Monday, April 14, 2008

Intimidasi Profesi

Ada dua profesi yang cukup mengintimidasi saya. Setidaknya, setiap datang ke tempat mereka bekerja, selalu membuat jantung berdebar. 

Dokter dan polisi. Buat saya, dua profesi ini paling menakutkan. Ironis, karena dua profesi pelayan public ini tugasnya memberi pertolongan. Tapi, buat saya, dua profesi ini yang—oke, bisa jadi ini hanya stereotype yang ada di kepala saya saja—yang paling arogan, dan paling ingin dihormati.

Mereka, biasanya, tak suka dipanggil dengan sebutan Mas, atau Mbak ketika bekerja. Apalagi kalau sedang memakai seragam mereka. Jubah putih, atau seragam coklat itu. Padahal, sering kali saya berhadapan dengan mereka yang umurnya terlihat sepantar atau di bawah saya. Pernah, saya harus berurusan dengan dokter, karena terlihat masih muda, setidaknya masih pertengahan 30-an, saya panggil dia dengan mbak, dia terlihat tak senang.

Coba saja, kamu datang ke bank, rasanya tak akan masalah memanggil petugasnya dengan sapaan mas atau mbak. Atau ke restoran. Atau ke pom bensin. Atau ke kantor pos. Atau ke bioskop. Pada dasarnya kan, mereka sama-sama memberikan pelayanan buat masyarakat.

Seragam. Itu punya efek intimidasi yang cukup kuat. Seakan-akan ingin membedakan mereka dengan masyarakat lainnya. Seakan-akan ingin menegaskan kalau status mereka lebih tinggi. Walaupun harus diakui, untuk mendapatkan seragam itu, perjuangan mereka sangat berat.

Tempat mereka bekerja. Datang ke rumah sakit atau ke kantor polisi untuk meminta bantuan mereka, sama-sama menegangkan buat saya. Rumah sakit, biasanya cukup intimidatif dengan baunya, peralatannya dan segala macam diagnosanya. Namanya saja sudah intimidatif. Rumah Sakit. Padahal, dalam bahasa Inggris, Hospital. Identik dengan hospitality. Terdengar lebih ramah. Kantor polisi apalagi. Desainnya kaku. Dan di situlah, salah satu tempat kamu bisa menemukan polisi dalam jumlah banyak. Wah, satu saja sudah bikin grogi, apalagi banyak. Belum lagi birokrasinya. Buat orang yang tak terbiasa berurusan dengan polisi, datang ke kantor mereka, cukup menegangkan.

Mau berobat deg-degan. Mau mengurus SIM atau STNK, juga deg-degan.

Apalagi kalau sudah berurusan dengan uang. Biasanya, semakin besar persoalan kita, uang yang dikeluarkan semakin besar pula. Semakin besar pertolongan yang harus mereka berikan, semakin besar pula biayanya.

***

Sabtu [12/4] kemarin, saya ke dokter gigi. Terakhir kali saya ke dokter gigi, sepertinya waktu masih SD. Entah kelas 1 atau kelas berapa, yang jelas belasan tahun lalu, waktu Michael Jackson masih hitam, waktu satu dollar Amerika masih seribu rupiah. Waktu itu, saya di-bor. Meninggalkan kesan yang begitu mendalam. Membuat saya tak mau datang lagi ke sana. Apalagi kemudian saya sering mendengar cerita orang-orang tentang suntikan di mulut yang harus mereka dapatkan kalau ke dokter gigi. Damn. Di suntik di lengan saja cukup mendebarkan, apalagi di mulut.

Tapi, sakit gigi saya beberapa hari lalu ternyata sudah cukup menyiksa. Biasanya, saya membiarkan saja. Dikumur-kumur pake sikat gigi, atau listerin, beberapa hari langsung sembuh. Tapi, ini tak kunjung sembuh juga. Akhirnya, saya beranikan diri untuk datang ke sana.

Karena kebetulan sedang ada di daerah Dago, saya datangi Apotek Kimia Farma, yang dekat dengan Bandung Indah Plaza. Kebetulan, ada praktek dokter gigi di sana, jam tujuh sampai sembilan malam.

“Tenang aja, kamu nggak bakalan disuntik kok,” Tetta berusaha menenangkan saya. “Malu atuh sama setelan. Masa’ pake jaket kulit, takut disuntik.”

Gigi makin nyut-nyutan. Dan sakitnya, sudah berpengaruh ke kepala dan leher. Membuat uring-uringan. Ya sudahlah. Mungkin ini saatnya saya mengunjungi dokter gigi, begitu pikir saya.

Maka, akhirnya, masuklah saya ke ruangan prakteknya. Dokter gigi, adalah salah satu dokter paling intimidatif. Dokter umum masih sedikit menenangkan. Ruangan dokter gigi, dihiasi banyak peralatan berwarna perak. Macam-macam bentuknya. Seperti di bengkel saja. Kecil-kecil, tapi bisa mengobrak-abrik mulut.

Dokter gigi itu menyuruh saya duduk di kursi pasien. Jadi teringat salah satu episode Mr. Bean, yang membuat dokter pingsan. Untuk satu detik, saya bisa tenang.

“Sakitnya di sebelah mana?” tanya dokter itu, nada suaranya nyaris berteriak.

“Di bawah sini dok,” kata saya, sambil menunjuk ke arah kiri gusi.

“Sebelumnya, udah pernah sakit?”

“Lupa dok. Kayaknya, biasanya sih, suka sakit, tapi saya biarin aja sembuh, nah kemaren nggak ilang-ilang,” saya menjawab dengan grogi.

“Udah berapa lama?”

“Tiga hari lah.”

“Sebelumnya, pernah sakit gigi kayak begitu?”

….

Saya berpikir sebentar.

“Waduh, lupa dok.”

“Iya, sebelum yang ini, pernah sakit nggak giginya?” dia terdengar memaksa.

“Nah itu, saya beneran lupa dok,” saya semakin grogi.

Dan dia menyuruh saya membuka mulut. Lalu memasukkan dua alat kecil berwarna perak itu, ke mulut saya. Lampu sorot diarahkan ke mulut saya. Menyilaukan. Saya terlentang tak berdaya. Dengan mulut menganga dan alat-alat kecil itu mengorek-ngorek mulut saya.

“Waduh Pak, ini giginya kok goyang begini ya?” kata dokter itu, sambil mengorek-ngorek gigi saya. “Kayaknya ada yang retak nih, harus difoto nanti ya.”

Waks. Retak. Dada saya makin berdebar. Situasi makin menegangkan. Lampu sorot masih menyinari wajah saya. Lantas, saya pegang erat-erat dudukan tangan di kursi pasien itu. Sekonyong-konyong, Bu Dokter memasukkan dua alat lagi. Resepsionis yang tadi menerima saya dan selalu ikut di dalam ruangan, ikut memasukkan alat.

Total ada tiga alat di mulut saya. Yang satu, terdengar seperti menghancurkan sesuatu di rongga mulut saya. Suaranya seperti suara alat pemasang mur. Ngiiiiiing. Ngiiiiing. Ngiiiing. Ah, saya tak tahu bagaimana menuliskan bunyi itu di tulisan. Alat yang kedua, mengorek-ngorek, memberi jalan buat si penghancur. Alat ketiga, yang dipegang si asisten, bertugas menyedot.

“Pak Soleh, rileks Pak. Saya mau menolong Bapak. Kalau Bapak nggak rileks, saya nggak bisa nolong Bapak,” kata Dokter itu.

Dari tadi, tangan saya mencengkeram erat pegangan kursi itu. Bagaimana bisa rileks, kamu terlentang tak berdaya, disorot lampu, mulut menganga dan dua orang asing mengorek-ngorek mulutmu dengan tiga alat yang kadang menyakitkan?

“Silakan keluarin Pak, terus kumur-kumur,” kata Bu Dokter.

Saya meludah ke alat di sebelah saya. Di alat penampung ludah itu, saya melihat serupa kerikil-kerikil sangat kecil berwarna hitam dan putih keluar dari mulut. Ditemani darah yang mengalir.

“Tuh Pak, ini karangnya banyak banget,” kata Bu Dokter lagi.

Saya disuruh terlentang lagi. Menganga lagi. dikorek-korek lagi. Dan kali ini, setelah sedikit agak terbiasa dengan adegan itu, saya memberanikan diri melihat alat penyedot yang dipegang si asisten. Saya melihat darah saya mengalir ke sana. Serta kerikil-kerikil kecil.

“Lihat Pak. Ini karangnya nih. Banyak kan?” kata si asisten.

Seakan-akan menunjukkan kalau saya tak sia-sia datang ke sana. Banyak sekali karang yang berhasil mereka dapatkan. Saya meludah lagi. Berkumur lagi. Dan entah dua atau tiga kali adegan itu terjadi. Saking menegangkannya, saya tak bisa mengingat dengan baik adegan itu.

“Gimana? Perasaannya, udah nggak pusing lagi? Kalau sebelumnya, skalanya sepuluh, sakitnya udah berapa sekarang?” tanya Bu Dokter ketika akhirnya kami bisa duduk dengan sejajar.

Saya masih syok. Sensasi menusuk-nusuk gusi masih terasa. Eh, diberi pertanyaan begitu. Harus menghitung pula. Membuat skala. Mungkin di kalangan dokter yang pintar-pintar itu, pertanyaan matematis setelah seseorang mengalami syok, adalah pertanyaan biasa.

“Yah, kayaknya sih udah lima dok. Agak ringan lah sekarang,” kata saya, asal menyebut angka.

“Wah, sudah lima ya? Bagus kalau begitu.”

Beberapa detik setelah Bu Dokter berkata itu, tiba-tiba mulut saya sedikit sakit. Nyut-nyutannya masih ada.

“Tapi, ini sih masih ada sedikit nyut-nyutan. Nggak tahu karena pusing tadi abis keujanan atau karena gigi,” kata saya.

“Ah, itu mah karena keujanan. Bukan dari giginya.”

“Gigi saya nggak bolong kan Dok?” saya sedikit lega.

“Nggak. Tapi, kalau kamu pengen ngecek lagi, nanti dateng lagi aja. Difoto dulu ya giginya, ini surat pengantar buat lab-nya. Gigi kamu juga, baru bagian kiri bawah yang dibersihin karangnya. Belum bagian yang lainnya.”

Lalu dia memberikan surat pengantar lab. Menyuruh saya datang lagi, lain hari. Menjelaskan cara menggosok gigi yang benar. Memberikan resep. Dan menuliskan kuitansi.

“Biayanya seratus ribu ya Pak.”

Setelah moral, giliran intimidasi material.

31 Comments:

Anonymous Arif Zaidan said...

hahahahaha tong heran, intimidasi material bisa leuwih2 deui, leh!
huntu2 urang manehna nu meunang duit !!!

April 14, 2008 11:23 AM  
Anonymous Fifi ... said...

soleh, harusnya ini berjudul "pergi ke dokter gigi"...soalnya lebih byk cerita tentang bu dokter

April 14, 2008 11:25 AM  
Anonymous soleh solihun said...

kalo judulnya begitu, kayak karangan anak sd fi. :p

April 14, 2008 11:28 AM  
Anonymous Bang Bang Bang! said...

ahahaha... masa seorang soleh takut sama dokter gigi?

April 14, 2008 11:30 AM  
Anonymous Fifi ... said...

Mungkin para dokter merasa paling ingin dihormati karena pendidikan yang mereka jalani lebih sulit dibandingkan bidang2 lain, makanya gengsi klo disamakan dengan profesi pada umumnya...belum lagi biaya sekolahnya yg sangat mahal, jd mungkin masih wajar jika mereka merasa sperti itu..

April 14, 2008 11:30 AM  
Anonymous pelacur korporat said...

kalau sama band berseragam, terintimidasi gak, leh?

April 14, 2008 11:31 AM  
Anonymous Bang Bang Bang! said...

kalo sama skinhead leh? pan sok seragam urang2 tampilana mah! ahahahaha...

April 14, 2008 11:31 AM  
Anonymous hagi hagoromo said...

sehat itu mahal.
kalo sudah terpapar, ya ikhlaskan saja.
penyakit itu nggak boleh disayang-sayang.
hehehe..

April 14, 2008 11:35 AM  
Anonymous Nadiah Alwi said...

Ada jg suster RS yg bete kalo dipanggil Mbak...hehehe

April 14, 2008 11:52 AM  
Anonymous Sir Profan de Caitiff said...

hmmm..
gue rela kehilangan 10 gigi asal dokter giginya Tera Patrick..
hahaha..

April 14, 2008 11:53 AM  
Anonymous arien ! said...

somehow, ga cocok ngebayangin seorang soleh, setting-nya korsi dokter gigi.. hihihi!
cepet sembuh sakit giginya yaa.. =D

April 14, 2008 11:57 AM  
Anonymous Ricky Andrey said...

kalo gue SMSan leh.

terus dokternya bingung "gak sakit mas?"

dan ini baru seminggu yang lalu.. uhuhuhuhu.

April 14, 2008 12:35 PM  
Anonymous Hasief Ardiasyah said...

Maksud lo pas lagi wawancara ini: http://solehsolihun.multiply.com/journal/item/97 ?

Hehehe...

April 14, 2008 12:53 PM  
Anonymous Lika Aprilia said...

halah.. untung geraham bungsu kamu gak bermasalah ya. aku mah 2x dioprasi aja gitu diubek-ubek. huks.
tapi alhamdulillah nggak pernah takut tuh sama dokter. ribet juga, "secara" saya banyak dokternya: dokter gigi, orthodontist, dokter mata, dokter kulit muka. Rutin didatangi beberapa bulan sekali. Untung kenal semua, jadi gak usah bayar. Wekekekekkk

April 14, 2008 1:13 PM  
Anonymous wage egaw said...

gigi goyang,sering dimintain buat buka tutup botol bir meureun leh?hehe

April 14, 2008 1:14 PM  
Anonymous devious devishanty said...

wahahahahahaha..

April 14, 2008 2:05 PM  
Anonymous chairina hanum said...

tapi ya dokter gigi itu masih lebih mending daripada tht...slnya kl tht bukan mengintimidasi tapi memperkosa keuangan ...cuma karena kotoran telinga menumpuk harus ngebayar setengah juta lebih...menggilaaaaa

April 14, 2008 2:06 PM  
Anonymous Thera Paramehta said...

waktu tk, gue suka bgt ke dokter gigi. gue seneng bunyi bor. ngilu-ngilu dingin di gigi... kok rasanya enak yah? cabut gigi emang sakit, tapi gue tahan kok. disuntik jg gak masalah. malah seneng banget kalo tumbuh gigi baru...
gue bersyukur bgt gigi gue gak pernah bener2 bermasalah (kecuali gusi berdarah karena kurang vitamin) berkat kecintaan gue ama gigi dan dokter gigi, sekarang gue hampir gak pernah ke dokter gigi lagi. pingin sih, buat sekedar bersih2in aja biar gak cepet keropos.

gue lebih trauma sama dokter kulit. dulu waktu muka gue jerawatan parah, gue ke dokter kulit. gue disuruh berbaring terus sang dokter dengan masker mengerikan itu mengeluarkan jarum suntik buat nyuntukkin jerawat gue satu-satu. sakit bgt rasanya. yg paling men-terror... waktu dokter itu harus nyuntik jerawat gue yang letaknya di atas kelopak mata gue. anjrit... serem banget ngeliat jarum suntik sedeket itu sama mata elo....

udahannya, gue keluar ruang dokter dengan muka berdarah-darah kayak zombie... ampun deh. hiks hiks

ps: bokap gue dokter bedah, tp dia gak pernah pake jubah dokter... panas katanya.. :-p

April 14, 2008 2:30 PM  
Anonymous Nana Suryadi said...

hehehe gue juga sempet pengen nulis juga soal dokter gigi...profesi paling ditakuti, preman aja takut kok sama dokter gigi. tapi krn gue cukup akrab sama dokter gigi, jadi agak sulit menggambarkan keseremannya lagi. anyway, kalo mau butuh dokter gigi yang lebih kalem dan canggih, dokter gigi gue cukup recommended :)

April 14, 2008 2:48 PM  
Anonymous Cowboy danCow said...

leh, kamu teh makan apa ampe giginya retak gitu ?...duuh..

April 14, 2008 2:49 PM  
Anonymous Citra Lukita said...

sama leh, gw jg suka merasa terintimidasi kalo pergi ke dokter. kayaknya mau diapa-apain harus nurut sama mereka.. termasuk kalo disuruh buka baju dsb. padahal dalam hati malu, tapi dilarang malu demi alasan kesehatan. hehe.. setuju juga sama alasan yg terakhir, intimidasi material. sekali datang, konsul, tindakan 200 rb. kalo badan rewel dateng ke dia lagi harus keluar duit segitu lagi. alhasil kadang gw jadi suka tahan-tahanin badan :p

April 14, 2008 2:51 PM  
Anonymous sossi sagaya said...

pernahkan soleh mengalami zaman cabut gigi ngga pakai suntik bius? saya pernah mengalami dengan dikasih batu es baru dicabut deh. persisnya lupa bagaimana tapi yang jelas pakai batu es aja...

April 14, 2008 3:06 PM  
Anonymous nice potatoes said...

karang2 giginya dikemanain udah nya leh??
jangan2 sm dokternya dijual lg!
lumayan cenah buat tambah2....
wekekekekeekekekekkkkk

April 14, 2008 8:32 PM  
Anonymous Dino Raturandang said...

hahaha gue selalu terhibur baca tulisan elo leh...jadi inget pengen nonjok dokter gigi saat cabut gigi en dia nyuruh gue nahan rasa sakit padahal sakitnya parah banged....tapi emang gue ngebayangin elo pake jaket kulit, ketakutan, di kursi pasien....hahaha !

April 15, 2008 9:11 AM  
Anonymous Mikail Maulana said...

leh, karang giginya dah segede krikil?? ck ck ck...odolnya dipake untuk sikat gigi kan, ga cuma buat kumur2 aja? hihihi

April 15, 2008 7:10 PM  
Anonymous nyon ki said...

ada ga ya yg ga takut sam dokter gigi?? (nulis dr. gigi pun jari ku gemetaran!!)iiiiiiii

April 16, 2008 2:54 AM  
Anonymous robby cupi said...

hehehe...wajar atuh jang...da duit mah moal ngabobodo....lamun hayang murah mah ka tukang gigi we...paling diganti ku gigi kuda, lumayan tah jadi teu beuki daging (cukup ku jukut).....bisa rada leuwih ngirit !!!!! Adeuk ?????

April 16, 2008 12:24 PM  
Anonymous arian tigabelas said...

Leh, di depan Apotik Jaya, PangPol ada klinik gigi. Dokternya mantan finalis wajah femina atau apaa gitu. lulusan NY, 3-4 dokter muda membuat klinik gigi. gue lupa namanya apa. dokter yang memeriksa gigi gue cantik, dan sangat ramah, segala pertanyaan dijawab dengan detail.

rasa sakit hilang seketika, walau sempat disuntik bius dan ditambal.

tapi kembali lagi setelah bill-nya rp.600.000,-. :|

April 24, 2008 10:51 PM  
Anonymous Karlina Octaviany said...

makanya sering2 kontrol, Leh, minimal 6 bulan sekali. Kalo dokter gigi bukannya lumayan yah...kan kita nggak bisa liat diapa2in soalnya dalem mulut. Kalo dibedah tapi bius lokal itu baru serem. Rajin2 scalling, Leh biar nggak karang gigi. Soalnya kalo parah karangnya bisa bikin gigi retak. Kalo sakit coba kumur pake Tantrum Verde. Itu obat kumur pengurang bengkak dan radang gusi sama buat rasa sakit dalam mulut. Oke loh...

April 25, 2008 5:02 PM  
Anonymous Rachmadi Perdana said...

yang lebih seram itu preman berseragam putih2 dan meneriakkan nama2 tuhan..

September 11, 2008 5:46 AM  
Anonymous http://spektrumdunia.blogspot.com/2013/05/margahayuland.html said...

mantep bang soleh.

June 12, 2013 12:49 PM  

Post a Comment

<< Home