Monday, June 16, 2008

Khawatirnya Punya Anak Perempuan

Ini cerita tentang tiga perempuan.

Yang pertama, perempuan paling tua di antara mereka bertiga. Sekira enam puluh tahun. Masih segar. Perokok. Pernah kerja di Bir Bintang. Entah sebagai apa. Yang jelas, banyak sekali memorabilia Bir Bintang di rumahnya. Sebut saja dia, Ibu Verhoff. Sepertinya ada turunan Belanda. Kulitnya putih. Kadang berbicara dalam bahasa Belanda dengan teman yang datang.

Ibu Verhoff, punya anak perempuan. Janda. Sekira empat puluh atau tiga puluh akhir. Sebut saja dia Ibu Grace. Sesekali dia mengunjungi Ibu Verhoff. Kadang menginap di rumah sang ibu.

Ibu Grace punya anak perempuan. Beberapa waktu, dia tinggal bersama sang Oma. Tapi, kadang batang hidungnya tak terlihat. Masih duduk di bangku SMP. Kita sebut saja Cindy. Kalau bicara, volumenya keras sekali. Beberapa kali, dia berkelahi dengan kakaknya, suaranya hampir berteriak.

Mereka adalah perempuan Verhoff dari tiga generasi. Dari tiga orang itu, kita bisa tahu seperti apa gambaran hidup mereka secara fisik. Ingin melihat rupa Ibu Verhoff atau Ibu Grace sewaktu muda, lihatlah Cindy. Begitu juga sebaliknya.

Suatu hari. Ibu Verhoff dan Ibu Grace khawatir. Perempuan Verhoff paling muda, belum juga pulang ke rumah. Ibu Verhoff berinisiatif menelpon sang cucu.

"Cindy, kamu di mana? Kok belum pulang?"
"Aku lagi di PIM," jawab sang cucu.
"Loh kok, ke PIM? Tadi kan nggak bilang ke PIM. Cepet pulang! Ngapain kamu di PIM? Nonton ya?" nada bicara sang oma makin meninggi.
"Nggak kok, Oma. Jalan-jalan doang."
"Kamu nonton ya? Gelap-gelapan ya? Nanti dipegang-dipegang loh!" sang oma makin menunjukkan kekhawatiran. "Cepet pulang!"

Setelah telepon ditutup, Ibu Grace berkata pada Ibu Verhoff.

"Cindy kan masih muda. Dia belum ngerti. Nanti ada cowok megang-megang dikiranya suka. Dikiranya cowok itu nganggep dia cantik, karena megang-megang. Nanti tau-tau dia dikobel."
 

Monday, June 09, 2008

Ibu Setengah Baya dan Kaos Band

Minggu sore, 8 Juni, Toko God Inc, Bandung.

Satu keluarga lengkap; bapak, ibu dan dua anak masuk toko. Si bapak langsung melihat-lihat kaos yang digantung. Si ibu dan dua anaknya menghampiri kasir. Si ibu, tipikal ibu-ibu biasa. Berkerudung. Pakaiannya mirip pakaian kebanyakan ibu-ibu. Separuh baya, sekira empat puluhan. Si anak perempuannya, usia SMA. Si anak lelakinya, sepertinya masih usia SD. Tak ada penampilan yang signifikan membedakan mereka dari kebanyakan keluarga biasa.

"Mbak, ada kaos band nggak?" kata si ibu kepada kasir.

"Itu ada bu, di sebelah sana," mbak kasir menunjuk ke arah tempat kaos digantung.

Si bapak masih asik melihat-lihat kaos.

"Selain di sini, di mana lagi ya mbak?" si ibu bertanya lagi.

"Wah, di mana ya. Coba lihat aja dulu di sini, Bu."

"Di Hard N' Heavy juga ada kok Bu. Di Planet Dago. Nggak jauh dari sini kok," saya berinisiatif memberi informasi.

"Ooh di Hard N' Heavy," kata si ibu sambil memandang ke arah anak perempuannya. Si anak, hanya terdiam. Si ibu masih mengangguk-angguk. Seakan-akan paham benar apa yang saya bicarakan. Saya sendiri, tak yakin dia tahu yang saya maksud.

"Emang mau nyari kaos apaan Bu?" tanya saya.

Si anak masih terdiam. Si bapak masih melihat-lihat. Si ibu masih kebingungan.

"Saya mau nyari kaos Nazareth..." dan si ibu pun menyebut beberapa nama band metal lagi, yang tak bisa saya ingat karena sudah terkejut mendengar jawaban si ibu.

Monday, June 02, 2008

Afterhours: Vox

Tahun lalu, Vox pernah datang ke kantor saya yang lama. Dalam rangka promosi album perdananya, “Pada Awalnya.” Harusnya, wawancara ini dimuat dalam rubrik Afterhours. Seperti juga wawancara saya yang lain, ini tak sempat dimuat. Sebenarnya, wawancara dengan gitaris/vokalis Vega, bassis/vokalis Joseph, kibordis/vokalis Donny dan drummer Mayo ini jauh lebih panjang dari yang tertulis di sini. Cuma, karena waktu saya menuliskan transkripnya, saya sedang malas. Jadi baru segini saja. Dan saya malas untuk mendengarkan transkripnya lebih lanjut.


Entah bagaimana nasib Vox dan album perdananya itu.

 
Di album kalian, tema persahabatan cukup dominan untuk jadi lirik. Kenapa?

Joseph: Waktu itu saya memang sudah lama nggak menemukan teman-teman yang bisa dibilang saahabat, atau keluarga seperti di Vox ini. Saya merasakan satu hal yang bisa membuat band ini jadi warm sekali yaitu persahabatan. Yang ada di kepala saya waktu itu, saya bersyukur sekali. Dan saya ingin orang yang mendengar juga bisa merasakan kalau enak sekali bisa bareng-bareng sahabat.

Memang, persahabatan seperti sekarang ini belum pernah Anda rasakan?
Joseph: Sudah lama ya. Terakhir bersahabat seperti sekarang ini, SMA mungkin [tertawa]. Jadi, niat awalnya memang bukan mau mendirikan band. Cuma, mau mainin musik yang kami suka. Dan persahabatan dengan rekan-rekan Vox, ini sangat menyenangkan. Banyak penggemar awal kami di Surabaya, band ini sangat warm, mereka nanya gimana caranya bisa warm begini? Kami juga bingung, gimana supaya bisa begini. Dan kami sadarnya belakangan ya.

Pada titik apa, kalian memutuskan untuk serius di band ini?
Vega: Pada waktu Mei 2006, kami ditawari Aksara Records untuk bergabung dengan mereka. Ini sehabis kami manggung di launching album The Brandals. Baru Februari 2007 kami bisa merealisasikannya.
Joseph: Waktu itu, kami juga ditelepon panitia LA Lights Indie Fest, mereka bilang kami lolos ke final. Malam pulang dari pertunjukkan itu, saya sendiri nggak bisa tidur. Satu shot dua shot baru bisa minum. Karena kami selalu kagum sama produk mereka. Dan nggak nyangka bisa gabung dengan keluarga besar mereka. Apalagi, kami datang dari kota yang nun jauh di sana. Jauh dari hingar bingar liputan musik.

Kalau begitu, apa yang kalian pikir terhadap diri sendiri, begitu mendapat tawaran itu?
Donny: Waktu itu kami pikir, masuk MTV Jail, karena acaranya kan selalu di toko buku Aksara.
Joseph: Soalnya, sebelumnya kami band yang selalu manggung dengan baju batik, caur pokoknya lah. Tiba-tiba, Aksara nawarin kami, boom! Label yang sedemikian itunya di ibukota.
Vega: Pemikiran kami, alhamdulillah, records suka. Dan ternyata mereka mau mengontrak dan mendistribusikan. Akhirnya kami pikir harus membuat lagu yang bisa disukai orang banyak.
Joseph: Itu pertanyaan yang sering kami tanyakan pada David Tarigan [A&R Aksara Records], kenapa Anda pilih Vox? Dia jawab, karena kalian hangat dan bisa menghibur orang. Kami sendiri nggak pernah mengira itu. Dan memang kalau sesuatu yang dilakukan dengan hati, mungkin lebih soul, lebih warm. Kami langsung gali segala akar musik, termasuk konsep vox populi vox dei itu. Bahkan alasan kami pakai seragam waktu itu, supaya egaliter. 

Memang, sempat merasa tidak percaya diri, karena kalian band dari luar Jakarta?
Joseph: Pasti. Apalagi tahu sendiri, kualitas band di Bandung dan Jakarta. kami sangat kagum dengan scene di luar sana. alhamdulillah, scene di Surabaya, juga menuju ke arah sana. Kalau di Bandung, lebih integral, saling mendukung. Terus elemen pendukungnya, bagus. Kalau Jakarta, ya namanya juga ibukota. Kami rekaman demo, dibuat di rumah sendiri. Kami juga, kan nggak punya duit banyak. waktu itu, yang kami miliki Cuma musik. Kami harus bikin good music. Bener-bener kami gali, semua referensi. Bikin workshop. Bikin panduan.

Album apa yang kalian jadikan panduan, waktu workshop itu?
Joseph: Kami bikin dua kali demo, bikin dua CD referensi. The Beatles, mulai dari album Revolver ke atas. Terus, Magic Numbers. Itu yang pertama. The Beach Boys yang Pet Sounds. Dan Bob Dylan serta Lennon. Kalau CD kedua, banyak banget, tapi yang lebih modern. Di demo kedua, ada aransemen baru, karena kami band panggung. Karena kami tahu, kata orang kekuatan kami di panggung.

Bagaimana perjuangan kalian mengenalkan musik kalian pada publik Surabaya?
Vega: Sebenernya nggak mengalami kesusahan. Waktu demo pertama, kami coba tes. Ternyata, masu chart radio juga.
Joseph: Mungkin susahnya karena orang tahu, stereotype Surabaya kota rock. Jadi, memang untuk di Surabaya, band harus asik di panggung. Bahkan, David Tarigan tuh kaget waktu kami kembali lagi ke Jakarta. ‘Kalian enerjik sekali ya di panggung sekarang. Beda dengan waktu pertama kali ke sini, lebih ngepop, folk,’ kata David. Secara nggak sadar, kami ditempa di panggung. Kalau nggak gitu, nggak sukses kami. buat apa kalau rilis nasional, tapi di kota sendiri nggak sukses?

Bagaimana rasanya kerja dengan David Tarigan? Dia kan kolektor, biasanya mereka selalu ingin memasukan selera musiknya pada orang lain.
Joseph: Dia membawa good vibration. David percaya sama kami. nah, yang David lakukan, yang kami rasa sangat berharga, menjaga mood kami, dan tetap menjaga soul dari lagunya. Apa yang kami gali, apa yang kami sajikan kebetulan juga disukai David.
Vega: Pertanyaan David pertama adalah, kalian suka Beatles nggak?
Joseph: Kata David, setiap ada band masukin demo ke Aksara—kami kan nggak pake prose situ—pertanyaan yang selalu diajukan adalah, ‘Kalian suka The Beatles nggak? Kalau nggak, ya berarti ini bukan label yang tepat.’

Kalian menulis lirik “…menjadi yang terhebat” di lagu Ingatkah Pertama, setahu saya, yang pertama menggunakan kalimat itu, Sheila On 7 di lagu Sahabat Sejati. Ada pengaruh dari Eross?
Joseph: Kebetulan lagu itu, kami dapat ceritanya dari anak-anak Sheila. Saya dan teman-teman juga penyuka Sheila On 7. Eross sama Adam pernah cerita soal temannya yang meninggal, dan pernah menampakkan diri di studio, bilang untuk teruskan main musiknya. ‘Kamu kalau ingin jadi yang terhebat, jangan berhenti.’ Kami nggak sadar juga, ya secara lirikal ternyata terpengaruh. Mas detil sekali ya?

Soalnya saya suka lirik-lirik Sheila On 7
Joseph: Kami juga suka. Soalnya liriknya positif. Dan kebetulan di album ini, tema positif juga. Karena setahun ini, yang kami rasakan positif. Dan kami ingin memberikan good vibrations pada orang-orang di saat kondisi saling menyalahkan seperti ini. Kenapa nggak, kita jadi sama-sama satu Negara yang hebat?

Tapi, ngomong-ngomong soal good vibrations, Brian Wilson juga kan gila akhirnya
semua: [tertawa]
Joseph: Ya itu good-nya. Mungkin itu yang menjadikan dia pahlawan. Waktu SD, guru selalu bilang, ‘Kamu mungkin nggak bisa menikmati hasil perjuanganmu. Mungkin kam dicap gila.’ Brian Wilson itu, orang yang tepat di saat yang salah. I just wasn’t made for this time, kata dia. Waktu bikin album Smile, labelnya membenci, band-nya nggak mau nyanyi. Padahal itu karya monumental. Sedangkan the Beatles, proses kreasinya bisa terbatas, ada George Martin di situ. Nah itulah kondisi yang juga mungkin di alami di Indonesia. Maunya bikin sesuatu, tapi karena faktor ini itu, komersil akhirnya tak tersalurkan. Berhubung kami bisa tersalurkan, why not?