Monday, September 03, 2007

Kompromi Demi Nasi

“Album kami yang berikutnya, bakal kayak Ungu, Leh,” katanya pelan.

Yang mengeluarkan kalimat tadi, salah seorang personel dari kelompok musik. Majalah Trax sempat menulis beberapa kali soal mereka. Arian, yang merasa musik mereka bagus, seperti juga saya, waktu itu memberi porsi yang cukup banyak buat mereka. Kami ingin mendukung mereka. Yah, minimal membantu memromosikan album mereka.

Saya tak akan menyebut nama mereka. Sebenarnya, mengutip perkataannya tanpa ijin sudah tidak etis. Makanya, saya samarkan, biar sedikit mengurangi rasa bersalah. Tak akan pula menyebut genre musiknya. Karena sudah jarang kelompok musik yang memainkan musik seperti mereka, sekarang. Yang jelas, mereka bagus. Memang, komposisi musiknya, bukan tipikal yang bakal langsung hinggap di telinga. Butuh waktu. Dan memang, cenderung terlalu rumit, berat, serius. In a good way, sebenarnya.

Lirik mereka penuh perenungan. Kontemplatif. Si penulis lirik bercerita pada saya, kalau mereka tidak ingin lirik mereka tidak bermakna. Si penulis lirik mengagumi lirik-lirik Arian. Dia bilang, Arian bisa membuat lirik berbahasa Indonesia, dengan bagus. Saya juga melihat dia punya potensi menawarkan tema lagu yang berbeda untuk industri musik Indonesia.

Walaupun, agak terlalu berat sebenarnya. Biasanya, kelompok musik yang sudah mengeluarkan beberapa album, mengeluarkan lirik-lirik kontemplatif seperti itu. Dengan kata lain, seiring bertambahnya usia si penulis lirik. Tapi, mereka sudah melakukannya di album pertama.

Saya waktu itu, agak terkejut juga, ketika si label mau merilis album perdana mereka. Dan bersyukur, setidaknya, mereka dari label besar masih mau percaya pada kelompok musik seperti mereka. Yang tidak bernyanyi soal cinta-cintaan antara laki-laki dan perempuan. Yang tidak mendayu-dayu, khas Melayu. Yang saya tangkap, mereka tak ingin seperti banyak kelompok musik lain di Indonesia.

Setidaknya, sampai saya bertemu lagi dengan salah seorang dari mereka, kemarin.

Memang, sebelumnya, saya pernah dengar dari si penulis lirik, kalau si bos label ingin agar si penulis lirik menulis lirik cinta-cintaan. Jangan terlalu serius. Waktu itu, si penulis lirik hanya cengengesan ketika bercerita soal itu. Saya menangkap kesan, kalau dia masih tak setuju dengan ide itu. Atau, setidaknya, masih berpikir dua kali untuk melakukan itu.

“Anak-anak kan sekarang udah ada yang berkeluarga juga Leh. Yah, minimal, kami melakukan ini buat memertahankan band supaya jangan bubar aja,” kata si personel yang bertemu dengan saya kemarin.

Perasaan saya, campur aduk. Ada sedikit rasa iba. Ada juga perasaan, yah wajar lah namanya juga industri. Selama mereka senang, kenapa tidak? Tapi, ketika si personel itu mengeluarkan kata-kata itu, sambil tersenyum miris, saya menangkap kesan, kalau mereka sebenarnya agak terpaksa juga mengambil langkah itu.

“Sekarang, liriknya yah aku padamu aku padamu. Si penulis lirik juga banyak baca chicklit sekarang. Dan nada vokalnya sekarang melengking melulu,” laki-laki itu tertawa.

Saya tak tau, dia tertawa karena menganggap hal itu benar-benar bodoh. Atau karena tertawa dalam kesedihan. [Haha. Saya seperti yang berlebihan ya. Maafkan].

Mungkin ini tak akan terjadi kalau si label tidak menaruh beban yang begitu besar pada mereka. Mungkin ini tak akan terjadi kalau si label masih mau memercayakan mereka untuk membuat musik yang mereka keluarkan dari hati. Bukan musik yang dibuat karena terpaksa. Ke mana rasa percaya itu?

Atau, mungkin setelah mereka merilis album dengan “musik seperti Ungu” dan meledak, punya banyak uang, mereka tak jadi bubar, lantas menikmati membuat musik begitu, yah saya tak bisa berkata apa-apa lagi selain ikut berbahagia buat mereka.

Tapi, kalau saja, ternyata “musik seperti Ungu” yang mereka buat tak lebih baik dari musik di album terdahulu mereka, juga tak lebih baik dari musik Ungu, akibatnya tak laku dijual, hingga membuat mereka benar-benar bubar, wah disayangkan sekali ya.

Ini membuat saya bertanya-tanya. Berapa banyak kelompok musik yang dalam karirnya mengambil langkah seperti mereka? Saya sering dengar memang soal ini. Tapi, terus terang, ini kali pertama, seorang musisi berkata jujur soal itu kepada saya. Dan mendengar langsung, terasa lebih sedih dan terenyuh.

Kalau memang dari awal mereka ingin membuat musik yang seperti itu, cinta-cintaan dan laku dijual, saya mungkin tak akan sedih mendengar keputusan mereka untuk “membuat musik seperti Ungu.” Tapi ini, ya itu tadi. Saya masih ingat waktu pertama kali mewawancarai mereka. Penuh semangat. Sangat yakin pada musik yang mereka buat. Ingin menawarkan pilihan lain. Ingin jadi pusaka di industri musik Indonesia.

Ah, sialan. Saya lagi-lagi berlebihan. Apapun yang terjadi, saya doakan mereka mendapatkan yang mereka cari.

73 Comments:

Anonymous dhendy mawardi said...

semoga mereka mendapatkan jalan yang terbaik deh. Amin .. miris juga gue baca blog loe yang ini .. jadi takut hal itu terjadi ama diri gue nantinya :(

September 03, 2007 3:21 PM  
Anonymous adib adib said...

Cupumanik?

September 03, 2007 3:30 PM  
Anonymous soleh solihun said...

no comment. :p

September 03, 2007 3:33 PM  
Anonymous Pugar Restu Julian said...

weits langsung ditebak! =)

September 03, 2007 3:35 PM  
Anonymous Karlina Octaviany said...

Yah, sekarang kan yang lagi happening band metal (mellow total) haha...boring!

September 03, 2007 3:37 PM  
Anonymous XXXX YYYY said...

Apakah statement diatas itu benar kang Soleh??? Klo bener2 terjadi, sangat2 disayangkan skali... Musikalitas n lirik2 yg bagus harus dihilangin & berubah menjadi "kaya ungu"....Turut berduka cita....

September 03, 2007 3:38 PM  
Anonymous edy 'khemod' susanto said...

sialan si adib...baru aja gua mau nebak...

September 03, 2007 3:42 PM  
Anonymous Waraney Rawung said...

jadi ingat artikel di hai minggu ini, 'band "ajaib" yang menggedor kita', tentang jualan dan tuntutan pasar...

September 03, 2007 3:47 PM  
Anonymous soleh solihun said...

dan saya tak akan konfirmasi apa-apa ya. :D

September 03, 2007 3:47 PM  
Anonymous adib adib said...

Mau nebak Suckerhead padahal tadi sih...
Siapa tahu gara-gara yang di produseri meledak,
om Krisna J. Sadrach lantas berganti konsep musik... :-)

September 03, 2007 3:48 PM  
Anonymous Yasha Chatab said...

Yg jadi masalah utama sebetulnya modal kan? Terutama utk promotions dll.

Sumber2 pembiayaan bisa datang dari mana aja ya? Apa ada perusahaan yg bergerak di bidang ini? Yah, supaya ngga sampai ada Ungunisasi yang terlalu berlebihan. Nanti Ungu pun bisa melarat bila semua band tries to sound like them. Udah ngga ada diferensiasinya lagi.

September 03, 2007 4:14 PM  
Anonymous soleh solihun said...

kayaknya, si label bisa kerjasama deh dengan sponsor2 buat promosi. tapi, kembali lagi ke soal rasa percaya. tak semua band bisa dapat rasa percaya dari pihak sponsor.

September 03, 2007 4:18 PM  
Anonymous Yasha Chatab said...

nah itu dia, label dipercaya karena mereka sudah lama berkiprah di business ini. Secara hukum lebih jelas, dibandingkan individu ataupun management yg kecil. Trusted relationship.

Label bisa dgn gampang menjual musical act baru ke sponsor (pastinya dgn kompensasi tertentu, seperti bikin theme song utk jingle, ada lagu yg judulnya nama cewe tapi juga nama produkdll) dan mungkin balik modal nya akan dari sponsorship. Yes, I'm referring to the bule triplet boyband...

Sponsor pada dasarnya akan terus mencari cara berpromosi, as long as endorser nya brand equity atau diferensiasi nya kuat.

Tapi yg susah kan untuk 'ketemu'nya itu...

September 03, 2007 4:29 PM  
Anonymous ernest prakasa said...

kadang susah juga sih leh. siapa yg bisa "percaya" kalo musik idealis bisa lebih jualan dari ungu? faktanya demikian. itulah kenapa gue selalu yakin indie + major tidak akan pernah ketemu. lebih baik jalan sendiri2, dan semua senang. the everpresent battle between capital vs creativity.

September 03, 2007 4:45 PM  
Anonymous bhita harwantri said...

yah, gitu d leh.
di sini katanya memang susah untuk membuat orang menghargai secara finansial sebuah idealisme.
doa gue adalah,
semoga cukup sekali saja 'melacur'nya,
setelah itu bisa dapet uang banyak,
putar uang itu di market supaya bisa berkembang biak,
juga buat membiayai sendiri idealisme itu.

kata seorang teman,
daripada bersusah payah meyakinkan pihak lain untuk membiayai,
lebih mungkin untuk, ya itu, kompromi 'rada' total (hihihi),
dapet duit banyak dari kompromi itu,
lalu membiayai diri sendiri untuk membuat apa yang dari dulu ingin dilakukan.

aaahhh,
tapi itu kan mudah dikatakan,
sulit dilakukan bukan?

September 03, 2007 4:46 PM  
Anonymous arian tigabelas said...

sad. so fukking sad. :| *grieving for the local music industry*

September 03, 2007 5:01 PM  
Anonymous Yasha Chatab said...

gue ada pembicaraan menarik dgn seorang distributor 'indie' hari Kamis lalu. We were discussing ttg single pertama yg dirilis ke publik.

Rangkuman dan kesimpulan gue might sound too simplistic, and the analogy is a bit lame. Tapi that first single is like a birthday 'gift' to the public, a gift to the fans (utk yg sudah punya fans ya..).

Untuk sebuah hadiah ulangtahun kepada seseorang, pastinya kita akan memilih hadiah yg terbaik utk dia. Hadiah yg kita pikir akan dia suka. Sesuatu yg special, tapi 'aman'. Pokoknya yg nerima pasti suka.

Sometimes we think that we're giving them the best gift, but they might not like it because it just doesn't fit them. Misalnya Bhita gue beliin hadiah ultah yg menurut gue keren dan seksi dari Niko Niko Intimo, mungkin Bhita ngga akan suka juga karena dia sukanya Mango fall collection, contohnya.

Tapi sebetulnya bisa aja sih, meskipun sulit, bila I-Radio (contohnya) pun lebih banyak lagi mencoba merubah taste dan persepsi dari semua Bhita Bhita di luar sana bahwa Niko2 itu cocok banget utk iklim tropis dan berpolusi nya Kota Jakarta...

September 03, 2007 5:01 PM  
Anonymous soleh solihun said...

nah, yang itu buat bhita dan banyak md radio di indonesia. berani nggak ngasih yang berbeda?

arian lewat trax mencoba melakukan itu. walaupun akhirnya tak berhasil mengangkat nama si band juga. mungkin karena tak didukung oleh biaya promosi yang tinggi dari label. tapi, setidaknya, arian sudah mencoba.

gua jadi inget dulu, pernah ngobrol sama ryo hai. waktu taun 2004, trax udah banyak memuat tulisan soal upstairs. bahkan jadi cover, walaupun cuma di trax2. gua bertanya, kenapa hai tak memuat upstairs? kan mereka bagus.

"wah, di hai agak susah leh. kalau kita nulis, terus pembaca kita di luar daerah belum tau, agak susah nantinya," begitu kira2 kata ryo soal kebijakan mereka.

padahal kan, kalau gua dan anak2 di trax waktu itu pikir, kalau ada yang bagus, dan banyak belum tau, justru tugas media buat memberi tau.

September 03, 2007 5:10 PM  
Anonymous arian tigabelas said...

*membayangkan Bhita memakai Nico Nico sekarang* xD

September 03, 2007 5:12 PM  
Anonymous widi asmoro said...

buat musik aja sepanjang 40 detik yang tetep idealis, tetep bagus, tetep bercitarasa namun racun..

September 03, 2007 5:23 PM  
Anonymous Yasha Chatab said...

TAMBAHAN:
Lebih baik musik idealis tapi ngga terlalu laku, daripada musik melacur tapi ngga laku juga!!


hueheheh... *evil laugh

September 03, 2007 5:29 PM  
Anonymous Maylaffayza Liberatti said...

Kesian juga dengernya...sepertinya harus down grading. Saya mendukung musisi semoga mereka bisa punya amunisi cukup untuk berkarya berdasarkan believe nya mereka. Idealis itu bukan hal yang buruk. Yang perlu di pertimbangkan, idealis bisa di kompromikan dengan komersialisme dengan cara perlahan, namun jangan sampai menghancurkan esensinya. Memang menyedihkan jika segalanya harus di cabik2, dimana musik itu bukan lagi dibuat untuk musik. Musik itu harusnya dibuat atas nama musik, walaupun tidak mengesampingkan komersialisme. Jika itu terlalu ideal, harus ada pihak2 yg mensupport, atau kita semua saling support. Komersil itu bisa kan punya kualitas.Ini yang mustinya di tekankan.

September 03, 2007 5:40 PM  
Anonymous Ricky Andrey said...

money, money, money.

no place for idealism, 'eh?

September 03, 2007 5:49 PM  
Anonymous bhita harwantri said...

@arian
hush jangan dibayangkan :D

masalah suka gak suka, itu kan sebenernya tentang seberapa berhasil kita mempengaruhi. ini semua kan bisnis persepsi, katanya. nah pertanyaan berikutnya adalah, apa nih yang mau kita pengaruhi ke orang2? (ini bener gak sih bahasanya, kok gue berasa rada aneh ya)
sesuatu yang kira2 bakal sulit diterima? hem, sulit tentu bukan berarti tak bisa, toh? tapi memang akan butuh waktu yang lebih lama dan effort yang lebih besar. btul? kalo udah bgini, bisa jadi kehabisan nafas di tengah jalan. makanya, butuh banyak tenaga bantuan untuk memberikan pernafasan buatan.

kalo yang ngasih pernafasan buatan gak ada juga? (uhm, mungkin ini yang sering kejadian, hehehe)
huh, mau gak mau mesti jalan sendiri.
kalo semua item-nya panjang umur, alhamdulillah. mari berjalan, atau bahkan berlari jika mungkin.

kalo dia asma lalu sesak nafas?
hoi, hoi, cari bala bantuan... dan -hiks- tak ada yang cukup.

bukan, bukan tak ada.
ada, banyak bahkan, tapi tak cukup.

jadi harus bikin yang bisa mencukupi itu mau memberikan nafas buatan toh?
mari, kita jalan sama2.
jangan lupa, sabar harus jadi teman baik.
nanti kan langkahnya jadi makin keliatan, dan si besar2 itu mau menoleh kepada kita.

tak juga?
ya sudah, kalian si besar2 ini maunya apa sih?
sini, aku ikuti dulu.
nanti aku sudah dapat hasilnya, terserah aku dong mau aku buat jadi apa.
aku mau membuat sesuatu yang aku tahu bagus untukmu tapi kamu blum tau sekarang kalau itu bagus untukmu, boleh ya?

jadi,
kalau aku sekarang merelakan dulu ada beberapa bagian dari rotasi laguku untuk memuaskan kalian para pemegang modal supaya kalian berbondong-bondong memasukkan uang kalian ke perusahaanku,
lalu setelah itu aku menggunakan 'bagianku' untuk menyuguhkan apa yang seharusnya, boleh kan?


*sementara yang sekarang sedang terngiang2 di kepala gue adalah 'oo..kamu ketauan..pacaran lagi...' ohhh noooo* =))

September 03, 2007 5:57 PM  
Anonymous iskandar z said...

resiko terjun di dunia commercial art.

bukan idealisme vs marketing, tapi bagaimana idealisme = marketing

September 03, 2007 5:58 PM  
Anonymous Yasha Chatab said...

Btw,

Coba cek ke bagian sales deh... Porsi pemasukan uang dari sini memangnya berapa persen sih dari revenue radio? Setau gue yg paling banyak ya dari product commercials, bukan dari recording company.

Please correct me if I'm wrong.



eh.. Bhita koq jadi nafas buatan ya analogi nya? Gue malah jadi kepikiran Baywatch sekarang... huahahahaha..

Nico2 Intimo + nafas buatan = baywatch imagery

September 03, 2007 6:05 PM  
Anonymous widi asmoro said...

hihihi... jadi pada berteori.. padahal di terminal sana orang muter lagu seenak nya aja.. maksudnya mereka gak mikir yang rumit2.. yang penting yang enak buat hatinya aja.. yang menyuarakan perasaan mereka..

September 03, 2007 6:18 PM  
Anonymous bhita harwantri said...

@yasha
mohon jangan dilihat secara linier.
pengiklan memasukkan uang kan berdasarkan asumsi (dan data statistik) bahwa target mereka adalah pendengar radio tersebut. bagaimana supaya para pendengar yang adalah target mereka itu tetap mendengarkan radio tsb? berikan apa yang mereka kira mereka mau, berikan apa yang mereka kira mereka suka. bagaimanapun, dengan cara apapun, jangan buat mereka lari. buatlah mereka tetap senang. bgitu katanya. dirimu pasti lebih mengerti lah daripada diriku, dirimu kan lebih lama di dunia ini hihihi..

oiya, gue blum menemukan analogi lain selain nafas buatan itu.. maaf ya :p


@widi
rumit kan gak harus gak enak buat hati, gak rumit juga gak berarti enak buat hati. btul?

September 03, 2007 6:24 PM  
Anonymous Yasha Chatab said...

muter lagu yg sebelumnya mereka dengar gara2 diputer sama Bhita dan teman2 MD lain maksudnya?

September 03, 2007 6:24 PM  
Anonymous Waraney Rawung said...

tahun lalu ke beberapa kampung nelayan di sulawesi-papua-NTT. dari ujung ke ujung, lagu yang diputer adalah 'SMS'. mau jebol rasanya kuping gue.

waktu jalan-jalan di makassar-kendari-kupang-jayapura-merauke, di angkot-mal-warung-restoran-bis, mau jebol lagi kuping gue denger lagu-lagu radja-peterpan-ungu.

tapi betul juga lo, orang yang dengerin seneng-seneng aja. who am i to judge their taste?

September 03, 2007 6:34 PM  
Anonymous Yasha Chatab said...

boooo..... I-Radio itu yg dengerin buaanyaaak banget loooh.... jangan lupa...

Yg bikin lagu tambah 'enak' khan penyiar dan tim produksi di balik tiap program (produser, operator, operator produksi, dll). Bagaimana mereka men-deliver sebuah lagu... Materi kata tiap penyiar, background story ttg artis yg masuk dalam program yg taped, dll.

Grup radio kalian khan termasuk expert dan juga leader di industri radio. Pasti kompetitor akan meniru apa yg kalian lakukan dan kalian harus melakukan inovasi baru. Kalo ngga ber-inovasi, pasti akan terdengar sama dgn radio lain. Apalagi kalo penyiar top nya dibajak! he he he...

Jangan2 nanti pengiklan akan juga lari misalnya penyiarnya pindah.... Strength utama ya program nya dan juga musik nya...

September 03, 2007 6:36 PM  
Anonymous widi asmoro said...

saya punya teori:
*anjis berteori juga*

"perkembangan musik Indonesia berbanding lurus dengan keadan dan kondisi sospol republik ini"


jadi, seperti apa kondisi sospol hari ini? dengerin aja yg sering diputer di radio2 daerah terutama: paling seputaran tiga: bermuka dua (selingkuh), tetep bermimpi (ini banyak contoh lagunya) dan senang2 mudah2an tidak inget kondisi susahnya sekarang (housmix,dangdut koplo, tarling cihuuuiii...)

September 03, 2007 7:06 PM  
Anonymous bhita harwantri said...

@yasha
betul, inovasi pasti dilakukan. tapi ya itu, harus dilakukan secara cantik, agar tidak dihentikan di tengah2 karena dianggap ancaman, hehehe. ayo coba didengerin i-radionya *halaaahh ini apa ya hihihi*.
oiya, banyak pendengar itu juga jadi bumerang, bukan? jadi radio massa itu seringkali menyebalkan, hehehe. *curhat colongan mode: ON :p*

@widi
btul wid,kata orang2, hidup udah susah, jadi dengerin musik yang bikin hepi aja, ato yang bikin ketawa dalam kesedihan :)

September 03, 2007 7:20 PM  
Anonymous bhita harwantri said...

bukan.
gara2 nongol tiap hari sebagai themesong-nya sinetron :D

September 03, 2007 7:21 PM  
Anonymous Hasief Ardiasyah said...

Beberapa bulan yang lalu Hai ngejadiin Vox sebagai kovernya, padahal mereka belum merilis album perdana. Malah masih di tengah-tengah proses pembuatan album ketika artikel itu dimuat. Berarti kebijakannya udah berubah, atau ini adalah kasus istimewa karena mereka punya agenda buat mengorbitkan band tersebut. Entahlah, itu cuma asumsi gue. Coba tanya anak Hai.

Gue nggak mau ikutan perdebatan, soalnya sejauh ini gue nggak kepikiran solusi yang realistis dan memuaskan semua pihak. Tapi gue jadi mikir, apakah ini hanya inkarnasi terbaru dari sebuah perdebatan abadi? Kebetulan aja band yang dipermasalahkan saat ini adalah Ungu, Kangen dan sebagainya, dan ada semakin banyak forum untuk menghujat band-band tersebut. Seandainya Sheila On 7 atau Peterpan, misalnya, baru meledak sekarang dengan musik mereka masing-masing, apakah tetap akan ada perdebatan ini?

September 03, 2007 7:53 PM  
Anonymous soleh solihun said...

kalo gua sih, alasan utama menulis ini sebenernya, karena kenyataan bahwa mereka mencoba melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan hati mereka, demi bertahan hidup.

kan gua udah bilang sief, kalo dari awal, mereka pengen jadi band kayak ungu, kangen, atau siapapun band yang sedang laku saat ini, gua nggak akan sedih.

tapi ini, buat gua, mereka ingin menjadi sesuatu yang sepertinya dulu tidak mereka sukai.

sedih aja.

September 03, 2007 7:59 PM  
Anonymous Hasief Ardiasyah said...

Ah, tampaknya tanggapan gue di atas terbawa oleh diskusi sebelumnya yang tampaknya agak menyimpang dari inti tulisan lo. Yah, gue cuma bisa bilang idealisme nggak akan bikin perut kenyang di industri musik Indonesia.

September 03, 2007 8:15 PM  
Anonymous widi asmoro said...

brur.. mengutip kata-kata bos dari sebuah label besar.. label hanya penyedia dari kebutuhan akan hiburan musik dari masyarakat Indonesia.. layaknya warung makan lah.. loe mau es doger.. kita sediain deh.

nah.. klo di dapurnya bahan-bahan tadi udah ada dan siap untuk disatukan.. berhubung sekarang banyak yang request yang warna ke ungu-unguan.. makanya bahan-bahan tadi dibuat biar warnanya jadi ungu.. supaya nggak kelamaan disimpen.. takut basi lah klo kelamaan.. kan warungnya punya tanggung jawab supaya bahan2nya laku.. :D

btw.. konsep idealisme menurut brur seperti apa sih?

buat sebagian banyak orang Indonesia, warna warna ungu tadi ideal lho untuk disantap beramai-ramai... untuk kebanyakan pengamen, warna ungu ini juga ideal untuk didendangkan di laju bis kota.. dan karena ideal tadi maka para pengamen ini dapet duit tiap membawakan ke ungu-unguan tadi.. nah duitnya buat beli nasibungkus.. jadi kenyang deh.. nyam!

September 04, 2007 12:28 AM  
Anonymous Yasha Chatab said...

kedengarannya simple sekali yah.... tapi mas Widi atau sang bos label besar itu terlalu merendah diri bila menyamakan diri dgn warung makan deh... ;>

Ini kan industri yg besar, involves big investment, skilled professional (seharusnya). And we all know that the industry is currently bleeding. If we play the game the way that it's been played, we'll also bleed lah.

Gue pribadi sih terus terang sangat menyambut baik dengan maraknya blantika musik Indonesia dengan semua band2 baru yg terdengar keunguan, dan menghias layar televisi kita dalam soundtrack sinetron.

In about 6 months, everything will sound exactly the same, ngga akan ada yg tau lagi mana yg Ungu, mana yg Kangen, mana yg Naff, mana yg DRIVE, or anything. Market will be saturated. Red ocean.

When that happens, itulah saatnya jenis musik lain utk bangkit!

Hiduplah musik non-ungu! Bangkitlah!

September 04, 2007 2:20 AM  
Anonymous Hasief Ardiasyah said...

Kalo gue mau es doger, ya gue berharap disajikan es doger yang sesuai pesanan gue. Kalo gue nggak mendapat itu hanya karena warungnya harus cuci gudang stok bahan menu utamanya yang berlimpah, ya mendingan gue nggak usah makan di warung itu. Penolakan gue mungkin nggak seberapa nilainya dibanding banyaknya pelanggan yang menginginkan menu utama itu, tapi bukannya warung makan harus sebisa mungkin mengakomodasikan pelanggannya?

Konsep idealisme? Yah kalo lo baca baik-baik apa yang dibicarakan Soleh, idealisme dalam konteks diskusi ini adalah berkarya sesuai keinginan sang seniman, bukan karena tuntutan perdagangan. Soleh menyayangkan sebuah band - yang sebelumnya sudah punya ciri sendiri - kini terpaksa merombak musiknya agar lebih menyerupai grup lain yang sedang populer. Mungkin itu "ideal" bagi pengamen bus kota yang bisa nambah stok repertoar dengan notasi yang itu-itu aja, tapi gue menyayangkan sebuah band tak bisa bertahan hidup di labelnya tanpa disuruh ngikutin apa yang sedang ngetop.

Gue ngerti kalo semua label - terutama label besar - berharap artis-artisnya bisa mendatangkan keuntungan. Tapi bukannya label besar, dalam menjustifikasi produk-produknya yang dianggap kacangan tapi laku, sering menggunakan istilah subsidi silang? Produk-produk yang jualan memungkinkan adanya produk-produk yang lebih segmented?

Kalo begitu kenyataannya, berarti mestinya produk yang segmented bisa tetap ada. Gue sih nggak mempermasalahkan kalo label meminta agar sang artis membuat musik yang lebih market-friendly, selama kadarnya masih tahu diri. Bagi gue, contoh yang dikemukakan Soleh udah tergolong nggak tahu diri - dari segi artistik, lha ya. Dari segi komersial sih sah-sah aja.

September 04, 2007 3:58 AM  
Anonymous roby nugraha said...

satu lagi band bandung menyerah...

September 04, 2007 4:03 AM  
Anonymous widi asmoro said...

mryasha: "Hiduplah musik non-ungu! Bangkitlah!"
amin.. amin.. gue juga setuju ama mister! tapi not today yah bangkitnya.. lha wong mau bangkit udah diterjang tarip tol yg naik.. minyak tanah langka.. semua orang sibuk memikirkan gimana caranya supaya besok bisa makan.. terus kapan mikir musiknya?

quasievil: "berarti mestinya produk yang segmented bisa tetap ada."
produk segmented memang terus ada.. dan gue setuju.. dan akan terus berusaha membujuk-bujuk para penulis media publikasi massa untuk mengulas produk segmented meskipun terus kepentok dengan kata-kata "mas, nanti kita tulis yah.. pembaca kita lagi minta diulas yang ini.. (sambil menunjuk yg warna-warna sama tadi)" dan juga berjuang agar supaya lagu-lagu yang segmented tadi diputar di radio meskipun lagi-lagi kepentok dengan kata-kata "kita udah taru di playlist.. cuman nggak ada yang request tuh" dan terus berusaha supaya si segmented tadi bisa perform di tivi meskipun sialnya lagi-lagi dihadapkan dengan pertanyaan "band apaan tuh mas? kok saya nggak pernah denger di radio?" lalu berusaha menjadikan lagu segmented tadi sebagai soundtrack sinetron meskipun naasnya baru lima episode striping harus dihentikan, pasalnya ratingnya jeblok..

bleeding.. hix hix.. *sambil makan es doger*

September 04, 2007 8:50 AM  
Anonymous ernest prakasa said...

well said, bro.

September 04, 2007 9:02 AM  
Anonymous ernest prakasa said...

no pun intended, but that's the nice thing about being outside our pool of blood, yash: if you mispredict, it dont cost much

September 04, 2007 9:05 AM  
Anonymous ernest prakasa said...

betul. istilah "memperkaya repertoire" juga kadang digunakan. TAPI, lagi2 kita perlu hati2 dalam mendefinisikan kata "laku". beberapa tahun lalu, "laku" nya peterpan mungkin bisa 2 juta kopi. sekarang? beberapa band2 memang "laku", tapi dalam kisaran sepersepuluh dari angka sebelumnya. on the other hand, biaya promosi tentunya hanya akan terus bergerak naik.

kesimpulannya? labels may use to have that luxury of releasing an album solely for the sake of the music. but now, things are a bit tighter.

September 04, 2007 9:13 AM  
Anonymous redi prio said...

Man, that's music industry. In this so called 'industry', music is commodity, a product. I really think that now is a rock's equivalent of that mid-eighties 'lagu cengeng' era. Y'know, the days when Pance, Betharia Sonata and Judhy Kristanto reigned. It's only a matter of time when we'll witness the birth of Nu Bill n' Brod! Hell yeah!

September 04, 2007 9:19 AM  
Anonymous redi prio said...

Man, that's music industry. In this so called 'industry', music is commodity, a product. I really think that now is a rock's equivalent of that mid-eighties 'lagu cengeng' era. Y'know, the days when Pance, Betharia Sonata and Judhy Kristanto reigned. It's only a matter of time when we'll witness the birth of Nu Bill n' Brod! Hell yeah!

September 04, 2007 9:20 AM  
Anonymous redi prio said...

g

September 04, 2007 9:21 AM  
Anonymous redi prio said...

Man, that's music industry. In this so called 'industry', music is commodity, a product. I really think that now is a rock's equivalent of that mid-eighties 'lagu cengeng' era. Y'know, the days when Pance, Betharia Sonata and Judhy Kristanto etc. were the reigning kings and queens. It's only a matter of time when we'll witness the birth of Nu Bill n' Brod! Hell yeah!

September 04, 2007 9:28 AM  
Anonymous Yasha Chatab said...

Wah.... mas Widi komentar2nya penuh jeritan hati rakyat ya, padahal kerjanya di perusahaan rekaman raksasa internasional! he he he

September 04, 2007 10:14 AM  
Anonymous Yasha Chatab said...

Yes, it's all about profit and loss. It's all business.

Kalian di perusahaan besar pasti investment nya tinggi, overhead / operations cost nya tinggi (apalagi utk menggaji Ernest dan Widi! he he he).

Mungkin bisa disebutkan saja bahwa memang decisions dari perusahaan besar utk sign atau tidak itu adalah purely business decision.

Lha memang perusahaan for-profit koq, bukan semacam Yayasan Pengembangan Musik di Indonesia. These are companies that make money from record sales.

Jadi mungkin fokus nya ke sini aja, daripada debat kusir terus mengenai selera pasar, selera abang2 di terminal lah, dll. Ngga akan pernah berakhir lah...

September 04, 2007 10:23 AM  
Anonymous widi asmoro said...

emangnya dosa yah?

September 04, 2007 11:01 AM  
Anonymous azza waslati said...

Jangan anggap mereka ngga ada pilihan. Toh justru sekarang options makin terbuka lebar. Masalahnya tinggal mau atau nggak. Jadi kalau akhirnya ada yang 'menyerah' juga mmm.. gue pikir kita nggak perlu mengasihaninya. We'll see, worth it or not =)

September 04, 2007 11:35 AM  
Anonymous wage egaw said...

turut berduka cita kalau perubahan terjadi

September 04, 2007 1:03 PM  
Anonymous pelacur korporat said...

kalo band metal yang personilnya mellow total, gimana lin, leh? huhuhuhu

kalau mau ngomongin industri sama idelisme sih, seperti yang udah dibahas gak bakalan ada habisnya lah. susah lah mereka disuruh untuk edukasi pasar, ya namanya perusahaan rekaman bukan sekolahah. pastinya lah tujuannya cari profit. untuk edukasi pasar sih gue lebih ngeliat peran media untuk ngasi referensi-referensi baru di dunia musik, terutama musik lokal. namun gue sering ngeliat media sendiri suka terjebak akan selera pasar yang sudah terbentuk. gak semua sih, terutama beberapa terbitan dan radio di kota-kota besar. Tapi menilik kasus majalah dan radio yang beroplah dan beraudiens besar yang dibahas di reply2 diatas, kayaknya hal ini masih terjadi.

gue cuma bingung sama perbedaan istilah 'band jualan' dan 'band idealis', dimana kesannya band idealis itu cuma disign cuma buat menuh-menuhin roster doang. dan buntutnya entah didrop atau disuruh 'ganti gaya' seperti yang ditulis Soleh. menurut gue pribadi, semua musik bisa dijual dengan segmentasi pasar yang pastinya beda-beda.

Correct me if i'm wrong, tapi menurut gue kalau sebuah label mensign seorang artis, maka dia juga punya tanggung jawab untuk 'menjual'nya, entah itu band jualan, band idealis, band kelas satu, kelas dua, kelas kambing, atau apapun. Artis atau band juga seharusnya punya hak untuk menuntut label mengurusi mereka dengan proper. Kalau emang susah dijual, ya jangan disign sekalian.

September 04, 2007 1:19 PM  
Anonymous widi asmoro said...

boleh gak kalo label nya menuntut karena artis nya gak becus.. ??
maksudnya disuruh promo tapi malah keleleran..

September 04, 2007 1:57 PM  
Anonymous soleh solihun said...

hmmm, kalo elu nanyanya ke gua sih, nggak tau wid. lah elu kan yang kerja di label. harusnya kan ada kontrak yang jelas soal kerjasama antara label dan si artis. semua harusnya udah diatur. :p

September 04, 2007 2:02 PM  
Anonymous pelacur korporat said...

balik lagi ke kalimat terakhir post gue: kalau susah dijual kenapa disign? salah sendiri :D

September 04, 2007 2:02 PM  
Anonymous arian tigabelas said...

tapiiiiii menurut gue banyak jurnalis musik yang memang nggak ngerti musik juga. mungkin mereka memang lebih cocok di industri infotainment. :)

September 04, 2007 2:04 PM  
Anonymous pelacur korporat said...

mas, komennya kok diapus? :p

September 04, 2007 2:08 PM  
Anonymous Yasha Chatab said...

very good point...

Sepertinya banyak media yg tidak terlalu selektif dalam recruitment wartawan desk hiburan. Yah, mungkin desk ini masih dipandang sebelah mata oleh pimpinan redaksi media umum.

September 04, 2007 2:10 PM  
Anonymous dim dum said...

ini pernah kejadian juga dgn band kami dulu...dan kami memilih bubar...
nanti aja bermusiknya, setelah pekerjaan mapan dan cukup tabungan...

September 04, 2007 3:37 PM  
Anonymous ernest prakasa said...

huah? iye punya gue dihajar sensor ya??

September 04, 2007 6:12 PM  
Anonymous tya scrumdiddlyumptious said...

ga berlebihan ko leh..
(jadi ikut melow,hehe)

September 05, 2007 3:33 PM  
Anonymous ric ky said...

wah, ada anggota dewan pers ni di sini...

September 06, 2007 9:42 AM  
Anonymous azza waslati said...

Gue kasih bocoran pembicaraan dari seorang bos besar label (yang disampaikan anak buahnya ke gue):

"Cariin gue band yang musiknya kayak Sheila on 7 tapi tampangnya mendingan dong, kayaknya di bandung ada deh"
Tadaaa... beberapa bulan kemudian muncullah satu band yang kemudian jadi fenomenal dan hingga kini vokalisnya dikejar-kejar infotainment dan 2 personilnya membentuk band baru.
He he he, itulah mungkin salah satu versi 'band pesanan' yang sukses.

September 06, 2007 2:34 PM  
Anonymous *_^ happy => said...

woo hooo... Ungu dan Sheila on 7 jadi acuan musik yang punya masa depan cerah di negara kita ini ya? bagheuuss!

September 29, 2007 6:10 PM  
Anonymous edo wicaksono said...

heh, SO7 tuh bagus lagi..
[membela temen mode on]

September 29, 2007 7:25 PM  
Anonymous mulihati tjakradipura said...

gw tau tuh Arian!!!! Dulu sering banget maen di Cafe seblah sky
komenya...yaaaa gitu deee :p

October 01, 2007 10:25 PM  
Anonymous Hotman Christian said...

[baru baca] pasti 3nity dengan Jumpa Marina [iklan body lotion].hehehehe

October 09, 2007 3:43 AM  
Anonymous Adriansyah Ismail said...

Hmm, ikut nebak yah. Kayaknya "Efek Rumah Kaca" bukan? Wups. Yeah, no confirmation. I loove their album by the way.

December 26, 2007 9:21 PM  
Anonymous tembang pribumi said...

Maaf saya orang awam!!! Membaca tulisan anda diatas, saya makin ber-tanya2 kok bisa ya KOIL tahan ber-tahun2 dengan sistem pemasaran bebas begitu?

January 18, 2008 2:03 PM  
Anonymous soleh solihun said...

maaf, saya kurang paham sistem pemasaran bebas yang anda maksud.

kalo soal KOIL bisa tahan bertahun-tahun, tanya langsung sama mereka. tapi kayaknya ini kan persoalan apakah mereka masih mau bersabar dengan penjualan album yang tak terlalu banyak, dan tak terlalu menggantungkan hidupnya pada hasil bermusik [mereka kan punya penghasilan dari yang lain].

dan tentu saja, kenyataan bahwa mereka masih yakin pada idealisme bermusiknya.

sekali lagi, lebih baik KOIL sendiri yang menjawabnya. hehe.

January 19, 2008 6:57 PM  

Post a Comment

<< Home