Friday, June 23, 2006

Perjalanan Majalah Musik di Indonesia

Kata Frank Zappa, "Most rock journalism is about people who can't write interviewing people who can't talk for people who can't read." Mungkin dia benar. Makanya, majalah musik di Indonesia tidak pernah bertahan lama. Walaupun istilah rock journalism belum ada di Indonesia.

Ini masih dalam rangka kursus jurnalisme sastrawi. Tugas terakhir adalah membuat outline. Untuk buku, atau pelaporan mendalam. Saya memilih buku. Dan ini, kira-kira yang ingin saya buat.


Outline Buku “Perjalanan Majalah Musik di Indonesia” karya Soleh Solihun. [Amiiin].

Majalah musik di Indonesia tidak pernah bernasib baik. Umurnya tidak pernah bertahan lama. Kalau dibandingkan di luar negeri, mereka punya majalah musik yang bertahan puluhan tahun. Rolling Stone, NME, Blender, Spin, beberapa di antaranya.

Di Indonesia, satu-satunya majalah musik yang pernah bertahan lama, hanyalah Aktuil. Dari tahun 1967, hingga 1981. Itu pun, hanya mengalami masa jaya pada kurun waktu 1970 – 1975. Setelah Aktuil, belum ada majalah musik yang bisa menyamai kesuksesan itu. Nah, buku ini ingin memaparkan bagaimana kisah majalah musik di Indonesia. Kenapa tidak pernah ada yang sukses? Bagaimana peranannya dalam perkembangan industri musik di Indonesia? Dan banyak pertanyaan lain.

Untuk menceritakan perjalanan majalah musik di Indonesia, saya bagi ke dalam empat periode.

Periode ’70-an.
Majalah yang diceritakan di sini, adalah Aktuil. Disinggung sedikit soal majalah musik sebelum Aktuil, yaitu Musika, yang terbit tahun ’50-an. Tapi karena Aktuil yang paling fenomenal, maka kisah ini dimulai di sini. Plus, industri musik Indonesia di tahun ’70-an mulai menunjukkan geliatnya.

Cerita dimulai dari pernyataan Remy Sylado, soal tidak akan mau lagi mengurus majalah musik. Dibayar berapapun. Lantas, flashback ke masa ketika Sylado ditawari jadi redaktur di Aktuil. Majalah ini kemudian berkembang. Sylado salah satu tokoh kunci. Sylado pula yang hingga sekarang masih dikenal publik. Itu sebabnya, karakter Sylado untuk menceritakan majalah Aktuil tepat digunakan. Dia juga bisa bicara banyak soal industri musik serta jurnalis musik di Indonesia.

Di periode ini, diceritakan juga, bagaimana Bens Leo yang masih muda bergabung di Aktuil. Dia juga salah satu alumni Aktuil yang masih aktif hingga sekarang. Bens Leo juga jadi Pemimpin Redaksi NewsMusik, majalah musik yang kemudian terbit di akhir ’90-an.

Periode ’80-an.
Banyak yang mencoba mengulang kesuksesan majalah Aktuil. Vista Musik di antaranya. Beberapa awak Aktuil bahkan ikut bergabung di sini. Tapi, Vista Musik tidak berhasil juga. Berubah format jadi Vista Film, Musik, Televisi. Di akhir ’80-an, majalah Hai mulai berubah format jadi majalah remaja pria. Arswendo masuk.

Periode ’90-an.
Di awal tahun ’90-an, Tabloid Citra Musik terbit. Setelah Monitor dibredel, pelan-pelan tabloid ini berubah format jadi tabloid hiburan. Untuk mengganti posisi Monitor. Beberapa karakter di era ini, Remy Soetansyah, dan Hans Miller Banureah. Dua nama ini, akan masuk lagi dalam cerita, di awal 2000-an.

Di era ini, Hai jadi majalah yang paling banyak memberi informasi musik. Remaja Indonesia, rasanya percaya saja apa yang Hai katakan. Mirip dengan yang dialami Aktuil. Sejarah berulang. Hanya, Hai masih bisa diselamatkan. Porsi musik dikurangi sedikit demi sedikit. Perusahaan yang besar di belakangnya, jadi salah satu faktor penentu juga. Di era ini, nama Denny MR muncul. Di era ini pula, Arswendo pernah mengelola Tabloid Dangdut selepas dari penjara. Tabloid Dangdut juga tidak bernasib baik.

Periode 2000-an.
Akhir ’90-an dan awal 2000-an, muncul media massa musik. Tabloid MUMU, yang hanya bertahan sekitar empat tahun. Majalah NewsMusik, yang hanya tiga tahun. Dan tabloid Rock, yang hanya sekitar 52 edisi. Remy Soetansyah dan Hans Miller Banureah dua petingginya. Majalah Popcity juga hanya bertahan sekitar tiga tahun. Majalah Poster juga tidak lebih baik nasibnya. Di era ini, beberapa majalah independen, yang membahas musik cutting edge terbit. Trolley, hanya 11 edisi. Kini, hanya beberapa nama bertahan. Trax dan Ripple di antaranya. Ripple majalah independent yang banyak menulis musik yang tidak mainstream. Sekarang berubah jadi majalah gratisan. Sebagian halamannya diisi katalog produk distro.

Alurnya kronologis. Tapi, di setiap periode, tentu saja digambarkan konflik-konflik yang melanda majalah-majalah itu. Beberapa kisah yang berulang juga, akan menarik untuk diceritakan. Misal, kesamaan Aktuil dan Ripple, yang terbit dari Bandung. Soal porsi musik rock yang cukup besar di Aktuil dan Trax. Cerita berhenti di tahun 2006. Menyisakan pertanyaan, soal berapa lama majalah musik yang sekarang masih terbit bisa bertahan? Apakah sejarah akan berulang?

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

Soleh, kita baru akan launching weekend ini, tapi artikel ini bagus banget. Mau kontribusi di website kita? Kabarin.

February 19, 2008 10:10 PM  

Post a Comment

<< Home