Lagu Lama Itu Terdengar Lagi
Bagai petir di siang bolong.
Dia datang. Tepat di saat yang tidak terduga. Kemarin. Di Ibu Kota. Di kamar kos. Tempat yang saya pikir tidak mungkin didatangi dia. Saya yang mengajaknya memang. Salah saya. Tapi, saya tidak tau harus bagaimana lagi. Dia butuh pertolongan. Ya sudah. Saya kasih.
Tapi, namanya petir, pasti dampaknya luar biasa. Apalagi petir ini pernah menyambar saya hampir satu tahun lalu. Hasilnya, perasaan itu datang lagi. Hanya saja, saya tidak tau mana yang harus saya nikmati. Sakitnya, senangnya, bingungnya, atau dendamnya?
Saya tau, dia datang tanpa pretensi. Hanya butuh seseorang di tengah kebingungannya di kota ini. Tapi, mungkin dia tidak tau, bagaimana dampaknya kepada saya.
Ketika saya pikir api ini hampir padam. Ketika saya pikir bara itu sudah habis. Dengan santainya, dia datang. Meniup bara tadi. Fyuh.
Ketika saya pikir telah bisa melupakannya. Menghapus semua catatan tentang dia dari buku saya. Dia datang. Menggoreskan tintanya di sana. Padahal, saya susah payah menghapusnya.
Lagu lama yang tidak ingin saya dengar itu, tiba-tiba diputar lagi. Saya suka lagu itu. Tapi, lagu itu ternyata bukan buat saya. Lagu itu milik orang lain sekarang. Dan mendengar lagu itu kembali setelah sekian lama, membuat hati saya kacau balau.
Saya tidak ingin harapan semu itu muncul. Saya cuma ingin melupakan dia. Dan saya kira saya sudah. Sampai hari itu. Saya tidak tau bagaimana sesungguhnya perasaan saya.
Sialan. Sekarang saya bingung. Masih satu bulan lagi dia ada di kota ini. Kasihan juga sebetulnya. Dia butuh teman di kota ini. Tapi, kalau saya menemaninya. Seperti kemarin. Saya akan seperti dulu lagi. Sakit. Senang. Dendam. Akan datang lagi. Bergantian. Bercampur.
Kalau saya menghindar, tidak memenuhi permintaannya, dia akan mengira saya tidak mau menolongnya. Padahal, saya hanya tidak ingin lagu itu diputar lagi. Itu saja. Sesederhana itu.
Saya ingin baik-baik saja. Tanpa harus mendengar lagu itu berputar terus di kepala. Capek. Tubuh saya jadi ikut lelah.
Selamat. Dia melakukannya lagi. Dan sekali lagi, saya korbannya.
Dia datang. Tepat di saat yang tidak terduga. Kemarin. Di Ibu Kota. Di kamar kos. Tempat yang saya pikir tidak mungkin didatangi dia. Saya yang mengajaknya memang. Salah saya. Tapi, saya tidak tau harus bagaimana lagi. Dia butuh pertolongan. Ya sudah. Saya kasih.
Tapi, namanya petir, pasti dampaknya luar biasa. Apalagi petir ini pernah menyambar saya hampir satu tahun lalu. Hasilnya, perasaan itu datang lagi. Hanya saja, saya tidak tau mana yang harus saya nikmati. Sakitnya, senangnya, bingungnya, atau dendamnya?
Saya tau, dia datang tanpa pretensi. Hanya butuh seseorang di tengah kebingungannya di kota ini. Tapi, mungkin dia tidak tau, bagaimana dampaknya kepada saya.
Ketika saya pikir api ini hampir padam. Ketika saya pikir bara itu sudah habis. Dengan santainya, dia datang. Meniup bara tadi. Fyuh.
Ketika saya pikir telah bisa melupakannya. Menghapus semua catatan tentang dia dari buku saya. Dia datang. Menggoreskan tintanya di sana. Padahal, saya susah payah menghapusnya.
Lagu lama yang tidak ingin saya dengar itu, tiba-tiba diputar lagi. Saya suka lagu itu. Tapi, lagu itu ternyata bukan buat saya. Lagu itu milik orang lain sekarang. Dan mendengar lagu itu kembali setelah sekian lama, membuat hati saya kacau balau.
Saya tidak ingin harapan semu itu muncul. Saya cuma ingin melupakan dia. Dan saya kira saya sudah. Sampai hari itu. Saya tidak tau bagaimana sesungguhnya perasaan saya.
Sialan. Sekarang saya bingung. Masih satu bulan lagi dia ada di kota ini. Kasihan juga sebetulnya. Dia butuh teman di kota ini. Tapi, kalau saya menemaninya. Seperti kemarin. Saya akan seperti dulu lagi. Sakit. Senang. Dendam. Akan datang lagi. Bergantian. Bercampur.
Kalau saya menghindar, tidak memenuhi permintaannya, dia akan mengira saya tidak mau menolongnya. Padahal, saya hanya tidak ingin lagu itu diputar lagi. Itu saja. Sesederhana itu.
Saya ingin baik-baik saja. Tanpa harus mendengar lagu itu berputar terus di kepala. Capek. Tubuh saya jadi ikut lelah.
Selamat. Dia melakukannya lagi. Dan sekali lagi, saya korbannya.
5 Comments:
Addeeeuuuhh. kasus puntung berasap yeuh? Pikasebeleun memang. Tapi ingat aja lah Leh, urusan beginian emang terlalu besar misterina. Makanya dari awalh diambil alih ku Gusti Nu Agung :)
Jadi ya just enjoy itu boy! Ini bisa [dan tidak bisa] mengarah kemana-mana. Tapi ingat aja, past is a past.
hi. saya suka blog kamu...dah sering baca. nggak sengaja sih awalnya. kebetulan kasus yang terakhir ini mirip dengan yang barusan saya alami. well, enjoy it man. agonizing every pain, agonizing every happiness. hehehe
Gak pa2 Le... gak pa2.... Hati kita kan bukan kita yang ngatur, jadi ya terima jadi aja apa yang dirasain ama hati.
Selamat menikmati penderitaan-mu Nak. Kalau lu dulu pernah bilang sama gua, "sakit karena kangen masih bisa dinikmati," nah sekarang giliran gua bilang, sakit karena cinta masih bisa dinikmati Leh!Hehehe....
Saya pernah disana, Leh. Nikmati aja. Kalaupun harus tergugah. Balik lagi ke diri lo sendiri. Rela berdansa dengan lagu yang sama lagi atau tidak?
leh..kok ga pernah online lg yeuh di YM?
Post a Comment
<< Home