Wednesday, December 05, 2012

Tiga Alasan Paling Klise Ketika Cewek Menolak Cowok


Halo Blogspot, kamu pernah ditolak?
Saya rasa sih belum pernah ya. Kamu kan bukan manusia. Dan kenapa juga saya menulis begini ya? Sebuah kalimat pembuka yang aneh.

Kamu yang membaca tulisan ini, pernah ditolak? Atau pernah menolak? Saya rasa kamu tahu penolakan dalam konteks apa yang saya maksud. Ya penolakan cinta lah. Bukan penolakan tawaran kartu kredit atau bergabung dengan MLM.

Saya pernah ditolak. Rasanya tak enak. Bikin galau. Pikiran tak karuan, bahkan sampai menyukai album Dewa yang Cintailah Cinta karena ditolak. Btw, album itu banyak sekali tuh yang temanya soal cinta bertepuk sebelah tangan tapi tak terlalu mendayu-dayu.

Tidak, saya menulis ini bukan karena sedang galau atau karena baru ditolak. Kisah percintaan saya baik-baik saja.

Tapi bicara soal tolak menolak [tolak angin tak termasuk yang akan saya bicarakan di sini], ada beberapa alasan penolakan yang menurut saya klise alias basi yang sering diucapkan perempuan kepada lelaki. Dan saya akan membahas soal itu.

Alasan akademis
Ini biasanya diucapkan seorang perempuan yang masih sekolah atau kuliah.

“Gua lagi pengen konsentrasi belajar.”
“Nanti gua nggak fokus.”
“Mau nyelesein dulu studi.”

Katanya perempuan mahluk yang bisa multitasking ya. Masa’ pacaran sambil belajar tak bisa? Padahal kan sambil mempelajari yang ada di sekolah atau kampus, bisa juga belajar yang lain. Hehe.  

Yang menolak memakai alasan ini sepertinya mereka yang belum terlalu akrab dengan si cowok, tapi masih mau sok tak membuat sakit hati.

Alasan persahabatan
Ini biasanya diucapkan seorang perempuan yang menolak lelaki yang memang sudah akrab. Lelaki jomblo yang berteman akrab dengan perempuan dan dianggapnya kece, kemungkinan besar bakal naksir dan ingin lebih dari sekadar bersahabat.

“Elu udah enak jadi temen.”
“Kita temenan aja ya.”
“Gua udah nganggap elu temen baek gua.”
“Gua nggak mau kehilangan temen.”

Kalau sudah nyaman berteman, harusnya bisa dong pacaran. Kan udah enak ngobrolnya. Belakangan ini, ada istilah yang namanya friendzone. Nah, kayaknya yang begini ini nih korban friendzone. Kalau cowok sudah masuk ke lembah friendzone, susah sekali untuk merangkak keluar. Hanya segelintir orang terpilih yang bisa memanjat ke puncak dan keluar dari lembah friendzone. Seperti halnya Bruce Wayne yang dipenjara dan jadi salah satu yang bisa keluar dari penjara di dalam tanah itu. Tapi, sebenernya sih masuk ke lembah friendzone masih lebih baik dibandingkan tak bisa jadi friend sama sekali.

Yah minimal mah, si gebetan masih bisa diajak nonton bioskop berdua, makan berdua, atau nonton konser. Meskipun tetep, jadi pacar mah belum mau.

Yang menolak memakai alasan ini, biasanya karena udah akrab sama si cowok, nyaman jalan, nyaman ngobrol, tapi tak nafsu alias tak timbul birahi alias tak bisa membayangkan dirinya berciuman dengan si cowok. Menyenangkan sebagai pria, tapi tak menggairahkan.

Alasan persaudaraan
Entah siapa yang memulainya, tapi banyak sekali perempuan di luar sana yang menolak cowok karena menganggapnya sudah seperti kakak sendiri.

“Elu udah gua anggap abang gua.”
“Jangan dong, elu udah kayak abang gua.”
“Gua ngerasa udah kayak adeklu.”

Padahal, tak ada satu pun cowok yang ketika akrab dengan perempuan, berniat menjadikannya adik atau berniat mencari adik. Apalagi cowok yang sudah punya banyak adik di rumah. Saya rasa yang anak tunggal pun tak sengaja berniat mencari adik di luar rumah.

Sepertinya cewek yang menolak memakai alasan begini, karena merasa sudah akrab sekali dengan si cowok, merasa lebih tinggi levelnya dari sahabat, tapi tetep nggak nafsu.

Para perempuan yang membaca tulisan ini, kalau tak sepakat, jangan marah ya. Hehe. Ini kan hanya analisa dangkal saya sebagai cowok. Masih banyak alasan lain, tapi yang terpikir di benak cuma tiga yang utama ini.

Saran saya mah, buat para perempuan, jujur aja lah. Toh, mau kalimatnya halus atau tidak, efeknya kurang lebih sama: sakit hati mah pasti ada. Malah, kalau memakai kalimat halus, si cowok bakal terus berusaha mengejar. Yah kalau akhirnya kalian para perempuan jatuh hati juga sih tak apa-apa, kalau akhirnya terganggu?

Coba deh, mulai sekarang kalau menolak cowok, memakai kalimat yang jujur.

“Nggak mau ah. Gua nggak nafsu sama elu. Kalau kita pacaran kan harus ada nafsu, selain nyaman dan sayang.”
“Gua nggak naksir elu.”
“Gua nggak suka sama elu.”
“Gua nyari yang mapan. Elu kayaknya masih jauh deh dari mapan.”

Atau, kalau mau kalimat ampuh yang sudah pasti membuat cowok tak akan mengejar lagi, pakai kalimat ini.

“Gua nggak suka cowok, sukanya cewek.”

Tuesday, December 04, 2012

Boyband: Solusi Bagi Orang yang Serba Pas-pasan Tapi Ingin Jadi Artis


Kabar soal hengkangnya Charly Van Houten dari ST12, lalu sebelumnya Andika vokalis Kangen Band yang dipenjara karena kasus ganja seakan jadi pertanda bahwa musik pop dengan cengkok vokal Melayu [untuk lebih sederhananya kita sebut saja pop melayu meskipun musik Melayu yang sesungguhnya jauh lebih indah, jadi buat yang mau protes soal istilah ini sudahlah, kalian buat saja blog sendiri] mulai memudar popularitasnya. Saya rasa banyak orang yang menyambut gembira pertanda memudarnya pop melayu macam ST12 dan Kangen Band ini. Tapi ternyata kebahagiaan itu seakan harus ditunda, karena pudarnya popularitas pop melayu digantikan oleh bangkitnya boyband dan girlband. Ketika beberapa tahun lalu televisi banjir oleh penampilan band pop melayu yang semuanya berlomba mendayu, kini giliran boyband dan girlband yang menghiasi layar kaca para penonton televisi. Jika Anda tak percaya dengan pernyataan ini, kemungkinan besar karena Anda memang jarang sekali menonton televisi.

Di satu sisi memang bisa dilihat menggembirakan, akhirnya ada juga kejenuhan terhadap serbuan band pop melayu, tapi jika dilihat hasilnya: ini akan jadi sumber amarah baru bagi yang berharap variasi musik di televisi lokal.      

Ucapan terima kasih [jika Anda melihatnya dari sisi positif] harus diberikan pada SM*SH yang memelopori bangkitnya kembali boyband di Indonesia. Dengan mengadopsi gaya boyband di Korea [saya kurang tahu apa yang membuat K-Pop belakangan ini digandrungi oleh banyak remaja kita], SM*SH tiba-tiba melejit dengan satu lagu yang musiknya dibuat oleh kibordis Themilo, Hendi Unyil [ironisnya, Unyil menjual murah lagu itu karena dibuatnya dengan mudah dan awalnya untuk kepentingan program radio sehingga dia tak ikut merasakan keuntungan finansial dari popularitas lagu itu].

Tujuh lelaki berpakaian seragam yang menari dan keroyokan menyanyikan lagu yang ringan ternyata jadi formula baru yang sukses mendobrak kejenuhan industri musik mainstream di Indonesia. Saya rasa tak banyak yang menduga formula itu akan berhasil—kecuali orang di balik ide membentuk SM*SH itu. Kalau saja Hendi Unyil tahu bahwa formula itu akan berhasil, sepertinya dia tak akan menjual murah lagunya. Tapi yang berikutnya terjadi, mudah ditebak: bermunculan para pengikut SM*SH yang bejibun itu dan membuat kita ingin men-smash mereka satu-satu. Entah sampai kapan ini akan menjadi trend, tapi setidaknya sekarang kita harus menahan emosi untuk tak memaki mereka.

Saya akan mencoba melihat fenomena boyband atau girlband [sama saja lah, cuma beda jenis kelaminnya saja tapi formulanya sama bahkan kadang boy pun seperti girl] ini dari sisi yang bijaksana dan mengambil hikmahnya. Dan hikmah terbesar dari adanya boyband adalah: ini merupakan solusi bagi mereka yang punya kualitas pas-pasan.

Wajah pas-pasan.
Tak semua personel boyband atau girlband berwajah tampan atau cantik. Percayalah, kalau Anda simak baik-baik di layar kaca, niscaya Anda akan sadar bahwa hanya satu atau dua yang benar-benar berwajah tampan atau cantik. Karena mereka bergerombol [bahkan ada yang sembilan orang] dan berseragam, orang jadi susah menilai dengan seksama apakah mereka aslinya berwajah tampan/cantik atau tidak. Belum lagi mereka selalu memakai pemulas wajah sebelum manggung. Saya pernah menyaksikan dari dekat SM*SH manggung [tidak, bukan karena sengaja ingin menonton konser mereka tapi kebetulan ada di tempat yang sama], meskipun bukan untuk kepentingan penyiaran televisi, mereka semua memakai pemulas wajah alias bedak, minimal foundation lah. Sehingga kesan yang timbul adalah para personel boyband/girlband adalah orang-orang berwajah rupawan. Maka, dengan demikian kualitas daya tarik wajah Anda akan meningkat berlipat ganda.

Vokal pas-pasan.
Biasanya, di sebuah boyband/girlband, hanya satu atau dua yang bisa bernyanyi dengan baik. Anda sudah melihat buktinya di luar negeri: Justin Timberlake, atau Robbie Williams di antara buktinya. Atau, Dewi Sandra yang muncul dari sembilan model yang bernyanyi dan saya lupa namanya itu. Dengan bernyanyi bersama teman-teman beramai-ramai, orang tak akan tahu jika suara Anda sumbang atau pas-pasan. Biasanya cuma yang bagus yang terdengar [karena sering dikasih porsi bernyanyi sendiri yang lebih banyak dibandingkan yang lain], tapi yang jelek jadi malah tersamar.

Kemampuan menari pas-pasan.
Katanya, para personel boyband itu adalah mereka yang bisa menari. Tapi melihat dari yang banyak beredar di televisi, tak sedikit yang menarinya pas-pasan. Atau mungkin ya menyembunyikan keahliannya. Lagipula, logikanya kalau kemampuan menari mereka sangat mengagumkan, mungkin mereka akan lebih fokus di dunia tarian. Coba simak saja tarian mereka, relatif tak istimewa bukan? Entah karena koreografinya yang kurang tepat, entah karena memang kemampuan mereka aslinya pas-pasan. Lagi-lagi, kita baru bisa melihatnya dengan jelas jika ada yang keluar dan jadi artis solo.

Nah, semua yang serba pas-pasan itu, jika digabungkan akan memberi efek yang tidak pas-pasan. Ini memakai filosofi keroyokan: jika beramai-ramai dilakukan, yang tak berani pun jadi berani dan jadi terlihat menyeramkan. Tapi tunggu dulu para pembaca yang budiman, kita tak bisa menghujat boyband/girlband begitu saja, karena yang begitu sudah diatur oleh UUD 1945 Pasal 28: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.


Monday, December 03, 2012

Mendadak Jadi Pelawak

Halo Blogspot, sudah kira-kira setahun saya jadi stand up comedian. 

Rasanya sekarang saat yang pas untuk menulis soal pengalaman ini. Plus, saya sudah lama tak menulis di blog. Rindu nih, menulis karena keinginan bukan karena kewajiban. Hehe.

Oke, saya akan mulai dari pertanyaan yang paling sering ditanya orang. Bagaimana awal mulanya jadi stand up comedian?

Pertanyaan ini selalu ditanya ketika wawancara. Kalau saya berkarir sudah lebih dari lima tahun, pasti saya akan kesal. Tapi saya sadar diri, bahwa belum banyak yang tahu soal ini, jadi meskipun dengan sedikit perasaan bosan saya selalu menjawabnya.

Adalah seorang kenalan bernama Zaki yang mengajak saya untuk tampil stand up pertama kali. Zaki adalah salah seorang penyiar di Radio Global, yang punya program musik cutting edge saya lupa nama programnya.

“Wah gua nggak bisa euy. Mau ngomong apa gua selama setengah jam?” kata saya.
“Aah, gua yakin elu pasti bisa. Kalo ngemsi kan elu sebenernya udah sering stand up,” jawab Zaki.

Selain menjadi jurnalis, sejak kerja di Rolling Stone Indonesia, saya sering menjadi MC di event musik, dan lebih sering sendirian alias tak ada partner. Berhubung jeda di setiap pergantian band membutuhkan waktu paling cepat sepuluh menit, saya selalu berceloteh ngalor ngidul di panggung, mengisi waktu supaya penonton tak bosan. Rupanya celoteh saya disukai banyak orang, yah buktinya mereka tertawa mendengarnya.

Sebelum diajak Zaki untuk stand up, sebenarnya orang pertama yang mengatakan saya seperti melakukan stand up comedy ketika ngemsi adalah Cholil Machmud, vokalis Efek Rumah Kaca.

“Elu tuh kalo ngemsi, jadinya kayak stand up comedy ya Leh,” kata dia.

Oya, kembali lagi ke Radio Global. Jadi, mereka punya kegiatan off air dari program yang dipandu Zaki dan dua kawannya: Wisnu vokalis/gitaris Monkey to Millionaire dan Tony, gitaris The Brandals.

Akhirnya saya setuju untuk mencoba tawaran Zaki.

Di event itu, ada tiga band yang tampil: band pertama saya lupa namanya, band kedua adalah Denial, dan band terakhir adalah White Shoes and The Couples Company. Saya tampil sebelum White Shoes.

Malam itu, ada seorang kawan, Faesal Rizal, videographer, membawa handy cam. Saya meminta dia merekam penampilan saya dari awal hingga akhir untuk dimuat di Youtube. Niatnya cuma satu: biar gaya, seperti banyak orang, punya video di Youtube. Hehe. 

Dari jatah waktu tiga puluh menit yang disediakan panitia, ternyata saya tampil selama empat puluh menit. Materinya sebagian besar ya tentang diri saya, tentang culture shock saya ketika datang di Jakarta, tentang beberapa hal yang pernah saya twit, dan juga meledeki teman-teman yang kebetulan nonton di sana. 

Tak lebih dari seratus orang menonton penampilan perdana saya, tapi malam itu ternyata memberi pengaruh yang besar di kemudian hari. 

Dan oya, saya dibayar lima ratus ribu rupiah malam itu. 

Kalau kamu mau melihat penampilan saya malam itu, silakan ketik: Soleh on Standing [judul yang aneh, tapi biarlah terserah Faesal yang mengunggah] di Youtube. Ada tiga video, agak gelap memang, tapi suaranya cukup jernih kok. 

Stand up perdana saya itu kira-kira Agustus 2010.

Kemudian pada 13 Juli 2011, komunitas Stand Up Indo lahir yang ditandai event stand up nite pertama mereka di Comedy Cafe, Kemang. Ini juga ada videonya di Youtube. Silakan cari aja di akun standupindo. Mereka tadinya berkumpul dalam rangka berlatih sebelum tampil di program Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV. Ernest Prakasa dan Ryan Adriandhy beberapa di antara finalis yang lolos ke kompetisi itu. 

Ernest dan seorang kru Kompas TV mengajak saya ikut audisi. Tapi saya menolak. Pertama, karena kalau lolos, saya pasti harus ijin dari kantor [maklum, mereka ada karantina setiap minggu]. Kedua, saya malas ikut kompetisi. Kalau di TV terlihat gagal, pasti akan menyebalkan. Ketiga, kalau saya ikut program itu artinya setiap minggu harus memikirkan materi untuk tampil. Wah, pekerjaan di kantor saja sudah cukup menyita waktu. 

Saya tadinya diminta tampil di event Stand Up Nite pertama itu, tapi karena bentrok dengan jadwal siaran, saya tak bisa berpartisipasi. Pada saat ini, istilah stand up comedy mulai dikenal banyak orang, khususnya anak muda. Terima kasih pada Pandji Pragiwaksono dan Raditya Dika idola anak muda yang punya banyak followers di Twitter.

Tapi, selain Kompas TV, ternyata di saat yang bersamaan dengan Metro TV juga berencana membuat program stand up comedy. Suatu malam, seorang yang entah jabatannya apa, menghubungi saya untuk tampil di program itu. Katanya sih, mereka menonton video saya di Youtube, makanya mengajak saya. 

“Kalau angkanya cocok sih, saya mau aja Mbak ikutan,” jawab saya.

Tak dinyana, angka yang saya tawarkan disetujui Mbak itu. Saya sengaja menyebut angka yang cukup besar karena sebenarnya saya tidak percaya diri, takut garing. Padahal, saya belum punya pengalaman profesional di televisi, tapi angka yang menurut saya cukup besar itu, bisa lolos. Sebagai gambaran, angka itu adalah hampir setengahnya dari gaji saya selama sebulan sebagai Editor di Rolling Stone Indonesia. 

Agustus [atau September ya saya lupa] 2011 saya syuting program Stand Up Comedy Show di Metro TV. Saya diminta untuk tampil dua episode. Dan stand up comedian atau comic yang pertama kali taping di program itu adalah saya. Haha. Bangga lah, saya. 

Silakan cari di Youtube, ada orang yang mengunggahnya ke sana. Episode perdana saya membawakan materi yang sedikit menggoda pemilik Metro TV: Surya Paloh. Yang ternyata lolos edit. 

Ini adalah peristiwa kedua yang mempengaruhi karir dan finansial saya.

Angka followers menanjak drastis: dalam setengah jam, saya mendapat dua ribu followers baru [makanya, followers twitter saya terbagi ke dua: mereka yang tau saya sebagai jurnalis dan mereka yang taunya saya stand up comedian]. Cuma sedikit yang mengatakan saya garing, sebagian besar berpendapat saya lucu. Alhamdulillah. Tapi, meski begitu sebenarnya saya tak terlalu peduli. Yang saya peduli adalah bahwa produser puas, dan pembayaran lancar. 

Dan episode perdana itu seakan-akan jadi momen di mana saya dinobatkan sebagai stand up comedian. Orang-orang mengenal saya sebagai pelawak. Padahal, di blog ini, beberapa tahun lalu saya pernah menulis bahwa saya kurang jelek untuk jadi pelawak. Haha. 
Pertanyaan berikutnya, siapa yang jadi inspirasi saya?

Saya tak punya idola stand up comedian. Jadi pelawak tak pernah masuk dalam angan-angan saya. Berbeda dengan sebagian besar stand up comedian di Indonesia yang sekarang muncul, stand up comedy bukanlah salah satu kecintaan saya. Makanya, saya tak paham teorinya, dan jaraaang sekali menonton stand up comedy dari luar. Dan makanya saya tak pernah menulis materi. Paling mendekati dengan menulis, adalah saya mencatat poin-poin. Ada kawan saya yang menulis detil kalimat yang dibawakannya di panggung. Saya beberapa kali mencatat poin-poin, tapi pas tampil malah melebar ke mana-mana, tak sesuai dengan yang direncanakan karena terpancing dengan situasi yang saya lihat dari panggung. Saya sih prinsipnya: kalau lucu ya syukur, kalau tak lucu juga tak akan ditanya di alam kubur oleh malaikat. 

Satu-satunya orang yang mempengaruhi saya untuk melawak ketika kecil adalah KH Zainuddin MZ. Bapak saya membeli kaset almarhum da’i sejuta umat itu dan saya terbahak mendengarnya. Makanya, saya sempat bercita-cita jadi ustadz karena menyukai Zainuddin MZ. Belakangan saya baru tahu, bahwa sebenarnya bukan jadi ustadz yang menarik buat saya, tapi membuat orang tertawa. 

Tapi cita-cita menjadi ustadz langsung sirna begitu kelas 5 SD saya melihat John Travolta di film Grease [1978] yang memakai jaket kulit, kaos oblong putih, jins dan boots. Rock n’ roll lebih menarik dibandingkan kopiah dan sarung. 

Meski tak pernah bercita-cita jadi pelawak, sejak kecil saya selalu membayangkan bisa tampil di depan banyak orang, dan mereka mendengarkan saya berceloteh. Mungkin itu sebabnya saya pernah berkeinginan jadi ustadz, karena ingin ada sensasi itu. 

Disingkat saja ya ceritanya, kepanjangan nih. Selain karena saya sudah capek, kamu juga pasti sudah mulai bosan bacanya. 

Intinya, akhirnya setelah tampil di Metro TV, saya mendapat banyak tawaran manggung off air. Hingga kini, macam-macam event yang sudah saya datangi: gathering yang diadakan oleh perusahaan, acara komunitas, hingga event yang dihadiri politikus [saya pernah tampil di depan Megawati dan Jokowi – Ahok sebelum mereka lolos jadi Gubernur DKI]. 

Tapi, kenikmatan psikologis berbanding terbalik dengan kenikmatan finansial. Di acara-acara di mana saya dibayar mahal [lebih dari gaji saya selama sebulan di Rolling Stone Indonesia], kenikmatan manggung tak saya dapatkan. Maklum, tak bebas bicara [padahal, kekuatan saya adalah ketika saya dibebaskan bicara dan penonton iklas mendengarkan] dan penontonnya sebagian besar belum pernah menonton stand up comedy. Kadang saya merasa tak enak kepada pengundang. Sudah bayar mahal, tapi saya tampil tak maksimal. Banyak juga sih saya sukses di acara yang kaku dan formal, tapi di acara yang dibayar minim, justru kenikmatan itu jauh lebih besar.

Oya, sampai saat ini, saya belum pernah open mic [latihan di cafe alias tampil di event yang memang buat berlatih]. Sejak pertama tampil, hingga sekarang, saya selalu dibayar [kecuali satu kali, ketika tampil di event amal]. Ini adalah paragraf untuk belagu. Haha. 

Tapi ada menyenangkan dan tak menyenangkannya dikenal sebagai stand up comedian.

Yang tak menyenangkannya, kadang-kadang ada momen di mana orang-orang berkata, ‘Ngelawak dong. Bikin kita ketawa,’ padahal itu sedang kumpul-kumpul biasa. Saya yakin, penyanyi tak pernah disuruh begitu ketika kumpul-kumpul yang memang tak ada kegiatan bernyanyinya. 

Yang menyenangkannya: punya banyak teman baru, yang profesinya macam-macam: dari pengusaha hingga pesulap amatir. Yang menyenangkan lainnya juga sering kali bertemu orang di jalan, dan mereka berkata “Mas, saya sering lihat mas di stand up comedy, lucu. Saya suka,” 

Mendengar orang berbahagia karena yang saya lakukan adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Dan dikenal banyak orang karena karya, bukan karena skandal juga menyenangkan.

Tapi tak sedikit juga sih yang mengenalnya agak ragu-ragu. 

“Mas tuh yang suka tampil di stand up comedy kan? Namanya siapa ya mas?”
“Solihin kan? Mas Solihin ya?”
“Kayak pernah lihat mas. Yang suka di Metro TV kan? Acara apa ya itu mas?”
“Mas yang ada di sit up comedy kan?”

Dan masih banyak respon lainnya.  

Sudah ah, segitu saja dulu. Sampai jumpa di tulisan berikutnya. 

Friday, November 30, 2012

Terima Kasih Multiply

Ini adalah blog pertama saya setelah lebih dari sembilan bulan tak menulis di sini.

Hari ini, hari terakhir situs multiply.com memuat fitur blog. Dan mereka memberi kesempatan para penggunanya untuk memindahkan tulisan dan foto maupun video ke situs lain [blogspot atau tumblr]. Saya hampir lupa, kalau saja tak melihat twit seorang kawan tentang hal ini. Tapi karena foto-foto harus dimuat manual, saya tak sempat memindahkan foto-foto ke sini. Jadi, mohon maaf kalau kamu membaca blog ini dan tak menemukan foto-foto di beberapa tulisan saya yang seharusnya berisi foto-foto.

Mari bicara Multiply.com

Blog pertama saya memang di blogspot, tapi Multiply lah yang membuat aktivitas nge-blog saya semakin intens. Tak hanya tulisan, tapi juga foto. Maklum, menurut saya, memuat foto di Multiply lebih mudah dibandingkan memuat foto di sini.

Dan yang membuat Multiply lebih menarik dibandingkan blogspot [sehingga saya meninggalkan situs ini demi Multiply] adalah fitur yang membuat para pemilik akun bisa melihat siapa saja yang membaca tulisan mereka. Itu membuat saya lebih bersemangat. Akhirnya saya tahu bahwa ada yang membaca, meskipun tak menulis reply. 

Multiply juga lebih mirip tempat nongkrong. Orang-orang berkumpul di sini, membuat tulisan panjang yang berisi opini atau kesukaan mereka, lalu dikomentari untuk jadi ajang diskusi atau saling debat. Menyenangkan lah. 

Saya selalu menganggap bahwa yang memakai Multiply, adalah blogger yang lebih santai, hedonis. Yang memilih wordpress adalah mereka yang serius, sedangkan yang memilih tumblr adalah yang lebih berjiwa seni. Haha. Analisa yang aneh, tapi biarlah.

Bicara soal foto, Multiply membuat saya jadi fotografer amatir. Sebelum tren membawa kamera digital ke konser [padahal tak dimuat di media massa], saya sudah melakukan itu. Karena itu pula, saya sempat jadi fotografer resmi Seringai dan diajak ke banyak kota. 

Karena Multiply, saya dibiayai ke London oleh Coca Cola demi melihat Maroon 5 merekam lagu untuk mereka. Karena Multiply, saya bertemu banyak teman baru. Karena Multiply, saya yang waktu itu pindah dari Trax Magazine dan rindu menulis berita musik tapi tak bisa terlampiaskan di Playboy Magazine, bisa menemukan media baru untuk menulis. 

Karena Multiply, Adib Hidayat Editor in Chief Rolling Stone Indonesia tertarik melihat wawancara saya dengan The Changcuters dan sempat meminta untuk dimuat di majalah itu, tapi akhirnya malah berujung pada diajaknya saya bergabung ke sana setelah empat bulan luntang lantung karena Playboy bubar. 

Karena Multiply menutup blognya, saya akhirnya menulis blog lagi. Hehe.

Terima kasih Multiply.  

Friday, January 13, 2012

Meninggalkan Rolling Stone Indonesia

Halo Blogspot, saya punya kabar terbaru.

Entah ini kabar baik atau kabar buruk. Tergantung dari sisi mana kita memandang. Hari ini adalah hari terakhir saya bekerja di Rolling Stone Indonesia, setelah lebih dari tiga tahun bekerja di sana [sejak Mei 2008 tepatnya]. 

Hmm, dari mana mulainya ya. 

Sudah beberapa bulan atau hampir setahun terakhir ini, saya sibuk dengan pekerjaan sampingan sebagai penyiar dan MC. Sejak Agustus tahun terakhir malah sibuk menjadi stand up comedian. Nah, akhirnya tiba juga saya pada momen harus memilih antara tetap di kantor atau sibuk di luar kantor. Sebenarnya tak memilih juga sih, karena memang saya tak diberi pilihan, melainkan langsung dihadapkan pada situasi untuk meninggalkan kantor. 

Menjadi jurnalis di Rolling Stone [ingat ya, Rolling Stone, tanpa S, bukan Rolling Stones karena itu adalah nama band Mick Jagger dkk. Maaf mengoreksi, orang sering salah menulis soalnya.] adalah salah satu pekerjaan impian saya. Bahkan sebelum majalah ini terbit di Indonesia, saya sudah memimpikannya. Saat itu sih, saya tak pernah berpikir bahwa mimpi ini akan jadi kenyataan suatu hari nanti. Salah satu faktornya ya, waktu itu saya tak mengira bakal ada orang yang mau mengeluarkan uang begitu banyak untuk membayar lisensi majalah ini. Apalagi majalah musik punya catatan buruk, karena sebagian besar majalah musik tak mencapai umur sepuluh tahun, rata-rata malah berumur hanya lima tahun. 

Tapi ternyata mimpi itu terwujud. Mungkin benar pepatah atau apalah itu yang bilang, jika kamu bisa memimpikannya, maka kamu bisa mewujudkannya. Meskipun sampai sekarang saya bermimpi ingin bisa terbang seperti Superman tapi belum terwujud juga. Haha. 

Terlalu banyak kenangan manis yang bisa ditulis di sini. Singkatnya begini deh: bekerja di Rolling Stone itu adalah saya rasa mimpi sebagian besar pecinta musik yang juga ingin jadi jurnalis. Saya dibayar untuk melakukan pekerjaan yang saya suka di institusi bergengsi. Dibayar untuk mendengarkan musik, menonton konser, ngobrol dengan musisi, dan menuliskan itu semua. Selain jadi musisi yang laris manis, tentu saja itu menempati urutan kedua dalam konteks pecinta musik. Hehe. 

Oke, sekarang mari kita bicara mimpi saya berikutnya.

Saya selalu ingin menerbitkan buku. Memang, saya sudah punya dua buku. Yang satu adalah biografi tentang Michael Jackson berjudul The King Is Dead. Ini sebenarnya hanya terjemahan dari kumpulan tulisan tentang Jacko dari berbagai sumber dan dua buku. Saya menerima job ini murni karena uang. Apalagi waktu itu sedang dalam proses butuh uang muka buat menyicil rumah. Akhirnya, buku ini dikerjakan dalam waktu dua minggu! Heran juga dengan hasilnya. Mungkin juga karena waktu itu belum punya akun twitter, jadi lebih bisa fokus ya. Haha. 

Buku kedua adalah novel adaptasi dari film Generasi Biru karya Garin Nugroho. Ini film dengan bintang utama Slank. Filmnya tak disukai banyak orang, karena aneh. Tapi saya suka, karena di film ini, Garin membuat Slank menari sesuai koreografi. Dan ekspektasi saya terhadap film Garin memang sudah pasti pusing, jadi ya sudahlah, saya siap dengan kenyataan bahwa film itu membuat kening berkerut. 

Saya tak puas dengan dua buku itu, karena bukan murni karya saya. Makanya, sekarang saya sedang menyusun dua buku. Satu novel yang berdasarkan kehidupan saya sebagai jurnalis selama tujuh tahun. Satu lagi biografi band hardcore legendaris dari Bandung.

Selain jadi penulis buku, saya juga ingin punya acara bincang bincang di televisi. Saya rasa dengan kemampuan saya mewawancara dan sedikit cita rasa humor, saya bisa jadi pembawa acara yang baik. Yah mudah-mudahan ada petinggi televisi yang membaca ini.

Ya sudahlah, segitu saja dulu. 

10.50 WIB
Jakarta, Jumat, 13 Januari 2011. 
Dari meja kerja saya di lantai 3, kantor Rolling Stone Indonesia.

Monday, January 09, 2012

Menulis Lagi di Sini, Setelah Sekian Lama

Halo Blogspot, lama tak jumpa.

Maaf saya mengacuhkanmu selama beberapa tahun terakhir. Multiply sempat membuat saya berpaling darimu. Hehe. Sekarang saya rindu menulis di sini. Menulis blog yang tak berharap pamrih. Maklum, menulis di Multiply yang punya fasilitas untuk melihat siapa saja yang membaca tulisan kita, lama-lama membuat motivasi menulis jadi malah karena ingin dibaca.

Segini saja dulu ya. Mudah-mudahan keinginan untuk menulis di sini tumbuh lagi. Bagi saya, menulis di blogspot terasa lebih tulus. Karena tak tahu siapa yang telah membaca tulisan ini, jadi motivasi menulisnya karena memang hanya ingin menulis, bukan karena berharap respon orang.

Ah senang rasanya menulis kembali. 

Tapi maaf ya Blogspot, saya menodai pernyataan ingin menulis tanpa berharap orang membaca tulisan saya dengan memromosikan blog ini di twitter.

Friday, July 08, 2011

Tiga Fase Blogger

Analisa dangkal dan asal-asalan soal motivasi menulis di blog.

Sudah lama tak menulis di sini, kangen juga.

Maksudnya menulis, ya menulis yang benar-benar karena keinginan diri sendiri. Tulisan saya sebelum ini adalah laporan perjalanan saya ke London bersama Coca Cola. Itu artinya, tulisan itu adalah tulisan pesanan alias kompensasi karena saya diajak jalan-jalan ke London untuk mengikuti sesi workshop Maroon 5.  Hehe.

Beberapa menit lalu, seseorang menelpon saya untuk membuat tulisan di blog. Belum deal memang, entah bakal terjadi kesepakatan soal angka entah tidak, yang jelas telepon tadi memberi saya inspirasi untuk menulis blog. Tadinya saya ingin membuat twit soal ini. Tapi setelah dipikir-pikir, apa yang saya rasakan akan lebih tersampaikan lewat blog. Bukan lewat 140 karakter Twitter [saya bahkan memotongnya hingga menyisakan 18 karakter supaya orang meritwit tak terpotong. Hehe]. Sialan kau Twitter. Membuatku kehilangan minat pada menulis blog. 

Oke, langsung saja ah, sebelum kehilangan lagi minat untuk menulis. 

Yang namanya blog, tentu saja opini. Jadi Anda boleh berbeda pendapat boleh juga setuju. Mohon maaf kalau ada yang merasa blogger sejati dan merasa titelnya saya pakai dan seenaknya saya generalisasi perilakunya. Kalau tak setuju, yah tak apa-apa lah. Agama saja masih banyak yang suka mendebat kok. Hehe. 

Setelah merenungkan dengan seksama, sambil mendengar khotib berkhotbah pada waktu sholat Jumat, menurut pengalaman saya, ada tiga fase yang dialami blogger:

Pertama. Fase menulis karena diri sendiri.
Pada fase ini, biasanya seseorang, atau saya setidaknya [meskipun kadang suka agak geli kalau mendengar predikat blogger disematkan pada diri saya karena biasanya blogger itu serius, rajin update, dan memilih wordpress atau blogspot supaya lebih meningkatkan kredibilitas] menulis di blog karena niat itu timbul dari diri sendiri tanpa ada motivasi apa-apa. Hanya ingin menuliskan apa yang ada di kepala tanpa peduli apakah akan ada yang membaca tulisannya nanti. Biasanya isi tulisannya lebih tulus tanpa pretensi apa-apa dan tanpa memikirkan apakah orang lain akan mengerti topiknya atau tidak yang penting mah pokoknya apa yang ada di kepala tertuang yah semacam buku harian lah. Fase ini biasanya sangat menyenangkan. Setidaknya ini yang saya alami waktu pertama membuat blog di blogspot. Menulisnya terasa santai, tak ada beban, apa yang ada di kepala langsung ditulis. Fase ini biasanya ketika alamat blognya belum dikenal banyak orang.

Kedua. Fase menulis karena ingin mendapat perhatian orang.
Setelah alamat blog dikenal banyak orang, lalu kita sadar bahwa sudah ada orang-orang yang membaca tulisan kita, motivasi bergeser. Mulai ada pertimbangan. Tak sembarang topik kita tulis. Biasanya sebelum menulis sesuatu, ada pertanyaan dalam hati, apakah topik ini akan menarik dibaca orang? Fase ini saya alami ketika saya pindah ke Multiply. Di blogspot, tak banyak yang tahu blog saya, atau minimal kalaupun ada yang baca saya tak tahu kecuali mereka meninggalkan komen. Nah, begitu masuk Multiply dengan fitur yang membuat kita bisa tahu tulisan itu dibaca siapa dan berapa kali, sialannya berpengaruh pada pilihan topik penulisan. Yah mungkin kalau dalam istilah Twitter: pencitraan. Atau dalam istilah agama Islam: riya alias melakukan sesuatu karena ingin dipuji. Mau tak mau di fase ini, pembaca alias orang lain jadi pertimbangan juga ketika menulis. 

Ketiga. Fase menulis karena pesanan orang lain.
Saya baru dua kali mengalaminya, seperti yang saya ceritakan di awal tulisan. Blog dimanfaatkan untuk cari uang—yang pertama saya tak dapat uang tapi telepon genggam. Ini jadi semacam advertorial kalau di media massa. Seakan-akan tulisan itu berita padahal sebenarnya iklan. Atau kalau dalam konteks blog, seakan-akan tulisan itu murni datang dari diri sendiri padahal ada pesanan. Tapi di fase ini justru seakan-akan merasa dapat pengakuan. Wah, ternyata ada orang yang percaya blog kita dan menjadikannya untuk ajang promosi mereka. Sell out? Ah saya tak tahu, yang jelas jika kedua pihak sama-sama diuntungkan itu namanya berbagi rejeki dan informasi. Hehe. D  

Nah, kalau tulisan ini adalah gabungan dari ketiga fase itu. Ini timbul karena rasa kangen tidak menulis karena diri sendiri alias bukan karena pekerjaan. Juga karena ingin mendapat perhatian orang. Terakhir, untuk mengupdate blog, siapa tahu ada yang ingin memesan tulisan untuk di blog saya setidaknya ketika calon klien melihat blog saya mereka akan melihat bahwa ada update yang lumayan baru di blog ini bukan blog yang lama ditinggalkan.

Terakhir, yang ingin saya katakan soal menulis di blog. Apapun motivasinya, selama tak menyebar fitnah, sah-sah saja lah.