Salah satu DJ Indonesia kelas A, Romy rilis album ke-tiganya. Clubhoppers memilih Romy sebagai Clubhoppers ke-empat. Maka, dirilislah album Clubhoppers Essential Mix #04. Ini petikan wawancara saya dengan DJ Romy, Rabu [19/7] lalu di kawasan Pejaten. Untuk kepentingan majalah, kata gue dan elu dalam obrolan, saya ganti jadi saya dan anda. Yang Anda baca di sini, versi yang belum diedit.
Dari album pertama sampe sekarang, ketiga, perbedaan apa yang paling terasa dalam karir bermusik Anda?
Yang pertama, saya maenin lagu orang kan. Tapi at least, waktu dulu DJ Selatan pada belum keluar albumnya. Terus, trend-nya belum banyak, DJ ngeluarin album. Sekarang kan, DJ udah mulai dianggap. Walaupun sekarang belum banyak juga ya? Baguslah saya senang, karena sekarang DJ dianggap sebagai musisi. Dulu kan, apalagi awal ’90, DJ itu kadang-kadang dianggap pegawai suatu klub, Cuma muterin lagu. Kalau sekarang, DJ bisa bikin lagu dengan album sendiri, bisa Live PA dengan artis yang udah ngetop. Itu evolusi yang saya sangat senang di Indonesia.
Album kedua, membawakan lagu sendiri?
Ada satu lagu bikinan sendiri. Tapi, biasa aja. Nggak terlalu signifikan musiknya. Karena waktu itu baru belajar.
Kenapa baru sekarang bisa buat lagu sendiri? Faktor skill atau faktor alat?
Factor alat. Jaman dulu, soft ware juga belum terlalu banyak yang bagus. Sekarang kan, sound card udah banyak yang bagus. Ini yang saya pakai Motul, sound card professional tapi udah bisa dipake di rumah. Jaman dulu kan, mesti yang ratusan juta. Sekarang kan, dengan kualitas yang sama, umpama seribu dollar, sudah bisa dapat sound card yang bagus. Terus, kebetulan saya dulu ada rejeki, akhirnya invest ke alat professional. Sekarang juga banyak software plug ins.
Perkembangan teknologi membantu sekali ya?
Membantu banget.
Mulai kapan sih, banyak soft ware murah bisa dibeli?
Tahun 2000 ke sini sih, udah mulai pelan-pelan. Tapi yang lebih menggila, 2003 ke atas, itu soft ware udah menggila.
Yang begini terjadi juga pada DJ di luar negeri?
Oh iya dong. DJ luar juga, nggak semuanya yang berduit. Malah, Tony Thomas bilang sama saya, ‘Man, shit! Your studio is very huge. All I got, is computer, controller, and one keyboard.’ Ada juga yang udah punya studio yang setara dengan studio rekaman.
Dari awal ketika memutuskan untuk jadi DJ, memang sudah berniat ingin buat album?
Nggak. Jadi gini. Tahun ’96 saya sudah pernah buat lagu. Tapi dengan alat yang sangat norak ya. [tertawa]. Saya sempat vakum, terus tahun 2002 baru mulai lagi.
Kenapa vakum?
Gimana ya? Masih bego sih. Mau cari alat apa yang bagus untuk buat lagu? Dulu cuma pake satu kibord doang. Terus, komputer juga saya pernah mencoba, hang melulu. Sekarang kan, komputernya powerful. Jarang hang. Dulu, dikit-dikit hang. Akhirnya males. Kan jaman dulu, tahun ’96, orang rekaman aja di studio pake reel. Masih jarang yang pake komputer. Baru orang-orang yang pake Macintosh. Kalau sekarang, orang pake PC aja udah bisa bikin lagu. Anyway, dari jaman dulu, saya sudah punya keinginan bikin lagu sendiri. Dulu, kalah sama bule. Alat-alatnya belum punya. Sekarang, berani diadu sama bule. [tertawa]
Pada momen apa Anda memutuskan untuk jadi DJ?
Pulang dari London, tahun ’93 itu sudah doyan nge-DJ. I’m a DJ. Dan waktu itu, house music sedang mewabah di Indonesia. Saya kebawa arus lah. Sampai sekarang.
Pada titik apa, keinginan Anda kuat untuk bikin lagu?
Ya tahun ’96 itu. Cuma, saya mentok. Kenapa sound saya tidak bisa seperti bule ya? Dulu mikir, gimana ya mereka bisa dapet sound seperti itu? Sekarang sih, Faithless di panggung, dua kibordnya sama dengan punya saya. Saya juga sudah punya duit banyak. Jadi bisa punya alat itu.
Romy sekarang dengan Romy di tahun ’90-an, percaya dirinya lebih besar dong ya.
Manusia tidak ada puasnya. Cuma, sound saya, sudah berani lah diadu. Nah itu, plat yang hitam itu [menunjuk ke salah satu plat yang ada di studio]. Waktu itu, teman saya bikin lagu. Saya bilang, ini teman saya Tony Thomas sama Terry Francis janji rilisin saya lagu, nggak dirilis-rilis juga. J Reverse bilang, nih, saya kirim detil, coba kamu remix. Akhirnya saya mix di sini, terus dikirim ke dia. Nah, dia email balik ke saya, ‘Man, this is fucking good!’ We’re gonna release the track. Akhirnya, alhamdulillah saya punya rilisan di Eropa. Lumayan lah, jadi DJ Indonesia, jadi salah satu pelopor yang bisa rilis di Eropa. Dan itu nggak mudah. Ada saya di sana. Waktu pertama kali dapet itu plat, saya mikir, gila, bisa juga ya rilis plat di Eropa. Lagunya memang lagu si Jackie Reverse. Cuma, ada mix saya. Dan begini, ini ada lagu utama, karena dia satu lagu. Lagu kedua, ada di nomor satu, itulah remix saya. Lagu yang diandalkan ketiga, yang ini yang lebih kecil porsinya. Jadi, di rilisan Funkulator ini, lagu saya lumayan diandalkan. Soalnya kalau nge-DJ lebih gampang di awal sini. Lumayan lah, berkembang. Mudah-mudahan bisa rilis lagi Kalau sudah diterima satu label internasional, ini kan di Italia, tapi rilisnya di seluruh toko plat di Eropa. Dan ini sudah bisa didownload. Anda bisa beli lagu saya di sana. [tertawa].
Apa yang pengaruh yang paling terasa setelah lagu Anda dirilis di plat itu?
Dengan pede-nya saya email teman-teman DJ, Tony Thomas, Terry Francis dan lain-lainnya, ‘Hey guys finally I released a track. Actually it’s Jackie Reverse’s track. I remix it, now I’m in your world!’ [tertawa]
Bagaimana soal tantangan, apakah sudah terjawab semua?
Belum. Saya belum rilis lagu sendiri. DJ Romy sendiri. Di Eropa belum main. Kalau Asia sih, udah berkali-kali. Yah lumayan lah.
Kalau di Indonesia bagaimana? Sudah kepegang ya.
Kepegang sih nggak. Cuma, paling tidak, sudah tahu lah orang. Banyak juga DJ yang bagus, yang kelasnya sudah A. Senior-senior.
Tapi, sekarang Anda sudah di kelas A ya.
Sepertinya sih begitu [tertawa].
Apa yang berubah dari crowd dance musik sekarang dibandingkan ketika dulu Anda memulai karir?
Yang pasti, musik sound-nya dari dulu makin gila. Evolusi musik house itu macam-macam. Crowd Jakarta sudah regenerasi beberapa kali. Sudah terlalu banyak regenerasi yang saya lewati. Tapi, so far, Indonesia makin gila. Sayangnya, tidak disupport oleh pemerintahnya. Di Kuala Lumpur, mereka disupport oleh pemerintah untuk bikin rave party di out door. Karena mendatangkan turis. Contohnya Zook Out di Singapura. Orang Jakarta berbondong-bondong mendatangi pesta DJ itu. Kenapa Indonesia nggak? Bali kan bisa dibuat sebagai second Ibiza of Indonesia. Ibiza kan di Eropa. Kebanyakan orang-orang Eropa berbondong-bondong waktu summer untuk party. Otomatis, itu mendatangkan devisa untuk negaranya. Bali malah dilarang, sekarang bikin rave. Mestinya kalau memang dikontrol dengan baik, Bali bisa jadi second Ibiza. Pulau mana lagi di Indonesia yang bisa dibikin seperti Ibiza? Karena bule sudah tahu Bali. Buat bule-bule clubbers, Bali sudah jadi pemberhentian mereka. Sayangnya, kenapa tidak disupport Dinas Pariwisata atau pemerintah untuk dijadikan nilai tambah.
Support dalam bentuk memberi ijin untuk rave party?
Diberi ijin dan disupport dalam bentuk cari sponsor. Misal, dibuat Indonesian Dance Festival. Itu yang datang DJ yang bayarannya di atas 10 ribu Pound. Dan harus dicanangkan, bahwa house music is not drugs! Paling penting kan itu, bagaimana mau buat musik kalau saya nge-drugs? Itu kan kesalahan orangnya juga. Salah crowd-nya juga. Mestinya seperti kalau mereka mendengarkan jazz, tidur denger jazz, bangun denger jazz, makan denger jazz, begitu party mereka tidak perlu mabuk. Karena mereka sudah terbiasa dengan house music. Levelnya kan macam-macam, ada yang kenceng, ada yang pelan, ada yang deep. Saya tidak perlu drugs untuk denger itu! Saya bisa berjam-jam ada di lantai dansa. Selama DJ-nya bagus ya.
Kalau begitu, masih banyak orang yang datang ke rave party untuk ngeceng saja?
Itulah house culture. Harus lebih diketahui. Kalau cuma cari cewek sih, nggak usah di rave, di pasar juga bisa. Cuma maksudnya, house culture kan dari fashion, dari sound system, dari lighting-nya. Itu kan jadi show, bukannya party ecstasy! Kami juga capek! Maen kibord segala macem. Saya bingung dengan pemerintah.
Datang, diperiksa polisi.
Iya. Oke lah kalau diperiksa nggak apa-apa. Rave nggak boleh bawa senjata api, nggak boleh bawa macam-macam di tas. Di KL juga diperiksa. Cuma merasa bebas. Bukan diperiksa karena Anda dicurigai sebagai bandar. Tapi, demi kenyamanan acara. Kita santai saja. Masuk rave seru-seruan. Di sini kan, yang diperiksa, narkoba! Ada mobil Badan Narkotika. Ini kan jadi ribet sendiri. Kalau bisa dikampanyekan dengan baik, bisa lebih positif. Nggak sampai, otaknya orang-orang tua ini. Apa sih house culture itu? sekarang, bikin rave aja minimal 500 juta. Mereka mau ganti nggak? Terus, di tengah acara, maaf adek-adek, acara kami berhentikan karena ini ini ini. Nggak usah begitu deh. Sebelum acara mulai, sudah ada gossip bakal digerebek. Nggak ada yang datang. Kasihan EO-nya kan. Akhirnya, nggak ada lagi yang bikin rave out door. Itu yang membuat saya sedih. Padahal, it’s a nice culture. Kalau memang mereka mencari Bandar, ya jangan diberhentikan acaranya. Kasihan EO-nya dong.
Sudah banyak ya, crowd yang datang yang mengerti bagaimana itu DJ yang bagus?
Kalau nggak banyak, kenapa kalau DJ A, DJ B, DJ C maen rame. Tapi kalau DJ kelas 3 belum tentu rame. Kenapa? Karena orang sudah mencari nama DJ. Sudah jarang, orang yang datang cuma ingin tripping. Orang-orang tua di atas sana, masih nggak ngerti. Dan juga ada kesalahan klub-klub di utara sana. Kalau di sana sih, saya no comment. Musiknya memang tidak bisa dinikmati tanpa itu. Musik yang 200 km/jam. [ngakak]. Nah, itu yang musti dibasmi. Bukan yang selatan. Ada sebagian yang begitu, di selatan, ada. Tapi sudah nggak banyak. Di Indonesia ini memang suka salah menangani. Coba lihat Bali. Mereka kan teriak-teriak minta turis, Kenapa nggak tari Bali itu dimix dengan DJ? Dibuat satu terobosan, lagu Bali diremix, dibuat terobosan. Dari situ kan, orang bisa menelusuri asal musiknya.
Sasaran album Anda siapa?
Musik saya buat siapa saja. Orang bisa dengar lagu saya, kapan saja. Sambil makan, orang suka. Di mobil pulang kerja, orang suka. Clubbing, bisa juga. Malah itu yang paling penting. Saya ingin musik house ini diterima segala kalangan. Dan itu susah. Kalau saya tampil kan high energy. Kalau album kan, seperti belai kucing.
Sampai saat ini, sudah terjual berapa kopi?
Tiga minggu sejak rilis saja, sudah empat ribu. Kata labelnya, biasanya nggak secepat itu. Ya saya bangga lah. Senang.
Lantas, apa yang terlintas di benak Anda setelah tahu kenyataan itu?
Yang pasti, saya sih sasarannya adalah meng-educate orang yang dengar, bahwa house DJ itu sudah jadi produser, bukan cuma memainkan lagu orang. Dan saya tulis di situ, Support Drugs Free Club. Supaya mereka mendukung house itu bukan untuk nge-drugs. Karena saya salah satu DJ yang mengibarkan bendera drugs free.
Memang, sejak awal nge-DJ nggak pernah nge-drugs?
Oh dulu pernah. Awal-awal nge-DJ. Saya nggak munafik.
Lantas, apa yang membuat Anda berhenti?
Kesadaran saja. Bahwa house itu bukan dengan itu. Lama-lama juga tidak cocok. Itu culture! Bukan drugs. Fashion-nya. Coba lihat kalau clubbing. Sepatunya Adidas, Puma, YNLT, kalau dia makin ke atas, bajunya Prada yang begitu-begitu. Jadi, connecting-nya banyak. Sekarang begini, Anda clubbing pakai baju kantor, sepatunya Bally, minder kan? Coba kalau pakai sepatu Adidas, labelnya yang canggih-canggih, label plat atau gambar apa, jadi satu dengan yang datang. Itu artinya apa? Ada fashion yang terjadi di situ. Musik di FTV, musiknya apa rata-rata? House! Jadi ada connecting-nya. Di luar itu, ada klub yang hanya orang-orang tertentu yang boleh masuk. Benar-benar strict. Kalau Anda tidak fashionable, mobilnya tidak mengkilap, tidak boleh masuk! Di sini nggak bisa. Karena culture-nya belum sampai. Klubnya haus akan orang yang datang. Siapapun orang yang datang, yang penting beli minum.
Kita bakal sampai ke titik itu?
Nggak tahu ya. Indonesia sedang krisis sih. Kalau nggak krisis sih, nggak apa-apa. Bensin dua ribu lagi, oke lah. [tertawa]. Sudah mulai bisa menggeliat lagi orang-orang. Kalau rakyat bawah sudah bisa senang-senang, apalagi kaum jet set itu. Sekarang, rakyat masih menderita. Lewat dulu lah krisis gila-gilaan ini.
Harus kondisinya tenang dan nyaman dulu ya?
Untuk sampai ke kondisi itu iya. Di sini kan masih banyak orang kaya yang nggak mau memperlihatkan dirinya kaya.
Tiba-tiba, wartawan Suara Pembaruan yang menunggu giliran wawancara, masuk ke studio tempat kami melakukan wawancara. Berteriak ada gempa. Dan saya baru sadar, kalau ternyata, kursi, kibord dan alat-alat Romy bergoyang. Dan wawancara pun dihentikan.
1 Comments:
wew..gempa?
eet dah!
Post a Comment
<< Home