Musiklo Sampe Mana?
Tak terasa, kompetisi band, LA Lights Indiefest sudah memasuki tahun ke-2.
Padahal, para finalis LA Lights Indiefest pertama saja, belum terdengar gaungnya. Setidaknya, buat saya, belum terasa perubahan yang signifikan dalam karir musik mereka. Biarpun propaganda yang mereka lancarkan mengatakan “Musiklo Sampe Mana?” harus diakui kalau musik para finalis LA Lights Indiefest sebenarnya belum terlalu jauh berjalan.
Biarpun iklan mereka menunjukkan kalau Vox sudah manggung di Singapura, dan mengatakan kalau Dojihatori sudah punya album sendiri, nyatanya karir mereka bisa dibilang belum terlalu jauh berbeda dengan ketika sebelum mereka jadi finalis. Ini memang masih asumsi saya. Akan lebih jelas kalau para finalis itu yang menjawab pertanyaan saya ini.
Bahkan siapa saja para finalis tahun lalu, saya lupa. Kalaupun nama-nama macam 70’s Orgasm Club dan Vox masih terngiang, rasanya bukan karena mereka jadi finalis, melainkan beberapa kali saya melihat mereka manggung. Yang lainnya? Ke mana mereka?
Dan kalau kita bicara kompetisi band yang kemudian dibuatkan album, hanya beberapa nama saja yang akhirnya bisa bertahan. Coba pikirkan, siapa yang kemudian menjadi besar dari kompetisi band yang digelar Log Zhelebour selama bertahun-tahun itu?
Memang, masih terlalu dini untuk menilai apakah kompetisi LA Lights Indiefest ini punya pengaruh signifikan terhadap karir bermusik sebuah band, yang jelas kompetisi di tahun ke-dua ini masih menarik minat banyak band. Ada 1870 band yang mendaftar! Mereka tersebar dari Surabaya, Yogyakarta, Jakarta dan Bandung. Angka ini, 400 lebih banyak dibandingkan kompetisi tahun sebelumnya.
Saya yakin, juri pasti dibuat pusing ketika menyeleksi lagu sebanyak itu. Dari 1870 harus dipilih 10! Rasanya tak mengherankan ketika akhirnya, nama-nama yang terpilih sudah familiar. Pertama, mereka memang sudah terbukti kualitasnya, sudah tinggi jam terbangnya, sudah cukup matang dibandingkan ribuan band lain yang mendaftar. Kedua, nama yang sudah familiar itu mungkin memudahkan juri untuk memutuskan apakah mereka masuk final atau tidak.
Buat saya, ada dua yang familiar; Monkey to Millionaire dan Lipgloss. Yang pertama, karena demonya sudah saya dengarkan jauh sebelum mereka jadi finalis. Yang kedua, meskipun saya belum pernah melihat mereka manggung atau mendengar musik mereka, tapi Lipgloss sudah sering ‘menyerang’ dunia maya. Membombardir milis, atau friendster dan sejenisnya. Saya nyaris terganggu sebenarnya. Pertama, mungkin karena belum kenal. Kedua, karena saya tak suka nama Lipgloss. :p
Cascade…saya tahu nama ini ketika manajer mereka menghampiri saya dalam sebuah acara yang digelar di Monic Setiabudi beberapa minggu lalu. Yang pertama terlintas ketika mendengar nama mereka, adalah Factory Outlet. Saya tak yakin, apakah benar ada FO yang bernama Cascade di Bandung, atau ini hanya perasaan saya.
Covernya tak menunjukkan perubahan yang signifikan. Masih tidak bagus, jika dibandingkan rilisan FFWD Records lainnya. Mudah-mudahan desain cover album ke-dua ini tidak bermasalah seperti halnya gambar gramophone tahun lalu, yang ternyata diambil dari deviant art tanpa ijin. Sekarang, mereka memakai gambar gitar dengan motif-motif di sekelilingnya. Saya sih sebenarnya berharap FFWD punya posisi tawar yang lebih dalam hal ini. Walau bagaimanapun, album ini adalah rilisan mereka juga. Yah, mudah-mudahan kalau LA Lights Indiefest 2009 FFWD masih merilis album kompilasinya, FFWD bisa membujuk LA Lights untuk membuat desain cover album yang lebih menarik dibandingkan dua album yang sudah ada.
***
Minggu [16/3] malam, Bandung diguyur hujan. Di pelataran parkir Sasana Budaya Ganesha, terlihat puluhan remaja, yang didominasi laki-laki berpakaian hitam-hitam. Sebagian dari mereka sepertinya sekumpulan anak-anak yang penuh cinta. Biarpun hujan turun, mereka tetap bertahan. Tidak mencari tempat berteduh. Karena ada seorang kawan yang mengatakan begini:
Semua kalah sama cuek.
Tapi cuek, kalah sama hujan.
Tapi hujan kalah sama cinta.
[contohnya; kalau udah urusan ke rumah pacar mah, hujan-hujanan di atas motor pun, jadi. :p]
Malam itu, ada acara peluncuran album kompilasi LA Lights Indiefest yang ke-dua. Berbeda dengan tahun lalu, kali ini acara digelar di satu tempat saja. Sebelumnya, peluncuran dan penampilan beberapa finalis diadakan di Cihampelas Walk, dan malam harinya bintang tamu dan beberapa finalis lagi, tampil di gedung AACC.
“Habis tiketnya a! habis!” kata seseorang dari kerumunan, ketika saya menuju gerbang masuk.
“Yaaaah, wartawan!” katanya lagi, begitu saya menunjukkan ID pada penjaga gerbang.
Begitu masuk area dalam Sabuga, pengunjung disambut oleh beberapa SPG di stand LA Lights. JAMREVOLUTION. Di sebelah kanan pintu masuk, dipamerkan enam foto vokalis asal Bandung, karya Cagi. Bicara istilah indie, foto-foto yang terpampang di sana, bisa dibilang sudah termasuk papan atas di level indie. :p
“My Friends Can’t Sing,” Cagi memberi judul.
Mungkin karena diberi judul My Friends itulah, semua vokalis dari Bandung. Atau, mungkin karena acaranya digelar di Bandung. Atau mungkin karena mereka saja yang kebetulan bisa meluangkan waktu. Atau mungkin saya sok tahu saja dengan semua analisa tadi.
Selain soal tempat pelaksanaan, yang berbeda dari acara peluncuran album kali ini adalah konsep kolaborasi. Itu sebabnya diberi judul JAMREVOLUTION. Beberapa finalis berkolaborasi dengan satu bintang tamu, yang dirasa warna musiknya senada. Goodnight Electric dengan Monkey To Millionaire. Mocca dengan Cigarettes Nation. Pure Saturday dengan Cascade. Alone At Last dengan Scared of Bums. KOIL dengan Air Hostess For Vacation.
Saya tak bisa mengatakan apa yang terjadi dengan finalis lainnya. Ketika saya datang, sesi kolaborasi baru saja dimulai. Perkawinan antara Monkey dengan Goodnight menghasilkan sesuatu yang menarik. Mocca dengan Cigarettes biasa saja buat saya. Pure dengan Cascade juga tak meninggalkan kesan mendalam. Alone ternyata kalah menarik dibandingkan Scared of Bums. Anak-anak Bali yang mengawinkan melodic punk dengan sedikit heavy metal menghasilkan enerji yang terasa lebih besar dibandingkan musik yang dihasilkan duta emo Kota Kembang.
Kalau KOIL, rasanya sebagian besar penonton malam itu, menunggu KOIL. Sayang, agak kurang maksimal sound yang keluar di lagu pertama. Mungkin itu menjelaskan kenapa kru mereka memakan waktu cukup lama untuk mengatur alat sebelum KOIL tampil. Tapi, tidak salah menempatkan KOIL di akhir acara. Mereka yang karakternya paling kuat dibandingkan bintang tamu lainnya. Seperti biasa, mereka memakai pakaian hitam-hitam yang rasanya bisa dibeli di God Inc. Siapapun bisa berdandan seperti Otong, itu pesannya mungkin. Tapi, hati-hati tak sembarang orang akan terlihat cocok.
The man make the clothes. Not the other way around, kata sebuah ungkapan, kalau saya tak salah kutip.
Bayangkan, seandainya ada orang dengan pakaian hitam-hitam, rumbai-rumbai tak jelas, sepatu new rock, stoking di tangan, rambut panjang tapi berwajah seperti Mandra, rasanya orang akan menertawakannya. Atau, jangan jauh-jauh lah. Waktu Ungu mencoba berdandan hitam-hitam saja, mereka terlihat menggelikan.
Dan yang lebih hebat lagi, adalah ketika seluruh bintang tamu, berkolaborasi membawakan lagu Kosong dari Pure Saturday. Ini rasanya baru terjadi sekali. Crowd bisa mendengarkan Otong KOIL menyanyikan lagu Pure. Ide untuk membawakan lagu itu juga datang dari Otong. Dan mereka berlatih dua hari demi penampilan itu.
LA Lights merekam acara malam itu untuk kepentingan penayangan di teve. Lengkap dengan tepuk tangan rekaman—yang terdengar bergemuruh dan rapi—demi mendukung meriahnya suasana.
Yang direpotkan malam itu, rasanya fotografer. Soal berpindah tempat demi memotret sih tak masalah. Tapi, beberapa kali harus diusir petugas keamanan karena dianggap terlalu dekat dengan obyek, padahal tak masuk dalam gambar kamera—sungguh bisa menyebalkan juga. Apalagi kameramen dengan badannya yang besar-besar dan kameranya yang juga besar itu dengan enak bisa mondar-mandir di depan fotografer.
Ah, banyak ngeluh. Sudah tak usah jadi fotografer saja! Anjis. Kenapa saya jadi ngomong sendiri begini ya? Sudah ah.
33 Comments:
arian kok mirip GG Allin ya disini..hehehe
muka si acong badung berat. judul lainnya mungkin 'jagoan neon'
yang megang kamera orang gatra yah??
hehehe...
Mungkin di acara berikutnya, para finalis perlu diberi workshop management band..
ini acara (gigs) ter-BUTUT yang pernah saya datangi
gk lebih keren dari acara tv acara extravaganza
belom lagi kayak reuni akbar POLDA bandung
aarrgghhh..saya SIAL terus hari itu..
musik gue nyampe hard disk doank.. so what?
maksudnya rik?
musik lo sampe mana?
itu maksudnya musik apa yah leh?
kalo misalnya musik tradisional bahkan dah lebih jauh lagi perginya daripada ke spore doang! hehehe
mereka bisa begini karena difasilitasi , kalau tidak difasilitasi tidak bisa begini
yang penting menambah band band yang akhirnya didengar... simple kan ....
dan bukan tugasnya la lights indiefest untuk menyosong kelangsungan mereka tapi how market will capture
them - itulah komentar randy jackson .... initnya kacamata kita sejauh mana memandang kebetulan tidak bisa tembus pandang hanya penghalau sinar matahari dan membuat tampang kita keren...
mas adib sangat konsisten dengan jari tengahnya... ck, ck, ck...
mas adib akhirnya menyerah tidak memakai jari tengahnya atas nama kerja...
bapak soleh... ntar boleh minta gak foto-foto KOILnya? buat dokumentasi management dan pribadi juga sih! hehehe... :D
Amin Neng Santi...
tadinya aku bangga kamu begitu konsistennya, mas! tapi kamu kalah atas nama kerja itu, jari tengahmu yang indah itu tidak kau pamerkan... x)
jangkrik boss
awasss perut ditahang cong kekeke
Supaya para band berkembang, salah satu yang mendukung supaya band bisa maju adalah management yang mumpuni.
kalau gue perhatiin, kebanyakan band "indie" sini tuh, kekurangan kemampuan management.
rata rata nunggu job mulu, jarang yang jemput bola atau bisa kreatif.. dan jarang namd yg punya pengaturan keuangan dan perencanaan bisnis yang bener.
nah itulah mengapa menurut gue, sebagian besar band lulusan Indiefest pertama masih segitu-segitu aja, ga jauh beda dari sebelum indiefest..
hayu hayu sok mangga atuh ide lo ini direalisasikan rik ;)
setuju pak...
asa apal tasna eh?
wah, kalo dibandingkan dengan acara tv extravaganza mah, acara launching itu masih bagus kok. lagipula, acara extravaganza kan, sketsa komedi dengan diselingi band/musisi bernyanyi. acara kemaren mah, murni acara musik. launching album. sesuatu yang berbeda dan nggak bisa dibandingkan begitu. namanya juga launching album. dan harus diakui, kalau launching albumnya, masih bagus secara konsep. meskipun ada kekurangan di sana-sini, misalnya sound sistem yang tak maksimal atau kameramen yang menghalangi pandangan fotografer. hehe.
dan kalau ada yang sial terus hari itu, bukan berarti acaranya jadi jelek dong. itu mah, nasib elunya aja yang jelek. hehehe. :p
siap! nanti saya burn-kan lah, atau gampanglah teknisnya mah diatur lagi.
widi: kalo sampe hard disk doang, mungkin sudah saatnya diberikan pada a&r sony bmg wid. :p
uga: hahaha. bener ga. seniman tradisi mah malah ada yang udah bisa keliling dunia ya.
asiiik! terima kasih sebelumnya loooh :D
aku ambil foto yg ada akuu... hahehooo...
*ini sazki kerjaannya nyolong foto aja... hehee
emang kenapa? hehehe
Baru baca. Gue ingin komentar tentang anggapan elo bahwa banyak band dari kompilasi pertama nggak jelas juntrungannya.
Menurut gue, banyak yang menjadikan kontes ini sebagai puncak tujuan mereka. Padahal itu salah besar. Hal paling bagus --dan memang itu tujuannya-- adalah uang. Dengan uang itu, diharapkan mereka bisa melebarkan karya mereka.
Banyak band yang end up dengan membagi uang hadiah. Terus nggak tau lagi bandnya mau ngapain abis itu. Mereka cuma nunggu bola. Besoknya, cerita klise mereka nggak punya duit terulang lagi.
Gue nggak usah bilang bandnya siapa aja, cuma dari sekian banyak band yang ada di kompilasi ini, bakalan ketauan kok mana yang akan survive, mana yang bisanya membuka wacana saja, dan mana band yang emang tau kalo nasib mereka itu ada di tangan mereka sendiri. Bukan tangan orang lain.
foto juri g
Saya sempet mengamati proses pembuatan album kompilasi ini di studio (yg jadi tempat nongkrong sehari-hari). Wah keliata banget euy di sana prilaku-prilaku band-bandnya. Dari yang emang udah siap rekaman (kaya vincent vega) ampe yang belum siap. Parahnya kebanyakan yang ga siapnya. Ada yang pas rekaman sambil mabok (mending mainnya bener, nggak sama sekali), ada yang sombongnya minta ampun (karena menang indie fest lgsung di atas angin gitu lah). Yang sombong-sombong ini yang biasanya menyusahkan tim produksi, nggak punya pengalaman recording tapi seolah-olah mengerti (make ngeremehin tim produksi di studio lagi). Haduh, haduh, ieu ieuh anak band teh.
apakah ini alamiah?
hahaha...selang
the used...
hahahhahahaha
hello.. bang soleh :)
Post a Comment
<< Home