Thursday, January 03, 2008

[Bukan] Kerja Rodi

Feature ini, satu dari tiga naskah yang saya kirimkan buat ajang Adiwarta Sampoerna 2007. Ini, yang tak lolos final. Dimuat di Playboy Indonesia, edisi Januari 2007.

Bands make it rock, but roadies make it roll. Ini kisah orang-orang di belakang panggung.

 

Siang itu Stadion Lebak Bulus dipenuhi remaja putri. Mereka mondar-mandir membawa peralatan, papan dan segala macam benda untuk menghiasi stand. SMA Tarakanita 1 sedang menyiapkan pentas seni. Tidak kalah sibuk dengan para remaja putri itu, pria-pria yang mayoritas berkaos hitam sedang bekerja di sekitar panggung yang terletak di sisi timur stadion. Mengangkat hard case berisi amplifier, monitor, peralatan musik. Sebagian orang, ada di atas panggung. Menyiapkan tata cahaya. Sebagian lagi, sibuk mengatur kabel-kabel yang bersliweran rumit di sekitar panggung.

 

The Upstairs sedang melakukan sound check. Kelompok musik itu sedang naik daun. Digandrungi banyak remaja masa kini. Seorang laki-laki bertubuh gempal, memakai kaos Iron Maiden terlihat paling sibuk. Memeriksa peralatan, menghubungi panitia, memastikan para personel The Upstairs mendapat konsumsi, dan mendengarkan suara yang keluar dari depan panggung.

 

Nama dia Anggoro S Widagdo, biasa dipanggil Goro. Dia road manager The Upstairs. Setiap kali The Upstairs manggung, dia harus mengurusi para personel, berhubungan dengan panitia penyelenggara event, memeriksa peralatan, hingga memimpin para kru. Tanggungjawab dia memastikan semua orang melaksanakan pekerjaannya. Dia termasuk salah satu dari sekian banyak orang di belakang panggung pertunjukkan. Mereka biasa disebut roadies.

 

Secara teknis, siapapun yang jadi kru pada tim produksi sebuah pertunjukkan bisa disebut roadie. Tapi, biasanya kata itu digunakan untuk menyebut stagehands [orang yang tugasnya mengganti pemandangan, tata cahaya, dan tugas lainnya dalam pertunjukkan teatrikal], dan teknisi di pertunjukkan musik. Roadie bukanlah pekerjaan, ini sebutan untuk orang yang mengerjakan banyak tugas, dari teknisi panggung hingga teknisi alat musik, tata cahaya, sound engineers hingga riggers [para perakit perlengkapan].

 

Roadie bukanlah road/transport engineer yang memerbaiki jalan raya. Bukan orang yang nongkrong dan menempuh perjalanan dengan kelompok musik. Itu biasanya disebut groupie. Bukan juga orang yang kerja di karnaval. Itu biasa disebut carnie. Dan yang pasti, roadie bukan salah satu minuman beralkohol.

 

ww.smh.com.au menulis; Roadies. Jika ada yang yang tidak berjalan dengan baik, mereka disalahkan. Jika semuanya lancar, tidak ada yang memerhatikannya. Mereka adalah otot dari industri musik. Membawa alat-alat yang berat, mengatur panggung. Mereka adalah otak di balik tata cahaya dan sound system yang rumit. Semuanya harus dilakukan dalam kecepatan singkat, tanpa ada margin untuk kesalahan.

 

Di Indonesia, beberapa kelompok musik punya sebutan khusus untuk roadies-nya. Slank dengan Jaddah. Dewa dengan Manusia Biasa. Dan The Upstairs dengan Modern Road Crew.

 

Goro menjadi road manager sejak akhir 2003 setelah diajak sobatnya Wenz Rawk, yang lebih dulu jadi personal manager The Upstairs. Goro dan Wenz lebih dulu aktif di Event Organizer bernama Brainwashed. Menjadi road manager, kata Goro, tidak jauh berbeda dengan pekerjaannya sebagai tim produksi di Brainwashed. Plus, Goro juga bermain musik, itu membuat dia tahu apa yang biasanya ada di benak musisi. Paduan dua hal itu, adalah modal yang cukup untuk menjadi road manager sebuah kelompok musik. Dan yang paling penting, dia menganggap The Upstairs kelompok musik yang bagus.

 

Dia pernah kerja kantoran di distributor kopi. Tapi perusahaannya bangkrut. Pekerjaan seperti itu, dia rasakan tidak ada tantangannya. Hanya mengerjakan apa yang harus dikerjakan. Dia ingin punya pekerjaan yang berhubungan dengan musik.

 

Manggung atau tur, adalah hari ketika pekerjaannya semakin berat. Apalagi kalau di luar kota. Misalkan saja mereka beres sound check jam satu siang. Lantas kembali ke hotel. Goro tidak bisa beristirahat sebanyak yang lain. Dan menghadapi mood personel pun jadi tanggungjawabnya. Seorang road manager harus bisa jadi apa saja. Menurut Goro, dia juga harus jadi “bapaknya anak-anak.”

 

“Tiap keluar kota, kami selalu ketemu orang yang berbeda. Belum lagi, masalah komitmen waktu. Ada yang sekarang minta istirahat, nggak semua mau istirahat. Itu yang masih jadi ketakutan utama gue. Pada saat di luar kota, kami mesti lebih aware lagi. Di mana nginepnya, kapan jadwal makannya, dan lain-lain. Tapi, karena kecintaan gue pada musik. Walaupun berat, dan kurang tidur, gue iklas aja,” katanya sambil tertawa.

 

Pernah ada masanya ketika Goro punya keinginan sukses dengan kelompok musiknya. Tapi itu sudah hilang begitu dia gabung dengan The Upstairs. Dia cukup puas menjadi orang di belakang panggung. Pendukung pertunjukkan. Ada kepuasan tersendiri ketika melihat pertunjukkan lancar, The Upstairs bisa bermain dengan bagus. Berbeda dengan kepuasan bermain di atas panggung memang. Tapi, pria berumur 29 tahun itu tetap merasa senang.

 

Elo akan merasa menang. Kerja kami terbayar!” katanya.

 

Rasa senang yang serupa juga hinggap di hati Iwan Sukma jika pekerjaannya menghasilkan pertunjukkan yang bagus. Iwan adalah teknisi gitar untuk Uki dari Peterpan. Saya bertemu dengan Iwan ketika dia sedang tidak bekerja untuk Peterpan. Tapi untuk solis yang baru rilis album perdananya beberapa bulan lalu; Erry. Iwan sudah sering jadi session player untuk banyak musisi, di antaranya Tofu. Seperti halnya Goro, Iwan menerima tawaran menjadi roadies juga karena ajakan teman.

 

Sebenarnya kalau bicara karir musik, Iwan sudah lebih dulu menjelajahi panggung di Bandung dibandingkan anak-anak Peterpan. Iwan pernah tergabung di After Sunset, yang biasa membawakan musik brit pop. Ariel Peterpan pernah diminta untuk jadi vokalis After Sunset. Tapi dia menolaknya, karena tahun 2002, Peterpan mendapat tawaran untuk ikut album kompilasi “Kisah 2002 Malam” produksi Musica Record. Jatah Peterpan awalnya ditawarkan untuk After Sunset. Mereka menolak tawaran itu karena ingin dikontrak Sony Music. Dan kalaupun membuat album, mereka tidak ingin ikut kompilasi. Inginnya album penuh. Maklum, After Sunset sedang cukup berjaya di panggung musik di Bandung.

 

Ternyata Peterpan sukses. Iwan hanya cengengesan mengenang kisah ini. Setahun setelah Peterpan sukses dengan album kompilasi itu, After Sunset “mengkhianati” niat mereka. Ikut dalam album kompilasi “Indie Ten 3” produksi Sony Music. Tahun 2004, After Sunset bubar. Iwan jadi additional musician. Agustus 2005 dia ditawari jadi kru Peterpan yang katanya ingin meningkatkan kualitas krunya. Posisi terbalik. Dulu anak-anak Peterpan menonton pertunjukkan After Sunset. Sekarang, gitarisnya malah jadi teknisi gitar Peterpan.

 

“Karena melihat Peterpan bagus atau karena harganya cocok?” tanya saya.

 

“Wah, gawat nih pertanyaannya. Ya sebetulnya sih karena nggak ada kerjaan. Pengin nyobain juga. Kayak gimana sih hidup begini. Time is money. Berhubung no time, ya udahlah,” kata Iwan sambil tertawa.  

 

Awal menjalani pekerjaan sebagai kru, Iwan sempat merasa terbebani. Agak gengsi mungkin. Ketika Peterpan mengadakan konser untuk launching album soundtrack film Alexandria di Bandung, Iwan menutupi mukanya supaya tidak terlihat teman-temannya. Usahanya sia-sia. Kini, Iwan sudah bisa menerima keadaan itu. Untuk sementara, dia harus menunda impiannya maju bersama kelompok musik sendiri. Dia anggap ini salah satu batu loncatan.

 

“Nge-band nggak cuma skill, tapi hoki juga. Musikalitasnya tinggi belum tentu bisa sukses,” kata Iwan.

 

Itu juga yang dikatakan Panji Gustiano alias Nobon kepada saya. Menjadi roadies untuk batu loncatan. Dia menjadikan profesi itu untuk bisa mengenal banyak orang di industri musik. Nobon, kini berusia 30 tahun, sudah sepuluh tahun menjalani profesi ini. Seperti juga Goro, dia tidak betah kerja kantoran. Bekerja di penerbit dan perusahaan farmasi tetap tidak bisa mengalahkan keasikan bekerja di bidang musik. Dia tetap bertahan dengan profesinya, karena ingin sibuk di musik. Tapi, tidak seperti Goro, Nobon jadi kru untuk banyak kelompok musik. dia mengawali pekerjaannya di Waiting Room. Setelah mereka bubar, Nobon bekerja untuk Superglad, The Fly, Sore, Seringai, Step Forward, Ecoutez, The Brandals hingga Samsons.

 

“Temen gue pernah bilang, kalau gaji elo udah sama kayak kerjaan kantor yang dulu, ngapain kerja lagi? Di sini aja. Tapi, udah lima band, [duitnya] masih kurang juga,” kata Nobon sambil tertawa.  

  

Besar kecil finansial memang relatif bagi setiap orang. Goro tidak mau menyebut angka pasti soal berapa penghasilan yang didapatnya dari pekerjaan sebagai road manager. Dia hanya meyakinkan saya, kalau semua orang di manajemen The Upstairs harus senang. Iwan menyebut kisaran Rp 300 ribu hingga Rp 600 ribu per manggung. Dia tidak menyebut berapa yang diterimanya. Tapi, dia mengatakan kalau angka minimum itu untuk roadies tanpa keahlian memainkan alat musik. Sedangkan Nobon menyebut “angka normal”-nya antara Rp 200 ribu hingga Rp 250 ribu. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan jumlah yang disebut Iwan, karena memang kelompok musiknya juga tidak ada di kelas yang sama dengan Peterpan. Dan penghasilan mereka, tentu saja sangat tergantung pada jumlah pertunjukkan.

 

“Sepuluh tahun belum bisa nyamain penghasilan kantoran. Habis, [band-nya] bilangnya promo melulu. Apalagi kalau ada bencana, waaah,” kata Nobon sambil tertawa. “Eh, nggak deh. Becanda ya yang bagian bencananya sih.”

 

Di antara sekian roadies yang saya temui, hanya Muhammad Amirudin alias Amir yang sepertinya “lebih makmur” dibandingkan yang lain.

 

“Alhamdulillah cukup lah. Hahaha. Gila. Ribet juga jawabnya. Karena gue tuh masih menganggap bahwa banyak kru yang mungkin nggak pantas dibayarnya, Makanya, kalau elo tanya gaji gue berapa, bisa malu sendiri gue, nggak enak sama kru lain. Keringat gue dengan kru lain sama, capeknya sama. Makanya kalau ada yang nanya, alhamdulillah,” kata Amir.

 

Amir adalah Jaddah Slank. Kata ‘jaddah’ berasal dari kata makian ‘haram jaddah’ yang sering digunakan anak-anak komunitas Potlot di tahun ’90-an. Dari sana pula kisah Amir dimulai. Tahun ’94, ketika dia masih kelas dua SMA, setiap bolos selalu datang ke Potlot. Awalnya, dia hanya berani melihat dari luar. Ketika Slank formasi baru terbentuk di tahun ’96, Amir mulai membantu Slank. Tapi belum jadi kru tetap. Bimbim biasanya memberdayakan anak-anak yang sering datang ke Potlot. Atas permintaan Bimbim, Amir pernah membuat lukisan di dinding, serta jadi koordinator Slankers untuk syuting klip “Tong Kosong”.  

 

Akhir tahun 2000, Amir menyatakan keinginannya untuk ikut rombongan Slank manggung di luar kota. Dia merasa sudah terpuaskan dengan pertunjukkan Slank di Jakarta. Dia ingin merasakan atmosfer yang berbeda di luar kota. Dia penasaran dengan suasananya. Setelah mendapat ijin dari Bunda Iffet, Amir mulai bekerja untuk Slank. Tapi belum diangkat jadi Jaddah. Waktu itu, dia hanya membantu mengangkat alat dan menyemir kabinet amplifier supaya mengkilap.

 

Jaddah yang lain meminta Amir untuk memerhatikan Kaka di panggung. Seandainya Kaka butuh minum, stand mik-nya jatuh, atau butuh bantuan apa-apa, itu tanggungjawab Amir. Dan itulah awal perjalanan Amir di Slank. Rupanya Kaka merasa terbantu sekali dengan kehadiran Amir. Dia belum punya kru tetap. Road manager Slank, Massto menanyakan kesediaan Amir untuk menjadi Jaddah. Gresik adalah kota pertama dia resmi bergabung. Slank waktu itu sedang Tur Virus 2000.

 

Ketika Bunda Iffet memanggilnya ke kantor untuk menanyakan kembali keseriusannya membantu Slank, tanpa pikir panjang Amir menjawab iya. Padahal dia sudah punya kelompok musik bernama Keraton yang sudah merilis satu album. Banyak temannya yang menyesalkan keputusan Amir menjadi kru. Mereka menganggap Amir punya kemampuan untuk sukses dengan kelompok musiknya. Punya modal suara yang bagus. Tapi Amir merasa sudah tidak kuat lagi. Dia pesimis bisa bermain musik sampai berhasil. Akhirnya, dia berbesar hati untuk menjadi kru. Toh gairah bermusik dia masih bisa tersalurkan.

 

“Gini ya, jadi kru-nya slank, gue anggap hijrah dulu. Islam kan mengajarkan begitu. Kalau mentok di sini, hijrah aja. Gue sadar, umur segitu nggak bisa ngapa-ngapain. Walaupun kasarnya waktu itu seribu perak pun gue nggak pernah ngasih nyokap. Gue harus hijrah, cari kerjaan. Se-nggak nggaknya, nyari duit buat rokok gue sendiri. Nggak nyusahin keluarga,” kata Amir yang kini berusia 31 tahun.  

 

Di antara semua orang yang saya temui, Amir yang bicaranya paling berapi-api. Kecintaan dia pada Slank dan pekerjaannya bisa saya rasakan. Dia mengatakan akan menjaga Slank. Hubungan Amir dengan personel Slank dan Jaddah yang lain sudah bagaikan keluarga. Mereka tidak hanya membicarakan urusan teknis saja. Di luar panggung, mereka menjalin hubungan. Walau sekadar berkunjung ke rumah, atau meminta ditemani ke pusat perbelanjaan. Untuk urusan panggung, dia sudah paham benar bagaimana Kaka akan bergerak.

 

“Kalau dia ke kiri, ke tengah, pokoknya gerakan Kaka di panggung, gue udah paham. Gue bisa ngerasain,” katanya.

 

Tidak mudah menjadi roadies. Apalagi ketika pertunjukkan berlangsung. Banyak yang harus mereka perhatikan. Kalau ada yang tidak berjalan dengan baik, semua harus segera diperbaiki dalam waktu cepat. Amir punya salah satu pengalaman buruk. Menghilangkan mik Kaka yang tertinggal di lidah panggung. Karena licin, Amir terjerembab hingga menendang mik ke arah penonton.

 

“Selain bisa maenin alat musik, kru itu harus punya tiga modal. Tanggap, lincah dan kuat,” kata Nobon.

 

Film komedi Wayne’s World 2 [1993] menggambarkan tiga hal tadi. Di film itu, diceritakan Wayne yang dibintangi Mike Myers sedang menyiapkan konser Waynestock. Lewat mimpi, Jim Morrisson, vokalis The Doors menyuruh Wayne menemui roadie legendaris bernama Del Preston. Wayne meminta bantuan Del untuk menyiapkan sebuah konser musik. Kepada Wayne, Del membagi pengalamannya bertahun-tahun bersama musisi legendaris macam Ozzie Osborne, Jeff Beck, Keith Moon dan David Crosby. Lantas, Wayne yang telah merekrut orang-orang untuk menyukseskan Waynestock meminta Del Preston melatih mereka jadi roadie yang baik. Bagaimana menyelamatkan stan mik yang jatuh dan bagaimana menghadapi situasi di panggung.

 

Karakter seorang roadie legendaris mungkin akan susah ketika diterapkan di film lokal. Bukan apa-apa, jangankan roadie legendaris, manajemen kelompok musik di kita, belum semuanya berjalan dengan baik. Ini jadi perhatian Goro ketika saya tanya apakah dia yakin pekerjaannya bisa menghidupi dia.

 

“Kalau bicara yakin nggak yakin sih, gue belum punya acuan yang pasti. Tapi kalau mungkin di sini sudah ada infrastruktur yang oke, atau agen yang besar yang membawahi road manager dan bisa menyalurkan masing-masing road manager, gue rasa bukan nggak mungkin,” katanya.

 

Untuk sementara, selain finansial mereka bisa menikmati fasilitas yang juga didapat kelompok musiknya. Hotel berbintang, jalan-jalan keliling Indonesia, keluar negeri. Dan menjadi bagian dari sejarah di industri musik Indonesia.

 

“Suka dapat limpahan kenakalan?” tanya saya pada Iwan Sukma.

 

“Hahaha. Sebetulnya sih…aduh gawat nih pertanyaannya. Kalau kenakalan mah masing-masing sih. Mau nakal ya nakal,” jawabnya.

 

“Saya dengar rumor, kalau Peterpan dapet jatah cewek, bisa diambil sama krunya.”


“Kalau mau ya mungkin bisa. Tergantung krunya. Hahaha. Ya nggak lah. Cuma speak Bombay aya lah. Paling dapet kenalan aja.”

 

“Kalau groupies?”

 

“Sekenyot dua kenyot lah. [sehisap dua hisap--red]. Nggak deh, becanda!” kata Iwan ngakak.

  

 

***

Sejak masih bermain musik secara amatir, tekad Opet Alatas sudah bulat. Dia harus jadi musisi. Selepas SMA dia meninggalkan kampung halamannya di Tanjung Pinang. Mei ’93 Opet tiba di Jakarta dengan modal nekad dan sedikit sekali pengetahuan soal ibukota. Salah satu hal yang terlintas di benaknya waktu itu, dia harus ikut kursus musik. Tapi biayanya begitu mahal.

 

Opet lantas teringat tetangganya di Tanjung Pinang yang sudah meniti karir musik; [alm] Andy Liani. Selain café Manari yang belakangan namanya jadi Poster—salah satu tempat kumpul banyak musisi di Jakarta, pertengahan ’90-an—Opet rajin mengunjungi tempat kos Andy Liani. Kebetulan, musisi idolanya, Thomas Ramdhan juga tinggal di sana. Opet mendengar permainan bass Thomas dari album-album di antaranya Anggun C Sasmi dan Andy Liani.

 

Setelah sekira satu tahun Opet tinggal di Jakarta, Thomas Ramdhan rilis album perdana dengan kelompok musik yang baru didirikannya bersama empat temannya; GIGI. Sekira dua bulan setelah GIGI rilis album “Angan”, Opet punya solusi untuk mewujudkannya belajar bermain bass. Dia datangi Thomas Ramdhan.

 

Gue pengin jadi kru elo. Berapapun bayaran dari elo, gue terima deh. Uangnya bukan yang utama. Gue pengin belajar,” balas Opet.

 

Tapi Thomas tidak menerimanya. Dan setiap Opet bertemu Thomas, jawabannya selalu “nanti deh.” Hingga akhirnya tiga bulan setelah proses lamaran itu, Thomas malah balik bertanya.

 

Elo masih mau jadi kru?”

 

Ketika saya tanya Thomas soal proses lamaran ini. Dia membenarkan bahwa ketika itu, dia tidak langsung menerima Opet. Bukan apa-apa, Thomas merasa tidak enak. Motivasi Opet ingin jadi kru-nya, karena dia ingin belajar. “Dia kan waktu itu lagi kuliah. Datang dari luar daerah. Terus, niatnya bukan mau kerja sih, mau belajar. Nggak enak aja, takut nggak bisa ngebayarnya,” kata Thomas.

 

Maka, hari ketika Thomas meminta Opet jadi kru-nya, adalah hari ketika pintu Opet masuk ke industri musik semakin terbuka. Keinginan dia untuk belajar tanpa harus mengeluarkan biaya besar tercapai. Dia belajar langsung dari idolanya. Pada saat yang sama, dia masih aktif di kelompok musik bernama Bumi yang sering main di kampus-kampus dan Pasar Seni Ancol.

 

“Akhirnya gue dapet banyak pelajaran, walaupun yang nggak secara langsung kayak orang les privat. Banyak sisi lain yang gue dapet. Pada akhirnya nggak cuma bicara skill. Tapi gimana sih main di panggung sampe gimana aransemen lagu. Lebih luas lah, Niat gue jadi kru memang cuma sebagai batu loncatan. Tapi, gue tetep memerhatikan gimana gue kerja dengan benar. Kalau nggak teliti, udah banyak alat yang hilang. Gimana kerja dengan cepat tapi rapi. Kalau dulu kan jarang konser tunggal, setting alat di panggung banyak. Satu mixer yang 24 channel tapi dipake banyak band. Sementara jeda dari band satu ke band yang lain, nggak terlalu lama,” kata Opet. 

 

Menjadi kru Thomas berdampak besar pada pada musikalitas Opet. Saking besar rasa kagumnya, Opet merasa kalau gaya permainan bass dia sangat terpengaruh Thomas. Opet menikmati proses itu. Dengan bayaran Rp 150 ribu setiap manggung, berbeda dengan kondisi sekarang, waktu itu kru GIGI hanya dua orang; Opet dan seorang kru lain. Dua orang itu, harus mengurusi alat-alat sebanyak itu. Apalagi, Opet sempat jadi kru GIGI ketika era dua gitaris. Kadang-kadang, kalau pertunjukkannya digelar di Jakarta, Opet dan temannya mengajak seorang teman lagi untuk membantu mereka. Bayarannya ditanggung mereka berdua.

 

“Dulu mah bener-bener berat. Pinggang sampai sakit. Sekarang gue suka cerita sama kru gue soal kerjaan gue yang lebih berat dibandingin kru sekarang. Sementara konsekuensi kalau hilang barang, harus diganti,” kenangnya.

 

Karena niat awal Opet jadi kru sebagai batu loncatan, dia masih bermain musik bersama teman-temannya. Ketika sampai di masa Opet dan kelompok musiknya menyusun lagu di tahun ’96, GIGI menawarkan tugas yang lebih berat untuk Opet; menggantikan Thomas yang waktu itu harus vakum karena narkoba. Opet baru satu setengah tahun jadi kru mereka.

 

“Lagi makan malem, tiba-tiba mereka ngajak ngomong. ‘Elo siap nggak kalau gantiin Thomas buat tur?’ Gue spontan jawab iya. Pada saat itu gue nggak mikir, pas pulangnya baru deh kepikiran,” katanya sambil tertawa.

 

Maka dia pun “naik pangkat” jadi personel. Di Indonesia, menurut Opet, dia orang yang pertama kali mengalami itu. Personel GIGI yang lain bisa saja mencari pemain bass dengan jam terbang yang lebih banyak dibandingkan Opet. Tapi waktu begitu mendesak. GIGI tidak punya waktu untuk berlatih dengan orang baru yang belum hapal repertoire lagu-lagu mereka. Opet orang yang paling cocok pada saat itu. Dia sudah sering bermain bersama personel GIGI yang lain pada saat soundcheck; menggantikan Thomas yang beberapa kali berhalangan hadir.

 

Siapapun mungkin akan mengalami masa-masa canggung ketika berpindah ke suasana baru. Opet yang dulunya mengurusi alat-alat, sekarang malah jadi orang yang alat-alatnya diurusi. Dia akhirnya ada di panggung yang sama dengan orang-orang yang pernah jadi atasannya. Menghadapi kru dia canggung. Menghadapi teman-teman di GIGI dia canggung.

 

“Temen-temen yang lain meyakinkan gue, kalau di sini kita kerja. Nggak usah kagok. Armand [Maulana] dan [Dewa] Budjana mereka membuka diri. Walaupun tetep ada enak nggak enaknya, gue nggak terlalu sulit untuk adaptasi,” kata Opet.

 

Naik pangkat mendatangkan banyak manfaat bagi Opet. Kalau biasanya setiap keluar kota bersama GIGI, dia merasakan pegal-pegal setelah mengangkat barang-barang, kini dia bisa nyaman. Soundcheck, main dan pulang. Secara finansial pun meningkat. Opet kini mendapat bayaran Rp 650 ribu setiap manggung. Walaupun jumlah ini lebih kecil dibandingkan bayaran yang diterima personel lain dan Opet dituntut melaksanakan kewajiban yang sama, dia tidak keberatan. Toh baginya, masih banyak hal positif yang tidak bisa dinilai dengan uang.

 

Pertama, dia bisa kenal dengan banyak musisi. Setelah statusnya menjadi musisi, bukan kru, dia merasa posisi tawarnya untuk berkenalan dengan musisi lain lebih enak. Walau menyandang status mantan kru, tetap saja, status barunya membuat dia lebih percaya diri. Kedua, dia bisa membeli alat musik. Semua terjadi begitu cepat. Umur Opet masih delapan belas tahun waktu itu. Baru di Jakarta beberapa tahun dan masih meraba-raba, tiba-tiba sudah jadi personel GIGI. Bisa keluar negeri. Sepanggung bersama GIGI. Tapi, kondisi itu bukan tanpa kendala. Perbedaan jam terbang dan umur akhirnya berpengaruh juga.

 

Ada hal-hal yang secara mendasar belum siap. Gue akui, pada saat itu, gue baru lulus SMA, dari daerah pula. Tiba-tiba harus naek dengan segala kondisi yang harus gue imbangi. Pasti ada hal-hal yang belum gue sampe. Akhirnya pada saat proses kreatif, seperti ada yang menahan gue untuk mengeluarkan ide,” katanya.

 

Itu membuat Opet marah. Pada diri sendiri dan pada keadaan. Beberapa kali terlintas di benaknya, untuk keluar saja dari GIGI. Sikap seperti itu, kata Opet karena dia masih muda. Emosinya masih belum stabil. Dan itu ditanggapinya dengan emosi. Belakangan, Opet merasa kondisi di GIGI semakin tidak nyaman.

 

“Mungkin juga, memang personel yang lain sengaja membuat situasinya nggak nyaman. Mungkin kalau mau mecat langsung nggak enak,” katanya sambil tertawa.

 

Suatu hari, GIGI bermain di acara Satu Jam Bersama di Indosiar. Thomas ikut bermain di dua lagu. Ini, kata Opet, dilakukan tanpa bicara dulu dengannya. Ketika GIGI manggung di Bandung pun, Thomas ikut bermain lagi.

 

Gue pikir, mereka mungkin nggak enak kalau ngeluarin, dibikin lah kondisi yang nggak nyaman. Gue nggak bilang itu salah. Cuma, tentu ada sebabnya. Mungkin mereka kurang puas sama gue,” kata Opet.

 

Saya hubungi Armand untuk menanyakan soal ini. Armand menyangkalnya. Dia, Budjana dan Budhy Haryono [drummer] merasa tidak pernah sengaja membuat suasana jadi tidak nyaman. Malah, mereka ingin Opet mengembangkan kreativitasnya. Pernah satu kali, Armand, Budjana dan Budhy sengaja “memaksa” Opet untuk mengaransir lagu. Soal mengajak Thomas bermain kembali di GIGI, itu semata-mata karena mereka ingin membangkitkan semangat Thomas yang sudah sembuh.  

 

Gue sering bilang sama dia, Pet, ayo dong kalo bikin lagu, kord-nya jangan nunggu dari Budjana melulu! Eh akhirnya pas lagu ‘Palsu”, kami bener-bener kasih ke dia. Gue, Budjana sama Budhy cuma ngikutin dia aja,” kata Armand.

 

Menjelang Tur album Kilas Balik, Opet menyatakan mundur dari GIGI. Manajemen meminta Opet menyelesaikan dulu tur. Salah satu alasannya, karena Opet punya andil di album itu.

 

“Waktu gue resign, pas ngomong sama anak-anak, nggak ada yang nahan. Mereka cuma bilang, ‘Oh elo mau resign, ya udah.’ Mungkin ini yang ditunggu-tunggu,” kata Opet sambil tertawa.

 

Valentine 1999 adalah hari terakhir Opet manggung bersama GIGI. Pada Armand dkk, dia meminta Thomas Ramdhan jadi penggantinya. Album Kilas Balik berjalan baik secara penjualan. Ini membuat hati Opet tenang. Setidaknya, dia pikir meninggalkan GIGI yang sedang dalam keadaan baik. Selepas dari GIGI, dia menjadi additional player di banyak kelompok musik, salah satunya Padi.

 

Usai bermain di sana-sini, tahun 2001 Opet muncul kembali di industri musik dengan kelompok musik yang baru didirikannya; Tiket. Saya pertama kali bertemu Opet tahun yang sama, ketika Tiket melakukan promo album. Musik di album perdananya terdengar seperti Padi di telinga saya. Opet membela ketika saya tanya soal itu. Ketika saya wawancara untuk tulisan ini, dia baru menjawab jujur.

 

“Waktu itu mungkin ya kepengaruh Padi, karena beres tur. Di saat yang bersamaan, gue lagi nyari vokalis. Jadinya terpengaruh suara Fadly. Dulu sih, gue nggak mau cerita. Kalau dibilang mirip Padi, gue ngeles aja,” katanya sambil terbahak.

 

Ketika saya wawancara, Opet sedang menggarap proyek bersama Budhy Haryono. Kelompok musik yang mereka beri nama Laki. Kalau ini berjalan baik, dia berencana untuk membubarkan Tiket. Dua mantan personel GIGI bergabung, Opet tidak menganggapnya proyek balas dendam. Toh, Opet sadar GIGI sudah jauh lebih berkembang. Seiring bertambahnya usia, Opet sadar sesuatu yang instan tidak tidak akan baik hasilnya. Tapi, dia senang bisa jadi bagian dari sejarah GIGI. Bisa diberi kesempatan belajar. Putra daerah itu telah mewujudkan mimpinya.

 

Gue nggak pernah ngebayangin bakal begitu. Makanya, sekarang kru band apa aja, harus punya keinginan untuk jadi lebih dari pada kru. Harus ada peningkatan!” katanya.

17 Comments:

Anonymous widi asmoro said...

nice article..

January 03, 2008 7:58 AM  
Anonymous Gucap BadSectors said...

keren Leh...!

January 03, 2008 8:11 AM  
Anonymous Agam Fatchurrochman said...

Enak dibacanya. Apalagi menceritakan orang-orang di balik layar

January 03, 2008 8:55 AM  
Anonymous dedidude dedidude said...

enak dibacem dan perlu

January 03, 2008 9:27 AM  
Anonymous dhendy mawardi said...

ok banget nih! hihihi .. thank bos.. suka banget bacanya

January 03, 2008 9:45 AM  
Anonymous Sir Profan de Caitiff said...

tulisan keren nih..!!
wah jadi semangat gue..
hmmmm.. ayo dong jadiin gue roadies..
jadi groupies juga ga apa apa..
hahahahaaha

January 03, 2008 10:11 AM  
Anonymous Adia Prabowo said...

thanks yah, keren nih artikelnya

January 03, 2008 5:07 PM  
Anonymous Indro Moektiono said...

selalu membuat kagum.

January 03, 2008 5:42 PM  
Anonymous andЯie Ruliansyah said...

alus leh euy.. jd semangat sayah..

January 04, 2008 7:11 AM  
Anonymous weknow s kadir said...

anjjis ini indah banget, gua sering liat artist mamfaatin roadies dengan keluguannya yang ingin jadi artis juga...banyak artist nahan lahan keuangan, dengan tetap menggawangi daerah daerah acara yang harusnya berisi musisi musisi talented...well, sebenarnya industri musik indonesia bisa sehebat industri film hollywood, asal kita semua percaya, bahwa tanah kita bisa di pacul dan di tanamin, apapun yang bisa menghasilkan uang yang sangat banyak....great article, and good luck all people in music industries

January 04, 2008 11:11 PM  
Anonymous djay * said...

kepanjangen kang

disave dulu ajjah :D:D

January 05, 2008 1:25 PM  
Anonymous Didi aja said...

Ganteng nih tulisan, gue taruh di www.bengkelmusik.com ya, pasti menarik utk bahan bacaan dan diskusi, nanti gue tulis nama dan web addressnya biar teman teman bisa visit ke sini

October 27, 2008 12:10 AM  
Anonymous soleh solihun said...

silakan mr. strat.

October 27, 2008 5:33 PM  
Anonymous windra kristiyanto said...

Keren bos...cerita nya......

mohon ijin buat masukin di forum musik gw ya....www.forum-musik.com , pasti bisa buat belajaran dan penyemangat yang lain....

November 05, 2008 6:16 PM  
Anonymous Moio . said...

artikel yg cakeeep...!

November 14, 2008 11:35 AM  
Anonymous Pugar Restu Julian said...

soleh engkau idolaku!

June 11, 2010 1:14 PM  
Anonymous Bayu Abhiyoga said...

Mantap gan artikelnya, terutama ceritanya Opet.

October 30, 2011 7:38 PM  

Post a Comment

<< Home