Tuesday, September 26, 2006

Lukman Sardi: "Anda Tidak Bisa Samakan Saya dengan Idris Sardi!"

Buat yang belum tau siapa Lukman Sardi, dia pernah jadi salah satu teman kampus Gie, pembunuh bayaran di Sembilan Naga, dan sopir beristri banyak di Berbagi Suami. Wawancara ini dimuat di edisi kedua majalah kami. Untuk rubrik 20Q. Ini versi yang belum diedit.


Bisa cerita soal Piala Citra yang Anda dapat waktu kecil?

Bukan Piala Citra namanya, tapi Piala Kartini. Sama seperti Piala Citra, tapi untuk anak-anak. Filmnya, “Pengemis dan Tukang Becak” tahun ’79, umur saya tujuh tahun. Tapi, film layar lebar pertama saya, “Kembang-Kembang Plastik” karya Wim Umboh. Jadi, waktu kecil, film saya selain dua tadi, ada “Anak-Anak Tak Beribu”, “Cubit-Cubitan”, “Gema Hati Bernyanyi”, “Beningnya Hati Seorang Gadis”, “Laki-Laki Dalam Pelukan” dan film terakhir yang saya mainkan waktu remaja, “Bermain Drama”.

Bagaimana perasaan Anda waktu dapat Piala Kartini?
Wah, saya belum punya perasaan apa-apa. Saya senang bisa naik panggung, tapi belum punya perasaan yang waah bagaimana. Karena anak umur segitu, belum punya pikiran soal penghargaan atas karya.

Apa arti piala itu bagi Lukman Sardi kecil?
Dulu sih belum terlalu memikirkan yang aneh-aneh.

Bagaimana ceritanya bisa main film?
Ayah saya memang lingkungannya di sana. Dan kebetulan Om Wim Umboh mencari pemain kecil buat film barunya, “Kembang-Kembang Plastik”. Dia mengajak saya bermain kepada ayah. Waktu itu saya belum mengerti konsep tentang main film. Cuma, ‘kamu entar begini ya, begini ya’. Saya tahu ada kamera, tapi namanya anak kecil ya jalan aja.

Ke mana saja Anda, kok baru umur 30-an muncul lagi?
Saya kuliah dan sempat kerja di beberapa tempat. Terakhir sempat kerja di playgroup jadi manajer taman bermain. Saya suka film, suka dunia akting, tapi belum terlalu punya keyakinan kalau saya bakal di situ. Pokoknya, saya mencari. Sebenarnya waktu kuliah, Mbak Mira Lesmana pernah ngajak main sinetron. Saya merasa kalau film benar-benar dunia saya, tahun 2000 waktu diajak Persari Film, main sinetron “Cinta yang Kumau” dan “Kawin Lari”. Langsung dapat peran utama. Nah, di situ saya mulai merasa kalau ini dunia saya. Begitu mulai fokus, habis itu saya main film “Gie”. Sekitar empat belas tahun, saya mencari. Nah, waktu tahun 2000 itu, saya mulai merasa nyaman. Akhirnya, oh ini dia nih pekerjaan yang saya cintai. Ternyata begitu fokus dijalani, memang benar. Dan jalannya semakin terbuka.

Kenapa butuh belasan tahun untuk yakin?
Pada prinsipnya, saya mencari pekerjaan yang nyaman dan saya cintai. Saya tidak mau bekerja di tempat yang saya sendiri tersiksa.. Saya terus mencari. Sebenarnya, waktu di playgroup saya menemukan kesenangan tersendiri batin saya. Karena saya suka anak kecil. Tapi, karena latar pendidikan saya bukan di sana, sepertinya tidak akan berkembang. Dan ternyata memang saya tidak bisa lari dari rasa keinginan saya untuk di film. Tadinya, saya pikir karena orangtua saya selalu di sana, saya akan berbeda.

Dari sekian banyak profesi, bintang film yang paling nyaman buat Anda?
Dan saya sudah merasa nyaman sekali. Walaupun harus syuting berjam-jam yang melelahkan, mungkin secara fisik lelah, tapi saya puas.

Ayah Anda kawin cerai, bagaimana itu mempengaruhi kejiwaan Anda?
Mungkin awalnya, waktu saya masih di Sekolah Dasar, itu pengaruhnya terasa. Anak umur segitu kan, pikirannya masih ingin main-main. Tapi, saya harus menghadapi pemberitaan di majalah ini, koran ini. Orang ini bicara soal perceraian ayah saya. Pengaruhnya lebih ke positif. Saya jadi mandiri. Tidak tergantung orang lain. Waktu itu saya sempat mengalami, tidak sempat ke mana-mana. Pulang sekolah langsung ke rumah. Tiba-tiba di depan sekolah, sudah ada wartawan. Bisa begitu. Akhirnya, saya main sendiri, melakukan semuanya sendiri. Itu sisi positifnya. Proses perceraian ayah saya yang kedua, sudah tidak terlalu berdampak besar. Walaupun ada perasaan kecewa. Kenapa juga sembilan beas tahun menikah, harus bercerai? Saya melihatnya, itu sebagai jalan hidup.

Masih percaya pada lembaga pernikahan?
Saya tetap percaya. Tapi mungkin lebih berhati-hati. Tidak segampang orang yang, yuk nikah. Saya hanya menghindari hal itu terjadi. Saya tidak mau kalau sampai bercerai. Efek terbesarnya pada anak.

Apakah Anda tipe penakluk perempuan?
Tidak tahu ya. Saya cuma suka keindahan. Perempuan cantik, siapa sih yang tidak suka? Saya tidak munafik. Yang namanya laki-laki, walaupun sudah punya pasangan, pasti ada perasaan-perasaaan mau deh. Sejauh ini sih, memang selalu dapat perempuan yang saya inginkan. Walaupun kadang-kadang miss juga. [tertawa]. Kadang-kadang ditolak juga.

Ada pengaruh dari ayah Anda dalam hal berhadapan dengan perempuan?
Jelas. Ayah saya selalu berpesan, untuk menghormati perempuan. Ayah saya romantis sekali, selain keras. Dia suka melakukan hal-hal romantis terhadap istrinya, di depan anak-anaknya. Itu berpengaruh sekali. Misalnya, dia mau pergi. Mama belum bangun. Dia cari bunga. Dia tulis surat. Ditaruhnya itu surat di samping mama. Dia tulis sesuatu yang indah. Dan saya melihat dari itu, akhirnya kebawa. Saya jadi suka melakukan hal-hal seperti itu. Untuk menimbulkan gairah-gairah lagi dalam hubungan.

Seberapa mirip Anda dengan Idris Sardi?
Soal romantisnya mungkin ya. Dan satu lagi yang sebenarnya saya hindari, tapi ternyata tidak bisa juga. Saya kadang-kadang keras kepala. Apalagi untuk hal-hal yang menurut saya prinsip. Tapi, kadang-kadang baru belakangan saya sadar kalau saya salah. Bedanya, kalau ayah saya sadar dia salah, dia ubah dari sikapnya. Kalau saya, bisa mengakui kalau saya salah.

Bagaimana seorang Idris Sardi mendidik anak-anaknya?
Sama seperti orangtua lain. Tapi dia disiplin. Itu yang paling saya lihat. Kalau kita benar mengerjakannya, pasti rejeki jalan terus. Apalagi dunia film. Kecil sekali. Kalau syuting di sini ngaco. Di produksi sana, ketika ada yang mengajak main, nanti ada kru yang bilang, ‘Jangan deh jangan. Payah orangnya.’

Anda jadi pembunuh bayaran yang menyayangi keluarganya di “9 Naga”, bagaimana Anda memandang karakter itu?
Ada. Dia bisa saja terbentuk seperti itu karena tuntutan ekonomi. Pada dasarnya, dia ingin menghidupi keluarganya. Tapi, karena pekerjaannya seperti itu. Dia tidak bisa mengeluarkan emosinya.

Mendalami karakternya?
Workshop. Saya tanya orang-orang. Saya tonton film-film seperti The Godfather. Juga saya tidak menonton TV. Saya Cuma berusaha ngobrol dengan orang-orang di sekitar saya. Bayangkan rasanya sebulan tidak nonton TV. Sampai ada satu hari, ketika saya merasa kalau tidak keluar dari sana, saya akan bego. Dan yang lebih gilanya lagi, seminggu setelah “9 Naga” selesai, masuk “Berbagi Suami”. Saya harus hancurkan karakter sebelumnya. Alhamdulillah cukup berhasil.

Anda percaya kalau semua yang dilakukan laki-laki akhirnya untuk perempuan juga?
Itu saya percaya. Rata-rata akhirnya larinya ke situ kan. Misalnya, ada orang yang tega merampok, nyari uang untuk kawin. Buat siapa? Perempuan kan? Ujungnya larinya ke situ kebanyakan.

Berarti benar, laki-laki yang dijajah perempuan?
Ah itu terserah masing-masing. Merasa dijajah tidak? [tertawa]. Sebenarnya, jaman dulu kita dijajah Belanda.

Pandangan Anda terhadap poligami?
Tidak penting. Dalam arti begini, Anda bayangkan. Kita boleh punya istri lebih dari satu. Tapi, syaratnya, Anda harus punya perasaan yang sama dan menafkahinya dengan sama. Kalau secara materi, Anda bisa cari. Tapi, apakah secara perasaan Anda bisa sama? Jaman dulu kan, Nabi mengawini perempuan yang karena janda perang. Sekarang, pasti karena melihat yang lebih cantik. Terus, mengatasnamakan daripada berjinah mending kawin lagi. Sebenarnya, poligami itu susah buat laki-laki. Kita harus mencari nafkah lebih banyak daripada orang yang punya istri satu. Sekaya-kayanya orang, pasti repot juga. Apalagi buat perempuannya. Korban perasaan. Jadi, menurut saya, poligami tidak ada sisi positifnya.

Percayakah Anda pada laki-laki yang berpoligami yang mengatakan bisa adil terhadap istri-istrinya?
Wah itu urusan mereka lah. Saya tidak mau bilang percaya atau tidak. Dia merasa sanggup. Saya tidak akan pernah bilang, Anda jangan poligami. Kalau dia sanggup, silakan. Itu urusan dia, istrinya dan Tuhan.

Katanya Anda punya obsesi untuk membuat pertunjukkan musik yang menggambarkan perjalanan film Indonesia.
Wah, tahu dari mana? Itu cita-cita saya sejak dulu. Cuma belum kesampaian. Terlalu mahal mungkin. Saya membutuhkan orang-orang yang secara finansial. Ini belum tentu menguntungkan. Orangnya harus mau capek. Soalnya, harus mencari arsip lagu-lagu dari film jaman dulu. Dan saya belum menemukan orang yang bisa bekerjasama untuk itu. Itu penting. Saya Cuma ingin tahu, perkembangan musik dan film itu seperti apa? Maju atau mundur? Biar orang menilai sendiri. Bayangan saya, pertunjukkannya itu di hanggar pesawat, Halim Perdanakusumah lah. Dari suasana masuk ke sana, sudah berbeda. Ingin buat kesan Indonesia jaman dulu. Konsepnya tuh besar sekali. Dan kontinyu, musiknya tanpa ada MC. Beres satu band langsung band lain bermain. Bisa dibayangkan berapa biayanya? Saya belum menemukan partner yang mau banting tulang. Saya Cuma ingin menunjukkan kalau Indonesia punya seniman-seniman yang bagus. Saya ingin anak-anak sekarang juga tahu. Jangan cuma musisi dari luar saja mereka tahu. Itu bisa menambah wawasan baru.

Anda bermain juga di Jakarta Undercover, apakah dalam kehidupan nyata, Anda akrab dengan dunia seperti itu?
Saya suka jalan-jalan di klub. Mabuk iya. Hancur-hancuran begitu, saya juga merasakan. Saya pernah nonton striptease, tapi bukan yang aneh-aneh. Saya tahu kehidupan malam Jakarta. Waktu saya masuk di “Jakarta Undercover” jadinya sudah pernah tahu. Paling, saya observasi. Karena ada beberapa klub di film itu yang ada hubungannya dengan klub-klub banci. Saya belum pernah ke klub homo dan klub banci. Makanya, observasi.

Anda homophobic atau banciphobic?
Oh tidak. Tapi, saya terus terang saja. Takut banci Taman Lawang. Pernah punya pengalaman buruk. Satu waktu, ketika lewat di Taman Lawang, seorang banci tiba-tiba masuk mobil teman saya. Karena kami baik, ya sudah kami ajak muter-muter. Tiba-tiba dia minta duit. Padahal kami tidak ngapa-ngapain. Begitu kami tidak kasih, dia mengancam mau menghancurkan kaca pakai sepatu. Itu membuat saya takut. Tampilan sih, tidak membuat saya takut. Sekarang, kalau lewat ke sana, suka teringat lagi. Makanya, saya malas lewat Taman Lawang. Kalau sedang macet tiba-tiba ada banci yang masuk lagi, bagaimana? Tidak tahu tuh banci masih ada di sana atau tidak. Yang jelas, saya masih ingat mukanya.

Ayah Anda pernah menyuruh Anda belajar memainkan biola?

Dia tidak pernah memaksakan. Waktu saya mau belajar main biola pun, saya yang mau sendiri. Tapi, dia kan perfeksionis dan disiplin, karena itu pilihan saya, dia akan membuat saya jadi yang terbaik. Karena itu pilihan saya, maka saya tidak boleh setengah-setengah. Seperti saya di film, jadi yang bagus beneran. Jangan setengah-setengah. Makanya, waktu belajar biola, gemblengannya gila-gilaan. Jam lima pagi, saya main biola setengah jam. Sore, baru saya belajar notasi. Kalaupun dia tidak ada, saya disuruh merekam. Malamnya, dia cek.

Gambarkan sosok Idris Sardi dalam satu kalimat!

Dia orang yang perfeksionis sekali. Itu sudah bisa menggambarkan semuanya.

Bagaimana rasanya hidup di keluarga yang besar dengan seni, apakah seni di keluarga besar Anda jadi sesuatu yang sangat penting sehingga Anda harus terjun ke dunia seni untuk pembuktian diri?
Nggak ada. Justru awalnya saya tidak mau ke dunia seni. Apalagi tipikal orang Indonesia itu selalu membanding-bandingkan misalnya, orangtua dengan anaknya. Saya sangat tidak suka itu. Karena tiap orang punya jalannya masing-masing. Kebetulan memang saya sejak kecil lingkungannya begitu. Tapi, ayah saya tidak mengharuskan anaknya jadi seniman. Dia Cuma berpikir, kamu harus punya pendidikan. Setelah itu mau jadi apa, terserah. Tapi jadi orang benar. Karena ayah saya punya prinsip, setiap punya sesuatu, let say di kantor, ya harus punya tanggung jawab. Kerja yang benar! Lingkungan keluarga memang berpengaruh, mau tidak mau masuk di kepala. Akhirnya saya suka seni. Tapi bukan jaminan, punya keluarga seni, pasti jadi seniman.

Anda tidak suka dibanding-bandingkan dengan sosok Idris Sardi?
Orang punya kebebasan untuk membandingkan saya dengan dia. Tapi, saya tidak suka. Ngapain sih? Tiap orang kan punya ini masing-masing. Kadang-kadang, ada orang yang bilang, ‘Kenapa lo nggak di musik? Karena takut dibandingin ya?’ Bukan karena itu juga. Saya lebih ke film. Musik, hobi. Tapi saya tidak merasa itu jadi dunia saya.

Seberapa sering Anda dibandingkan dengan Idris Sardi?
Kadang-kadang sering juga. Saya baru mengalaminya beberapa hari yang lalu. Waktu syuting di salah satu stasiun TV. Menurut saya, orang ini—saya tidak bisa menyebutkan nama—yang sudah terpandang. Seharusnya, dari dia tidak keluar kata-kata itu. Jadi, waktu itu taping di TV dengan orang-orang yang sudah lama di TV. Itu berbeda dengan syuting film. Saya orang baru. Ada satu adegan yang mengharuskan saya menyesuaikan dengan musiknya. Di belakang saya ada penari. Saya masih bingung. Tiba-tiba, orang itu bilang, ‘Gue pikir lo anaknya pemusik, tapi lo nggak tau musik!’ Nah, itu menurut saya tidak baik. Dia orang terpandang, kok bisa bicara begitu? Dia tidak tahu situasi saya yang sedang berusaha menyesuaikan. Itu sesuatu yang menggelikan buat saya. Terus terang, saya agak tersinggung. Karena bukan berarti sekarang, misalnya ada anak maling. Kamarnya terkunci, dan tidak bisa buka. Katanya anak maling, kok tidak bisa buka kamar. Itu aneh. Menurut saya, tiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bukan berarti kalau ayah Anda kyai lantas tahu segala sesuatu tentang agama.

Sempat ada pikiran Anda menanggung beban sebagai anak Idris Sardi?
Awalnya ya. Cuma, habis itu, saya tidak ambil pusing. Karena kalau terus begitu, nanti saya tidak maju. Sempat ada proses. Dulu sempat sekolah musik, belajar biola. Jadi, ada beban sendiri. Tapi itu justru menghambat saya. Jadi, saya tidak bisa lepas untuk melakukan sesuatu. Akhirnya, saya ambil sisi postistifnya. Ini saya. Anda tidak bisa samakan saya dengan Idris Sardi. Tapi, kadang-kadang menyenangkan juga. Jadi anak orang yang dikenal. Misalnya, ada beberapa fasilitas yang didapat. Masing-masing ada sisi menyenangkan dan tidak. Saya ambil saja jalan tengahnya. Saya jadi diri saya sendiri. Apapun yang orang katakan.

Main film untuk apa?
Pertama, sudah pasti, mencari pekerjaan selain untuk menafkahi diri sendiri, tapi juga harus cari kepuasan batin. Yang paling penting, sebenarnya saya mendapat kepuasan batin dari itu. Kalau dalam film pun begitu. Misalnya, ada satu situasi, yang budget-nya tidak terlalu besar, tapi saya nyaman sekali di sana, ceritanya bagus, buat saya justru tidak masalah. Kepuasan batin yang saya cari. Buat apa harus capek, tapi saya tidak puas?

Arti seni buat Anda?
Keindahan. Saya selalu mencari keindahan lewat seni. Karena menurut saya, seni itu datangnya dari rasa. Melukis dari rasa. Main film dari rasa. Main musik dari apa yang Anda rasakan. Semua itu keluar dari rasa. Datangnya dari Tuhan. Semua indah. Walaupun rasa marah.

Di antara semua karakter yang pernah Anda mainkan, mana yang jadi favorit Anda?
Semuanya favorit. Karena saya merasakan sesuatu yang berbeda. Di “Gie”, saya memerankan orang yang masih hidup. Mau tidak mau, auranya harus sampai. “9 Naga”, itu berbeda perannya dengan karakter sebelumnya. Terus masuk “Berbagi Suami”. Masuk lagi “Jakarta Undercover”. Keuntungannya, saya selalu dapat peran yang selalu berbeda.

Apa rasanya punya keluarga besar?
Senang. Karena banyak saudara. Akhirnya teman-teman saya bilang, ‘Lukman mah saudaranya se-Jakarta. Jalan ke sini saudara. Jalan ke sana saudara.’ Hubungan saya dengan keluarga yang lain, baik. Oke sisi jeleknya, kawin cerai. Tapi sisi positifnya, banyak yang sayang saya. Sampai ada yang bilang, ‘Man kalau menikah di lapangan bola saja. [tertawa].

2 Comments:

Blogger budibadabadu said...

wawancara keren yg diakhiri dengan kalimat yg keren juga. :)

cara dia mendalami satu karakter dengan "saya tidak menonton TV" itu bagus juga. hehehehe.

September 28, 2006 7:17 PM  
Blogger Soleh Solihun said...

hehe. makasih bud. :)

October 03, 2006 1:32 PM  

Post a Comment

<< Home