Tuesday, April 22, 2008

Lutut Bergetar di Gedung Miring




Saya sempat agak ketakutan juga, ketika datang ke Sarinah, Sabtu [19/4] malam lalu ke acara A Different Saturday di Stardust.

Kabarnya, Gedung yang diresmikan Soekarno itu, miring lima derajat jika dilihat dari ATM. Wakwaw. Biarpun mungkin belum berbahaya, tetap saja, mendengar fakta bahwa gedung bertingkat yang sudah puluhan tahun itu sekarang miring, cukup membuat waswas. Apalagi, saya takut ketinggian.

Dan sisi paranoid saya yang berlebihan, semakin waswas ketika membayangkan bahwa ada puluhan orang malam itu, yang berjingkrakan di lantai 14. Siapa tahu, itu berpengaruh terhadap kemiringan gedung.

"Elu nggak mau kan, mati pas nonton Seringai?" kata vokalis Fall yang saya tak tahu namanya itu, ketika mereka merampungan penampilannya.

Sebelum Fall, Killed By Butterfly, Whisper Desire, The Authentics dan ah satu lagi saya lupa band apa, tampil. Lantai dansa tak terlalu penuh ketika mereka tampil. Berbeda ketika Seringai akhirnya naik ke panggung.

Saya, yang tak pernah berolahraga merasakan dampak negatifnya, malam itu. Sekira jam sepuluh malam, Seringai memulai penampilannya. Crowd menggila. Merangsek ke mulut panggung. Membuat siapapun atau apapun yang ada di depannya terdorong. Bahkan monitor pun harus ditahan supaya tak terdorong.

Karena menahan dorongan penonton, otot paha saya tegang. Kaget. Syok. Terkejut. Tertarik. Begitu saya pindah dari mulut panggung, ke atas panggung kemudian berjalan ke arah dekat drummer, lutut bergetar.

Terrr. Terrr. Terrrr.

Paha saya sakit. Lutut terus bergetar. Di dalam hati saya, terus bertanya. Apakah ini karena otot kaget, atau karena asam urat? Kalau saja malam itu, saya harus langsung berlari karena ada keadaan darurat, mungkin saya akan tertinggal karena lutut bergetar dan otot kaget.

Tapi, otot dan lutut para Serigala Militia tak bergetar. Sepanjang penampilan, mereka berjingkrak. Bernyanyi. Sepertinya sekarang lebih banyak suara yang bernyanyi mengikuti lagu-lagu Seringai. Mungkin mereka sudah hapal lagu-lagunya. Suasana konser yang akrab dan dekat dengan penonton memang selalu menyenangkan.

Apalagi, malam itu, saya melihat cukup banyak penonton perempuan. Rupanya, kini sudah cukup banyak perempuan yang merasa aman datang ke rock show.

Padahal, Seringai ingin membuat rock kembali mengancam.

Monday, April 14, 2008

Intimidasi Profesi

Ada dua profesi yang cukup mengintimidasi saya. Setidaknya, setiap datang ke tempat mereka bekerja, selalu membuat jantung berdebar. 

Dokter dan polisi. Buat saya, dua profesi ini paling menakutkan. Ironis, karena dua profesi pelayan public ini tugasnya memberi pertolongan. Tapi, buat saya, dua profesi ini yang—oke, bisa jadi ini hanya stereotype yang ada di kepala saya saja—yang paling arogan, dan paling ingin dihormati.

Mereka, biasanya, tak suka dipanggil dengan sebutan Mas, atau Mbak ketika bekerja. Apalagi kalau sedang memakai seragam mereka. Jubah putih, atau seragam coklat itu. Padahal, sering kali saya berhadapan dengan mereka yang umurnya terlihat sepantar atau di bawah saya. Pernah, saya harus berurusan dengan dokter, karena terlihat masih muda, setidaknya masih pertengahan 30-an, saya panggil dia dengan mbak, dia terlihat tak senang.

Coba saja, kamu datang ke bank, rasanya tak akan masalah memanggil petugasnya dengan sapaan mas atau mbak. Atau ke restoran. Atau ke pom bensin. Atau ke kantor pos. Atau ke bioskop. Pada dasarnya kan, mereka sama-sama memberikan pelayanan buat masyarakat.

Seragam. Itu punya efek intimidasi yang cukup kuat. Seakan-akan ingin membedakan mereka dengan masyarakat lainnya. Seakan-akan ingin menegaskan kalau status mereka lebih tinggi. Walaupun harus diakui, untuk mendapatkan seragam itu, perjuangan mereka sangat berat.

Tempat mereka bekerja. Datang ke rumah sakit atau ke kantor polisi untuk meminta bantuan mereka, sama-sama menegangkan buat saya. Rumah sakit, biasanya cukup intimidatif dengan baunya, peralatannya dan segala macam diagnosanya. Namanya saja sudah intimidatif. Rumah Sakit. Padahal, dalam bahasa Inggris, Hospital. Identik dengan hospitality. Terdengar lebih ramah. Kantor polisi apalagi. Desainnya kaku. Dan di situlah, salah satu tempat kamu bisa menemukan polisi dalam jumlah banyak. Wah, satu saja sudah bikin grogi, apalagi banyak. Belum lagi birokrasinya. Buat orang yang tak terbiasa berurusan dengan polisi, datang ke kantor mereka, cukup menegangkan.

Mau berobat deg-degan. Mau mengurus SIM atau STNK, juga deg-degan.

Apalagi kalau sudah berurusan dengan uang. Biasanya, semakin besar persoalan kita, uang yang dikeluarkan semakin besar pula. Semakin besar pertolongan yang harus mereka berikan, semakin besar pula biayanya.

***

Sabtu [12/4] kemarin, saya ke dokter gigi. Terakhir kali saya ke dokter gigi, sepertinya waktu masih SD. Entah kelas 1 atau kelas berapa, yang jelas belasan tahun lalu, waktu Michael Jackson masih hitam, waktu satu dollar Amerika masih seribu rupiah. Waktu itu, saya di-bor. Meninggalkan kesan yang begitu mendalam. Membuat saya tak mau datang lagi ke sana. Apalagi kemudian saya sering mendengar cerita orang-orang tentang suntikan di mulut yang harus mereka dapatkan kalau ke dokter gigi. Damn. Di suntik di lengan saja cukup mendebarkan, apalagi di mulut.

Tapi, sakit gigi saya beberapa hari lalu ternyata sudah cukup menyiksa. Biasanya, saya membiarkan saja. Dikumur-kumur pake sikat gigi, atau listerin, beberapa hari langsung sembuh. Tapi, ini tak kunjung sembuh juga. Akhirnya, saya beranikan diri untuk datang ke sana.

Karena kebetulan sedang ada di daerah Dago, saya datangi Apotek Kimia Farma, yang dekat dengan Bandung Indah Plaza. Kebetulan, ada praktek dokter gigi di sana, jam tujuh sampai sembilan malam.

“Tenang aja, kamu nggak bakalan disuntik kok,” Tetta berusaha menenangkan saya. “Malu atuh sama setelan. Masa’ pake jaket kulit, takut disuntik.”

Gigi makin nyut-nyutan. Dan sakitnya, sudah berpengaruh ke kepala dan leher. Membuat uring-uringan. Ya sudahlah. Mungkin ini saatnya saya mengunjungi dokter gigi, begitu pikir saya.

Maka, akhirnya, masuklah saya ke ruangan prakteknya. Dokter gigi, adalah salah satu dokter paling intimidatif. Dokter umum masih sedikit menenangkan. Ruangan dokter gigi, dihiasi banyak peralatan berwarna perak. Macam-macam bentuknya. Seperti di bengkel saja. Kecil-kecil, tapi bisa mengobrak-abrik mulut.

Dokter gigi itu menyuruh saya duduk di kursi pasien. Jadi teringat salah satu episode Mr. Bean, yang membuat dokter pingsan. Untuk satu detik, saya bisa tenang.

“Sakitnya di sebelah mana?” tanya dokter itu, nada suaranya nyaris berteriak.

“Di bawah sini dok,” kata saya, sambil menunjuk ke arah kiri gusi.

“Sebelumnya, udah pernah sakit?”

“Lupa dok. Kayaknya, biasanya sih, suka sakit, tapi saya biarin aja sembuh, nah kemaren nggak ilang-ilang,” saya menjawab dengan grogi.

“Udah berapa lama?”

“Tiga hari lah.”

“Sebelumnya, pernah sakit gigi kayak begitu?”

….

Saya berpikir sebentar.

“Waduh, lupa dok.”

“Iya, sebelum yang ini, pernah sakit nggak giginya?” dia terdengar memaksa.

“Nah itu, saya beneran lupa dok,” saya semakin grogi.

Dan dia menyuruh saya membuka mulut. Lalu memasukkan dua alat kecil berwarna perak itu, ke mulut saya. Lampu sorot diarahkan ke mulut saya. Menyilaukan. Saya terlentang tak berdaya. Dengan mulut menganga dan alat-alat kecil itu mengorek-ngorek mulut saya.

“Waduh Pak, ini giginya kok goyang begini ya?” kata dokter itu, sambil mengorek-ngorek gigi saya. “Kayaknya ada yang retak nih, harus difoto nanti ya.”

Waks. Retak. Dada saya makin berdebar. Situasi makin menegangkan. Lampu sorot masih menyinari wajah saya. Lantas, saya pegang erat-erat dudukan tangan di kursi pasien itu. Sekonyong-konyong, Bu Dokter memasukkan dua alat lagi. Resepsionis yang tadi menerima saya dan selalu ikut di dalam ruangan, ikut memasukkan alat.

Total ada tiga alat di mulut saya. Yang satu, terdengar seperti menghancurkan sesuatu di rongga mulut saya. Suaranya seperti suara alat pemasang mur. Ngiiiiiing. Ngiiiiing. Ngiiiing. Ah, saya tak tahu bagaimana menuliskan bunyi itu di tulisan. Alat yang kedua, mengorek-ngorek, memberi jalan buat si penghancur. Alat ketiga, yang dipegang si asisten, bertugas menyedot.

“Pak Soleh, rileks Pak. Saya mau menolong Bapak. Kalau Bapak nggak rileks, saya nggak bisa nolong Bapak,” kata Dokter itu.

Dari tadi, tangan saya mencengkeram erat pegangan kursi itu. Bagaimana bisa rileks, kamu terlentang tak berdaya, disorot lampu, mulut menganga dan dua orang asing mengorek-ngorek mulutmu dengan tiga alat yang kadang menyakitkan?

“Silakan keluarin Pak, terus kumur-kumur,” kata Bu Dokter.

Saya meludah ke alat di sebelah saya. Di alat penampung ludah itu, saya melihat serupa kerikil-kerikil sangat kecil berwarna hitam dan putih keluar dari mulut. Ditemani darah yang mengalir.

“Tuh Pak, ini karangnya banyak banget,” kata Bu Dokter lagi.

Saya disuruh terlentang lagi. Menganga lagi. dikorek-korek lagi. Dan kali ini, setelah sedikit agak terbiasa dengan adegan itu, saya memberanikan diri melihat alat penyedot yang dipegang si asisten. Saya melihat darah saya mengalir ke sana. Serta kerikil-kerikil kecil.

“Lihat Pak. Ini karangnya nih. Banyak kan?” kata si asisten.

Seakan-akan menunjukkan kalau saya tak sia-sia datang ke sana. Banyak sekali karang yang berhasil mereka dapatkan. Saya meludah lagi. Berkumur lagi. Dan entah dua atau tiga kali adegan itu terjadi. Saking menegangkannya, saya tak bisa mengingat dengan baik adegan itu.

“Gimana? Perasaannya, udah nggak pusing lagi? Kalau sebelumnya, skalanya sepuluh, sakitnya udah berapa sekarang?” tanya Bu Dokter ketika akhirnya kami bisa duduk dengan sejajar.

Saya masih syok. Sensasi menusuk-nusuk gusi masih terasa. Eh, diberi pertanyaan begitu. Harus menghitung pula. Membuat skala. Mungkin di kalangan dokter yang pintar-pintar itu, pertanyaan matematis setelah seseorang mengalami syok, adalah pertanyaan biasa.

“Yah, kayaknya sih udah lima dok. Agak ringan lah sekarang,” kata saya, asal menyebut angka.

“Wah, sudah lima ya? Bagus kalau begitu.”

Beberapa detik setelah Bu Dokter berkata itu, tiba-tiba mulut saya sedikit sakit. Nyut-nyutannya masih ada.

“Tapi, ini sih masih ada sedikit nyut-nyutan. Nggak tahu karena pusing tadi abis keujanan atau karena gigi,” kata saya.

“Ah, itu mah karena keujanan. Bukan dari giginya.”

“Gigi saya nggak bolong kan Dok?” saya sedikit lega.

“Nggak. Tapi, kalau kamu pengen ngecek lagi, nanti dateng lagi aja. Difoto dulu ya giginya, ini surat pengantar buat lab-nya. Gigi kamu juga, baru bagian kiri bawah yang dibersihin karangnya. Belum bagian yang lainnya.”

Lalu dia memberikan surat pengantar lab. Menyuruh saya datang lagi, lain hari. Menjelaskan cara menggosok gigi yang benar. Memberikan resep. Dan menuliskan kuitansi.

“Biayanya seratus ribu ya Pak.”

Setelah moral, giliran intimidasi material.