Sekali Lagi Bicara Ibu Kota
Jakarta.
Ternyata, pandangan saya tentang kota ini, sedikit berubah setelah saya tinggal di kota ini. Belum lama memang, September besok baru genap satu tahun. Dulu, waktu masih jarang ke kota ini, badan saya menolaknya. Gila! Panas sekali udaranya. Belum lagi matahari yang sepertinya lebih membakar. Sekarang, sepertinya badan saya baik-baik saja tuh menerima udara panas Ibu Kota.
Gedung bertingkatnya begitu juga. Dulu, di mata saya, gedung di kota ini, besar sekali ukurannya. Megah. Pencakar langit. Seakan-akan dari atapnya, kita bisa menyentuh awan. Tapi sekarang, gedung-gedung itu kok tidak terlihat sebesar dulu ya? Jalan Sudirman pun begitu. Dulu, kawasan ini terlihat luas sekali. Saya merasa kecil ketika berada di jalan ini. Tapi sekarang, ternyata Sudirman tidak seluas dulu.
Kamu pernah punya pikiran seperti itu? Bahwa sesuatu yang dulunya terasa besar di pikiranmu, sekarang terlihat biasa saja. Pikiran tentang Jakarta khususnya. Bahwa kota ini setelah ditinggali cukup lama, tidak sebesar dan sekejam yang kita kira sebelumnya.
Mungkin itu sebabnya, banyak orang berdatangan ke kota ini. Dengan segala kesan buruk tentang Ibu Kota, nyatanya orang-orang masih saja berdatangan ke sini. Saya tidak akan bicara lebih lanjut soal pembangunan yang tidak merata. Nanti malah semakin membosankan tulisan ini.
Yang jelas, saya rasa, kenapa juga akhirnya orang-orang bertahan di sini, karena secara psikologis mereka mulai menerima baik buruknya kota ini. Seperti juga saya. Padahal dulu saya pernah membenci kota ini. Panas. Kejam. Tidak nyaman. Sekarang, saya sepertinya mulai menikmati hidup di sini.
Ah Jakarta.
Ternyata, pandangan saya tentang kota ini, sedikit berubah setelah saya tinggal di kota ini. Belum lama memang, September besok baru genap satu tahun. Dulu, waktu masih jarang ke kota ini, badan saya menolaknya. Gila! Panas sekali udaranya. Belum lagi matahari yang sepertinya lebih membakar. Sekarang, sepertinya badan saya baik-baik saja tuh menerima udara panas Ibu Kota.
Gedung bertingkatnya begitu juga. Dulu, di mata saya, gedung di kota ini, besar sekali ukurannya. Megah. Pencakar langit. Seakan-akan dari atapnya, kita bisa menyentuh awan. Tapi sekarang, gedung-gedung itu kok tidak terlihat sebesar dulu ya? Jalan Sudirman pun begitu. Dulu, kawasan ini terlihat luas sekali. Saya merasa kecil ketika berada di jalan ini. Tapi sekarang, ternyata Sudirman tidak seluas dulu.
Kamu pernah punya pikiran seperti itu? Bahwa sesuatu yang dulunya terasa besar di pikiranmu, sekarang terlihat biasa saja. Pikiran tentang Jakarta khususnya. Bahwa kota ini setelah ditinggali cukup lama, tidak sebesar dan sekejam yang kita kira sebelumnya.
Mungkin itu sebabnya, banyak orang berdatangan ke kota ini. Dengan segala kesan buruk tentang Ibu Kota, nyatanya orang-orang masih saja berdatangan ke sini. Saya tidak akan bicara lebih lanjut soal pembangunan yang tidak merata. Nanti malah semakin membosankan tulisan ini.
Yang jelas, saya rasa, kenapa juga akhirnya orang-orang bertahan di sini, karena secara psikologis mereka mulai menerima baik buruknya kota ini. Seperti juga saya. Padahal dulu saya pernah membenci kota ini. Panas. Kejam. Tidak nyaman. Sekarang, saya sepertinya mulai menikmati hidup di sini.
Ah Jakarta.
2 Comments:
tapi ingat leh... ibu tiri tak sekejam ibu kota...
it's the city you live in, the city of Angels...
Post a Comment
<< Home