It’s Only The Rolling Stones, But The Upstairs Like It!
“Sebelum ada disco, sebelum ada punk rock, ada rock n’ roll…dan setiap buku sejarah yang mengatakan kalau Elvis Presley adalah raja rock n’ roll, itu salah besar! Karena Raja rock n’ roll adalah Chuck Berry!” kata Jimi Multhazam sesaat sebelum The Upstairs memainkan lagu Carol.
Jum’at [3/8] nyaris tengah malam, di Taman Ismail Marzuki, saya berbahagia. The Upstairs membawakan lagu-lagu The Rolling Stones! Ah, dua nama favorit saya, jadi satu. Makanya, jauh-jauh hari ketika saya tahu kabar ini, saya bertekad untuk datang. Harus datang. Jangan melewatkan kesempatan langka ini.
Walaupun acara tribute ini tidak sebagus yang saya bayangkan. Band-band sebelum The Upstairs tidak semuanya membawakan lagu-lagu The Stones. Malah, ada band prog rock bernama Imanissimo [kalau tak salah dengar] yang hanya membawakan satu lagu. Itu pun, Cuma mengambil sedikit bagian dari lagu The Stones. Selebihnya, tenggelam dalam komposisi njlimet. Ah, mereka mungkin lebih cocok untuk orang-orang seperti Denny Sakrie. Hehe.
Satu band cover version The Stones, bernama Rajawali, yang penampilan personelnya mengikuti gaya The Stones, juga tak bisa memuaskan saya. Ekspektasi saya pada band seperti itu, adalah membawakan lagu-lagu the Stones dengan rapi. Tapi, saya pernah melihat yang lebih baik dari mereka.
Ketika Rajawali memainkan lagu Sympathy for the Devil, keributan antar bocah-bocah terjadi. Setelah itu, ada beberapa lagi keributan. Saya jadi teringat kerusuhan di konser di Altamont, ketika Meredith Hunter mati tertusuk Hell’s Angels. Waktu itu terjadi, the Stones sedang membawakan Sympathy.
“Hal-hal aneh selalu terjadi setiap kami membawakan lagu itu,” kata Mick Jagger.
Setelah Rajawali, Karon N’ Roll tampil. Juga tidak terlalu istimewa membawakan ulang lagu the Stones.
The Adams, yang tampil sebelum The Upstairs cukup memuaskan. Walaupun permainan mereka tidak terlalu rapi, tapi pilihan lagu “Dandelion” dan “The Last Time”, saya rasa sangat cocok dengan mereka.
Mungkin karena mereka tak meluangkan waktu cukup banyak untuk berlatih.
Crowd yang datang juga sepertinya bukan pasar yang cocok untuk tribute to The Stones. Anak-anak kecil mendominasi lapangan. Ada yang bergaya punk, ada yang bergaya modern darlings. Dan sebagian besar dari mereka, mungkin tak tau lagu-lagu the Stones. Buktinya, ketika The Upstairs membawakan lagu The Stones, mereka tak banyak bereaksi. Hanya orang-orang tua di mulut panggung saja yang terus berteriak dan bernyanyi. Mudah-mudahan, pulang dari sana, bocah-bocah kecil itu mencari tahu the Stones, dan bisa menjadi penggemar baru. Hehe.
“Iya nih, sekarang banyak anak kecil yang datang ke pertunjukkan Upstairs. Menurutlo, ini perkembangan atau kemunduran Leh?” tanya Jimi.
Agak bingung juga menjawabnya. Tapi, menurut saya, ini kemajuan. Karena umur anak-anak kecil itu masih panjang. Dan mereka masih bakal datang ke pertunjukkan. Tidak seperti penggemar Upstairs yang sudah lebih tua. Mungkin sebagian dari mereka sudah enggan datang. Atau, karena juga sudah cukup melihat pertunjukkan Upstairs ketika mereka masih belum sepopuler sekarang.
Jimi tak hapal semua lirik the Stones yang dibawakannya malam itu. Dan bahasa Inggrisnya tak terlalu bagus. Jadi semakin yakin, kalau Jimi memang lebih enak menyanyikan lagu berbahasa Indonesia. Hehe.
Sayang sekali, tata suaranya tak maksimal malam itu. Dan tak banyak fans Stones. Jadi, suasananya tribute to Stones kurang terbangun. Jimi menanyakan soal berapa banyak penonton tua, sebelum dia naik panggung malam itu. Rupanya pikiran dia sama malam itu.
Walau begitu, ada satu penonton tua yang sangat gila pada the Stones. Bahkan, sampai gila beneran. Kata Jimi, si bapak yang mengaku bernama Mick Jagger itu, sudah ada di kampus IKJ, sejak tahun 80-an. Konon, dia gila karena The Stones. Ketika siang hari diperdengarkan lagu Stones, “Mick Jagger” menangis.
“Terharu. Jadi inget Sukarno,” katanya ketika ditanya.
“Mick Jagger” lokal itu, memanggil Jimi dengan nama Keith Richards. Dan Kubil, dia panggil Brian Jones.
“Apa kabar Brian Jones?” kata si Mick lokal, ketika bertemu Kubil. “Dari kecil sudah bule?”
Jam satu pagi, acara berakhir. Mick lokal bahagia sekali malam itu. Seperti juga saya. Walaupun pada saat pulang mengantar Tetta ke rumahnya, saya sedikit tak enak hati pada bapaknya Tetta. Karena anaknya baru saya antar pulang ke rumah jam dua pagi.
14 Comments:
gigs yang menarik leh, sayang saya tidak ada di sana :)
nanti yang tribute to ismail marzuki, kita dateng lagi yaaa..
yang pasti nggak ada kejadian mick jagger jatoh dari meja setelah teriak-teriak 'alright!' atau 'ayeah!' kan leh?
gak ada di calender lo leh? gue padahal bingung banget hari jumat kemaren mau kemana abis kerja.. akhirnya nonton surf's up di blitz.
terima smsnya... dari jarak ratusan kilometer
Foto-fotonya keren ni, Leh. Gue save juga ya buat dokumentasi anak2 hehe. Thanks a bunch.
tetta: siap! asal jangan pulang pagi lagi aja. :p
aga: nggak ada ga. makanya, kurang liar, untuk sebuah acara bertajuk tribute to the stones.
riki: iya ki, gua gak pernah nyantumin jadwal sih di multiply gua.
wenz: ambil wenz. nanti juga gua bakarin cd bootleg-nya ya. malam itu, gua juga merekam konser itu lewat recorder gua. dan untuk sebuah bootleg, gua rasa hasilnya lumayan oke.
fotonya keren-keren... tolong info-in ya, kalo ada pertunjukan stones lagi... thanks...
kapan soleh nyanyi stones yah...
leh, udah make manual kan? Jangan dipasang di P atau A terus...
kalo ada karaokean lagi dib. :D
tenang syau. soal panggung mah, udah pake manual. sedikit sedikit mulai paham nih. hehe.
nah .. hayuk atuuuh kita karaokean mari! "honky tonk woman" selalu disiapkan untukmu,Leh!
siap haroukers! gua mah menunggu ada yang ngajak aja.
Hahaha..pada ketipu sama kaos gw yang ini.
Post a Comment
<< Home