Friday, June 16, 2006

Anak Muda, Musik, dan Parc

Ini tugas kedua saya untuk pelatihan jurnalisme sastrawi dari Yayasan Pantau. Membuat tulisan dengan memasukan kata "saya" dalam tulisan. Ini sebenarnya sudah sering saya lakukan di blog dan multiply. Tapi, tulisan ini harus menggambarkan adegan.

Sebenarnya saya kurang puas dengan hasilnya. Berhubung sudah malam, dan saya sudah mengantuk, akhirnya saya kumpulkan seperti di bawah ini, buat besok. Tugas pertama sih, dapat respon positif dari pengajar. Sesuai ekspektasi dia. Walaupun beberapa peserta mengatakan tulisan saya terlalu segmented. "Terlalu Jakarta," kata peserta dari Papua.

Tulisan di bawah ini, adalah salah satu adegan di Parc--mungkin akan dikritik lagi, karena terlalu Jakarta. Bisa jadi, gabungan dari beberapa adegan yang saya muat di satu tulisan. Ah biarlah. Toh, mereka tidak akan tau. Hihihi. Yang dinilai kan, struktur dan gaya penulisannya.

Anak Muda, Musik, dan Parc
Oleh Soleh Solihun

Parc, nama tempat itu. Saya tidak tahu harus menyebut apa. Klub atau bar. Kalau disebut klub, yang terbayang adalah klub malam tempat orang berdansa, berjoged, bergoyang, bersenang-senang, minum-minum. Kalau disebut bar, berarti hanya tempat minum. Tapi Parc adalah keduanya. Definisi klub, masuk di situ. Orang-orang datang ke sana untuk bersenang-senang menikmati musik. Ada barnya pula. Lokasinya cukup strategis. Ada di salah satu ruko di Jalan Iskandarsyah, dekat Blok M. Itu agaknya jadi salah satu kelebihan Parc.

Tidak seperti klub atau bar lain di Jakarta, pilihan musik yang dimainkan di sana tidak mainstream. Anda bisa mendengar para DJ memainkan musik mulai rock n’ roll, new wave, indie pop, hingga metal. Begitu pula kelompok musik yang bermain di sana. Bukan tipikal home band klub, atau café yang memainkan musik Top 40 dengan vokalis perempuan yang biasanya dandanannya terlalu menor atau sangat seksi.

Itu sebabnya, Parc didatangi banyak anak muda. Saya salah satunya. Entah kali ke berapa, saya datang ke Parc, Kamis malam itu. Seperti biasa, selalu ramai. Maklum, ada event mingguan bernama Thusrday Riot. Tidak, saya tidak salah ketik. Itu memang cara pengelola Parc menulisnya.

Di pelataran parkir, di luar pintu masuk Parc, tampak puluhan anak muda. Dandanan mereka senada. Celana jins ketat, kaos beraneka warna, sepatu Converse All Star, atau Vans Old School bagi sebagian lelakinya. Sebagian dari yang perempuan, memakai rok, kaos ketat dipadu rompi, kalung dan rambut dengan pony tail.

“Meliput Leh?” tanya seorang laki-laki ketika saya baru datang. Saya lupa namanya.
“Oh, nggak. Mau nonton aja,” jawab saya singkat sambil bersalaman.

Jadi jurnalis membuat saya kenal banyak orang di sana. Sebagian besar dari mereka, pernah saya wawancarai. Sebagian, ada yang kenal karena membaca tulisan saya di majalah. Ini sebabnya, saya menikmati jadi jurnalis musik. Punya akses ke berbagai event musik. Salah satu impian saya.

Parc punya dua lantai. Lantai bawah, tempat mendengarkan musik yang dimainkan DJ. Lantai atas, tempat live music digelar. Ruangannya tidak terlalu luas. Kira-kira sebanding dengan tiga per empat ruang kelas di sekolah. Lantai atas, selalu penuh sesak. Asap rokok, aroma minuman keras dan keringat campur jadi satu.

Ini salah satu yang sering menggangu saya. Asap rokok dan minuman keras. Ada di ruangan penuh asap rokok selama berjam-jam membuat mata saya perih. Saya bukan perokok, walaupun banyak orang mengira saya perokok. Kata mereka, penampilan saya seperti perokok. Dan saya juga tidak mengonsumsi alkohol. Saya sering diolok-olok karena ini. Tidak jarang, teman-teman saya menawari bir dingin. Seperti juga malam itu.

“Ayo Leh, minum sedikit aja,” kata seorang teman.
“Nggak ah. Makasih. Nggak minum euy.”

“Yang bener Leh? Nggak minum?” kata seorang lagi.
“Iya bener. Makasih ya.”

Saya sering ada di situasi seperti itu. Banyak yang tidak percaya, kalau saya tidak mengonsumsi alkohol. Tidak sedikit juga yang selalu menawarkan bahkan memaksa saya minum. Padahal, saya murni datang ke sana untuk bersenang-senang. Dan saya cukup senang, hanya dengan menikmati musik yang asik.

“Iya nih, masa’ nggak mau minum. Katanya rock n’ roll. Suka Rolling Stones. Masa’ nggak minum. Mick Jagger juga minum Leh,” kata teman saya lagi, sambil tertawa dan menyodorkan gelas.
Eits. Mick Jagger mah Mick Jagger. Kan gua cuma suka musiknya. Emang kalo suka musiknya, harus ikut-ikutan minum juga ya? Nggak kan.”

Saya menolaknya sekali lagi. Seperti juga di malam-malam lain. Saya tidak ikut menenggak alkohol. Tapi, saya tetap bisa bersenang-senang bersama mereka. Menikmati musik. Sesekali menggerakkan kaki mengikuti irama. Badan bergoyang, walau hanya sedikit. Maklum, saya tidak bisa berdansa.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home