Monday, October 13, 2008

Seniman Mbeling Bikin Pusing

Jum’at [10/10] kemarin, saya bertemu Remy Sylado.

Ini pertemuan kelima kami. Yang pertama, 9 Februari 2004 untuk kepentingan skripsi. Yang kedua, masih di tahun yang sama, dalam rangka pemutaran film dokumenter tentang majalah Aktuil. Yang ketiga, waktu memotret dia untuk kepentingan feature di majalah saya sebelum ini. Yang keempat, waktu meminta dia menulis untuk majalah saya yang sekarang.

Edisi Nopember ini, kami mengangkat tema Immortals. Ada 25 musisi paling berpengaruh di Indonesia yang akan diangkat di majalah. Masing-masing musisi, akan ditulis oleh satu musisi juga. Nah, di antaranya Bing Slamet, yang akan ditulis oleh Remy Sylado alias Yapi Tambayong. Dia tak hanya musisi, tapi juga penulis. Makanya, kami pikir sosok dia akan cocok untuk menulis Bing Slamet yang notabene eranya jauh di belakang.

Singkat kata, Sylado sepakat untuk menulis soal Bing Slamet. Di pertemuan keempat itu, saya sudah menjelaskan tulisannya seperti apa; hanya satu halaman, isinya cerita tentang si immortal, dan apa pengaruhnya buat si musisi yang menuliskannya. Sylado hanya tertawa ketika mendengar bagian pengaruhnya itu. Dia tak merasa Bing Slamet ada pengaruhnya langsung ke dirinya.

“Yah, pokoknya cerita tentang Bing Slamet saja deh, dan apa yang membuat dia menjadi musisi berpengaruh di Indonesia,” kata saya.

“Berapa banyak tulisannya?” tanya Sylado.

“Kalau di komputer sih, ya sekitar lima ribu karakter lah Kang.”

“Ya itu kan di komputer, saya pakai mesin tik.”

Terjawab sudah mitos soal Remy Sylado yang masih mengirimkan tulisan membuat mesin tik.

“Lihat aja di contoh majalahnya Kang, bisa dikira-kira berapa banyak tulisannya,” jawab saya.

Jum’at pagi, saya menghubungi dia lewat telepon. Menanyakan kabar soal tulisannya. Dia menjawab tulisan itu sudah siap diambil di rumahnya. “Asal, dengan satu syarat,” katanya. “Nggak boleh diedit ya. Kalau kamu mau motong-motong, lebih baik nggak usah saya kirimin. Soalnya, wartawan-wartawan suka sok tahu motong tulisan saya. Jadi menghilangkan esensi. Gimana? Saya udah bikin tujuh lembar kuarto dua spasi nih.”

“Wah, jatah kami cuma satu halaman Kang, kalau nggak dipotong nanti kebanyakan,” kata saya.

“Saya biasa bikin di Tempo, kalau lima halaman kuarto ini jadinya dua halaman di majalah lah, sudah termasuk ilustrasi dan foto.”

“Hmmm, gimana ya? Kalau bisa dipotong deh ya Kang.”

“Kamu ke sini aja dulu deh, baca dulu aja tulisannya.”

Rumah Remy Sylado ada tiga. Satu di Bandung, satu di Jakarta, dan satu di Bogor. Itu yang saya tahu. Saya pernah mendatangi rumahnya di Bandung. Warna hitam putih sangat dominan di sana. Bahkan, dia menamai rumahnya dengan Rumah Putih atau apalah saya lupa yang jelasa ada kata putih di belakangnya. Lantainya bermotif hitam putih seperti papan catur. Rumahnya yang di Bandung tak terlalu luas, bahkan terkesan agak sempit oleh banyak barang.

Rumahnya di Jakarta, ada di kawasan Cipinang Muara. Jalan raya ke sana pas-pasan untuk dua mobil. Kavling rumahnya, bahkan harus masuk ke jalan kecil yang hanya pas untuk satu mobil. Rumah itu pun ternyata bercorak hitam putih. Dua lantai, dengan pepohonan rindang di depannya. Dan garasi mobil yang hanya cukup untuk satu mobil. Tak ada ruang tamu yang besar. Begitu masuk ke area rumah, ruang tamunya hanya terdiri dari empat kursi kayu. Tak seperti ruang tamu. Atau memang itu bukan ruang tamu ya? Saya juga kurang tahu.

Ruang tempat Sylado menerima saya dekat dengan meja makan dan tempat seperti ruang kerja dengan mesin tik besar yang entah masih bisa dipakai atau hanya pajangan. Di salah satu lemari, ada gitar putih dengan model seperti Les Paul Gibson. Di lemari satu lagi, ada beberapa koleksi gitar lagi yang dicampur dengan ukulele, dan bas betot.

Lantainya juga bermotif papan catur.

Saya berkomunikasi dengan Remy Sylado lebih banyak menggunakan bahasa Sunda. Di pertemuan keempat kami, Sylado mengatakan bahwa ada dua bahasa yang harus dikuasai di Indonesia, selain bahasa Indonesia. Yaitu bahasa Sunda dan Jawa, karena dua suku itu yang paling banyak di sini. “Jakarta itu milik orang Sunda. Dulu aja, di sini namanya Pelabuhan Sunda Kelapa kan?”

Sepertinya dia juga senang dipanggil Kang. Mungkin karena merasa dianggap masih muda [padahal, dia kelahiran 12 Juli 1945]. Dan kalau melihat sejarahnya, Remy Sylado sangat membenci kaum tua. Dalam lagu “Orexas” di album Orexas, dia berorasi seperti ini:

“Heh, mari kita panjatkan doa kita, semoga orang-orang tua kita cepat dilanda malapetaka. Biar mampus dengan segala kemunafikan mereka. Satu...dua...tiga! Semoga orang-orang tua kita cepat dilanda malapetaka. Malapetaka penyakit gula. Malapetaka penyakit pes. Malapetaka penyakit darah tinggi. Malapetaka penyakit cacing pita. Idi Aamiiin. Hahahaha.”

Sylado memberikan saya kertas hasil ketikannya. Isinya, paparan soal Bing Slamet serta kaitannya dengan industri musik Indonesia. Cukup komprehensif memang. Tapi, itu terlalu banyak untuk jatah satu halaman.

“Kumaha?” katanya.

“Lengkap kieu nya Kang. Penutupna sae yeuh, anu soal Soekarno.”

Dia tersenyum mendengar puijan saya.

“Susah kan dipotong? Kalau dipotong, bakal hilang maknanya,” kata Sylado.

Dia lantas menunjukkan satu majalah yang mengangkat profil dia. Di sampulnya, ada judul “Remy Sylado: Penulis dengan Pendalaman Riset.”

“Saya kalau nulis selau riset. Nggak main-main. Saya nggak mau pembaca nggak dapet apa-apa,” katanya.

“Kalau gitu, saya coba hitung dulu deh di komputer ya Kang. Siapa tahu ternyata nggak terlalu banyak.”

Saya keluarkan laptop. Dia agak kaget, setelah tahu yang saya maksud dengan dihitung dulu adalah dengan mengetik dulu seluruh naskah itu.

“Mau berapa jam kamu ngetiknya? Itu banyak loh.”

Padahal, kalau hanya mengetik mah tak akan terlalu lama. Yang lama kan, memikirkan isinya. Kalau naskahnya sudah ada, pekerjaan akan lebih cepat.

Sambil menunggu saya mengetik, dia mondar-mandir ke kursi depan saya. Ke kamar, dan entah ke mana lagi. Di sela-sela mengetik, saya tanyakan soal kegiatannya. Dia bercerita bahwa sebentar lagi akan ada novel soal gerakan mahasiswa angkatan ’98. Penerbit Gramedia sudah siap menerbitkannya. Sampai hari itu, dia bilang sudah ada sekira 300 halaman. Saya tak berani bertanya apakah dia mengetiknya dengan mesin tik atau dengan komputer. Takut merusak misi saya mengedit tulisan Remy Sylado. Dia juga mengatakan kecewa dengan hasil film Ca Bau Kan.

“Pemred kamu siapa sih?”

“Untuk sementara sih, Adib Hidayat Kang. Kenal?”

Dia menggelengkan kepala.

“Tapi, di kantor kami, ada penasehat redaksi sekaligus Presiden Direktur. Andy Noya,”

“Ooh. Dia. Kenapa mesti dia?” katanya.

“Wah, itu urusan investor Kang. Saya nggak tahu. Kang Remy pernah ngobrol sama Andy Noya?”

“Belum. Buat apa? Saya mah nggak suka sama itu orang. Sama acaranya juga.”

“Kenapa Kang?”

“Ah, legeg.”

Legeg itu kurang lebih artinya belagu.

Setengah jam kemudian, tulisan itu berhasil saya ketik di komputer. Jadinya hanya tiga halaman Word, dengan satu spasi dan sekitar 10 ribu karakter lebih sedikit. Saya butuh maksimal 6500 karakter. Setelah saya bilang bahwa kita paling hanya memotong satu halaman lebih sedikit, ide mengedit tulisan itu tak jadi terlalu menakutkan buat Remy Sylado.

Akhirnya, terjadi tawar menawar antara saya dan Remy Sylado. Banyak bagian yang menurut saya terlalu melebar dari topik soal Bing Slamet. Memang, itu informasi penting. Tapi, jika kita bicara konteks Bing Slamet, mungkin akan jadi tak terlalu penting. Apalagi mengingat jatah halaman yang sangat terbatas.

“Saya membuat tulisan ada unsur historiografinya. Kalau cuma tulisan soal kesan dan opini mah, kamu minta ke orang lain aja,” katanya.

“Tapi Kang, kami pingin musisi yang tahu soal Bing Slamet dan bisa menulis dengan baik. Dan sejauh ini, kami menilai hanya Remy Sylado yang layak,” saya memuji dia sekali lagi.

Dia terdiam. Tak melanjutkan keluhannya. Lantas, dia meminta saya merapikan kata yang terlihat di monitor. Tahu kan, jika kita menulis kadang tersisa satu atau dua kata di akhir paragraf dan tak terlihat enak komposisinya. Dia menyuruh saya memindahkan dua kata tersisa itu ke baris atas supaya terlihat enak. Setelah saya bilang itu otomatis dari komputernya, dia menyerah.

“Kang, bagian soal Titiek Puspa membuat lagu tentang dia, dihapus aja ya. Ini kan nggak terlalu penting.”

“Hush. Jangan! Memang pada waktu itu, Titiek Puspa kehilangan sekali. Dan Titiek Puspa itu, penyanyi segala masa yang paling inspirasional dalam peta seni-seni populer Indonesia [dia mengutip tulisannya sendiri, sambil menunjuk ke kertas ketikan] sampai menulis lagu buat Bing. Ini penting loh!”

“Ya udah, kalau gitu, bagian masyarakat sedih waktu Bing meninggal dihapus aja ya. Ini kan kepanjangan.”

“Eh, itu juga jangan. Gimana pembaca bisa tahu betapa berpengaruhnya dia kalau tulisan itu nggak ada?”

Akhirnya, setelah tawar menawar selama sekira hampir dua jam, jumlah karakter yang bisa kami pangkas hanya sekira 3000 karakter. Menyisakan sekira 72oo karakter. Dia setuju judulnya dipangkas karena memang konsepnya seperti itu. Tak ada judul apa-apa, hanya nama si immortal. Bagian Titiek Puspa itu, akhirnya mau juga dipotong oleh Sylado. Kecuali bagian masyarakat sedih.

“Ya udah. Saya nggak bisa motong lagi nih. Udah banyak banget tuh. Historiografinya udah hilang gara-gara kamu potong-potong. Tulisannya jadi nggak mengalir lagi nih. Jadi kayak undang-undang [atau pernyataan, atau deklamasi ya? saya lupa istilah yang dia gunakan].”

“Kang, sedikit lagi aja. Ini tiga paragraf kalau dipotong, tulisannya bakal pas!”

Bagian yang saya maksud, adalah soal dia bertemu istrinya, serta soal dia yang juga pencipta lagu.

“Ah nggak bisa. Kalau kamu nggak mau muat yang ini, ya udah buang aja. Nanti biar saya kasih ke majalah lain aja,” kata Sylado seraya membuka kacamata dan menjauh dari monitor.

Kesabaran saya benar-benar diuji. Sepanjang proses negosiasi itu, lagu “Orexas” terus berkumandang di kepala. Orasi-orasi Sylado soal orangtua terus terngiang. Saya tak berani bertanya soal lagu itu, dan soal posisinya sekarang yang sudah jadi orangtua. Mungkin lain kali.

Dua jam setengah saya di rumah Remy Sylado. Ketika saya pamit, orang-orang dari Penerbit Gramedia sudah datang. Mereka sepertinya lebih beruntung karena tak harus bernegosiasi soal jumlah tulisan.

Di lagu “Orexas” itu, orang-orang yang ikut berorasi bersama Remy Sylado, mengibaratkan orang tua yang cerewet, dengan bebek.

“Kalian tahu nggak? Gimana caranya ngurusin orang-orang tua kita? Gampang. Kita bikin mereka jadi pajangan. Caranya begini, kita beli air keras. Lantas kita rendem itu papi mami kita ke air keras itu,“ kata suara seorang pria.

“Atau, kalau nggak, disetum aja. Diratain aja sama jalan By Pass,” kata suara seorang perempuan.

“Semoga arwah setan dan iblis mau menyambut dengan riang itu hati orang-orang munafik yang sudah disetum. Hihihi,” kata Sylado.

54 Comments:

Anonymous Andi Purwanto said...

haha kick andy aja dibilang belagu

October 13, 2008 12:40 PM  
Anonymous Fifi ... said...

gelo, ahahaha

October 13, 2008 12:41 PM  
Anonymous An . said...

pantes yah novelnya tebel-tebel. gak diedit juga kali... :D

October 13, 2008 12:44 PM  
Anonymous ginatri noer said...

huaahahahaha... iya, novelnya tebel bangeeettt...

October 13, 2008 12:46 PM  
Anonymous iwan kurniawan said...

Sisi lain remy sylado...

October 13, 2008 12:54 PM  
Anonymous Pugar Restu Julian said...

salut sama elo leh...kalo gue mungkin dah gue tinggal...gue gak pinter berbasa-basi atau memuji orang soalnya hahaha

October 13, 2008 12:58 PM  
Anonymous dedidude dedidude said...

doi salah satu penulis kesukaan gua dulu..gua ada 5 novelnya di kamar, tapi gua ilang respect ketika dia jadi Dewan Juri FFI 2006

Membaca tulisan lu seperti mengiyakan ucapan seorang teman, Berhati2 lah dengan sesuatu yang kita benci hari ini, karena kelak kita mungkin akan menjadi sesuatu yang kita benci hari ini...hehehe

October 13, 2008 12:59 PM  
Anonymous soleh solihun said...

kalo gua gak mungkin gua tinggal ga. nanti bisa menimbulkan kekacauan di kantor. nama dia udah dicetak soalnya di sampul. kan sampulnya pake 3d, jadi harus dicetak duluan. jadi, apapun caranya dia harus mau masukin itu tulisan.

October 13, 2008 1:03 PM  
Anonymous soleh solihun said...

iya ded. dan membuat gua berpikir, apakah ketika gua tua nanti bakal jadi seperti itu? menyebalkan dan makin keras kepala. hahaha.

October 13, 2008 1:04 PM  
Anonymous jay laksana said...

mantap tulisannya leh... plus, saya baru tau kalo si andi itu skrg di RS...

October 13, 2008 1:07 PM  
Anonymous utopian blues said...

sori soleh. ini ntar dimuat di rolling stone indonesia edisi berapa?

October 13, 2008 1:08 PM  
Anonymous dedidude dedidude said...

banyak sih leh contohnya, eksponen 66, malari, coba liat mahasiswa 97-98 yang dulu demo...10 atau 15 tahun lagi kita liat seperti apa mereka...


kalau lu kayaknya memang seperti itu leh..gua sudah melihat bibit2nya dari sekarang haha

October 13, 2008 1:13 PM  
Anonymous soleh solihun said...

edisi 43, edisi the immortals. terbit akhir oktober.

October 13, 2008 1:19 PM  
Anonymous Iman Fattah said...

hehehe, ternyata yang lo bilang di kawinan cholil kemaren itu gak ada apa-apanya sama yang gue baca sekarang, jauh lebih rusuh ya situasi aslinya..hahaha.

hebat kau soleh, kamu benar-benar orang yang sabar.

kalo soal tulisan gue, sorry ya kalo lama, lagi sibuk and tau-tau buntu gitu aja leh.

October 13, 2008 1:19 PM  
Anonymous soleh solihun said...

hahaha. sialan lo.

tapi tenang ded, gua mah nggak pernah ikut demo. dan nggak pernah nyela orang2 tua lewat karya. hehehe.

October 13, 2008 1:20 PM  
Anonymous Waraney Rawung said...

asik nih leh, peringatan buat kita supaya siap nanti kalo jadi orang tua dan kaum mapan dominan penguasa jagat raya... :)

October 13, 2008 1:21 PM  
Anonymous The Missus . said...

yes, legend banget. kebayang nggak betapa migren sang editor T_T

October 13, 2008 1:24 PM  
Anonymous Ade Putri Paramadita said...

Iya bener, Ded. Titik baliknya pas dia jadi juri FFi '06 itu ya.
But still, tulisannya tetep bagus sih.

October 13, 2008 1:30 PM  
Anonymous ernest prakasa said...

seru leh. intinya lo kesel trus nyumpahin dia mengalami nasib seperti orang2 di orexas itu ya?

October 13, 2008 1:38 PM  
Anonymous alezsandra yohana said...

maap, agak OOT tp berurusan cdengan kerjaan gbue
jadi rumah kang remy yang yahud, yang mana leh??

October 13, 2008 1:45 PM  
Anonymous ric ky said...

ini ga diedit, leh? :)

October 13, 2008 1:55 PM  
Anonymous soleh solihun said...

ya ada tiga itu. yang di bandung, di bogor sama di jakarta. yang di bandung udah dikontrakkin ke orang. sekarang dia lebih banyak di jakarta. sesekali ke bogor.

October 13, 2008 2:02 PM  
Anonymous dedidude dedidude said...

saran gua sih leh, yang tulisan beliau gak usah di masukin ke RS, tapi tulisan yang ini lu muat di RS... si adib juga dah berangkat khan? gak tau pasti dia..hayo lehh..sepertinya lebih menarik tulisan ini...bakal kick asss!!

haha

October 13, 2008 2:03 PM  
Anonymous soleh solihun said...

itu interpretasi lu loh nes. :p

October 13, 2008 2:08 PM  
Anonymous soleh solihun said...

namanya juga orang sunda ki. hehe.

October 13, 2008 2:09 PM  
Anonymous Pugar Restu Julian said...

makin tua kan makin jadi kayak anak kecil lagi hehehe

October 13, 2008 2:11 PM  
Anonymous chika haryani said...

jadinya tetep satu halaman atau nambah? kayanya di akhir cerita masih kebanyakan beberapa ratus karakter tuh..

October 13, 2008 2:48 PM  
Anonymous Iman Fattah said...

kecilin aja font size-nya leh.

October 13, 2008 2:55 PM  
Anonymous soleh solihun said...

jadinya tetep satu halaman, tapi di halaman dia nggak pake quotes. tulisan aja di-lay out-nya.

October 13, 2008 3:01 PM  
Anonymous Jia e said...

seru....remy sylado itu emang luar biasa keren.

October 13, 2008 4:36 PM  
Anonymous Karlina Octaviany said...

Asyiiiiiik, gw kan suka banget sama Bing Slamet, pake foto2 dia yang ganteng2 dong hehehe...
Gila, masih kuat aja ngetik pake mesin tik, salut deh. Lucu banget pas ngomong, "Ah, legeg" kebayang gitu mukanya ahaha...Gimana juga mau bikin film Ca Bau Kan sesuai ama tulisannya dia, bacanya aja ribet tebel banget gitu, terus banyak tokohnya. Nggak bakal satu film doang kalau mau utuh mah.

October 13, 2008 5:57 PM  
Anonymous soleh solihun said...

fotonya mah, ilustrasi lin. yang bikin si achong.

tapi mukanya jadi nggak terlalu lucu lin, waktu dia bilang, nggak mau diedit lagi. hehe.

October 13, 2008 6:01 PM  
Anonymous Sita Dewi said...

hmmm.. kalo dia bilang andy noya belagu, dia mendeskripsikan dirinya sendiri gimana ya? hmm.. hehehehe

pacarku selalu menyebutnya "remy solasido"

October 13, 2008 6:14 PM  
Anonymous soleh solihun said...

nama remy sylado juga memang diambil dari nada 2 3 7 6 1 [re mi si la do]

ini nada dari bait lagu "i give her all my love" dari lagu the beatles "and i love her"

October 13, 2008 6:26 PM  
Anonymous Karlina Octaviany said...

Hahaha...yah gak apa2 deh, aku liat pelemnye ajeee sama dengerin suaranya yang seksi : D

October 13, 2008 6:29 PM  
Anonymous Agam Fatchurrochman said...

Soleh, sebenarnya kalau untuk memanggil orang Indonesia mana yang lebih enak, Remy atau Sylado.
Majalah Pantau dulu sempat mau menulis gaya barat, memakai nama keluarga. Tapi karena di Indonesia tidak semua pakai nama keluarga, jadinya janggal. Misalnya tulisan Pantau tentang Denny Sabri Gandanegara. Pantau memanggilnya sebagai Gandanegara, bukan Denny yang biasa kita lakukan

October 13, 2008 6:58 PM  
Anonymous nike pd said...

suka banget sama remy sylado.tp katanya nyeleneneh.jd suka mikir dua tiga kali kalo mau ngundang dia di talkshow gw

October 13, 2008 7:22 PM  
Anonymous soleh solihun said...

penggunaan nama belakang memang gaya barat. tapi, saya pakai nama sylado untuk di tulisan ini, supaya lebih enak aja dibacanya. :D

lagipula, untuk membedakan remy sylado dengan remy yang lain. remy soetansyah misalnya. hehe.

October 13, 2008 7:28 PM  
Anonymous soleh solihun said...

asal topiknya sesuai, dia enak buat jadi narasumber. tapi, saran gua, ajak dia bicara soal novel aja. nggak usah soal musik atau film.

October 13, 2008 7:29 PM  
Anonymous ric ky said...

njis, jadi inget dulu nonton ca bau kan di bioskop kircon pas zaman hollywood. lo waktu itu ikut juga ga?

October 13, 2008 8:58 PM  
Anonymous Nadiah Alwi said...

tfs...

October 13, 2008 10:26 PM  
Anonymous moodspiral - said...

Talenta besar melahirkan ego yang besar pula... dan entah kenapa saya mafhum....

Terbayang kalau Kick Andy menghadirkan dia..;p

October 13, 2008 10:36 PM  
Anonymous jay laksana said...

beneran? .... baca tulisan soleh mmg banyak mangpa'atnya...

October 14, 2008 7:55 AM  
Anonymous soleh solihun said...

ricky: wah, nggak ikut gua euy ki. sampe sekarang, nonton filmnya pun belum. hehehe.

gita: kayaknya, kalo akhirnya kita liat dia di acara kick andy, berarti remy sylado menjilat ludah sendiri. :D

jay: bener jay, sok we coba dimainkan nadana.

October 14, 2008 11:09 AM  
Anonymous Sita Dewi said...

anjrit keren amat ortunya..

October 14, 2008 12:09 PM  
Anonymous nona cito said...

ya ampun, ta..
remy silado itu nama alias dia buat nulis dkk..
nama aslinya mah siapa gitu =)

October 14, 2008 12:11 PM  
Anonymous Sita Dewi said...

siapa? yang jelas dong.. XD

October 14, 2008 12:13 PM  
Anonymous soleh solihun said...

nama aslinya yapi tambayong. kan udah ditulis di atas. :p

October 14, 2008 12:14 PM  
Anonymous Sita Dewi said...

yah cit ketauan deh kita bukan pembaca yang baik.. wakakakakak

October 14, 2008 12:24 PM  
Anonymous nona cito said...

wahahhahhaa tos dulu, ta =)

October 14, 2008 12:35 PM  
Anonymous Ariawan Herwiandito said...

bagus, leh. lumayan bisa belajar dasar-dasar negosiasi ala solihun

October 14, 2008 1:11 PM  
Anonymous prada miumiu said...

hahahahahahaha kebayang Leh beungeut loe... kl gw dah lsg bilang "talk the hand darling!" ....

October 14, 2008 3:03 PM  
Anonymous Adi Prakoso said...

hohoho, uji kesabaran habis-habisan.salut

October 14, 2008 3:52 PM  
Anonymous adib adib said...

nu gelo!!!
maneh jeung remy jiga aki jeung incu siah leh...

October 22, 2008 12:08 PM  

Post a Comment

<< Home