Thursday, June 22, 2006

Perjalanan Majalah Musik di Indonesia



Kata
Frank Zappa, "Most rock journalism is about people who can't write
interviewing people who can't talk for people who can't read." Mungkin
dia benar. Makanya, majalah musik di Indonesia tidak pernah bertahan
lama. Walaupun istilah rock journalism belum ada di Indonesia.




Ini masih dalam rangka kursus
jurnalisme sastrawi. Tugas terakhir adalah membuat outline. Untuk buku,
atau pelaporan mendalam. Saya memilih buku. Dan ini, kira-kira yang
ingin saya buat.






Outline Buku “Perjalanan Majalah
Musik di Indonesia” karya Soleh Solihun. [Amiiin].












Majalah
musik di Indonesia tidak pernah bernasib baik. Umurnya tidak pernah bertahan
lama. Kalau dibandingkan di luar negeri, mereka punya majalah musik yang
bertahan puluhan tahun. Rolling Stone, NME, Blender, Spin, beberapa di
antaranya.

 

Di
Indonesia, satu-satunya majalah musik yang pernah bertahan lama, hanyalah
Aktuil. Dari tahun 1967, hingga 1981. Itu pun, hanya mengalami masa jaya pada
kurun waktu 1970 – 1975. Setelah Aktuil, belum ada majalah musik yang bisa
menyamai kesuksesan itu. Nah, buku ini ingin memaparkan bagaimana kisah majalah
musik di Indonesia. Kenapa tidak pernah ada yang sukses? Bagaimana peranannya
dalam perkembangan industri musik di Indonesia? Dan banyak pertanyaan lain.












Untuk
menceritakan perjalanan majalah musik di Indonesia, saya bagi ke dalam empat
periode.

 


Periode ’70-an.

Majalah
yang diceritakan di sini, adalah Aktuil. Disinggung sedikit soal majalah musik
sebelum Aktuil, yaitu Musika, yang terbit tahun ’50-an. Tapi karena Aktuil yang
paling fenomenal, maka kisah ini dimulai di sini. Plus, industri musik
Indonesia di tahun ’70-an mulai menunjukkan geliatnya.






Cerita
dimulai dari pernyataan Remy Sylado, soal tidak akan mau lagi mengurus majalah
musik. Dibayar berapapun. Lantas, flashback ke masa ketika Sylado ditawari jadi
redaktur di Aktuil. Majalah ini kemudian berkembang. Sylado salah satu tokoh
kunci. Sylado pula yang hingga sekarang masih dikenal publik. Itu sebabnya,
karakter Sylado untuk menceritakan majalah Aktuil tepat digunakan. Dia juga
bisa bicara banyak soal industri musik serta jurnalis musik di Indonesia.






Di
periode ini, diceritakan juga, bagaimana Bens Leo yang masih muda bergabung di
Aktuil. Dia juga salah satu alumni Aktuil yang masih aktif hingga sekarang. Bens
Leo juga jadi Pemimpin Redaksi NewsMusik, majalah musik yang kemudian terbit di
akhir ’90-an.








Periode ’80-an.

Banyak
yang mencoba mengulang kesuksesan majalah Aktuil. Vista Musik di antaranya.
Beberapa awak Aktuil bahkan ikut bergabung di sini. Tapi, Vista Musik tidak
berhasil juga. Berubah format jadi Vista Film, Musik, Televisi. Di akhir
’80-an, majalah Hai mulai berubah format jadi majalah remaja pria. Arswendo
masuk.








Periode ’90-an.

Di
awal tahun ’90-an, Tabloid Citra Musik terbit. Setelah Monitor dibredel,
pelan-pelan tabloid ini berubah format jadi tabloid hiburan. Untuk mengganti
posisi Monitor. Beberapa karakter di era ini, Remy Soetansyah, dan Hans Miller
Banureah. Dua nama ini, akan masuk lagi dalam cerita, di awal 2000-an.






Di
era ini, Hai jadi majalah yang paling banyak memberi informasi musik. Remaja
Indonesia, rasanya percaya saja apa yang Hai katakan. Mirip dengan yang dialami
Aktuil. Sejarah berulang. Hanya, Hai masih bisa diselamatkan. Porsi musik dikurangi
sedikit demi sedikit. Perusahaan yang besar di belakangnya, jadi salah satu
faktor penentu juga. Di era ini, nama Denny MR muncul. Di era ini pula,
Arswendo pernah mengelola Tabloid Dangdut selepas dari penjara. Tabloid Dangdut
juga tidak bernasib baik.








Periode 2000-an.

Akhir
’90-an dan awal 2000-an, muncul media massa musik. Tabloid MUMU, yang hanya
bertahan sekitar empat tahun. Majalah NewsMusik, yang hanya tiga tahun. Dan
tabloid Rock, yang hanya sekitar 52 edisi. Remy Soetansyah dan Hans Miller Banureah
dua petingginya. Majalah Popcity juga hanya bertahan sekitar tiga tahun.
Majalah Poster juga tidak lebih baik nasibnya. Di era ini, beberapa majalah
independen, yang membahas musik cutting edge terbit. Trolley, hanya 11 edisi.
Kini, hanya beberapa nama bertahan. Trax dan Ripple di antaranya. Ripple
majalah independent yang banyak menulis musik yang tidak mainstream. Sekarang
berubah jadi majalah gratisan. Sebagian halamannya diisi katalog produk distro.




Alurnya
kronologis. Tapi, di setiap periode, tentu saja digambarkan konflik-konflik
yang melanda majalah-majalah itu. Beberapa kisah yang berulang juga, akan
menarik untuk diceritakan. Misal, kesamaan Aktuil dan Ripple, yang terbit dari
Bandung. Soal porsi musik rock yang cukup besar di Aktuil dan Trax. Cerita
berhenti di tahun 2006. Menyisakan pertanyaan, soal berapa lama majalah musik
yang sekarang masih terbit bisa bertahan? Apakah sejarah akan berulang?





18 Comments:

Anonymous sossi sagaya said...

tentang majalah "aktuil" aya film dokumenterna. tugas akhir budak ikj. geus ningal can? lumayan keur memperdalam... bisi engke berguna quote-quotena.

June 22, 2006 9:01 PM  
Anonymous soleh solihun said...

enggeus, basa di bandung. lumayan sih. walaupun tidak sesuai ekspektasi urang. kurang nendang!

June 22, 2006 9:26 PM  
Anonymous sossi sagaya said...

yah memang. tapi di negara yang tidak menghargai kerja dokumentasi, hal macam begini terasa banget seperti mutiara. ceuk filmmakerna, hese neangan sumber footage ti tvri-na. tah si tvri memang sumber nu gararoblok. saeutik-saeutik duit... repot pisan euy.

June 22, 2006 9:39 PM  
Anonymous soleh solihun said...

*menghela nafas* sedih nya. karya musik di indonesia tidak terdokumentasikan dengan baik. jadina, ayeuna beberapa kelompok musik nu cenah disebut legenda, pernah jaya di tahun '70-an teu bisa ku urang nikmati. hanya jadi dongeng sebelum tidur, meureun.

industri musikna oge salah sebenerna. manajemen kelompok musik era sakitu, can aya nu alus. mudah2an ini jadi pelajaran buat manajemen kelompok musik sekarang.

June 22, 2006 10:11 PM  
Anonymous widi asmoro said...

ini indonesia atau bandung sih?

Ttg majalah musik yah? Hmm.. Menurut gue bahasan ini juga ada kaitannya dengan peliknya politik & ekonomi di Indonesia masa ke masa. Hebatnya lagi, politik & ekonomi itu berpengaruh mendalam pada musik itu sendiri. Kenapa Koes Bersaudara/Plus sempat dipenjara? Kenapa Harmoko pernah merasakan ini era musik cengeng? Dan kenapa juga Slank menjadi ikon-pemberontak-selanjutnya pasca Iwan Fals?

Hidup mati sebuah majalah bergantung pada pembaca. Kita-kita inilah (readership) yang menentukan apakah majalah itu bisa langgeng atau tidak. Ini bukan soal jumlah sirkulasi yang keluar dan juga bukan jumlah banyak/sedikitnya iklan yang masuk. Majalah bisa bertahan karena ada pembaca.

Lalu pembaca kita adalah orang Indonesia yang ekonominya mayoritas ngepas. Belum lagi musti dihadapkan dengan masalah politik luar-negeri dan RT-RW. Jadi buat beli majalah aja musti mikir-mikir. Lagi pula kalau dilihat dari runut waktu yang dibuat mas Soleh, musik Indonesia jaman itu masih berjalan lambat. Artinya, hanya orang yang punya duit banyaklah yang bisa jadi artis. Pekerjaan artis/musisi waktu itu masih dibilang belum punya masa depan. Jadi untuk mayoritas orang Indonesia yang miskin, masih harus berpikir 1000x agar anaknya jadi musisi, lebih baik jadi tukang insinyur lah!

Disinilah majalah mati. Nggak ada yang mau jadi musisi ya nggak ada juga yang beli majalah. Tapi akhirnya orang-orang bosan dengan peliknya politik dan ekonomi. Perlahan orang-orang mencari pelarian dari kejenuhan itu. Dan musik lah yang dianggap sebagai media yang tepat untuk pelarian. Maka tak ayal era 2000an industri musik makin marak. Orgen tunggal dimana-mana. Karaoke tiap malam full. Apalagi malam minggu.

Selanjutnya, kita liat sendiri skrg kenapa RS berani untuk invest di bumi Indonesia ini. Pasti ada 'sesuatu'. Nah, yang gue cermati ttg majalah musik era dulu sampai sekarang adalah tidak adanya kerjasama mesra nan romantis ke perusahaan rekaman atau ke artis itu sendiri. Klo diliat di Jepang, majalah Patti Patti dibeking sama label rekaman terbesar di Jepang dan sukses. Kok disini nggak ada yang berani seperti itu yah? Oh iya ada Koran Slank.. hampir lupa saya..

Btw, Music Book Selection masuk ke majalah musik ngga? Dia juga bahas ttg musik dan laku ditiru. Meski kemudian muncullah KCI sebagai pahlawan 'kesiangan' yang membuat industri majalah seperti ini agak jadi ser..ser.. weess.. gitu deh jantungnya.

Akhirnya, di era Information Super Highway hari ini, industri majalah di Indonesia masih menjadi abu-abu masa depannya.

June 23, 2006 12:23 AM  
Anonymous dedidude dedidude said...

sepanjang musik indonesia belum bisa dewasa majalah musik yang berumur akan tetep jadi impian..

June 23, 2006 12:15 PM  
Anonymous soleh solihun said...

ini indonesia wid. kalo buat gua sih, majalah musik di sini, yang menyajikan berita musik dalam porsi cukup besar. sedangkan mbs, kan banyak ngasih kord dan lirik lagu doang. kegiatan jurnalistiknya agak kurang. gua nggak masukin dalam bahasan. paling disinggung doang.

ini sebetulnya judul skripsi gua. tapi, karena masih banyak data yang perlu dilengkapi, gua belum pede buat ngajuin skripsi gua jadi buku ke penerbit.

kalo soal perusahaan rekaman mendukung penerbitan, pernah ada tabloid rock yang dibacking log zhelebour. tapi, dia juga nggak serius.

tadi siang, di kursus itu, pengajarnya, andreas harsono, ketua yayasan pantau bilang gini.
salah satu kritik dia untuk majalah musik, adalah karena steril dari politik. dia bilang jurnalis musik di kita tidak punya independensi. banyak dari jurnalis yang jadi humasnya band. banyak jurnalis yang jadi penyelenggara konferensi pers. ini membuat jurnalis musik kehilangan independensinya. boleh tidak setuju sama pendapat dia.

tapi, di skripsi gua, ada beberapa kesimpulan yang bisa gua ambil berdasar hasil wawancara banyak orang. singkatnya sih kenapa banyak majalah musik nggak laku, karena:

minat baca yang belum tinggi. udah gitu, musik di kita, masih tahap didengar. orang dengerin musik aja. belum mau tau di balik proses kreatif sebuah lagu, dll.

belum ada perusahaan yang cukup serius menangani majalah musik. akibatnya, manajemen dengan redaksi sering tidak sejalan. majalah musik sepi iklan. banyak barternya. salah satunya dari label. karena label minim dana promosi, daripada beriklan di majalah, mereka lebih milih barter.

terus, kualitas jurnalis musik juga dipertanyakan. belum banyak jurnalis yang ngerti banget musik dan menyukai musik. banyak yang jadi jurnalis musik karena kebetulan.

industri musik dan manajemen band juga ikut berperan. dokumentasi musik di kita kan buruk. coba, kita mau nelusuri diskografi koes plus dengan baik, apakah bisa?

itu singkatnya sih. masih bisa diperdebatkan.

June 23, 2006 7:20 PM  
Anonymous hagi hagoromo said...

uhm uhm...
ini komentar siapa aja ya?

June 23, 2006 7:50 PM  
Anonymous widi asmoro said...

hihihii... jadi malu.. :p

June 24, 2006 7:43 PM  
Anonymous indra ameng said...

Hehehe...topik yang menarik nich Bung Soleh. Dan ini juga sering jadi pertanyaan buat gue,...kenapa nggak ada majalah Musik lokal yang bisa bertahan?
Selain musik, apa ada majalah Film, Seni Rupa, atau juga majalah Seni Budaya yang bisa bertahan? Nggak ada kayaknya. Pantau aja nggak terbit lagi. Jadi bukan cuman musik aja khususnya, terutama media yang ngomongin seni dan kultur.
Tapi ada juga yang tetep laku kayak Majalah Misteri dan Sabili...hehehe... itu kan kultur...hehe..

Bener juga soal kurangnya minat baca, yang bikin orang jarang beli majalah apalagi buku, sehingga bisa bikin penerbit & majalah bangkrut. Ini mungkin karena nggak ada kebutuhan untuk membaca.

Kalo menurut gue, pe-er-nya lebih susah lagi emang. Musti bisa nyiptain kebutuhan akan membaca. Membaca tentang Musik khususnya. Terus akan berkelanjutan pertanyaannya, baca tentang musik yang seperti apa dulu nich.
Jadi maksud gue, majalah musik yang kayak gimana yang dibutuhin di Indonesia.
Ini mungkin yg mesti dicari formulanya.

Kapn-kapan kalo ketemu seru juga kalo kita ngobrolin ini nich, Leh.

June 24, 2006 10:00 PM  
Anonymous soleh solihun said...

hahahaha. siga nu hayang disebut euy.

June 26, 2006 4:16 PM  
Anonymous soleh solihun said...

nah, ini dia! harusnya sih, kalo udah ada yang nemu formula yang tepat, kita bakal punya majalah musik yang tahan puluhan atau belasan tahun.

sekarang, kita liat aja, kalo trax dan rolling stone bisa bertahan minimal sepuluh tahun, mungkin kita punya jawabannya.

June 26, 2006 4:21 PM  
Anonymous indra ameng said...

Buat gue AKTUIL tetep jadi sample yang paling oke buat majalah musik lokal. Karena AKTUIL bisa ngewakilin generasi pada zamannya dan tentunya memberikan perspektif yang baru dari generasi baru di zaman itu. Semangatnya terasa ketika gue baca tulisan2 di dalamnya. Begitu juga RIPPLE di waktu yg berbeda.
Ide & visi dibalik pembuatan sebuah majalah sangat menentukan tentunya. Apakah ide bisa bertahan melampaui masanya atau nggak.Soalnya ini yg jadi roh dari majalahnya & jurnalis2 yg ada di dalamnya yg jadi messenger-nya. Kayak era Denny Sabri, Remy Sylado di AKTUIL misalnya.
Berikutnya masih ada masalah modal, management dan juga regenerasi. Dan ini memang bukan kerjaan gampang.

Gue membayangkan ada majalah musik baru yang didalamnya ada Soleh Solihun, Wenz Rawk, Arian 13 dan David Tarigan. Tapi bukan di TRAX dan bukan juga di Rolling Stone.
Yah, kita memang butuh media baru.
Itu menurut gue.

June 27, 2006 1:55 AM  
Anonymous widi asmoro said...

seorang teman berkomentar kalau nama-nama yang barusan elo sebutkan adalah the next journalist untuk indonesian music

June 27, 2006 12:02 PM  
Anonymous soleh solihun said...

aktuil besar karena remy sylado dan denny sabri. waktu gua wawancarai, remy bilang, salah satu alasan dia keluar karena perusahaan kurang layak membayar dia. minta kenaikan gaji, tapi tidak dikabulkan. padahal, menurut remy, majalah itu besar salah satunya karena dia. tapi, penghargaan buat dia, kurang. denny sabri cabut karena sibuk jadi manajer artis. akibatnya, isi aktuil jadi semakin kehilangan bobotnya.

belum lagi, faktor redaksi yang tidak bisa mengikuti perkembangan jaman. redaksi sudah menua. sedangkan sasaran pembaca aktuil adalah anak muda.

manajemen yang kurang baik, agaknya berlaku juga di banyak majalah musik. itu pula yang jadi alasan utama sebagian besar kru trax hengkang. newsmusik tutup, karena kata bens leo, pemilik saham tidak menepati janji di awal. bilangnya punya dana untuk beberapa tahun ke depan, tapi setelah enam edisi, uang sudah habis untuk promosi dan biaya mencetak enam edisi. akhirnya, mereka susah payah meminta dana pada komisaris untuk setiap edisi. ini membuat bens leo cabut. yang berbuntut pada tutupnya majalah itu.

popcity gua kurang tau. karena waktu buat skripsi, majalah itu masih hidup. kemungkinan besar, karena kurang menguntungkan. poster, kata si andre, juga karena manajemen.

banyak dari narasumber gua yang bilang, untuk mengelola majalah musik, perlu orang berduit yang gila musik. yang ngerti musik. dan bisa memaklumi kalau majalah musik, tidak bisa balik modal dalam waktu singkat.

memang, cerita soal manajemen dan redaksi yang bentrok sering kita dengar. tapi, kayaknya bentrok ini cukup sering terjadi di majalah musik.

gua melihat pemilik modal rolling stone cukup kuat dari segi dana. kalau mereka bisa terus begini sampai lima tahun ke depan, bukan mustahil rolling stone akan bertahan. itu pun kalau mereka tidak ditinggalkan jurnalis2 handalnya.

tapi betul kata ameng, agaknya kita butuh media baru. gua sih membayangkan, kalau saja perusahaan sebesar gramedia mau investasi serius untuk majalah musik, mungkin saja kita bakal punya majalah musik yang bisa bertahan lama.

June 27, 2006 2:22 PM  
Anonymous angky astari said...

dulu HAI sempat jadi majalah musik, mas sol. at least musik sebagai lokomotifnya lah.. 70% dari berita mereka adalah musik. sampe sekarang pun, ketika kembali ke roots sebagai majalah remaja, cover mereka pun di dominasi oleh grup musik ketimbang model feature.
karena besarnya berita musik, akhirnya hai membuat majalah ROCKSTAR. masih terbit koq. hihihi...

wartawan musik suka nakal, mas. kadang2 dapet amplop untuk menulis review bagus atau gosip ga bagus tentang seseorang. payah emang... tapi nggak semua wartawan begitu koq.

eh ya.. denger2 kursus di pantau ya? enak ga? saya minat sepertinya....

July 13, 2007 5:01 PM  
Anonymous hdbxcd sdgnvn said...


Make your own glitters here

March 05, 2008 6:07 PM  
Anonymous gepenj ryan said...

audiopro gmn bang soleh..??

April 02, 2008 11:42 AM  

Post a Comment

<< Home