Saya, The Upstairs dan Slank
Satu lagi konser The Upstairs saya datangi.
Entah konser ke berapa, konser mereka di Barbados Cafe, Kemang, Rabu [31/5] sore tadi. Yang jelas, suasananya selalu sama. Baik itu di Jakarta, maupun di Bandung. Anak muda dengan pakaian yang berwarna cerah. Celana ketat, kaos band atau kaos motif garis-garis. Keriting jambul. Rambut poni kuda buat perempuannya.
Remaja-remaja putrinya memang sedap dipandang mata. Hehe.
Karakter kelompok musik itu sudah kuat terbentuk. Dan pengaruh mereka bisa terlihat dari pakaian anak-anak muda yang datang ke setiap konser The Upstairs. Anak-anak itu berdandan seperti idola mereka. Jangan heran kalau datang ke konser The Upstairs kamu menemukan anak dengan penampilan mirip vokalis Jimi Multhazam.
Ini mengingatkan saya waktu remaja dulu. Datang ke banyak konser Slank dan Iwan Fals. Dengan celana jins robek-robek, kaos lusuh, rambut gondrong. Semakin lusuh, rasanya semakin pas kostumnya. Tentu saja itu dulu. Sekarang, Slank sudah tidak lusuh lagi. Dan penonton konser Slank sudah tidak didominasi anak-anak lusuh.
Makanya, melihat Modern Darlings--sebutan untuk penggemar The Upstairs--di konser-konser The Upstairs, sedikit mengingatkan Slankers pada jaman Slank baru muncul. Modern Darlings itu sepertinya punya potensi untuk jadi sekuat Slankers. Atau, sekuat Oi--sebutan untuk penggemar Iwan Fals.
Oke, di konser The Brandals pun memang banyak crowd fanatik mereka--Brigade Rock n' Roll kalau saya tidak salah. Atau, adanya Speaker People--sebutan untuk penggemar Speaker 1st--di Bandung. Tapi, ada kesamaan antara Slankers dan Modern Darlings.
Di konser launching album kedua The Upstairs tadi, manajemen dibantu anak-anak muda yang disebut sebagai The Upstairs Street Team. Mereka jadi penerima tamu. Penjaga pintu masuk. Penjual merchandise.
Setelah Slankers dan Oi, rasanya giliran Modern Darlings unjuk gigi.
Oke, sekarang konsernya. The Upstairs main selama kurang lebih 1 jam 45 menit. Membawakan lagu-lagu dari album "Matraman" dan "Energy". Warner Music Indonesia rupanya berbahagia melihat antusiasme crowd yang begitu besar. Setidaknya, salah satu dari mereka wajahnya sangat senang.
Bagaimana tidak? Selama konser, crowd ikut menyanyikan semua lagu yang dibawakan The Upstairs. Catat itu. Semua! Bukan hanya lagu dari album terdahulu mereka. Ini berarti mereka yang datang benar-benar menyukai lagu-lagunya.
Sekali lagi, mengingatkan saya jaman dulu ketika masih penuh semangat datang ke konser Iwan Fals dan Slank. Sepanjang konser pasti saya ikut bernyanyi.
Dan seperti biasa, Jimi paling enerjik di antara mereka. Gitaris Kubil Idris, dingin. Sembunyi di balik gitar dan rambut poninya. Dengan rambut seperti itu, Kubil mengingatkan saya akan Johnny Ramone, tapi lebih kalem. Bassit Alfi Chaniago, juga tidak lebih enerjik dibandingkan Kubil. Saya selalu melihat kemiripan antara Jimi dan Alfi. Rambut dan bentuk muka. Hanya saja, Alfi terlihat lebih rupawan dibandingkan Jimi.
Kibordis Elta Emanuella juga begitu. Tenang. Sesekali tersenyum. Drummer Beni Adhiantoro masih bisa enerjik. Tidak jarang, dia ikut bernyanyi. Kalau ada yang bisa sedikit mengimbangi penampilan Jimi yang enerjik, itu adalah Backing Vocalist Dian Maryana. Dia berdansa sambil bernyanyi. Bisa memaksimalkan perannya di panggung.
Saya jadi penasaran bagaimana proses kreatif yang mereka lalui. Maksudnya, dengan para personel yang pendiam seperti itu, mereka bisa menghasilkan karya yang apik. Untung saja, dari segi penampilan, mereka bisa terlihat senada.
Mungkin juga di situ kekuatannya. Jimi, paling banyak bicara. Paling lincah. Dan paling tua--kelahiran '74. Yang lainnya, tenang. Beraksi lewat instrumen yang mereka mainkan. Dan usia mereka jauh di bawah Jimi--kelahiran '79 hingga '83.
Di tengah-tengah konser, saya membayangkan bagaimana jadinya kalau The Upstairs sudah sukses secara komersil. Dan jadi sebesar Slank. Tur keliling Indonesia. Tiketnya sold out. Secara finansial mereka meningkat. Dan Jimi tidak lagi bisa nongkrong di pinggir jalan. Naik bis kota. Atau naik scooter-nya.
Nah, saat itu tiba, saya jadi berpikir. Mungkin tidak akan ada lagi lirik seperti "Demi trotoar dan debu yang beterbangan..." atau "Berangkat ke jantung selatan dalam bis kota bersama orang-orang lelah bermata lima watt..."
Akankah lirik bertema urban khas Jimi masih ada ketika The Upstairs jadi kelompok musik papan atas? Ataukah mereka akan jadi kelompok musik yang ternyata malah jadi lebih bagus menulis lagu cinta. Seperti Slank sekarang. Lirik-liriknya tidak sekuat seperti di 5 album mereka.
Ah. Maaf kalau jadinya mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti. Nyatanya, The Upstairs masih menghasilkan karya yang apik di dua album dan satu mini albumnya. Album "Energy" pun masih dipromosikan. Jadi, mari kita nikmati momen menyenangkan ini.
Dan esok kita pasti berdansa.
Entah konser ke berapa, konser mereka di Barbados Cafe, Kemang, Rabu [31/5] sore tadi. Yang jelas, suasananya selalu sama. Baik itu di Jakarta, maupun di Bandung. Anak muda dengan pakaian yang berwarna cerah. Celana ketat, kaos band atau kaos motif garis-garis. Keriting jambul. Rambut poni kuda buat perempuannya.
Remaja-remaja putrinya memang sedap dipandang mata. Hehe.
Karakter kelompok musik itu sudah kuat terbentuk. Dan pengaruh mereka bisa terlihat dari pakaian anak-anak muda yang datang ke setiap konser The Upstairs. Anak-anak itu berdandan seperti idola mereka. Jangan heran kalau datang ke konser The Upstairs kamu menemukan anak dengan penampilan mirip vokalis Jimi Multhazam.
Ini mengingatkan saya waktu remaja dulu. Datang ke banyak konser Slank dan Iwan Fals. Dengan celana jins robek-robek, kaos lusuh, rambut gondrong. Semakin lusuh, rasanya semakin pas kostumnya. Tentu saja itu dulu. Sekarang, Slank sudah tidak lusuh lagi. Dan penonton konser Slank sudah tidak didominasi anak-anak lusuh.
Makanya, melihat Modern Darlings--sebutan untuk penggemar The Upstairs--di konser-konser The Upstairs, sedikit mengingatkan Slankers pada jaman Slank baru muncul. Modern Darlings itu sepertinya punya potensi untuk jadi sekuat Slankers. Atau, sekuat Oi--sebutan untuk penggemar Iwan Fals.
Oke, di konser The Brandals pun memang banyak crowd fanatik mereka--Brigade Rock n' Roll kalau saya tidak salah. Atau, adanya Speaker People--sebutan untuk penggemar Speaker 1st--di Bandung. Tapi, ada kesamaan antara Slankers dan Modern Darlings.
Di konser launching album kedua The Upstairs tadi, manajemen dibantu anak-anak muda yang disebut sebagai The Upstairs Street Team. Mereka jadi penerima tamu. Penjaga pintu masuk. Penjual merchandise.
Setelah Slankers dan Oi, rasanya giliran Modern Darlings unjuk gigi.
Oke, sekarang konsernya. The Upstairs main selama kurang lebih 1 jam 45 menit. Membawakan lagu-lagu dari album "Matraman" dan "Energy". Warner Music Indonesia rupanya berbahagia melihat antusiasme crowd yang begitu besar. Setidaknya, salah satu dari mereka wajahnya sangat senang.
Bagaimana tidak? Selama konser, crowd ikut menyanyikan semua lagu yang dibawakan The Upstairs. Catat itu. Semua! Bukan hanya lagu dari album terdahulu mereka. Ini berarti mereka yang datang benar-benar menyukai lagu-lagunya.
Sekali lagi, mengingatkan saya jaman dulu ketika masih penuh semangat datang ke konser Iwan Fals dan Slank. Sepanjang konser pasti saya ikut bernyanyi.
Dan seperti biasa, Jimi paling enerjik di antara mereka. Gitaris Kubil Idris, dingin. Sembunyi di balik gitar dan rambut poninya. Dengan rambut seperti itu, Kubil mengingatkan saya akan Johnny Ramone, tapi lebih kalem. Bassit Alfi Chaniago, juga tidak lebih enerjik dibandingkan Kubil. Saya selalu melihat kemiripan antara Jimi dan Alfi. Rambut dan bentuk muka. Hanya saja, Alfi terlihat lebih rupawan dibandingkan Jimi.
Kibordis Elta Emanuella juga begitu. Tenang. Sesekali tersenyum. Drummer Beni Adhiantoro masih bisa enerjik. Tidak jarang, dia ikut bernyanyi. Kalau ada yang bisa sedikit mengimbangi penampilan Jimi yang enerjik, itu adalah Backing Vocalist Dian Maryana. Dia berdansa sambil bernyanyi. Bisa memaksimalkan perannya di panggung.
Saya jadi penasaran bagaimana proses kreatif yang mereka lalui. Maksudnya, dengan para personel yang pendiam seperti itu, mereka bisa menghasilkan karya yang apik. Untung saja, dari segi penampilan, mereka bisa terlihat senada.
Mungkin juga di situ kekuatannya. Jimi, paling banyak bicara. Paling lincah. Dan paling tua--kelahiran '74. Yang lainnya, tenang. Beraksi lewat instrumen yang mereka mainkan. Dan usia mereka jauh di bawah Jimi--kelahiran '79 hingga '83.
Di tengah-tengah konser, saya membayangkan bagaimana jadinya kalau The Upstairs sudah sukses secara komersil. Dan jadi sebesar Slank. Tur keliling Indonesia. Tiketnya sold out. Secara finansial mereka meningkat. Dan Jimi tidak lagi bisa nongkrong di pinggir jalan. Naik bis kota. Atau naik scooter-nya.
Nah, saat itu tiba, saya jadi berpikir. Mungkin tidak akan ada lagi lirik seperti "Demi trotoar dan debu yang beterbangan..." atau "Berangkat ke jantung selatan dalam bis kota bersama orang-orang lelah bermata lima watt..."
Akankah lirik bertema urban khas Jimi masih ada ketika The Upstairs jadi kelompok musik papan atas? Ataukah mereka akan jadi kelompok musik yang ternyata malah jadi lebih bagus menulis lagu cinta. Seperti Slank sekarang. Lirik-liriknya tidak sekuat seperti di 5 album mereka.
Ah. Maaf kalau jadinya mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti. Nyatanya, The Upstairs masih menghasilkan karya yang apik di dua album dan satu mini albumnya. Album "Energy" pun masih dipromosikan. Jadi, mari kita nikmati momen menyenangkan ini.
Dan esok kita pasti berdansa.
1 Comments:
Semoga...
esok...
kita masih tetap berdansa...
dengan The Upstairs yang sama serunya.... ;p
Post a Comment
<< Home