Lukman Sardi: "Anda Tidak Bisa Samakan Saya dengan Idris Sardi!"
Bisa cerita soal Piala Citra yang Anda dapat waktu kecil?
Bukan Piala Citra namanya, tapi Piala Kartini. Sama seperti Piala Citra, tapi untuk anak-anak. Filmnya, “Pengemis dan Tukang Becak” tahun ’79, umur saya tujuh tahun. Tapi, film layar lebar pertama saya, “Kembang-Kembang Plastik” karya Wim Umboh. Jadi, waktu kecil, film saya selain dua tadi, ada “Anak-Anak Tak Beribu”, “Cubit-Cubitan”, “Gema Hati Bernyanyi”, “Beningnya Hati Seorang Gadis”, “Laki-Laki Dalam Pelukan” dan film terakhir yang saya mainkan waktu remaja, “Bermain Drama”.
Wah, saya belum punya perasaan apa-apa. Saya senang bisa naik panggung, tapi belum punya perasaan yang waah bagaimana. Karena anak umur segitu, belum punya pikiran soal penghargaan atas karya.
Dulu sih belum terlalu memikirkan yang aneh-aneh.
Ayah saya memang lingkungannya di
Saya kuliah dan sempat kerja di beberapa tempat. Terakhir sempat kerja di playgroup jadi manajer taman bermain. Saya suka film, suka dunia akting, tapi belum terlalu punya keyakinan kalau saya bakal di situ. Pokoknya, saya mencari. Sebenarnya waktu kuliah, Mbak Mira Lesmana pernah ngajak main sinetron. Saya merasa kalau film benar-benar dunia saya, tahun 2000 waktu diajak Persari Film, main sinetron “Cinta yang Kumau” dan “Kawin Lari”. Langsung dapat peran utama. Nah, di situ saya mulai merasa kalau ini dunia saya. Begitu mulai fokus, habis itu saya main film “Gie”. Sekitar empat belas tahun, saya mencari. Nah, waktu tahun 2000 itu, saya mulai merasa nyaman. Akhirnya, oh ini dia nih pekerjaan yang saya cintai. Ternyata begitu fokus dijalani, memang benar. Dan jalannya semakin terbuka.
Pada prinsipnya, saya mencari pekerjaan yang nyaman dan saya cintai. Saya tidak mau bekerja di tempat yang saya sendiri tersiksa.. Saya terus mencari. Sebenarnya, waktu di playgroup saya menemukan kesenangan tersendiri batin saya. Karena saya suka anak kecil. Tapi, karena latar pendidikan saya bukan di
Dari sekian banyak profesi, bintang film yang paling nyaman buat Anda?
Dan saya sudah merasa nyaman sekali. Walaupun harus syuting berjam-jam yang melelahkan, mungkin secara fisik lelah, tapi saya puas.
Mungkin awalnya, waktu saya masih di Sekolah Dasar, itu pengaruhnya terasa. Anak umur segitu
Saya tetap percaya. Tapi mungkin lebih berhati-hati. Tidak segampang orang yang, yuk nikah. Saya hanya menghindari hal itu terjadi. Saya tidak mau kalau sampai bercerai. Efek terbesarnya pada anak.
Apakah Anda tipe penakluk perempuan?
Tidak tahu ya. Saya cuma suka keindahan. Perempuan cantik, siapa sih yang tidak suka? Saya tidak munafik. Yang namanya laki-laki, walaupun sudah punya pasangan, pasti ada perasaan-perasaaan mau deh. Sejauh ini sih, memang selalu dapat perempuan yang saya inginkan. Walaupun kadang-kadang miss juga. [tertawa]. Kadang-kadang ditolak juga.
Jelas. Ayah saya selalu berpesan, untuk menghormati perempuan. Ayah saya romantis sekali, selain keras. Dia suka melakukan hal-hal romantis terhadap istrinya, di depan anak-anaknya. Itu berpengaruh sekali. Misalnya, dia mau pergi. Mama belum bangun. Dia cari bunga. Dia tulis
Soal romantisnya mungkin ya. Dan satu lagi yang sebenarnya saya hindari, tapi ternyata tidak bisa juga. Saya kadang-kadang keras kepala. Apalagi untuk hal-hal yang menurut saya prinsip. Tapi, kadang-kadang baru belakangan saya sadar kalau saya salah. Bedanya, kalau ayah saya sadar dia salah, dia ubah dari sikapnya. Kalau saya, bisa mengakui kalau saya salah.
Sama seperti orangtua lain. Tapi dia disiplin. Itu yang paling saya lihat. Kalau kita benar mengerjakannya, pasti rejeki jalan terus. Apalagi dunia film. Kecil sekali. Kalau syuting di sini ngaco. Di produksi
Anda jadi pembunuh bayaran yang menyayangi keluarganya di “9 Naga”, bagaimana Anda memandang karakter itu?
Mendalami karakternya?
Workshop. Saya tanya orang-orang. Saya tonton film-film seperti The Godfather. Juga saya tidak menonton TV. Saya Cuma berusaha ngobrol dengan orang-orang di sekitar saya. Bayangkan rasanya sebulan tidak nonton TV. Sampai ada satu hari, ketika saya merasa kalau tidak keluar dari
Itu saya percaya. Rata-rata akhirnya larinya ke situ
Ah itu terserah masing-masing. Merasa dijajah tidak? [tertawa]. Sebenarnya, jaman dulu kita dijajah Belanda.
Tidak penting. Dalam arti begini, Anda bayangkan. Kita boleh punya istri lebih dari satu. Tapi, syaratnya, Anda harus punya perasaan yang sama dan menafkahinya dengan sama. Kalau secara materi, Anda bisa cari. Tapi, apakah secara perasaan Anda bisa sama? Jaman dulu
Wah itu urusan mereka lah. Saya tidak mau bilang percaya atau tidak. Dia merasa sanggup. Saya tidak akan pernah bilang, Anda jangan poligami. Kalau dia sanggup, silakan. Itu urusan dia, istrinya dan Tuhan.
Wah, tahu dari mana? Itu cita-cita saya sejak dulu. Cuma belum kesampaian. Terlalu mahal mungkin. Saya membutuhkan orang-orang yang secara finansial. Ini belum tentu menguntungkan. Orangnya harus mau capek. Soalnya, harus mencari arsip lagu-lagu dari film jaman dulu. Dan saya belum menemukan orang yang bisa bekerjasama untuk itu. Itu penting. Saya Cuma ingin tahu, perkembangan musik dan film itu seperti apa? Maju atau mundur? Biar orang menilai sendiri. Bayangan saya, pertunjukkannya itu di hanggar pesawat, Halim Perdanakusumah lah. Dari suasana masuk ke
Anda bermain juga di Jakarta Undercover, apakah dalam kehidupan nyata, Anda akrab dengan dunia seperti itu?
Saya suka jalan-jalan di klub. Mabuk iya. Hancur-hancuran begitu, saya juga merasakan. Saya pernah nonton striptease, tapi bukan yang aneh-aneh. Saya tahu kehidupan malam
Anda homophobic atau banciphobic?
Oh tidak. Tapi, saya terus terang saja. Takut banci Taman Lawang. Pernah punya pengalaman buruk. Satu waktu, ketika lewat di Taman Lawang, seorang banci tiba-tiba masuk mobil teman saya. Karena kami baik, ya sudah kami ajak muter-muter. Tiba-tiba dia minta duit. Padahal kami tidak ngapa-ngapain. Begitu kami tidak kasih, dia mengancam mau menghancurkan kaca pakai sepatu. Itu membuat saya takut. Tampilan sih, tidak membuat saya takut. Sekarang, kalau lewat ke
Ayah Anda pernah menyuruh Anda belajar memainkan biola?
Dia tidak pernah memaksakan. Waktu saya mau belajar main biola pun, saya yang mau sendiri. Tapi, dia
Gambarkan sosok Idris Sardi dalam satu kalimat!
Dia orang yang perfeksionis sekali. Itu sudah bisa menggambarkan semuanya.
Bagaimana rasanya hidup di keluarga yang besar dengan seni, apakah seni di keluarga besar Anda jadi sesuatu yang sangat penting sehingga Anda harus terjun ke dunia seni untuk pembuktian diri?
Nggak ada. Justru awalnya saya tidak mau ke dunia seni. Apalagi tipikal orang
Anda tidak suka dibanding-bandingkan dengan sosok Idris Sardi?
Orang punya kebebasan untuk membandingkan saya dengan dia. Tapi, saya tidak suka. Ngapain sih? Tiap orang
Seberapa sering Anda dibandingkan dengan Idris Sardi?
Kadang-kadang sering juga. Saya baru mengalaminya beberapa hari yang lalu. Waktu syuting di salah satu stasiun TV. Menurut saya, orang ini—saya tidak bisa menyebutkan nama—yang sudah terpandang. Seharusnya, dari dia tidak keluar kata-kata itu. Jadi, waktu itu taping di TV dengan orang-orang yang sudah lama di TV. Itu berbeda dengan syuting film. Saya orang baru.
Sempat ada pikiran Anda menanggung beban sebagai anak Idris Sardi?
Awalnya ya. Cuma, habis itu, saya tidak ambil pusing. Karena kalau terus begitu, nanti saya tidak maju. Sempat ada proses. Dulu sempat sekolah musik, belajar biola. Jadi, ada beban sendiri. Tapi itu justru menghambat saya. Jadi, saya tidak bisa lepas untuk melakukan sesuatu. Akhirnya, saya ambil sisi postistifnya. Ini saya. Anda tidak bisa samakan saya dengan Idris Sardi. Tapi, kadang-kadang menyenangkan juga. Jadi anak orang yang dikenal. Misalnya, ada beberapa fasilitas yang didapat. Masing-masing ada sisi menyenangkan dan tidak. Saya ambil saja jalan tengahnya. Saya jadi diri saya sendiri. Apapun yang orang katakan.
Main film untuk apa?
Pertama, sudah pasti, mencari pekerjaan selain untuk menafkahi diri sendiri, tapi juga harus cari kepuasan batin. Yang paling penting, sebenarnya saya mendapat kepuasan batin dari itu. Kalau dalam film pun begitu. Misalnya, ada satu situasi, yang budget-nya tidak terlalu besar, tapi saya nyaman sekali di
Arti seni buat Anda?
Keindahan. Saya selalu mencari keindahan lewat seni. Karena menurut saya, seni itu datangnya dari rasa. Melukis dari rasa. Main film dari rasa. Main musik dari apa yang Anda rasakan. Semua itu keluar dari rasa. Datangnya dari Tuhan. Semua indah. Walaupun rasa marah.
Di antara semua karakter yang pernah Anda mainkan, mana yang jadi favorit Anda?
Semuanya favorit. Karena saya merasakan sesuatu yang berbeda. Di “Gie”, saya memerankan orang yang masih hidup. Mau tidak mau, auranya harus sampai. “9 Naga”, itu berbeda perannya dengan karakter sebelumnya. Terus masuk “Berbagi Suami”. Masuk lagi “Jakarta Undercover”. Keuntungannya, saya selalu dapat peran yang selalu berbeda.
Senang. Karena banyak saudara. Akhirnya teman-teman saya bilang, ‘Lukman mah saudaranya se-Jakarta. Jalan ke sini saudara. Jalan ke
2 Comments:
wawancara keren yg diakhiri dengan kalimat yg keren juga. :)
cara dia mendalami satu karakter dengan "saya tidak menonton TV" itu bagus juga. hehehehe.
hehe. makasih bud. :)
Post a Comment
<< Home