Mempertanyakan Ketulusan
Indonesia berduka [lagi].
Rasanya Aceh saja belum benar-benar
pulih setelah bencana Tsunami. Lantas, ada Merapi. Beberapa hari lalu,
ada gempa di Jogja. Dan beberapa menit lalu, saya dengar, ada gempa
juga di Papua dan Sumatera Barat.
Dan seperti biasa. Pengumpulan
dana ada di mana-mana. Di jalan raya--bersaing dengan para pengemis dan
peminta sumbangan pembangunan masjid, di kampus-kampus, di televisi, di
koran, hingga di event-event yang digelar kemudian.
Pejabat melakukan kunjungan. Selebritis pun ikut-ikutan.
Mereka
yang berduit lebih, mengucapkan belasungkawanya di televisi. Departemen
ini lah. Departemen itu lah. Pokoknya, orang-orang harus tau, kalau
Departemen atau Lembaga itu ikut berduka.
Ini yang kadang suka
mengganggu saya. Kenapa juga kalau memberi bantuan, si pemberi
sepertinya ingin selalu memastikan orang lain tau perbuatannya? Tadi
pagi saya nonton infotainment. Ada tayangan soal pembacaan doa bersama
artis dan ustadz. Di depan mesjid tempat doa itu digelar, ada spanduk
bertuliskan acara itu. Plus, siapa saja publik figur yang ikut kegiatan
itu.
Kampanye Public Relations kah? Entahlah.
Ini
sebenarnya mirip dengan kalau kita datang ke resepsi pernikahan. Kenapa
juga amplop berisi uang yang kita berikan untuk si empunya hajat, harus
dituliskan nama kita? Saya sih tidak pernah menuliskan nama saya di
amplop. Ini salah satu cara menjaga ketulusan. Dan juga salah satu cara
aman kalau memang jumlah uang yang saya masukan di amplop tidak terlalu
besar. Hehe.
Sudah ah. Terlepas dari tulus/tidaknya bantuan yang
dikumpulkan, saya doakan semoga semua bantuan bisa tersalurkan dengan
baik dan benar. Dan semoga saja cobaan ini tidak berkepanjangan.
Amin.
Rasanya Aceh saja belum benar-benar
pulih setelah bencana Tsunami. Lantas, ada Merapi. Beberapa hari lalu,
ada gempa di Jogja. Dan beberapa menit lalu, saya dengar, ada gempa
juga di Papua dan Sumatera Barat.
Dan seperti biasa. Pengumpulan
dana ada di mana-mana. Di jalan raya--bersaing dengan para pengemis dan
peminta sumbangan pembangunan masjid, di kampus-kampus, di televisi, di
koran, hingga di event-event yang digelar kemudian.
Pejabat melakukan kunjungan. Selebritis pun ikut-ikutan.
Mereka
yang berduit lebih, mengucapkan belasungkawanya di televisi. Departemen
ini lah. Departemen itu lah. Pokoknya, orang-orang harus tau, kalau
Departemen atau Lembaga itu ikut berduka.
Ini yang kadang suka
mengganggu saya. Kenapa juga kalau memberi bantuan, si pemberi
sepertinya ingin selalu memastikan orang lain tau perbuatannya? Tadi
pagi saya nonton infotainment. Ada tayangan soal pembacaan doa bersama
artis dan ustadz. Di depan mesjid tempat doa itu digelar, ada spanduk
bertuliskan acara itu. Plus, siapa saja publik figur yang ikut kegiatan
itu.
Kampanye Public Relations kah? Entahlah.
Ini
sebenarnya mirip dengan kalau kita datang ke resepsi pernikahan. Kenapa
juga amplop berisi uang yang kita berikan untuk si empunya hajat, harus
dituliskan nama kita? Saya sih tidak pernah menuliskan nama saya di
amplop. Ini salah satu cara menjaga ketulusan. Dan juga salah satu cara
aman kalau memang jumlah uang yang saya masukan di amplop tidak terlalu
besar. Hehe.
Sudah ah. Terlepas dari tulus/tidaknya bantuan yang
dikumpulkan, saya doakan semoga semua bantuan bisa tersalurkan dengan
baik dan benar. Dan semoga saja cobaan ini tidak berkepanjangan.
Amin.
12 Comments:
riya'?
seperti yang sering kau hujatkan padaku?
huhuhu.. btw, anak yang bersemangat itu fakultas kedokteran apa leh?
hahaha. istighfar gi. istighfar. :)
astaghfirullah al'adzim..
klo pergi ke nikahan chinesse, amplopnya gak boleh langsung dimasukkan tapi ditandai dengan nomer urut kita mengisi buku tamu. klo di daerah banyuwangi, amplop dibuka dan dihitung isinya didepan kita kemudian di catat dalam buku khusus. katanya sih, kalo nanti yang ngasih amplop gantian ngegelar hajatan, kita ngasih amplopnya sebesar yg pernah dia kasih, gak boleh kurang tapi boleh lebih.
wah, makasih nih atas infonya soal budaya amplop2an. baru tau soalnya, ada yang begitu ternyata ya. :D
kalo soal press conference sih wid, rasanya sah2 aja kalo lu nanya kapan dimuat. namanya juga pekerjaan.
iya sih, kalau urusan tulus/tidak, itu kan urusan si pemberi dengan tuhan. yang penting, ada yang bisa merasakan bantuan.
ohya, tapi lu nggak kapok kan ngirim rilisan terbaru dari sony? meskipun nggak semuanya bisa kita review. hehehe. ;P
sama sekali nggak kapok, habisnya menuh2in meja gue aja deh, sumpek.... hehehehehe.... kan lebih baik rilisan dari sony memenuhi rak-rak cd para redaktur...
budaya om soleh...
begitulah..
gue pikir sih buat memastikan kalo sumbangan kita benar benar masuk. dan jumlahnya sesuai .
karena publik bisa liat jumlah yang masuk, dan sumbernya darimana..
kalo soal amplop kawinan. gue sih kadang suka ga enak kalo ngasih nya dikit, trus dinomerin.. hehehe... cuma ternyata gini lho. kan kalo orang kawin itu pake duit. kadangkala mereka sampai berhutang ke kerabat dll... maka itu perlu pemasukan juga dari amplop-amplop itu. (inilah mengapa skrg lebih memilih duit daripada bingkisan)... dan supaya orang jadi cenderung ngasihnya gede ya dikasih nomer aja. kan jadi ga enak kalo ngasih nya kecil... :D
tapi kalo bikin sumbangan buat korban gempa atau tsunami atau yatim piatu dan sampai harus diliput infotainment gitu sih keterlaluan. super ga tulus!
"ketulusan sering diaggap sebagai kelicikan luar biasa".
gue pernah ngomong begini sama om goenawan mohamad dan dia kutip dalam pidatonya. gaya euy.
susah leh mengukur niat..
iya euy. gaya gitu kutipannya. hehehe.
emang bener, susah banget mengukur niat. cuma, gua suka geli aja. ngeliat tayangan di infotainment, setiap ada bencana, artis-artis langsung melakukan gerakan peduli. mungkin mereka ada yang bener2 tulus, tapi begitu ngeliat ada spanduk segala. jadi pengen ketawa aja. hehehe.
dulu, medio 2001, waktu banjir melanda jakarta, dan gua lagi magang di bintang millenia, ada manajer artis yang nelepon ke kantor. minta diliput artisnya lagi ngasih bantuan. nah, sejak kejadian itu, gua selalu apriori terhadap gerakan kepedulian yang gua liat liputannya di media massa.
another catastrophe. and yet another exciting chance for the government officials to plan how they can corrupt the money out of the reconstruction budget...
Post a Comment
<< Home