Saturday, May 12, 2007

Merci Beaucoup Nouvelle Vague!




Saya tidak mengenal Nouvelle Vague.

Mendengar lagu mereka pun, baru dua kali. Itu pun karena kebetulan diputar di radio. Dan kalau lagu orang yang mereka bawakan ulang bisa disebut lagu mereka. Yang saya tau, dalam bahasa Inggris Nouvelle Vague berarti new wave, dan dalam bahasa Portugis berarti bossa nova. Itu pun menurut allmusic.com.Itu sebenarnya mendekati konsep musik mereka. Membawakan ulang lagu-lagu new wave yang klasik dengan sedikit Brazillian Pop.

Makanya, ketika Jumat [11/5] kemarin datang ke Hotel Grand Kemang, saya kaget. Ternyata banyak juga yang datang. Entah mereka benar-benar penggemar Nouvelle Vague, atau hanya datang mencari keriaan.

Apapun itu, yang jelas, pesta di pinggir kolam itu dipenuhi orang. Ada yang datang sesuai dress code; celana pendek, sandal [sayang sekali, tidak ada yang datang dengan bikini]. Ada juga yang datang dengan setelah kantoran. Pesertanya: hipsters, selebritis serta jurnalis.

Dan terlepas soal mereka benar-benar mengenal Nouvelle Vague atau tidak, crowd sepertinya cukup terhibur. Mungkin itu untungnya menjadi band yang hanya membawakan lagu-lagu orang. Mainkan saja lagu yang sudah dikenal, maka dengan mudah crowd akan tertarik dan mengikuti pertunjukkan mereka.

Sebenarnya, mereka datang atas jasa CCF. Mungkin semacam misi kebudayaan. Lantas, CCF menghubungi Aksara Records dan FFWD Records yang kemudian menjadi penyelenggara konser.

Mereka bermain sekira satu setengah jam--diakhiri dengan aksi menceburkan diri ke kolam renang yang ada tepat di depan panggung. Acara dibuka dan ditutup oleh DJ. Saya cukup terhibur, karena interpretasi mereka soal lagu-lagu orang, jadinya terdengar punya nuansa baru.

Apalagi penampilan dua vokalis perempuannya. Entah saya saja yang terlalu liar fantasinya, tapi bagi saya penampilan mereka beberapa kali terlihat seperti girl on girl action. Hehe.

Tuesday, May 08, 2007

Rolling Stone's [Literally] Hot Party!




Majalah Rolling Stone Indonesia sudah berumur dua tahun.

Senin [7/5] kemarin, mereka menggelar private party di kantornya yang baru, di Jalan Ampera. Kantor mereka, lagi-lagi terasa sangat nyaman. Dan ya, rumput mereka lebih hijau dibandingkan rumput kami. Mengingat kami tidak punya rumput sedikit pun di kantor. Halaman belakang kantornya pun luas.

Di sana, ada panggung permanent yang siap digunakan untuk acara musik kapan saja mereka mau. Panggungnya tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Tapi cukup besar dan nyaman untuk kelompok musik tampil di sana. Kolam renang di kantor mereka yang baru, lebih kecil dibandingkan kantor lama. Siapapun pemilik rumah itu, pasti punya banyak uang. Katanya sih salah seorang pemilik majalah itu.

Saya melihat ada perkembangan yang signifikan di majalah itu jika dibandingkan tahun lalu. Saya tidak tahu dari segi penjualan dan pemasukan iklannya. Tapi, melihat pesta kemarin, sepertinya penanam modal cukup serius menanamkan uangnya untuk majalah itu. Setidaknya sampai saat ini. Mungkin mereka benar-benar mencintai musik. Bukan apa-apa, beberapa orang yang saya tanyakan soal kenapa majalah musik yang mereka kelola, mengeluhkan penanam modal yang tidak serius dan tidak terlalu menggilai musik.

Kalau mereka konsisten terus dengan kucuran dananya, mungkin saja kita bisa punya majalah musik yang bertahan lama. Saya tidak tahu, tapi sejarah belum bisa meramalkan seperti apa nasib majalah musik waralaba. Selama ini, yang selalu mati, adalah majalah musik lokal. Saya penasaran, kalau saja Aktuil bisa bertahan hingga sekarang, mungkin saja namanya akan sebesar Rolling Stone. Toh, Aktuil dan Rolling Stone lahir di tahun yang sama; 1967.

Tapi, harusnya redaksi Rolling Stone boleh sedikit berbahagia. Karena kalau saya lihat tadi malam, sepertinya bos besar mereka benar-benar mencintai musik, dan mau memfasilitasi kegiatan yang mendukung majalahnya. Kalau dibandingkan dengan majalah saya bekerja dulu, kondisi ini jauuh lebih menggembirakan.

Dress code malam itu, glam rock. Tapi, entah kenapa, jadi agak geli melihat penampilan Indra Bekti dan Sarah Sechan yang sedikit memaksakan ingin terlihat rock. Saya suka risih, melihat orang mencoba terlihat rock, jadinya malah berlebihan. Malah kadang-kadang rocker pun, kalah heboh oleh mereka yang ingin terlihat rock! Dan oya, bagian peragaan busananya, agak kurang asik juga sih. Walau saya tahu, itu pemasukan yang cukup berarti dari segi iklan. Tapi, tetap saja, melihat model-model memakai pakaian Lea, mondar-mandir, dengan make up hitam, dan tampang mencoba terlihat sangar, dengan mengacungkan tiga jari sambil teriak-teriak, jadinya agak sedikit menggelikan.

Secara acara, saya lebih merasakan kegembiraan di private party mereka tahun lalu di Hard Rock Cafe. Maklum, waktu itu, acara ditutup penampilan God Bless. orang-orang yang usianya sudah lebih dari 25 tahun ikut bergembira di depan panggung ketika God Bless main. Malam itu, tidak ada kegembiraan yang lebih. Hanya saja, secara suasana, sepertinya acara kemarin lebih ramai. Lebih banyak orang datang. Dan yang jelas, lebih panas secara harafiah.

“Ieu mah leuwih rame dibandingkeun FFI nya,” kata Ringgo Agus, yang malam itu mendapat penghargaan sebagai The Jackass dari Editor Rolling Stone.

Saking ramainya, anak-anak kampong sekitar memanjat tembok dan menyaksikan private party itu dari atas tembok. Katanya, beberapa dari mereka mencoba masuk dari pintu depan, tapi ditolak keamanan.

Bukan hanya mereka yang ditolak, Candil Seurieus pun sempat ditolak masuk. Dia datang dengan celana pendek, sendal dan tanpa wig kebesarannya. Rupanya orang keamanan tidak mengenalinya. Untung saja, ada tuan rumah yang segera menyelamatkannya.

Ini hasil jepretan saya. Kamera yang saya pakai, Olympus E 500. Bukan Olympus yang tahan air, seperti yang dipakai Arian, dan sempat menimbulkan “kegemparan” di depan anak-anak.

“Olympus! Olympus! Olympus!” begitu teriak mereka setelah tahu kehebatan kamera itu.

Acara yang sudah ramai sejak jam tujuh malam itu, berakhir menjelang tengah malam, dengan Naif sebagai penutup acara. David yang sedikit mabuk, untuk kesekian kalinya, meledek Kangen Band.

“It’s just entertainment,” kata David setelah beberapa kali melontarkan ledekan yang sepertinya disambut meriah crowd.

Dan satu lagi hiburan yang menyenangkan dari Rolling Stone.

Tuesday, May 01, 2007

Tembak Saja Mereka!


Alfred menulis ini,



http://sudra.multiply.com/journal/item/11?mark read=sudra:journal:11&replies_read=2&goto=2reply#2



Lantas, saya bilang di kolom reply, kalau memang dasarnya Iwan Fals
sudah tidak bisa lagi menulis lagu cinta yang bagus, dan mengritik. Dan
mungkin Iwan harus ditembak penggemarnya. Biar beres persoalan. Biar
tidak ada lagi penggemar yang berharap pada lagu-lagunya. Biar Iwan
tidak pusing lagi harus berkarya apa. Biar beres persoalan dengan
Musica.



Seorang teman, beberapa tahun lalu, pernah bilang kalau Kaka Slank
seharusnya ditembak saja. Biar jadi legenda. Seperti John Lennon. Hagi
bilang, John Lennon kalaupun tidak mati ditembak penggemarnya, mungkin
sudah mati bunuh diri. Seperti Kurt Cobain. Ahmad Dhani juga seharusnya
ditembak saja. Biar Maia bebas, jadi janda, direbutkan banyak pria. :p
Biar kita tidak lagi mendengar karya Dhani semakin penuh dengan lirik
cinta dan semakin hancur saja.



Tapi, setelah dipikir-pikir. Mereka tidak perlu ditembak. Toh, secara kreativitas, mereka sudah mati.