Monday, March 10, 2008

Daripada Musik Metal Lebih Baik Musik Jazz




Sejak Java Jazz pertama kali digelar pada 2005, semua selalu sama buat saya.

TENTANG PENGURUSAN ID LIPUTAN

Selalu saja ada hambatan yang cukup mengganggu. Mungkin saya memang harus selalu tak beruntung setiap Java Jazz. Waktu Java Jazz 2004, saya masih kerja di Trax Magazine. Kami salah satu media partner. Harusnya, ID otomatis didapat kan? Dan saya pun sudah mendaftar jauh-jauh hari. Mengirim foto fsn biodata.

Tapi, ketika hari konferensi pers digelar dan ID dibagikan, ID kami tak ada. Belum tercetak. Padahal, di daftar mereka, ada nama saya dan fotografer. Berjam-jam saya harus menunggu panitia mencari ID buat saya. Menunggu. Menunggu. Dan menunggu. Hingga ID liputan beres dibagikan. Bertanya pada panitia yang katanya bertanggungjawab, tapi dioper lagi. Bertanya lagi, dioper lagi.

Hari itu, saya pulang dengan tangan kosong dan penuh amarah. Setelah beberapa kali marah-marah lewat telepon, akhirnya panitia bisa juga memberi ID liputan saya sehari atau dua hari setelahnya, saya lupa.

Java Jazz kedua, saya tak datang. Jadwalnya berbarengan dengan ospek di kampus.

Java Jazz ketiga, saya mendaftar lewat situs resmi mereka. Pendaftaran masih dibuka, ketika saya mendaftar. Dan setelah selesai mendaftar, situs itu memberi keterangan kalau saya telah berhasil mendaftar dan mengucapkan terima kasih telah mendaftar.

Di hari konferensi pers digelar, nama saya tak ada dalam daftar mereka. Lagi-lagi, orang-orang di sana, yang seharusnya bisa memberi keterangan soal ID, mengoper saya ke sana ke mari. Tanya si ini, disuruh ke si itu. Tanya si itu, suruh balik lagi ke si anu. Setelah tahu panitia mana yang benar-benar bertugas, ternyata orang itu begitu sibuk sehingga pertanyaan-pertanyaan saya dijawab dengan ketus. Padahal, kalau mereka sudah menetapkan satu orang yang bertanggungjawab untuk pengurusan ID, seharusnya orang itu diberi pekerjaan satu itu saja di hari konferensi pers.

Lagi-lagi, saya harus marah-marah. Solusinya, panitia memberi saya ID harian. Saya diminta datang ke venue, cari dia di meja media, menunjukkan ID pers, lalu diberi ID liputan.

Hari pertama Java Jazz 2007, saya datang sore hari. Mencari meja media, tak terlihat di pintu luar. Meja resepsionis penerima media, adanya di balik pintu masuk. Untuk masuk ke sana, perlu ID resmi mereka. Sedangkan untuk mendapatkan ID liputan, saya harus masuk dulu ke sana. Serba salah. Penjaga di depan tak tahu menahu soal proses itu.

Beberapa jurnalis di luar pun dijanjikan hal yang sama. Si panitia dihubungi lewat telepon tapi tak juga menjawab. Akhirnya, dia bisa datang setelah salah satu jurnalis yang kami kenal mendatangi dia di Media Room yang ternyata letaknya ada di dalam gedung. Wakwaw.

Java Jazz 2007, panitia tak hanya memberi ID, tapi juga memberi gelang kertas sebagai usaha pencegahan ID disalahgunakan. Siapapun yang kedapatan gelangnya robek atau digunting, nama dia akan dicoret. Ini pertamakalinya, saya merasakan kalau panitia Java Jazz seperti yang terlalu mencurigai mereka yang diberi ID.

Java Jazz 2008, saya yang salah. Lupa mendaftar. Pendaftaran ditutup tanggal 8 Februari, saya baru mendaftar tanggal 20 Februari. Akhir dari pembahasan.

Kali ini, mereka memakai sistem barcode. Wajah mereka yang memakai ID, akan terpampang dengan besar di layar komputer. Panitia lantas mencocokkan wajah di komputer dengan wajah si pemegang ID.

Mereka yang kebagian ID harian, sistemnya masih sama dengan tahun lalu. Akhirnya, cara yang sama harus ditempuh. Si jurnalis harus menitipkan ID pers dan KTP nya pada temannya, si teman mendatangi Media Room yang ada di dalam gedung, dan mengambilkan ID itu untuk temannya.

Sedangkan saya, kali ini saya mendapat tiket harian saja untuk hari Jumat, atas kebaikan Rileks.com. Hehe. Dan memang memakai tiket ternyata lebih nyaman ketimbang memakai ID. Para penjaga tak memberikan perhatian berlebihan untuk yang membeli tiket. Toh, kesempatan memotret pun sama antara pemegang ID dan pembeli tiket. Kecuali special show tentunya.

Dan inilah salah satu kelebihan Java Jazz Festival ketimbang pagelaran musik lainnya. Kamu tak perlu punya ID untuk bisa memotret dengan puas para penampil di sana. Satu-satunya yang membedakan adalah soal spesifikasi kamera dan lensa yang kamu gunakan. Selebihnya, kesempatannya sama. Banyak sekali penonton yang membawa kamera. Dan tak sedikit yang membawa lensa mahal. Haha. Kalau jurnalis, lensa mahal punya kantor. Mereka, lensa mahal punya sendiri. :p

Seorang kawan mengatakan, ada 7000 ID dicetak untuk Java Jazz kali ini.

Maka, rasanya bukan sesuatu yang berlebihan ketika saya merasa di sana seperti lebih banyak yang memakai ID ketimbang yang beli tiket. Yang beli tiket pun, mungkin tak sedikit juga yang gratisan atau membeli tiket di akhir tahun lalu, yang harganya jauh lebih murah. Tiket harian untuk tiga hari saja, dijual Rp 500 ribu.

Ini agaknya mendukung keterangan seorang kawan lain yang mengatakan kalau Java Jazz Festival sebenarnya bukan proyek menguntungkan. Coba saja hitung. Biaya menyewa JHCC salama tiga hari. Biaya menyewa kamar di Hotel Sultan selama minimal tiga hari, entah untuk berapa ratus kamar. Biaya menyewa tata cahaya dan panggung. Biaya untuk membayar kru produksi. Saya tak tahu berapa banyak tiga sponsor besar seperti BNI, Medco Energy dan Telkomsel memberi kontribusi finansialnya, tapi rasanya bukan tak mungkin juga biaya produksi belum tertutup oleh ke-tiga sponsor itu.


TENTANG PERTUNJUKKAN

Saya bukan penggemar berat jazz. Walaupun saya masih bisa menikmati musiknya. Tapi, ketika datang ke sebuah festival jazz, saya pasti dibuat bingung. Tak kenal para penampilnya. Di brosur jadwal pun, panitia tak memberi review singkat soal para penampil itu. Harusnya, ketika penonton masuk, brosur berisi jadwal dan biodata atau review singkat soal para penampil itu. Dengan begitu, mereka yang tak tahu banyak soal jazz bisa mendapat gambaran singkat. Ini akan membantu dalam memutuskan ruang mana dan penampil mana yang harus ditonton.

Bayangkan. Begitu banyak panggung, begitu banyak musisi, tampil di saat yang hampir bersamaan. Jarak dari satu ruang ke ruang lainnya menjadi terasa jauh karena begitu banyak orang di sana. Belum lagi, usaha untuk masuk ke salah satu ruangan perlu tenaga ekstra kalau ternyata penontonnya begitu membludak.

Akhirnya, selalu begitu. Saya masuk ke salah satu ruangan. Menonton 15 sampai 20 menit, lalu pergi. Mencari lagi pertunjukkan yang lain. Lihat sebentar, pergi lagi. Dan begitu seterusnya. Bagusnya, sekarang saya membawa kamera. Jadi, ada tujuan yang lebih jelas biarpun saya tak menikmati pertunjukkannya. Yah minimal untuk mengambil gambar lah.

Yang paling popular buat saya, mungkin hanya Incognito. Itu pun karena dulu, jaman kuliah, teman saya, Syauqy, selalu menyanyikan lagunya dan memuji-muji band itu. Dan sejak 2005, pemandangan si hitam gitaris Incognito, berjalan-jalan di JHCC atau Hotel Sultan selalu tampak.

Ternyata, mbahnya band Top 40 dan band café itu, jadi salah satu duta Java Jazz. Mereka yang akan mengajak lagi musisi-musisi Jazz untuk mau tampil di Indonesia. Atau, dengan kata lain, Incognito adalah home band Java Jazz. Mungkin, lama-lama, si hitam gitaris Incognito akan tinggal di Indonesia, masuk infotainment, mengawini artis lokal, nongkrong di Tanah Abang bersama komunitas kulit hitam dan nge-kos di Haji Nawi.

“Tadinya, Santana mau datang ke Indonesia. Tapi, karena di sini masih banyak pohon ditebang di hutan-hutan, dia menolak untuk datang,” kata Peter Gontha, pendiri Java Jazz Festival waktu konferensi pers digelar, Rabu [5/3] lalu.

Makanya, kali ini Java Jazz diselipkan dengan pesan-pesan lingkungan hidup—seperti halnya trend yang berkembang sekarang. Go Green! Begitu kata pesannya. Di pintu masuk, ada tenda kampanye Go Green itu. Beberapa kali saya lihat sih, di hari pertama, Jumat [7/3] lalu, tenda itu sepi pengunjung. Yah, mungkin mereka datang ke JHCC untuk melihat pertunjukkan musik, bukan mau mencari tahu bagaimana caranya mendaur ulang sebuah produk.

Peter berharap, dengan adanya pesan Go Green ini, tahun depan Santana mau datang setelah melihat ada juga orang Indonesia yang peduli terhadap lingkungan.

Dan soal pertunjukkan, Java Jazz 2004 yang paling meninggalkan kesan buat saya. the God Father of Soul datang! Yeah! James Brown! James Brown! Pertunjukkan yang megah dengan belasan musisi di satu panggung dan dikemas dengan baik. Sebelum James Brown masuk, MC menyemangati penonton membuat panas suasana. Sedikit mirip dengan konsep Orkes Melayu sih kalau versi lokalnya. Tapi, rasanya kemegahan pertunjukkan James Brown baru bisa disaingi oleh pertunjukkan Beyonce beberapa bulan lalu di Mangga Dua.

Tahun lalu, masih ada Jaque Mates yang secara musik lebih dekat ke hati saya. Trio blues bersaudara, yang katanya Java Jazz tahun lalu pertunjukkan terakhir mereka. Tapi, tahun ini saya melihat Tika membawakan lagu “Birokrasi Kompleks”-nya Slank dengan baik. Ah, coba saja dia tidak malu waktu dua tahun lalu diminta tampil oleh Bimbim di konser ulang tahun Slank. “Birokrasi Kompleks” versi Tika benar-benar memberikan nuansa baru, tanpa menghilangkan daya tarik yang sudah ada dari lagu aslinya. Kalau ada tribute album buat Slank, saya merekomendasikan Tika untuk ikut berpartisipasi.

Di jadwal, saya melihat tertulis Sol Project featuring Kaka dan Abdee Slank di lobby stage 3. Ditunggu beberapa menit, tak kunjung datang juga. Padahal, saya dan Jaymz sudah saling berdiskusi soal yang mana stage 3. Ternyata, Sol Project sudah bermain di depan mata kami. Belakangan saya tahu kalau Kaka dan Abdee tak jadi tampil bersama mereka.

Oya, Renee Olstead juga cukup memukau. Panggung dia yang paling menarik secara artistik. Artwork Java Jazz Festival di panggungnya, berbeda dengan artwork Java Jazz di panggung lainnya. Dengan Ron King Big Band, Renee Olstead memang sangat menghibur. Saya kira, Olstead sudah cukup berumur, yah seumuran ibu-ibu atau minimal mbak-mbak lah. Ternyata dia baru mau 19 tahun. Mungkin membawakan musik tua membuat Olstead terlihat lebih tua dari umurnya.

Tapi, dari tahun ke tahun, yang paling menarik buat saya soal Java Jazz, mungkin hanya keramaiannya saja. Ramai tapi tidak panas. Sebagai sebuah festival memang nyaman. Ruangan dingin. Bersih. Tata cahaya dan tata suara yang bagus. Keamanan terjamin. Bebas memotret. Kalau saja ada Java Rock Festival, di tempat yang sama, sepertinya saya akan lebih menikmati.

Hampir tengah malam saya pulang. Betis panas. Pinggang sakit. Selalu begitu setiap Java Jazz.

42 Comments:

Anonymous Iman Fattah said...

wah, padahal birokrasi kompleks banyak yang salah tuh, hari itu kita mainnya kurang bagus, terutama gue karena kecapekan kali ya kerja berapa hari..hahaha.

March 10, 2008 5:47 PM  
Anonymous iin rosalina said...

makasih...foto2nya...mengobati kesebelan ga bisa nonton java jazz karena tak dapat tiket gratisan..:)

March 10, 2008 5:47 PM  
Anonymous Waraney Rawung said...

koreksi, leh: ney dan teman kantor! hehehe...

March 10, 2008 5:55 PM  
Anonymous rieska wulandari said...

Kok kita gak ketemu LEh?

March 10, 2008 5:55 PM  
Anonymous Waraney Rawung said...

dan banyak tiket gratisan yang terbuang-buang...temen gue punya satu tiket babyface yg gak kepake, belum lagi beberapa teman yang punya tiket masuk tapi males datang.... :)

March 10, 2008 5:59 PM  
Anonymous Pugar Restu Julian said...

keren banget nih leh...upload dimana yah? hehehe

March 10, 2008 5:59 PM  
Anonymous denmas kazuma said...

Ralat: Djoko & Reza...Kalo Partner, kesannya kok gw pecinta Kelamin Soleh, hahahahahaha........

March 10, 2008 6:23 PM  
Anonymous ekky imanjaya said...

kangen gw sama anak yg 1 ini. temen ngejam di doors dengan giox dan almarhum aheng...
" you want it all but you can't have it!"....

March 10, 2008 6:24 PM  
Anonymous soleh solihun said...

iman: kekurangannya gak kerasa kok man. tetep bagus hasilnya.

iins: sama-sama ins.

waraney: oh temen kantor toh. makanya gua bertanya, abis elu meni bahagia gitu pas difoto sama dia. :p soal tiket mah, harusnya jual ke calo aja, lumayan. hehe.

rieska: gua cuma dateng hari jumat ries. dan ketemu syauqy sama ricky kok.

uga: emang pengaruh meja sebelah sih ga, jadi aja kebawa keren. :D

djoko: kalo emang pecinta sesama juga, gak apa-apa kok. tidak mengurangi nilai elu di mata gua. hahaha.


March 10, 2008 6:48 PM  
Anonymous Waraney Rawung said...

wah gosip show infotainment lo, leh. gue kan bahagia liat elo, kangen atuh! hahahaha

March 10, 2008 6:52 PM  
Anonymous arian tigabelas said...

hmmm. *unida la pervertas de la cipete*

March 10, 2008 7:03 PM  
Anonymous arian tigabelas said...

WHRRAAAEEEEIIIIII

March 10, 2008 7:05 PM  
Anonymous adib adib said...

Abdee Slank :-)

March 10, 2008 7:08 PM  
Anonymous ekky imanjaya said...

pengalaman buruk meliput.hmmm. latihan mental dan kreativitas di lapangan, hehehehe. gw, terakhir di berlinale:
http://www.rumahfilm.org/filmsiana/filmsiana_berlinale.htm. :)

March 10, 2008 7:19 PM  
Anonymous dewi deme said...

ohh kamu dateng hari jumat aja, kalo aku minggu, dan bahagia pake tiket gratis dan tidak untuk keperluan bekerja. hehehe. iya gua setuju kalo di tiket, atow semacam katalog yang bisa dibawa penonton, ada keterangan tentang panggung mana dan gambaran artis yang manggungnya.. hoho, kampanye go green/zero waste event itu buat ngajak santana, supaya dia ga bilang, orang indonesia tukang bakar hutan, lagi ya..huhu

March 10, 2008 7:42 PM  
Anonymous pelacur korporat said...

astaga leh, sadar umuuur. anda seharusnya sudah jadi dosen di kampus, kok masih ngospek? hahaha

March 10, 2008 7:45 PM  
Anonymous dimas ario said...

haha..iya bener..asal kagak jadi bandar narkoba aja ntar...

btw baru tau nih, leh ternyata susah ya kalo javajazz..gw kemaren emang gak nyoba sih..tapi tips2 elo berhasil pas incubus, intinya bersabar aja kan?hehe..

March 10, 2008 7:48 PM  
Anonymous Hotman Christian said...

ama eja universal...

March 10, 2008 7:54 PM  
Anonymous Syarinta . said...

ngga leh, lo bawa kalender sama nomer cantik. x)

March 10, 2008 8:20 PM  
Anonymous arian tigabelas said...

mungkin karena Hagi juga dateng jadi Soleh PD, ada yang lebih tua. memang beda almamater si Soleh mah.. :D

March 10, 2008 8:32 PM  
Anonymous Pugar Restu Julian said...

bukan pengaruh gambar desktop meja sebelah? hahaha

March 10, 2008 9:05 PM  
Anonymous nike pd said...

btw, ada yg ironis di JCC 2008, katanya 'Go Green'
tapi di dalam JCC, sering banget tercium bau nikotin
so?

March 10, 2008 9:31 PM  
Anonymous ric ky said...

master! nyembah...duoh, ga sempet liat! j&d strat ijo-nya udah ga dipake lagi ni?

March 10, 2008 10:01 PM  
Anonymous ric ky said...

sara gazarek

March 10, 2008 10:04 PM  
Anonymous wage egaw said...

panitia ngebetein katanya, ketika lee ritenour dkk selesai di lagu terakhir, belum kelar mereka copot gitar, bass, untuk kasih salam ke penonton, tiba layar udah ditutup di depan mata mereka. matt blanco batal datang, padahal belum ada kontrak dan kesepakatan yang jelas antara matt bianco ama mereka, eh udah diumumin ke seluruh pelosok kalo matt bianco datang.hahaha.selalu parah tiap tahun ya.

March 11, 2008 11:32 AM  
Anonymous lia aulia said...

Hmmm...kya kenal ni potoooo!!!
OMG....lo moto gwe g blg2!!!

March 11, 2008 12:48 PM  
Anonymous lia aulia said...

Yaah..g ikutan di poto deh...

March 11, 2008 12:52 PM  
Anonymous lia aulia said...

maxud nya gwe yaa??
:b

March 11, 2008 12:56 PM  
Anonymous lia aulia said...

krn gwe suruh nyetirin mbl gwe yaa...
:(

March 11, 2008 1:23 PM  
Anonymous lia aulia said...

lo dtg di hari dimana tmp makannya msh sempit nan panaaasss....
bsknya pindah ke tmp yg lbh layak untuk manusia...hehehe...

March 11, 2008 1:32 PM  
Anonymous lia aulia said...

Lucu yaa diaa...

March 11, 2008 1:42 PM  
Anonymous moodspiral - said...

wahh Renee Olstead.., gw malah nggak nontoooonnn....;((

March 11, 2008 1:46 PM  
Anonymous sossi sagaya said...

katalog itu ada kok leh. formatnya berupa majalah yang namanya music. apesnya wartawan yah kudu beli juga, pas konperensi pers harganya ceban. pas hari h jadi noban tapi dikasih tali merah... buat gantungan id.

oh ya, masih tentang majalah itu, katany yang nulisnya anak playboy juga tuh leh. coba tanya indira deh...

March 11, 2008 5:30 PM  
Anonymous andien chappy said...

ini aditya,bkn?
yg nyanyiin soundtracknya me vs high heels..

March 11, 2008 7:52 PM  
Anonymous taman kembangpete said...

udah sekitar 15 org yg gua kenal nonton java jazz. dan hanya satu yg gua tau yg membeli tiket. ternyata penonton musik indonesia masih menyamakan semuanya dgn nonton dangdut. eh... ada panggung, datang dan joget hehhe

March 11, 2008 9:33 PM  
Anonymous soleh solihun said...

reza: kan gua forever young. :D

arian: kami memang begitu. cinta almamater, biarpun cuma putra-putri lumayan bangsa. hehe.

syarin: oh iya, sama pulsa 50 ribu. hahaha.

lia: tanpa harus nyetir betis udah panas kok li. santai aja, bukan karena elu. :D

March 12, 2008 3:19 PM  
Anonymous sonny lukito said...

si hitam gitaris Incognito akan tinggal di Indonesia, masuk infotainment, mengawini artis lokal, nongkrong di Tanah Abang bersama komunitas kulit hitam dan nge-kos di Haji Nawi

Wakakaka..setali tiga uang ama NIGER, sekalian aja nyambi jadi BEDE!

Buat pertunjukannya, kurang antusias nih bang! :-(

March 14, 2008 8:16 PM  
Anonymous pelacur korporat said...

So? Tobaccos are natural herbs and much more recyclable than those glossy, plastic-coated Greenpeace brochures. xD

March 14, 2008 8:56 PM  
Anonymous indira dhian s. said...

jadi penonton jauhhhh lebih menyenangkan!!!
dan koreksi: anak playboy blm nulis apa2 di majalah music itu.
huehehehehe

March 15, 2008 10:53 AM  
Anonymous azalea firnindya said...

wah gosip! kekekekek

March 15, 2008 7:56 PM  
Anonymous kiki kii said...

trnyata tak skedar kata2..

March 16, 2008 5:34 PM  
Anonymous Paolo smith said...

yeah right.... saya masuk ruang panitia dibawa dan dia ngerokok.... yang punya acara ngerokok bisa...ya sudah saya ngerokok diruang panitia.... sembari menunggu kepastian id card crew....

March 20, 2008 7:16 AM  

Post a Comment

<< Home