Friday, August 25, 2006

Dicari: Kritikus Musik Lokal!





































Ini bukan kritik. Ini hanya unek-unek.



Suatu hari,
seorang kawan mengeluh. Album kompilasi yang dia produksi, tidak mendapat
review yang asik dari salah satu majalah musik ibukota. Tidak. Bukan karena
dibilang buruk. Tapi, si penulis review hanya mendeskripsikan kelompok musik
serta alirannya. Tanpa mengatakan dengan jelas kualitas album itu.



Saya
hanya cengengesan mendengar keluhan dia. Sebagai jurnalis, saya tau kalau
menulis review itu salah satu pekerjaan yang tidak mudah. Tapi, saya juga tau
rasanya jadi pembaca. Orang berharap penulis review bisa memberi gambaran
apakah album itu bagus atau tidak.




Lantas
saya teringat kata salah satu narasumber skripsi saya soal majalah musik di Indonesia.
Salah satu penyebab tidak banyak majalah musik yang bertahan lama, karena
kurangnya kritikus musik. Coba saja, sekarang kalau kamu ditanya siapa jurnalis
atau kritikus musik asal Indonesia
yang cukup disegani, apakah kamu bisa menjawabnya? Saya rasa agak susah.



Era
’70-an nama Remy Sylado pernah menempati posisi itu ketika aktif. Denny MR juga
pernah berjaya di masa keemasan majalah Hai di era ’90-an. Tapi sekarang? Oke,
ada beberapa nama seperti Denny Sakrie yang cukup disegani di kalangan
tersendiri. Hanya, harus diakui Indonesia
tidak punya kritikus musik sekelas Lester Bangs misalnya. Jurnalis-jurnalis
muda dari Rolling Stone Indonesia sepertinya punya kesempatan untuk jadi
kritikus/jurnalis musik yang disegani. Tapi, waktu yang akan menjawabnya.



Andreas
Harsono, Ketua Yayasan Pantau [yayasan yang menaruh perhatian besar terhadap
jurnalisme] berkata pada saya suatu hari, “Salah satu penyebab jurnalisme musik
di Indonesia
tidak berkembang, karena tidak ada independensi. Wartawan musik merangkap humas
si musisi. Jadi penyelenggara konferensi pers. Hobinya kan reporter juga humas, talent seeker dan teman artis.”



Ucapan
dia mengingatkan saya pada perkataan Lester Bangs di film Almost Famous. “You made friends with them. See, friendship
is the booze they feed you. They want you to get drunk on feeling like you
belong…I know you think those guys are your friends. You wanna be a true friend
to them? Be honest, and unmerciful
,” kata Bangs kepada jurnalis muda
bernama William Miller.



Sekarang,
jangan bermimpi dulu kita disuguhkan oleh kolom musik yang berkelas, review
album atau review konser yang memikat saja masih jarang. Coba, kapan terakhir
kamu membaca review penulis lokal hingga membuat kamu tergerak membeli album
yang direview dia? Atau, kapan terakhir kamu baca kolom musik di majalah lokal?
Majalah musik terbitan luar biasanya punya ruang untuk kolom musik. Dari
ruang-ruang itulah, kritikus musik yang disegani, muncul. Bukan cuma review, pelaporan
mendalam soal musik dengan standar jurnalisme yang tinggi malah datang dari
media yang bukan berbasis musik.



Lantas,
soal berteman dengan narasumber. Itu bukan sesuatu yang buruk. Hanya, maksud
dari perkataan Lester dan Andreas, adalah jangan lantas jurnalis menjadi tidak independen.
Tapi, ini juga masih kurang dipahami beberapa musisi lokal. Saya punya
pengalaman soal ini. Vokalis band yang musiknya terpengaruh kuat era ’80-an
pernah bertanya pada teman saya, setelah album terakhir band itu saya tulis
jelek. “Si Soleh kok bilang album gue jelek ya? Kan dia kenal gue,” katanya. Lagi-lagi, saya
hanya bisa cengengesan mendengar cerita teman saya. Secara musikalitas mereka
memang makin menurun. Lebih bagus jadi MC. Kurang diskusi. Kalau kamu sudah tau
band mana yang saya maksud, mungkin kamu juga setuju dengan saya. Kecuali tentu
saja kamu bagian dari banyak perempuan yang belakangan jadi penggemar band itu.



Bahkan kelompok
musik dengan basis massa yang sangat besar pun, pernah kesal karena di salah
satu edisi majalah tempat saya bekerja dulu, dikritik video klip mereka yang buruk.
Sempat terjadi ‘keributan’ di kantor manajemen mereka setelah tulisan itu
dimuat. Pernah, di tahun 2001, vokalis pemuja Kahlil Gibran meminta salah satu
tabloid menulis ulang profil dia. Setelah sebelumnya penulis musik di sana
mengritik betapa album solo dan album band dia tidak jauh berbeda.



Saya percaya,
tidak ada benar dan salah dalam musik. Maksudnya, walaupun katanya cuma ada dua
musik—baik dan buruk—lagi-lagi, itu masih relatif. Ini bukan ilmu pasti. Tapi,
kritik musik harusnya bisa menjadi sesuatu yang bisa dipikirkan musisi lokal.
Supaya bisa lebih baik lagi dalam berkarya. Mungkin musisi lokal masih harus
belajar menghadapi kritik. Mungkin juga jurnalis-jurnalis musik lokal harus
banyak belajar membuat tulisan soal musik yang lebih baik lagi.



Termasuk saya
tentunya.



*saya menyumbangkan tulisan di atas untuk edisi perdana majalah Encore. Majalah indie terbitan anak-anak Bandung.








30 Comments:

Anonymous widi asmoro said...

saya dukung pencariannya!! memang harus ada penyeimbang.. jangan dipuji terus musisi lokal kita... hehehhehe

August 25, 2006 3:31 PM  
Anonymous An . said...

saya berharap juga, leh. mengingat di edisi lalu ada review (atau kritik?) bagus dari album lokal yang dikasih satu bintang. belum pernah baca yang setelak itu di media musik indonesia. cool, i must say. :)

August 25, 2006 3:34 PM  
Anonymous soleh solihun said...

siap wid! tapi label juga jangan kekih ya kalo artisnya dibilang jelek albumnya. :p

August 25, 2006 3:34 PM  
Anonymous widi asmoro said...

gue pribadi sih nggak... produk kita kan tergantung kepuasan konsumen.. jadi klo emang bagus ya harus dibilang bagus.. gitu deh.. @

August 25, 2006 3:48 PM  
Anonymous indratujuh tujuh said...

gue suka iseng2 baca review film di rottentomatoes..itu sadis2 bgt reviewnya.Di satu sisi gua jadi agak ragu buat beli filmnya,tapi di sisi lain malah jadi penasaran pengen liat hehehe

August 25, 2006 4:05 PM  
Anonymous veronica kusuma said...

Iya, mungkin karena pengetahuan musiknya juga so-so aja ya mas. Bukan hanya soal dekat dan tidak dekat, kenal dan tidak kenal. Soalnya saya pernah baca review di sebuah majalah (luar negeri), dia bagus banget reviewnya. Kritis dan bisa melihat dengan 'kacamata' lain gituh. Jadi nggak cuma, bagus nggak bagus, jelek nggak jelek, jadi reviewnya bukan hanya offense/muji, tapi juga memberi knowledge gitu *harapan seorang pembaca dan pembeli CD musik*

August 25, 2006 4:11 PM  
Anonymous Luka Muhamad said...

dasa muka kok kritik itu, bisa mengangkat/menjatuhkan produk, atau malah bikin penasaran konsumen juga hal2 laennya...bagusnya denger/beli/tulis (:

August 25, 2006 4:19 PM  
Anonymous dedidude dedidude said...

gua sih suka kritik yaa... apapun yang gua kerjakan kalo ada yang mengkritik dengan senang hati gua akan menerima, karena kalau hanya puji2an semata wahhh taruhan lu gak bisa berkembang..
ada kaitannya dengan bang soleh ini, cover salah satu band yang saya bikin pernah dikritik jelek habis ama beliau dimajalah lamanya... hahaha saya malah ketawa dan ketika gua ngomong ke sholeh bahwa yang ndesign gua... sholeh minta maap tapi gua malah say tengkyuu...

August 25, 2006 6:05 PM  
Anonymous pelacur korporat said...

Kayaknya gue tau nih siapa yg complain..hahahhaha.

Gue juga sangat senang menulis review, karena gue emang suka dengan objek yang gue review seperti musik dan film, terkadang buku juga. Motivasi menulis sebenarnya hanya ingin berbagi mengenai musik/film yang baik/buruk dengan orang lain, tentunya dengan gaya gue, sukur-sukur bisa menghibur. Gue rasa reviewer2 lain (termasuk elo mungkin?) juga demikian. Namun gue ngeliatnya di beberapa media, reviews2 justru banyak yang sekedar sinopsis belaka, malah sering terlihat seperti press release. Entah apa karena di media tersebut, kolom review juga dijadikan dikapling menjadi 'iklan terselubung'. Satu lagi, sepertinya memang orang indonesia masih anti kritikan, gak cuma musisi. Jadi gak heran, sebuah review buruk dianggap sebagai penghinaan. Padahal ya namanya review, kalau menurut peresensinya jelek ya jelek. bagus ya bagus.

Hanya mungkin, perlu juga dipastikan si tukang resensi tersebut punya pengetahuan dan apresiasi terhadap produk yang direviewnya. Contohnya, seorang penggemar Suffocation dan Cannibal Corpse pasti memberi cap merah kalau disuruh mereview Tompi. Atau penggemar Raihan dan Opick bakalan mengamuk kalau disuruh mereview Christ Illusion-nya Slayer.

Review memang sebaiknya informatif, tapi kalau tidakpun sebenarnya tidak apa apa. Gue sendiri sangat suka reviewnya Buddyhead (www.buddyhead.net). Isinya mantap, sadis abis, sekaligus kocak habis-habisan. Sayangnya sepertinya, bagian review di website ini sedang absen, entah kenapa. Review2nya Pitchfork juga cukup sadis, tapi yang ini lebih informatif.

Tapis seperti yg elo bilang leh, sekarang banyak jurnalis muda yang bagus dan menulis apa adanya dengan bekal pengetahuan cukup, dan hal ini gue lihat sebagai sentimen positif. Mereka mudah-mudahan akan terus berkembang, dan toh bangsanya Bens Leo gak lama lagi juga bakal mokat, atau minimal 'The Roy Suryo Of Music Industry' itu bakal pensiun dalam waktu dekat, sehingga posisinya bisa diambil alih oleh para pasukan muda tersebut.

Sekedar mengulang poin diatas, apapun style review yang dipakai, apapun baik-buruknya penilaian, review yang baik adalah review yng jujur.

August 25, 2006 7:23 PM  
Anonymous Hasief Ardiasyah said...

Gak usah kaget kalo terlihat seperti press release, lha banyak yang cuma nulis ulang dari press release yang dikirim ke kantor atau yang mereka dapat pas press conference, acara launching dan sebagainya.

August 25, 2006 8:54 PM  
Anonymous Hasief Ardiasyah said...

Gak usah kaget kalo terlihat seperti press release, lha banyak yang cuma nulis ulang dari press release yang dikirim ke kantor atau yang mereka dapat pas press conference, acara launching dan sebagainya. Kaum kritikus musik Indonesia emang kecil, terutama yang mendedikasikan diri untuk menulis tentang musik secara serius. Kebanyakan orang yang datang ke press conference dan liputan lainnya cuma menjalankan tugas tanpa mikir panjang, menurut gue. Yang penting liputannya jadi.

Soal budaya kritikan di industri musik Indonesia, gue sering dengar sih kalo para artis malah lebih senang dengar kritikan, soalnya itu emang jarang banget mereka dapat. Lha gimana nggak, orang-orang cuma ngutip press release. Apakah mereka bisa terima dengan lapang dada atau nggak kalo kritikan itu bener-bener datang, lain lagi masalahnya. Dan ini kritikan dalam arti sebenarnya, bukan orang yang nyamperin mereka dan cuma bisa teriak "Radja tai!" dan semacamnya. Gue rasa mereka (secara umum) akan lebih apresiatif kalau dijelaskan kenapa lo anggap mereka tai.

Gue secara pribadi bisa terbawa ke dunia kritikus ini karena ketidakpuasan terhadap apa yang gue baca di media Indonesia, dan akhirnya terbawa ke tempat kerja gue sekarang. Sejak awal pendekatan gue kalo nulis adalah membuat sesuatu yang gue senang baca, dan semoga orang lain juga terhibur membacanya. Kalo sampai terpengaruh oleh tulisan gue, itu bonus.

Dari segi isi, obyektifitas total dalam sebuah review adalah sebuah mitos. Lagian lo harus menuangkan pendapat lo ke dalam sebuah review, ya toh? Jadi mau nggak mau selera pribadi lo bakal mempengaruhi pendapat lo. Ini sebuah tantangan bagi gue, karena gue emang bukan penggemar segala jenis musik. Tapi gue berusaha mendengar dan nge-review apa yang mungkin nggak akan gue dengar sehari-hari, dan berusaha untuk se-fair mungkin. Kalo review-nya udah jadi, pasti akan ada orang yang nggak setuju dengan apa yang gue tulis, but that's the way it goes.

August 25, 2006 9:20 PM  
Anonymous DiTa Saryuf said...

aaih...eyke tau itu sapa si pemilik album kompilasi yang protes, tapi memang wajar dia protes soalnya reviewnya seperti membaca daftar menu saja..=D Sampai tante eyke yg buta musik pun pas baca bisa berkomentar,"ini reviewnya kok beda sama review album yg di sebelahnya...yang disebelah diberikan komen2 gitu, kalo yg ini kok cuma ky press release saja". Mungkin si penulis sedang dikejar deadline ya, jadi gak sempet nulis panjang lebar, atau dia baru saja diterima kerja, jadi masih bingung2 mau nulis apa? :P

Susahnya disini jurnalis yang mereview musik kadang2 cuma ngerti satu genre musik saja, sisanya dia kurang paham, jadi reviewnya kurang menggigit..Idealnya sih di majalah musik harus ada beberapa kritikus untuk masing2 kategori..yg umum2, trus yg lebih cutting edge, trus juga untuk metal dan hardcore, kalo semisal gak ada satu kritikus yg bisa menguasai semua genre gitu. Jadinya semua band yg direview bisa kebagian review yang adil dan merata.

August 25, 2006 11:59 PM  
Anonymous DiTa Saryuf said...

harusnya sodara pelacur bekerja sebagai kritikus musik, saya tidak sabar menanti review2 anda mengenai band2 seperti R, U, maupun P, pastinya penuh dengan gelimang darah...teah

August 26, 2006 12:01 AM  
Anonymous XXXX YYYY said...

Busettttttttttttttt

lo pada serius-serius amat sih. Ya Oloh.......kalem dikit ngapa.

Jadi begini Nak Soleh, dalam hal musik itu harus terdapat ketebelece hoba-hoba yang sangat bagus untuk perkembangan kritik mengkritik di dunia album musik nasional.
Remy Sylado memang sudah tua, mungkin harusnya kita menengok dendeng balado.

Ahhh...saya teh menjadi lieur. dengan dunia permusikan kita. Lester Bangs itu bapaknya chester bennington? Adeknya Daniel Bedingfield, neneknya vonny Bening?

Entahlah.

August 26, 2006 2:33 AM  
Anonymous pelacur korporat said...

hasief:
Untuk masalah reaksi musisi Indonesia terhadap kritik, gue yakin elo lebih tahu karena sering berhubungan dengan mereka dalam tugas. Gue sendiri cuma mendasarkan pengamatan kecil mengenai masalah ini. Gue pernah baca ada band yang mengirim protes keras ke kotak pos surat pembaca karena diberi review jelek, atau kasus yang disebut Soleh diatas, dimana seorang vokalis yang berpikir kalau ia mengenakan sweatband, kacamata aviator dan pakaian bermerk Grifone maka musiknya akan mirip Duran Duran menyatakan kecewa akan review jelek terhadap albumnya hanya karena ia merasa kenal dengan sang penulis. Kalau mau melenceng sedikit, seorang sutradara kondang malah terang-terangan menuding orang Indonesia tidak bisa mengapresiasikan karya-karyanya-ketika sebuah filmnya dikritik habis habisan oleh sebuah koran nasional berbahasa inggris. Apa mungkin individu-individu diatas selama ini terbuai oleh review-review ala press release? Entahlah. Mudah-mudahan para anti-kritik tersebut hanya sebagian kecil dari para seniman nasional (sperti yang elo bilang), walaupun entah kenapa gue sedikit skeptis

August 26, 2006 8:57 AM  
Anonymous Hasief Ardiasyah said...

Reza:
Makanya tadi gue nambahin, apakah mereka cuma ngomong doang atau bisa bener-bener lapang dada giliran kejadian mereka dikritik. Di satu sisi, gue bisa paham kalo mereka sampai "mencari" kritikan, abis jarang - atau malah nggak ada - yang mengkritik secara konstruktif. Malah gue pernah dengar cerita salah satu teman kantor kalo seorang artis dengan cueknya bilang agar albumnya "dicela aja." (Gue lupa nanya gimana reaksinya setelah beneran dicela.)

Di sisi lain, gue juga paham kalo ada yang seperti lo bilang, yaitu biasa terbuai oleh penjilatan saduran press release. Ini belum lagi menyinggung sifat sensitifnya seniman, tapi mungkin lo bisa membantah itu dengan pendirian "berani memamerkan karya, berani terima hujatan." Patut ditambahkan juga bahwa sensi terhadap kritikan di review bukan hal yang eksklusif di Indonesia - Ryan Adams terkenal suka nyerang balik orang-orang yang mengkritik dia, sampai ninggalin voicemail penuh sumpah serapah kepada Jim DeRogatis, kritikus terkenal di Amrik.

Gue sendiri juga bakal agak bete kalo tulisan gue yang diterbitin dibilang katro...tapi gue akan bisa lebih nerima kalo dijabarin kenapa bisa dibilang begitu. Bukan mustahil kalo para seniman juga merasakan hal yang sama. Sekarang, nulis review adalah hal yang cukup sulit bagi gue, karena udah nggak bisa kayak zaman di majalah gue sebelumnya, di mana tulisan gue modus operandinya tabrak lari - gue bebas mencela tapi mereka gak pernah tau gue siapa, namanya juga majalah yang rada obscure. Jadi gue akui sekarang gue agak lebih hati-hati dalam ngasih kritikan. Selalu ada godaan untuk memaki sedalam-dalamnya, tapi gue harus bisa mempertanggungjawabkan apa yang gue tulis. Seringkali apa yang gue tulis di review belum mencakupi keseluruhan dari kritikan karena keterbatasan dan relevansi secara langsung, tapi yang sisanya itu bisa gue sampaikan sendiri ke artisnya kalo mereka mau denger.

August 26, 2006 1:47 PM  
Anonymous Eric Wiryanata said...

orang Indonesia emangnya bisa nerima kritik ya?
mereka mah maunya dipuji puji terus...

menurut gue di Indonesia sebenernya banyak kritikus musik yang gue suka, sayangnya beberapa dari mereka justru ga kerja di media, ya gue semacam cuma baca blog dia aja gitu... tapi kalo soal disegani, gue rasa sih sekarang belum muncul tokoh yang semenonjol denisakri,bensleo,remisilado karena jumlahnya makin banyak. jadi kualitas yang dibutuhkan untuk jadi disegani juga udah naek ya., kalo jaman sekarang ada orang dengan pengetahuan musiknya cuma se Bens Leo juga, ya ga mungkin menonjol juga.

dan yang gue tau sih, ga pernah ada satu tokoh yang cukup mengerti semua genre musik... biasanya tiap genre tu ada tokoh-tokoh penting yang cukup kredibilitasnya buat gue nanya nanya. misalnya kalo gue lagi butuh referensi metal gue bakal nanya ke si O atau A, atau kalo butuh yang akustikan mungkin nanya nya ke si D, kalo musik-musik post rock ke si M, kalo elektro ke si N atau E.
kalo gue nanya post-rock ke si A mah biasanya ga akurat...

trus kalo kerja nya di mediamusik juga, biasanya orang-orang jurnalis itu suka jadi merasa punya kewajiban untuk menguasai semua jenis musik, jadinya suka ga akurat.. yaa been there do that too. sebagai orang yang sok taunya, dan berhadapan dengan orang yang sok tau. :D


kalo si quasievil suka bete kalo tulisannya dibilang katro, kalo gue sih ga perlu dia jabarin ada apa dibaliknya... toh gue juga nulis bukan buat memuaskan semua orang. kalo gue biasanya nulis itu ya, pasti gue baca berulang-ulang sampe gue sendiri seneng bacanya... kecuali kalo buru-buru biasanya jadi katro. ya karena gue sendiri tau gue nulis sesuatu yang katro, ya wajar aja kalo ada yg bilang katro...

mending sebagai pekarya (orang yang membuat karya) buat aja karya seniat mungkin, sampai titik dibilang katro pun loe ga bakal sakit hati... karena loe tau, dari 3 orang yg bilang loe katro, ada seratus orang yang menikmati karya loe.
ya macam radja aja, kalo gue jadi ian kasela juga gue ga bakal peduli ada orang bilang kacamata item gue katro, toh ada sejuta orang beli album gue. dan band gue kalo manggung dibayarnya puluhan juta. hehehe

August 27, 2006 1:39 AM  
Anonymous Hasief Ardiasyah said...

Sebenarnya gue jarang dapat feedback dalam bentuk apa pun seputar tulisan gue, sehingga nggak bisa dibilang gue suka bete juga. Tapi emang harus bisa membangun kekebalan sih, biar gak terlalu sensi dan bisa terima masukan yang berguna sekaligus mengabaikan input yang gak penting.

Soal apakah orang Indonesia bisa terima kritik atau nggak, menurut gue sih kenapa nggak? Coba lo tanya diri lo sendiri sebagai orang Indonesia. Kalo lo bisa, maka nggak mustahil orang lain pun bisa. Kalo lo gak bisa pun nggak mustahil orang lain bisa.

August 28, 2006 1:15 AM  
Anonymous soleh solihun said...

hahaha. gua masih inget tuh ded. di citos dalam perjalanan menuju cwimi malang ya waktu lagi ada acara 9 skala richter kalo gak salah.

August 28, 2006 11:35 AM  
Anonymous soleh solihun said...

kayaknya sih, karena seniman nasional masih belum terbiasa mendapat kritik. untuk membuat mereka terbiasa, agaknya harus semakin banyak media atau orang yang bisa ngasih kritik yang bagus dan bertanggungjawab.

August 28, 2006 11:37 AM  
Anonymous soleh solihun said...

ya. bener sief. harus membangun kekebalan juga. gua pernah dikritik waktu bikin tulisan untuk cover story iwan fals di trax. akhirnya, biar gua nggak penasaran, gua ajak ngobrol aja si orang yang ngritik tulisan gua. kenapa tulisan gua dibilang banal?

setidaknya, kalo udah ada komunikasi kan enak. berdebat aja. kalo ternyata argumen dia masih belum cukup kuat untuk mengalahkan argumen kita. ya udah. nggak usah diambil pusing.

kalo gua sih selalu begini jalan akhirnya. mau dibilang jelek, atau dangkal kek tulisan gua. terserah orang. yang jelas, gua yang ada di media. bukan mereka. hehe. agak-agak dableg emang. tapi biarlah. kadang2 kalau terlalu pusing memikirkan pendapat orang lain, jadinya malah merepotkan kita aja. :D

August 28, 2006 11:48 AM  
Anonymous Hasief Ardiasyah said...

Hehe betul. Kalo nggak suka dan merasa bisa bikin tulisan lebih baik, silakan masuk ke industri media dan buktikan. Itu yang bikin gue akhirnya terjun ke dunia ini juga. Soal gue berhasil membuktikan diri atau nggak, itu mah tergantung persepsi orang yang menilai.

August 28, 2006 12:24 PM  
Anonymous Madame Meltje said...

coba cek http://www.ronaldwidha.com leh
budak ieu jagoan neon cuma kudu dibenerin ajah indonesianya kacak kadut
tapi review musikna jempolan euy, kemarin ini dia baru review Tika. Lagi gue bujuk supaya bisa jadi kontributor eh budaknya mbung.
tapi dia udah gue kasih denger lagu Ria Amalia loh ... dan dia bilang dia tau chord-chordnya apa aja.. hahahahaha....

September 01, 2006 10:21 AM  
Anonymous Madame Meltje said...

leh, budak ieu baru nulis ttg elu
hhahaha cek blognya aja

September 05, 2006 10:16 AM  
Anonymous soleh solihun said...

udah mel. bukan soal gua kok. tapi pendapat dia soal penulisan review di media.

September 05, 2006 1:00 PM  
Anonymous Felix Dass said...

Leh, gue baru baca versi onlinenya tulisan elo ini. Minggu kemaren gue baca versi cetaknya. Menarik tulisannya. Very inspiring. Hehe...

September 08, 2006 1:03 PM  
Anonymous remy soetansyah said...

Wah soal kritikus musik asyik tuh topiknya. Kalau gw sih, sekarang ini, yang boleh dikategorikan kritikus itu adalah Soleh, Ryo (hai) , Wendy (Rolling Stone). Tadinya gw harap Adib waktu di Rolling Stone punya kans besar, sayang dia pindah ke lebel.
Tapi kalau kita telaah kenapa penulisan musik kurang cepat dan tajam? Karena masyarakat musik (wartawan, artis, dan perangakatnya) kurang berani berpolemik.
Dulu, awal 80an saya membuat konprensi pers adalah kata lain dari diskusi musik. Dalam diskusi itu kita saling membahas, menganalisa dan menelaah hasil proses kreatifitas si artis. Tapi kini...?
salam

September 19, 2006 5:31 AM  
Anonymous soleh solihun said...

sekarang, di konferensi pers, lebih banyak kru infotainment yang tertarik mengejar gosipnya ketimbang membahas musikalitas si band. kalaupun mereka wawancara, biasanya beres preskon, dikerubungi, tapi nanyanya kadang2 tidak berhubungan dengan album. contoh paling parah, waktu preskon album slankissme itu. bang remy moderatornya kan.

infotainment malah sibuk ngerubutin melanie subono di belakang, padahal, di forum, sedang ada slank yang pengen presentasi soal album barunya. akhirnya, diskusi seperti yang diharapkan bang remy nyaris tidak ada.

abdee cuma cengengesan waktu itu, beres preskon. dan karena pertanyaan gua soal cover mereka meniru rolling stones dan soal ideologi slankissme yang menurut gua hanya pengulangan saja, abdee malah bilang itu pertanyaan yang paling bermutu. haha. sedih sekaligus senang. masa' pertanyaan begitu doang dianggap bermutu. saking keringnya pertanyaan dari wartawan yang dateng. yang biasanya, paling banter nanya soal kesulitan pengerjaan album dan blablabla.

September 19, 2006 2:26 PM  
Anonymous remy soetansyah said...

iya, itu, yg gw maksud, sekarang pres kon sudah lari dari yang gw maksud. Sudah kehilangan sihirnya.

September 21, 2006 2:50 AM  
Anonymous rye dawai said...

Pers suidah kehilangan sihir.... bisa dilihat dari berita² yang mereka suguhkan

September 04, 2007 9:50 PM  

Post a Comment

<< Home