Kemarin Saya Nonton Kantata Takwa
Dan betapa berbahagianya saya.
Beberapa waktu lalu, sempat membaca review soal film ini dari tulisan Eric Sasono. Waktu saya membaca review itu, saya kira film ini adalah film dokumenter soal pembuatan konser Kantata Takwa. Seperti Shine A Light-nya Martin Scorsese lah. Ada dokumenter soal band, lalu lebih banyak cerita soal konser. Dan saya kira, film ini adalah film yang sama seperti yang sering diputar TPI beberapa tahun lalu. Film konser Kantata Takwa. Ternyata, ini film tentang gerakan budaya yang dilakukan beberapa seniman dengan menggelar pertunjukkan yang merupakan kombinasi antara musik dan teater. Film musikal yang inspirasinya diambil dari lagu-lagu Kantata Takwa dan Swami, begitulah deskripsi singkatnya.
Film ini dibuka dengan adegan WS Rendra alias Willy yang tertidur. Lantas narasi dibuka oleh Willy yang membacakan puisi yang kemudian dikenal publik lebih luas lewat lagu "Kesaksian." Sebuah pembuka yang langsung mencuri perhatian. Apalagi buat penggemar Iwan Fals seperti saya. Lagu ini sudah saya dengar bertahun-tahun, dan mendengarnya kembali di dalam bioskop, mendengarnya ada di dalam film adalah kebahagiaan tersendiri.
Aku mendengar suara, jerit makhluk terluka.
Luka,luka, hidupnya luka.
Orang memanah rembulan, burung sirna sarangnya.
Sirna,sirna hidup redup, alam semesta luka.
Banyak orang hilang nafkahnya.
Aku bernyanyi menjadi saksi.
Banyak orang dirampas haknya.
Aku bernyanyi menjadi saksi.
Mereka dihinakan tanpa daya.
Ya, tanpa daya.
Terbiasa hidup sangsi.
Orang-orang harus dibangunkan. Aku bernyanyi menjadi saksi.
Kenyataan harus dikabarkan. Aku bernyanyi menjadi saksi.
Lagu ini jeritan jiwa. Hidup bersama harus dijaga.
Lagu ini harapan sukma. Hidup yang layak harus dibela.
Kalimat "Orang-orang harus dibangunkan" sepertinya yang jadi alasan kenapa adegan pembukanya Willy yang tertidur lelap. Saya masih menebak-nebak maksud dari simbolisasi orang tertidur ini. Mungkin simbol bahwa masyarakat kita yang tak peduli, tertidur saja sementara banyak ketakadilan terjadi di negara ini, jika kita lihat liriknya. Sosok perempuan berkerudung hadir sejak awal film. Perempuan ini tak berbicara sepanjang film. Di setiap adegan, dia hanya memandang iba.
Kantata Takwa adalah teater yang difilmkan. Semua pesannya, disampaikan sebagian besar lewat teater. Tapi, tenang saja. Bukan tipikal teater yang akan membuat kening orang awam berkerut. Setidaknya, saya sebagai orang awam teater tak berkerut melihat semua adegan film ini. Simbolisasinya digambarkan dengan cukup lugas. Lagipula, di awal film ditulis bahwa ketika film ini dibuat rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto sedang berkuasa. Makanya, saya rasa siapapun akan dengan mudah menangkap maksud yang ingin disampaikan film ini.
Militer digambarkan dengan sosok orang-orang memakai jas hujan, memakai masker, serta membawa senjata. Mereka menyiksa. Membunuh. Dan pada akhirnya, mereka dikejar massa yang kemarahannya memuncak.
Selain adegan teatrikal yang dipentaskan oleh Bengkel Teater Rendra, film ini menggabungkan dokumentasi pementasan konser Kantata Takwa, dan semacam wawancara singkat dengan para personel Kantata Takwa: Iwan Fals, Sawung Jabo, WS Rendra, Yockie Suryoprayogo, dan Setiawan Djody. Masing-masing menjelaskan definisi Takwa menurut mereka. Di sini ada adegan Yockie bermain piano di atas mobil, mengelilingi kota yang mengingatkan pada adegan Vanessa Carlton di video klipnya. Hanya saja, ini dibuat beberapa belas tahun lebih awal.
Ada tiga adegan yang paling saya suka. Yang pertama, adalah adegan ketika para personel Kantata berdiskusi soal konsep pertunjukkan mereka. Willy menyarankan mereka membuat lebih banyak lagu. "Asal jangan berdakwah aja," kata Iwan Fals, sambil tertelungkup di lantai dan bertelanjang dada.
Yang kedua, adalah adegan di lagu "Hio." Sawung Jabo dan Iwan Fals berhadapan dalam ruang gelap. Sorot lampu menyinari keduanya, sehingga gambar itu akan sangat indah sekali secara fotografi. "Hidup ini hanya ada dua pilihan. Serius atau tidak serius," kata Jabo kepada Iwan. "Jadi, kamu serius tidak?" kurang lebih begitu kata Jabo. Iwan, tak langsung menjawab. Ada keraguan di benaknya. "Tapi saya hanya manusia biasa," kata Iwan. Jabo yang meledak-ledak penuh semangat, dibalas Iwan yang seakan ogah-ogahan menjawab tantangan Jabo. Mungkin penulis skenario [Erros Djarot dan Gotot Prakosa] sengaja memberi dialog ini pada Iwan karena memang mereka tahu Iwan orangnya seperti itu. Jika kita mengutip kalimat "Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata" dari puisi Willy, maka Iwan cenderung malas untuk melaksanakan kata-kata.
[Sedikit intermezzo, dua hari lalu saya mewawancarai Bimbim Slank. Kurang lebih dia berkata hal yang sama soal Iwan. Jika Slank ingin tak sekadar bicara, tapi ada aksi, Iwan lebih memilih posisi sebagai seniman yang hanya mencetuskan ide.]
Yang ketiga, adalah adegan Iwan Fals yang bertelanjang dada, menenteng gitar di sebuah tepi sungai. Di sana, dia disambut belasan anak kecil yang bertelanjang bulat dan belum disunat. "Bento! Bento! Bento!" mereka meneriakki Iwan dengan nama itu. "Jangan panggil saya Bento!" kata Iwan. Lantas, anak-anak kampung nan kumal itu mengenalkan namanya masing-masing yang ternyata namanya terdengar lebih kota daripada penampilannya. Ada yang namanya Teddy, hingga Jansen. Yang lainnya saya lupa. Dan mereka pun menyanyikan lagu "Bento," diiringi gitar kopong Iwan Fals. Adegan lalu pindah ke hutan di mana seorang lelaki botak berpakaian jas melihat-lihat tanah. Dia lantas dikejar-kejar massa dan gerombolan anak kecil. Dan lagu "Bento" pun dinyanyikan. Gambar berpindah-pindah dari adegan si bos dengan perempuan-perempuan seksi ala '90s dengan blazer yang pundaknya diberi bantalan, dan model rambut mengembang, hingga adegan di pertunjukkan Kantata Takwa.
Menjelang akhir, adegannya adalah pembunuhan semua personel Kantata. Dan di setiap adegan itu, perempuan berkerudung hanya memandang tanpa bicara nyaris tanpa emosi. Di akhir adegan, si perempuan berkerudung terlihat mengajak ratusan perempuan muda lainnya yang juga berkerudung menuju satu arah. Si perempuan berkerudung yang diperankan Clara Sinta itu, kembali memandang dari kejauhan ke arah para personel Kantata yang sedang berdiri di atas batu.
Pada saat konferensi pers, saya tanyakan soal simbol perempuan berkerudung ini kepada Erros Djarot dan Willy. Saya merasa para pembuat film tak tegas menggambarkan pandangan mereka terhadap agama. Apa yang ingin disampaikan mereka soal agama, tak segamblang atau selugas penggambaran mereka terhadap sosok penguasa yang menindas. Makanya, simbolisasinya hanya perempuan berkerudung yang bisanya cuma memandang tanpa berinteraksi. Apakah ini karena faktor banyak pita yang terendam hingga adegannya sedikit? Atau memang, itu yang dirasakan pembuat film, agama tak banyak membantu ketika penindasan itu terjadi?
Erros Djarot mengatakan bahwa di era itu banyak kyai yang terkooptasi penguasa. Dan kurang lebih seperti itulah yang ingin disampaikan. Walau begitu, dia bilang, faktor agama digambarkan dengan banyak lewat puisi-puisi yang dibacakan Kyai Willy--meminjam istilah yang digunakan Erros--di film. "Doa itu tak harus melulu literer!" kata Willy. "Kita tak perlu setiap saat mengangkat tangan dan membaca doa-doa."
Kembali ke delapan belas tahun lalu ketika pementasan Kantata Takwa digelar, Willy tak mengira gerakan budaya yang mereka susun malah berkembang menjadi besar. Djody malah mendatangkan paduan suara. Lantas malah merekam lagu-lagu yang mereka buat. "Kalau pementasannya dilarang, minimal lagunya sudah direkam," kata Djody. Djody juga membeli sinar laser untuk pertunjukkan itu. Dan bisa mendapat ijin untuk menggelarnya di stadion. "Bu Tien suka sama Djody soalnya, makanya kami dapet ijin. Djody itu wajahnya mirip Pak Harto waktu muda," kata Erros sambil terbahak.
Film Kantata Takwa ini, mengendap selama belasan tahun di rumah sutradara Gotot Prakosa. Baunya sudah sering dikeluhkan istri Gotot. "Makanya, saya telpon Erros, saya bilang, kalau film ini tak segera dibuat, saya bisa diusir dari rumah," kata Gotot sambil tertawa.
Delapan belas tahun menunggu rasanya tak apa. Seperti halnya film Rock N' Roll Circus dari The Rolling Stones yang baru dirilis pada tahun 1995 padahal dibuat pada tahun 1968, penantian akan film Kantata Takwa tak sia-sia. Melihat sosok para personel Kantata delapan belas tahun lalu, jelas menjadi nostalgia yang menyenangkan. Iwan Fals masih dalam kondisi liarnya. Bertelanjang dada, rambut panjang, berkumis dan berjenggot. Djody belum terlalu memaksakan egonya di Kantata. Dia masih sadar akan posisinya yang sama dengan yang lain, meskipun dia yang membiayai gerakan itu. Berbeda dengan ketika Kantata masuk di album Kantata Samsara, di mana Djody mulai ingin terlihat lebih menonjol dengan cara memasang fotonya dalam ukuran paling besar dan menulis kata pengantar sok bijak dan sok budayawan.
Dan yang paling membahagiakan tentunya kehadiran film musikal seperti ini. Yang digarap dengan baik. Yang punya pesan mendalam sekaligus akan menghibur. Yang tak senorak film [maunya] musikal Bukan Bintang Biasa. Tahun depan, Garin Nugroho akan merilis film [yang sepertinya sih judulnya] Generasi Biru. Film musikal yang digabung dengan dokumenter dan animasi, tentang Indonesia yang dilihat berdasarkan lagu-lagu Slank. Dengan begitu, dua musisi pujaan saya punya film musikal yang berkualitas.[Mudah-mudahan film karya Garin juga akan semenarik Kantata Takwa].
Tapi, melihat film ini saya jadi sedikit sedih. Karena faktanya, sekarang tak ada lagi gerakan budaya sebesar dan sepopuler ketika Kantata Takwa digelar. Gerakan budaya yang tak hanya akan masuk pada kalangan seniman, budayawan dan sejenisnya. Tapi juga akan diterima dengan baik oleh orang awam.
Kantata adalah kombinasi yang pas; Musisi paling digilai di Indonesia, bertemu sastrawan kelas atas, musisi/komposer handal, musisi/seniman gila, dan musisi/penyokong dengan kondisi finansial yang super berlebih.
Buat kamu yang penasaran ingin menontonnya. Berbahagialah, karena atas adanya teknologi digital yang kemudian membuat film ini bisa diputar di bioskop, Kantata Takwa akan diputar di Blitz Megaplex dari tanggal 26 September hingga 4 Oktober. Ini masih bisa diperpanjang jika masih banyak orang yang ternyata ingin menontonnya.
Dan oya, tolong dimaafkan poster filmnya yang jelek. Untuk kali ini, tolong jangan menilai sesuatu dari sampulnya.
Beberapa waktu lalu, sempat membaca review soal film ini dari tulisan Eric Sasono. Waktu saya membaca review itu, saya kira film ini adalah film dokumenter soal pembuatan konser Kantata Takwa. Seperti Shine A Light-nya Martin Scorsese lah. Ada dokumenter soal band, lalu lebih banyak cerita soal konser. Dan saya kira, film ini adalah film yang sama seperti yang sering diputar TPI beberapa tahun lalu. Film konser Kantata Takwa. Ternyata, ini film tentang gerakan budaya yang dilakukan beberapa seniman dengan menggelar pertunjukkan yang merupakan kombinasi antara musik dan teater. Film musikal yang inspirasinya diambil dari lagu-lagu Kantata Takwa dan Swami, begitulah deskripsi singkatnya.
Film ini dibuka dengan adegan WS Rendra alias Willy yang tertidur. Lantas narasi dibuka oleh Willy yang membacakan puisi yang kemudian dikenal publik lebih luas lewat lagu "Kesaksian." Sebuah pembuka yang langsung mencuri perhatian. Apalagi buat penggemar Iwan Fals seperti saya. Lagu ini sudah saya dengar bertahun-tahun, dan mendengarnya kembali di dalam bioskop, mendengarnya ada di dalam film adalah kebahagiaan tersendiri.
Aku mendengar suara, jerit makhluk terluka.
Luka,luka, hidupnya luka.
Orang memanah rembulan, burung sirna sarangnya.
Sirna,sirna hidup redup, alam semesta luka.
Banyak orang hilang nafkahnya.
Aku bernyanyi menjadi saksi.
Banyak orang dirampas haknya.
Aku bernyanyi menjadi saksi.
Mereka dihinakan tanpa daya.
Ya, tanpa daya.
Terbiasa hidup sangsi.
Orang-orang harus dibangunkan. Aku bernyanyi menjadi saksi.
Kenyataan harus dikabarkan. Aku bernyanyi menjadi saksi.
Lagu ini jeritan jiwa. Hidup bersama harus dijaga.
Lagu ini harapan sukma. Hidup yang layak harus dibela.
Kalimat "Orang-orang harus dibangunkan" sepertinya yang jadi alasan kenapa adegan pembukanya Willy yang tertidur lelap. Saya masih menebak-nebak maksud dari simbolisasi orang tertidur ini. Mungkin simbol bahwa masyarakat kita yang tak peduli, tertidur saja sementara banyak ketakadilan terjadi di negara ini, jika kita lihat liriknya. Sosok perempuan berkerudung hadir sejak awal film. Perempuan ini tak berbicara sepanjang film. Di setiap adegan, dia hanya memandang iba.
Kantata Takwa adalah teater yang difilmkan. Semua pesannya, disampaikan sebagian besar lewat teater. Tapi, tenang saja. Bukan tipikal teater yang akan membuat kening orang awam berkerut. Setidaknya, saya sebagai orang awam teater tak berkerut melihat semua adegan film ini. Simbolisasinya digambarkan dengan cukup lugas. Lagipula, di awal film ditulis bahwa ketika film ini dibuat rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto sedang berkuasa. Makanya, saya rasa siapapun akan dengan mudah menangkap maksud yang ingin disampaikan film ini.
Militer digambarkan dengan sosok orang-orang memakai jas hujan, memakai masker, serta membawa senjata. Mereka menyiksa. Membunuh. Dan pada akhirnya, mereka dikejar massa yang kemarahannya memuncak.
Selain adegan teatrikal yang dipentaskan oleh Bengkel Teater Rendra, film ini menggabungkan dokumentasi pementasan konser Kantata Takwa, dan semacam wawancara singkat dengan para personel Kantata Takwa: Iwan Fals, Sawung Jabo, WS Rendra, Yockie Suryoprayogo, dan Setiawan Djody. Masing-masing menjelaskan definisi Takwa menurut mereka. Di sini ada adegan Yockie bermain piano di atas mobil, mengelilingi kota yang mengingatkan pada adegan Vanessa Carlton di video klipnya. Hanya saja, ini dibuat beberapa belas tahun lebih awal.
Ada tiga adegan yang paling saya suka. Yang pertama, adalah adegan ketika para personel Kantata berdiskusi soal konsep pertunjukkan mereka. Willy menyarankan mereka membuat lebih banyak lagu. "Asal jangan berdakwah aja," kata Iwan Fals, sambil tertelungkup di lantai dan bertelanjang dada.
Yang kedua, adalah adegan di lagu "Hio." Sawung Jabo dan Iwan Fals berhadapan dalam ruang gelap. Sorot lampu menyinari keduanya, sehingga gambar itu akan sangat indah sekali secara fotografi. "Hidup ini hanya ada dua pilihan. Serius atau tidak serius," kata Jabo kepada Iwan. "Jadi, kamu serius tidak?" kurang lebih begitu kata Jabo. Iwan, tak langsung menjawab. Ada keraguan di benaknya. "Tapi saya hanya manusia biasa," kata Iwan. Jabo yang meledak-ledak penuh semangat, dibalas Iwan yang seakan ogah-ogahan menjawab tantangan Jabo. Mungkin penulis skenario [Erros Djarot dan Gotot Prakosa] sengaja memberi dialog ini pada Iwan karena memang mereka tahu Iwan orangnya seperti itu. Jika kita mengutip kalimat "Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata" dari puisi Willy, maka Iwan cenderung malas untuk melaksanakan kata-kata.
[Sedikit intermezzo, dua hari lalu saya mewawancarai Bimbim Slank. Kurang lebih dia berkata hal yang sama soal Iwan. Jika Slank ingin tak sekadar bicara, tapi ada aksi, Iwan lebih memilih posisi sebagai seniman yang hanya mencetuskan ide.]
Yang ketiga, adalah adegan Iwan Fals yang bertelanjang dada, menenteng gitar di sebuah tepi sungai. Di sana, dia disambut belasan anak kecil yang bertelanjang bulat dan belum disunat. "Bento! Bento! Bento!" mereka meneriakki Iwan dengan nama itu. "Jangan panggil saya Bento!" kata Iwan. Lantas, anak-anak kampung nan kumal itu mengenalkan namanya masing-masing yang ternyata namanya terdengar lebih kota daripada penampilannya. Ada yang namanya Teddy, hingga Jansen. Yang lainnya saya lupa. Dan mereka pun menyanyikan lagu "Bento," diiringi gitar kopong Iwan Fals. Adegan lalu pindah ke hutan di mana seorang lelaki botak berpakaian jas melihat-lihat tanah. Dia lantas dikejar-kejar massa dan gerombolan anak kecil. Dan lagu "Bento" pun dinyanyikan. Gambar berpindah-pindah dari adegan si bos dengan perempuan-perempuan seksi ala '90s dengan blazer yang pundaknya diberi bantalan, dan model rambut mengembang, hingga adegan di pertunjukkan Kantata Takwa.
Menjelang akhir, adegannya adalah pembunuhan semua personel Kantata. Dan di setiap adegan itu, perempuan berkerudung hanya memandang tanpa bicara nyaris tanpa emosi. Di akhir adegan, si perempuan berkerudung terlihat mengajak ratusan perempuan muda lainnya yang juga berkerudung menuju satu arah. Si perempuan berkerudung yang diperankan Clara Sinta itu, kembali memandang dari kejauhan ke arah para personel Kantata yang sedang berdiri di atas batu.
Pada saat konferensi pers, saya tanyakan soal simbol perempuan berkerudung ini kepada Erros Djarot dan Willy. Saya merasa para pembuat film tak tegas menggambarkan pandangan mereka terhadap agama. Apa yang ingin disampaikan mereka soal agama, tak segamblang atau selugas penggambaran mereka terhadap sosok penguasa yang menindas. Makanya, simbolisasinya hanya perempuan berkerudung yang bisanya cuma memandang tanpa berinteraksi. Apakah ini karena faktor banyak pita yang terendam hingga adegannya sedikit? Atau memang, itu yang dirasakan pembuat film, agama tak banyak membantu ketika penindasan itu terjadi?
Erros Djarot mengatakan bahwa di era itu banyak kyai yang terkooptasi penguasa. Dan kurang lebih seperti itulah yang ingin disampaikan. Walau begitu, dia bilang, faktor agama digambarkan dengan banyak lewat puisi-puisi yang dibacakan Kyai Willy--meminjam istilah yang digunakan Erros--di film. "Doa itu tak harus melulu literer!" kata Willy. "Kita tak perlu setiap saat mengangkat tangan dan membaca doa-doa."
Kembali ke delapan belas tahun lalu ketika pementasan Kantata Takwa digelar, Willy tak mengira gerakan budaya yang mereka susun malah berkembang menjadi besar. Djody malah mendatangkan paduan suara. Lantas malah merekam lagu-lagu yang mereka buat. "Kalau pementasannya dilarang, minimal lagunya sudah direkam," kata Djody. Djody juga membeli sinar laser untuk pertunjukkan itu. Dan bisa mendapat ijin untuk menggelarnya di stadion. "Bu Tien suka sama Djody soalnya, makanya kami dapet ijin. Djody itu wajahnya mirip Pak Harto waktu muda," kata Erros sambil terbahak.
Film Kantata Takwa ini, mengendap selama belasan tahun di rumah sutradara Gotot Prakosa. Baunya sudah sering dikeluhkan istri Gotot. "Makanya, saya telpon Erros, saya bilang, kalau film ini tak segera dibuat, saya bisa diusir dari rumah," kata Gotot sambil tertawa.
Delapan belas tahun menunggu rasanya tak apa. Seperti halnya film Rock N' Roll Circus dari The Rolling Stones yang baru dirilis pada tahun 1995 padahal dibuat pada tahun 1968, penantian akan film Kantata Takwa tak sia-sia. Melihat sosok para personel Kantata delapan belas tahun lalu, jelas menjadi nostalgia yang menyenangkan. Iwan Fals masih dalam kondisi liarnya. Bertelanjang dada, rambut panjang, berkumis dan berjenggot. Djody belum terlalu memaksakan egonya di Kantata. Dia masih sadar akan posisinya yang sama dengan yang lain, meskipun dia yang membiayai gerakan itu. Berbeda dengan ketika Kantata masuk di album Kantata Samsara, di mana Djody mulai ingin terlihat lebih menonjol dengan cara memasang fotonya dalam ukuran paling besar dan menulis kata pengantar sok bijak dan sok budayawan.
Dan yang paling membahagiakan tentunya kehadiran film musikal seperti ini. Yang digarap dengan baik. Yang punya pesan mendalam sekaligus akan menghibur. Yang tak senorak film [maunya] musikal Bukan Bintang Biasa. Tahun depan, Garin Nugroho akan merilis film [yang sepertinya sih judulnya] Generasi Biru. Film musikal yang digabung dengan dokumenter dan animasi, tentang Indonesia yang dilihat berdasarkan lagu-lagu Slank. Dengan begitu, dua musisi pujaan saya punya film musikal yang berkualitas.[Mudah-mudahan film karya Garin juga akan semenarik Kantata Takwa].
Tapi, melihat film ini saya jadi sedikit sedih. Karena faktanya, sekarang tak ada lagi gerakan budaya sebesar dan sepopuler ketika Kantata Takwa digelar. Gerakan budaya yang tak hanya akan masuk pada kalangan seniman, budayawan dan sejenisnya. Tapi juga akan diterima dengan baik oleh orang awam.
Kantata adalah kombinasi yang pas; Musisi paling digilai di Indonesia, bertemu sastrawan kelas atas, musisi/komposer handal, musisi/seniman gila, dan musisi/penyokong dengan kondisi finansial yang super berlebih.
Buat kamu yang penasaran ingin menontonnya. Berbahagialah, karena atas adanya teknologi digital yang kemudian membuat film ini bisa diputar di bioskop, Kantata Takwa akan diputar di Blitz Megaplex dari tanggal 26 September hingga 4 Oktober. Ini masih bisa diperpanjang jika masih banyak orang yang ternyata ingin menontonnya.
Dan oya, tolong dimaafkan poster filmnya yang jelek. Untuk kali ini, tolong jangan menilai sesuatu dari sampulnya.
46 Comments:
Gua juga penasaran sih semenjak artikel ttg film ini dimuat di koran Kompas. Di Blitz ya? Berangkatt
yeah!
aku dah nonton. saya suka dengan footage-footage konsernya. Luar biasa. Saya jadi percaya bahwa Indonesia pernah punya legenda musik yang hebat. Untuk teatrikalnya, beberapa berhasil, tapi soal perempuan berjilbab itu menurut saya nggak delivered. Malah kesannya jadi norak dan 'tua'. Tapi untuk seluruh kerja keras tim film ini (terutama mas Gotot), selamat. Akhirnya ada juga yang membuat sejarah seperti ini!
*merindukan saat-saat soleh selalu mengajak menonton film kepada tetangga sebelahnya*
wooww...!
kudu lalajo pastina mah yeuh..!
thanx 4 d review, membahagiakan siah macana!
om iwannn...;p
Nonton pasti.
btw ada Laskar Pelangi yang hanya (betul?) di putar di Blitz dan sekarang Kantata Takwa yang juga hanya diputar di Blitz ya Leh. serangan balik buat kompetitornya kali ya? hehe
bukan cuma elo Yan, yang rindu..
bakal keluar versi DVD-nya gak yah? ini mesti dikoleksi soalnya.
arian: hahaha. ke lah yan, iraha2 urang ajak deui. kan maneh sibuk melukis. :p
richard: siap!
anto: kantata jelas cuma tayang di blitz. soalnya formatnya digital. jadi nggak akan bisa diputer di bioskop lain.
hagi: kan maneh ayeuna lingkungana islami gi. sieun ngajak nonton, eh filmna tak islami. :p
anz: iya, kemaren lupa nanya sama erros. harusnya sih dibuat ya.
Soleh sudah berubah. apa kita berdoa agar dia kembali jobless Gi?
urang aya versi VCD & Video Beta na Leh di imah..adeeuuukkkk??? orihinal Leh...
ieu ge aya di kantor vcd konserna mah. si adib mawa ti imahna. kecuali vcd maneh rek diberekeun ka urang. hehe.
Jangan yan, nanti dirimu nggak gua kasih job ilustrasi lagi...
Dan deadline kantor molor lagi nggak ada Soleh :-)
uhm.
entah Yan..
dinamika persahabatan aja, tampaknya..
sedang asik dengan dunianya aja kali..
kayak temen-temen yang lain..
ada yang lebih mereka kejar..
Hmmmm..penting nih..dari dulu gue pengen nonton kantata takwa manggung, tapi ga pernah kesampaian. Jadi, gantinya nonton film ini aja.
A.D.I.B.... cep, sanes adin...
hahaha.
kayak yang baru kenal aja..
salah satu penyesalan saya adalah tidak menonton konser kantata takwa di surabaya yg diadakan selama 2 hari.. padahal saya sudah dapat ijin dari orang tua.. :(
Hadiah lebaran paling berkesan.....
berangkat!!!
hahahahahaha
Jd panastarang ah pgn ntn..soleh review nya keren lah.. x_x
26 september sampe 4 oktober... Sip! Makasih ya infonya :)
iya dong, gue lagi berjuang keras buat cekokin ke blitz film-film musik yang laen nih...hehehe.
hatur nuhun leh, bingah ka giri2 lah !
sugan we aya versi dvd na
bagus, man! didukung perjuangannya!
Setuju! Biasanya film-film musik diputar di bioskop pas Jiffest doang dan gue nggak pernah bisa nonton gara-gara tiket habis dan/atau jadwal bentrok ama kerjaan atau acara lain.
setubuh...
Eh di film Kantata Takwa itu bokap lu keren man, mirip Geddy Lee habis...
badan ramping dan rambut kucir ke belakang panjang gitu...
iman fattah mah kalah liar lah. :p
hahahaha...iya tuh, masa-masa masih kurus...sampe sekarang juga masih kurus sih...hahahaha.
dia emang sangat ter-influence sama geddy lee banget, diajarin langsung sama orangnya waktu di US sih, hehehe.
oh iya, maap ya guys, revisi tulisan god bless gue usahain minggu ini, lagi agak ribet soalnya.
wah, kalo soal bandel mah jangan tanya deh donny fattah jaman dulu...hahahaha.
gue masih ada tuh foto dia diambil dari majalah aktuil bokap sampe tidur-tidur di panggung tahun 70an...ck ck ck.
eh, ini kok jadi ngomongin bokap sih, ayo balik ke kantata takwa...hehehe.
sekarang yang tidur-tidur di panggung, malah acong. hahaha.
gpp man, ngomongin donny fattah, biar menambah inspirasi untuk tulisanlu. hehe.
wah?? ada film nya??? weeeeeehhh.. keren nih
keren leh tulisan maneh. lo baca nggak tulisan gue pertama yg isinya memang resensi film itu. gue tetep ngerasa gerakan budayanya bentuknya udah rasa basi dan 90s sekali. termasuk ungkapan jilbab yang kontekstual banget.
tulisan gue kedua yang ngeliat ini punya potensi besar sebagai gerakan budaya melawan dominasi dan monopoli ungkapan islam dari kalangan skripturalis.
tapi ini termasuk satu-satunya film yang buat gue bikin 2 tulisan tentang content-nya. memang ada film lain yg buat gue bikin banyak tulisan, tapi bukan content-nya..
sungguh beruntung, mas sholeh dpt kesempatan paling duluan nonton film ini....
----------------------
mohon ijin tuk dicopas ulang...
terima kasih mas...
Aseek untung ada Blitz buka dK.Gading jd dkt rumah hohoho..Go,Iman go,'racunin' si tante dgn ide2mu hehe..wah,Iman jd jg nulis ttg Godbless,ide lama yg akhirny terwujud:-)
makasih infonya... surabaya kapan mainnya??
http://iwanfalsmania.blogspot.com/2008/09/kantata-takwa-movie-sudah-tayang.html
eric: wah, terima kasih mas. belum baca tulisan yang pertama mah, baru baca tulisan kedua [dan setelah menonton filmnya, jadi lebih paham apa yang disampaikan mas soal melawan dominasi dan monopoli ungkapan itu].
falstones: sip. ambil aja.
syafiq: kayaknya, film ini serentak di seluruh blitz deh. kemungkinan tanggalnya sama dengan yang di jakarta.
Wah jadi penasaran nih. pengen nonton
itu posternya,mata-nya mau dimiripin kover kaset album Mata Dewa kitu?hahaha.nonton ah...kudu!
thanks infonya, leh. ntar gue kejar abis lebaran
wah makasih mas reviewnya..... jadi pengen buru2 nonton neh
harga tiket kena brp nich kalo ama tmn2 oi...???
Bisa kali kurang,,,,
hehehehe...
Pas brp ...???
26 september? hmm. trims infonya, ya! salam kenal. *gw pernah salam kenal, belum ya?*
Post a Comment
<< Home