walaupun film itu buruk, ternyata memancing saya untuk menulis. Tapi, kalau kamu berniat melatih kesabaran, tidak ingin mudah terpancing emosi, kamu bisa mulai dengan menonton film ini. Sungguh. Emosi dan kesabaran kamu benar-benar teruji di sini. Kalau penasaran juga, silakan klik
di sini.



Oya, tidak satupun dari doorprize itu jatuh ke tangan saya.

Wednesday, April 26, 2006

Dalam Kasus Ini, Mungkin Saya yang Bodoh

Dia: Menurut kamu, apa dampaknya kalau majalah ini dibaca anak-anak?
Saya: Wah, paling mereka akan pusing Pak. Soalnya tulisan di sini memang bukan untuk anak-anak. Dari gaya bahasa sampai topik yang diangkat. Mereka pasti bakal pusing baca laporan yang berhubungan dengan politik, atau budaya.

Dia: Ya kalau dibaca. Tapi, kan otak mereka mungkin belum sampai ke sana. Mungkin baru bisa melihat gambarnya saja. Nah, kalau gambarnya dilihat mereka, apa dampaknya?
Saya: Saya tidak tahu Pak. Saya tidak berkompeten untuk menjawab pertanyaan itu. Saya bukan psikolog anak.

Dia: Masa' sih, tidak bisa tahu apa dampaknya buat anak-anak?
Saya: Iya Pak. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Saya benar-benar tidak tahu.

Dia: Begini, mungkin kamu juga tidak ingin kalau gambar-gambar ini dilihat anak-anak. Misalnya, kalau dilihat adek kamu?
Saya: Adek saya sudah besar Pak.

terdiam beberapa detik.

Dia: Anak kamu?
Saya: Saya belum berkeluarga Pak.

terdiam lagi, beberapa detik.

Dia: Masa sih kamu tidak bisa tahu apa dampaknya buat anak-anak? [nada bicaranya meninggi]. Begini, mungkin kalau anak-anak lihat gambar di sini, jadi pengin tahu aslinya seperti apa. Jadi mereka mengintip orang mandi misalnya.
Saya: Itu Bapak yang bilang loh Pak. Bukan saya.

Dia: [lebih tinggi nada bicaranya]. Iya. Orang boleh punya pendapat. Saya punya pendapat. Mereka punya pendapat. Nah, sekarang bagaimana pendapat kamu, kalau gambar-gambar di majalah ini dilihat anak-anak?
Saya: Pak. Sudah saya bilang, saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Lagipula, saya tidak tahu bagaimana kondisi psikologis anak-anak sekarang. [dan keluarlah pernyataan bodoh dari mulut ini]. Saya sudah lama tidak bersentuhan dengan anak-anak.

Tuesday, April 25, 2006

Dalam Kasus Ini, Mungkin Saya yang Bodoh

Dia: Menurut kamu, apa dampaknya kalau majalah ini dibaca anak-anak?
Saya: Wah, paling mereka akan pusing Pak. Soalnya tulisan di sini memang bukan untuk anak-anak. Dari gaya bahasa sampai topik yang diangkat. Mereka pasti bakal pusing baca laporan yang berhubungan dengan politik, atau budaya.



Dia: Ya kalau dibaca. Tapi, kan otak mereka mungkin belum sampai ke sana. Mungkin baru bisa melihat gambarnya saja. Nah, kalau gambarnya dilihat mereka, apa dampaknya?

Saya: Saya tidak tahu Pak. Saya tidak berkompeten untuk menjawab pertanyaan itu. Saya bukan psikolog anak.



Dia: Masa' sih, tidak bisa tahu apa dampaknya buat anak-anak?

Saya: Iya Pak. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Saya benar-benar tidak tahu.



Dia: Begini, mungkin kamu juga tidak ingin kalau gambar-gambar ini dilihat anak-anak. Misalnya, kalau dilihat adek kamu?

Saya: Adek saya sudah besar Pak.



terdiam beberapa detik.



Dia: Anak kamu?

Saya: Saya belum berkeluarga Pak.



terdiam lagi, beberapa detik.



Dia: Masa sih kamu tidak bisa tahu apa dampaknya buat anak-anak? [nada bicaranya meninggi]. Begini, mungkin kalau anak-anak lihat gambar di sini, jadi pengin tahu aslinya seperti apa. Jadi mereka mengintip orang mandi misalnya.

Saya: Itu Bapak yang bilang loh Pak. Bukan saya.



Dia: [lebih tinggi nada bicaranya]. Iya. Orang boleh punya pendapat. Saya punya pendapat. Mereka punya pendapat. Nah, sekarang bagaimana pendapat kamu, kalau gambar-gambar di majalah ini dilihat anak-anak?

Saya: Pak. Sudah saya bilang, saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Lagipula, saya tidak tahu bagaimana kondisi psikologis anak-anak sekarang. [dan keluarlah pernyataan bodoh dari mulut ini]. Saya sudah lama tidak bersentuhan dengan anak-anak.

Friday, April 21, 2006

Siapa yang Bodoh?

Dia: Bagaimana pendapat kamu, sehubungan banyak demo mengenai terbitnya majalah ini?

Saya: Yah, namanya juga hidup Pak. Pasti ada yang suka dan ada yang tidak suka. Pro dan kontra, saya anggap wajar saja. Toh, kita tidak bisa memaksakan semua orang untuk suka.

Dia: Ya, menurut pendapat kamu, bagaimana?

Saya: Ya itu tadi. Menurut pendapat saya, pro dan kontra itu wajar saja.

Dia: Ya, tapi menurut pendapat kamu, bagaimana? Masa' tidak bisa ngasih pendapat sih?

Saya: [dalam hati]. Bukannya itu tadi udah ngasih pendapat ya?

Dia: Begini, mungkin mereka demo karena tidak suka gambarnya. Menurut kamu, bagaimana gambarnya?

Saya: [dalam hati]. Kenapa nggak nanyanya begitu dari awal?

Siapa yang Bodoh?

Dia: Bagaimana pendapat kamu, sehubungan banyak demo mengenai terbitnya majalah ini?
Saya: Yah, namanya juga hidup Pak. Pasti ada yang suka dan ada yang tidak suka. Pro dan kontra, saya anggap wajar saja. Toh, kita tidak bisa memaksakan semua orang untuk suka.

Dia: Ya, menurut pendapat kamu, bagaimana?
Saya: Ya itu tadi. Menurut pendapat saya, pro dan kontra itu wajar saja.

Dia: Ya, tapi menurut pendapat kamu, bagaimana? Masa' tidak bisa ngasih pendapat sih?
Saya: [dalam hati]. Bukannya itu tadi udah ngasih pendapat ya?

Dia: Begini, mungkin mereka demo karena tidak suka gambarnya. Menurut kamu, bagaimana gambarnya?
Saya: [dalam hati]. Kenapa nggak nanyanya begitu dari awal?

Desain Baru yang Keren dan Republika Kurang Etika

Haha.

Keren ya design blog saya yang baru? :D Ini hadiah dari seorang teman. Nozs namanya. Desainer muda berbakat yang mengaku "memimpikan adanya seorang cewek yang memasang poster bergambar wajahnya di kamar tidurnya". Hehe.

Maaf. Komentar-komentar terdahulu jadi hilang. Ada beberapa tulisan yang jarak antar paragrafnya jadi kacau. Ini konsekuensi desain baru.

Oya. Saya tulis silakan dikutip, asal minta ijin dulu, apalagi untuk media massa, ada alasannya. Beberapa waktu lalu--Sabtu [8/4] tepatnya, Republika mengutip sebagian tulisan saya tanpa ijin. Padahal, yang mereka kutip bersifat pribadi. Harusnya mereka minta ijin dulu.

Saya kesal. Mereka tidak menghargai saya. Saya yakin mereka cukup pintar untuk tahu kalau tulisan yang mereka kutip itu sebaiknya dikonsultasikan dulu pada saya. Etika jurnalistiknya di mana? Setahu saya sih, mau mengutip omongan orang saja, harus minta ijin dulu.

Mereka--Republika--menyebut blog sebagai diary maya. Dari penggunaan katanya saja, mereka sadar ini diary--catatan harian. Sifatnya pribadi. Tidak pernahkah terpikir itu oleh mereka?

Lagipula, saya tidak pernah berniat untuk menyebarluaskan isi blog ini lewat media massa. Sekalian sekarang saya tulis di sini. Kalau lain kali ada yang ingin mengutip untuk media massa, tolong minta ijin dulu.

Salam,