Monday, October 02, 2006

Siapa yang Membunuh Persma?

Sabtu [30/9] kemarin, saya jadi pembicara untuk ulang tahun yang pertama sisipan KAMPUS dari Pikiran Rakyat. Temanya; Pers Mahasiswa. Saya tidak pernah berpikir, kalau suatu hari, bakal jadi pembicara dalam diskusi bertemakan itu. Di kampus orang lain pula! Soalnya, waktu jaman mahasiswa, saya sering merasa dianggap remeh oleh para pengelola persma. Maklum, jenis terbitan yang saya dan kawan-kawan dirikan, termasuk "ringan", sering dianggap "tidak ilmiah" blablabla.

Panitia meminta saya membuat tulisan untuk dibagikan di sana. Walaupun merasa kurang puas, akhirnya saya buat juga. Di bawah ini tulisan saya untuk diskusi itu. Karena saya tidak tahu harus memberi judul apa, akhirnya tulisan ini saya beri judul sesuai dengan tema diskusi hari itu.

Siapa yang Membunuh Persma?
Oleh Soleh Solihun

Jujur, saya sempat tidak tahu harus menulis apa untuk diskusi ini. Sudah tiga hari saya mencoba menulis. Tapi, selalu tidak puas dengan hasilnya. Sepertinya topik persma sudah tidak menarik lagi buat saya. Karena pertama, saya sudah bukan mahasiswa. Kedua, ketika mahasiswa pun, saya tidak suka persma. Dengan segala idealisme dan tipikal tulisan persma. Ketiga, ketika akhirnya saya dan kawan-kawan mendirikan penerbitan mahasiswa yang sesuai dengan jiwa saya, para penerus kami—angkatan bawah—membuat saya kecewa.

Tidak. Saya tidak sedang berkata kalau dari segi isi, angkatan saya—para pendiri—jauh lebih baik, well mungkin iya. Haha. Tapi, saya sedang bicara soal semangat. Para generasi penerus itu hanya manis di bibir! Ketika diwarisi media yang kami rintis, mereka bicara seolah-olah akan mewarisi semangat yang sama. Salah satu ukuran semangat yang saya maksud, adalah dilihat dari terbit reguler. Banyak sekali alasan yang mereka buat. Sibuk lah. Banyak tugas lah. Susah berkumpul lah. Bah! Memangnya saya tidak pernah jadi mahasiswa? Semuanya hanya mencari alasan.

Sepanjang 1999 – 2001 lewat 14 edisi, saya dan kawan-kawan mengelola KARUNG GONI di Fikom Unpad yang terbit reguler tiap bulan—minimal di bulan-bulan perkuliahan aktif. Sebagai bentuk kekecewaan kami terhadap tipikal persma yang ada waktu itu. KARUNG GONI akronim dari Kabar Ungkapan Gosip dan Opini. Media kampus yang membahas hal-hal ringan, kehidupan seputar Fikom Unpad. Lantas, 2003, kami dirikan Fikombabes—isinya sebagian besar soal mahasiswi-mahasiswi Fikom Unpad. Salah satu motivasinya, pernyataan sikap kami terhadap adik-adik penerus di KARUNG GONI yang mengecewakan. Karena membuat KARUNG GONI nyaris vakum. Banyak sekali alasan mereka! Daripada energinya dipakai untuk memarah-marahi adik angkatan, lebih baik disalurkan ke dalam penerbitan baru.

Mungkin para pengelola persma memang butuh musuh bersama untuk menggerakkan mereka. Saya bisa berkata begitu, setelah melihat yang terjadi pada KARUNG GONI. Jaman saya dan kawan-kawan aktif, kami punya musuh. Penerbitan mahasiswa mainstream, yang tulisannya seputar kebijakan kampus, atau pemerintah. Issue-issue yang terlalu “serius” buat kami. Ya. Kami lawan mereka. Kami coba buktikan, kalau topik-topik “ringan” juga bisa punya tempat di kalangan mahasiswa. KARUNG GONI yang hanya difotokopi, juga bisa jadi media yang tidak kalah menarik dengan persma lain yang dicetak. Kami yang kerjanya hanya ketawa-ketawa di kampus, yang dituduh sebagai kaum hedonis, juga bisa membuat karya yang baik! Dan banyak hal lain yang coba kami buktikan waktu itu. Ada sedikit amarah, mungkin.

Penyaluran amarah itu akhirnya yang menggerakkan kami. Mencoba membuktikan pada “musuh-musuh” kami, kalau kami juga bisa! Terserah mau disebut persma atau bukan, yang penting batin kami puas! Bagaimanapun caranya, kami harus eksis! Harus terbit reguler! Karena kalau bukan itu motivasinya, apalagi dong? Bukan apa-apa, waktu itu belum terpikir soal melatih kemampuan menulis lewat penerbitan kampus. Bekal untuk dunia kerja blablabla. Itu malah disadari belakangan. Ketika akhirnya saya benar-benar masuk dunia kerja.

Dan saya tidak merasakan itu dari angkatan penerus kami. Mereka tidak punya semangat yang tinggi. Mungkin karena tidak punya musuh bersama. Karena ketika gilirannya mereka mengelola KARUNG GONI, media itu sudah relatif mapan. Sudah masuk mainstream. Sudah dikenal orang. Sudah relatif diakui keberadaannya. Maka, KARUNG GONI pun sempat mengalami era hidup segan mati tak mau. Akhirnya, saya berkata pada diri saya sendiri, kalau umur KARUNG GONI memang hanya 14 edisi. Daripada batin terus berteriak karena kecewa. Bahkan, ketika akhirnya kami meneruskan Fikombabes pada angkatan bawah pun, ekspektasi saya tidak setinggi ketika kami mewariskan KARUNG GONI.

Saya tidak tahu bagaimana cara mahasiswa lain mengelola media mereka. Saya juga tidak tahu bagaimana mereka memandang profesionalisme dalam persma. Yang saya tahu, mungkin cara kami memandang profesionalisme adalah dengan selalu ingin menerbitkan KARUNG GONI tiap bulan. Ingin bisa tertawa puas. Memuji diri sendiri. Dan sekali lagi, merasa telah melayangkan tinju buat sang musuh!

Maaf kalau tulisan ini tidak sedikit pun memberikan pencerahan. Saya juga tidak bisa memberikan masukan dari sudut pandang akademis atau teoritis. Saya hanya ingin menegaskan kalau kamu tidak perlu takut mencoba mendirikan penerbitan. Jangan terpaku dengan segala imej atau karakter yang terlanjur melekat dengan kata ‘persma’. Paling enak jadi mahasiswa sebenarnya. Kalau salah pun, dianggap wajar, karena masih belajar. Kalau menghasilkan karya yang baik, pujiannya cenderung berlebihan. Sudah ah. Semakin melantur.

Salam.

2 Comments:

Anonymous kuyasunda said...

saya ngerasain hal yang sama kang dengan kang soleh. termasuk persma di fikom saat ini. kadang, hal-hal yang mereka anggap "penting sekali" itu malah bukan jadi isu utama/menarik yang anak2 fikom bicarakan di tongkrongan.

sebelumnya saya pengen ngadain satu media yang "ringan" juga di fikom. tapi saya bingung membuat imej seperti apa. karena pas saya ajukan, ada yang dukung ada yang menentang juga (ttg nilai berita lah,profesionalisme lah, bla bla bla )

setelah ngeliat secuil potokopian karung goni di batu api, saya tertarik juga dan mungkin itu bisa dijadikan acuan.

kalo ada waktu, boleh saya sharing2 kang ttg hal ini ? :)

December 27, 2013 7:49 AM  
Anonymous kuyasunda said...

saya ngerasain hal yang sama kang dengan kang soleh. termasuk persma di fikom saat ini. kadang, hal-hal yang mereka anggap "penting sekali" itu malah bukan jadi isu utama/menarik yang anak2 fikom bicarakan di tongkrongan.

sebelumnya saya pengen ngadain satu media yang "ringan" juga di fikom. tapi saya bingung membuat imej seperti apa. karena pas saya ajukan, ada yang dukung ada yang menentang juga (ttg nilai berita lah,profesionalisme lah, bla bla bla )

setelah ngeliat secuil potokopian karung goni di batu api, saya tertarik juga dan mungkin itu bisa dijadikan acuan.

kalo ada waktu, boleh saya sharing2 kang ttg hal ini ? :)

December 27, 2013 7:49 AM  

Post a Comment

<< Home