Tuesday, November 28, 2006

Bisakah Cowok dan Cewek Tulus Bersahabat?





Pertanyaan
itu sering menghantui saya.



Maksudnya, benar-benar bersahabat. Tanpa pretensi. Walaupun memang, yang
namanya manusia pasti selalu dihubungkan oleh kepentingan-kepentingan. Kan katanya tidak ada
kawan dan lawan abadi. Yang ada, hanya kepentingan abadi.



Tapi, kalau hubungan itu dalam konteks cowok dan cewek, bisakah murni
bersahabat tanpa ada daya tarik fisik maupun seksual? Pernah nonton film When
Harry Met Sally kan?
Di situ Harry bilang, cewek dan cowok tidak bisa berteman. Karena selalu ada
daya tarik seksual terlibat.




“Cowok
mah nggak pernah kosong,” kata seorang teman cowok.












Maksudnya,
ketika cowok berteman dengan cewek, pasti ada maunya. Apalagi kalau kadar
pertemanannya sangat dekat. Apalagi kalau si cowok tidak punya pacar. Pasti ada
maunya. Itu yang diyakini sebagian besar teman saya. Termasuk saya.



Saya
punya sahabat cewek. Dan harus saya akui, ketika di awal saya ingin berteman
dengan dia, itu karena daya tarik fisik. Saya pikir dia manis. Makanya, saya
senang berteman dengannya. Pernah ada masanya, saya menyukai dia. Bahkan,
kunjungan ke kosannya pun, bukan semata-mata mencari teman ngobrol. Pernah ada
misi lah.






Saya
tidak pernah mengatakan perasaan saya padanya. Di tengah-tengah proses
pertemanan kami, dia punya pacar. Plus, saya juga tidak pernah sepenuh hati
padanya. Entah apa yang kurang. Perasaan saya, atau keberanian saya. [Belakangan
sih, dia tahu juga bagaimana perasaan saya. Setelah saya punya pacar, di suatu
hari saya bilang kalau saya pernah suka sama dia].






Itu
makanya saya kadang masih suka memertanyakan bisakah cewek dan cowok
bersahabat. Saya tidak tahu ya dari sudut pandang cewek. Tapi saya selalu
sedikit curiga dengan seorang cowok yang memberi perhatian lebih pada teman
ceweknya. Atau, seorang cowok yang mengajak jalan teman ceweknya. Oke lah,
mereka mengatakan bersahabat. Tetap saja, saya selalu memandang curiga hal itu.
Sekali lagi, apalagi kalau si cowok tidak punya pacar. Mungkin ada tempat
kosong yang coba diisi. Bisa merasakan jalan dengan cewek untuk beberapa jam.






“Kalau
cewek mah, biasanya lebih tulus dibanding cowok,” kata teman saya lagi.






Pacar
saya tadi bilang diajak makan sahabatnya. Lantas, mereka nonton. Saya sih
sekarang sudah percaya sama pacar saya. Tapi itu tadi. Kadang saya masih suka
curiga sama niat cowok. Makanya, sekarang saya tidak pernah mau janjian makan atau
nonton dengan teman cewek berdua saja.




Mungkin
juga karena saya tidak kenal baik dengan sahabat pacar saya. Bawaannya
jadi
sedikit cemburu. Mungkin karena jam terbang saya berpacaran yang baru
dua kali,
membuat saya kurang santai menanggapi hal ini. Mungkin karena saya
tidak punya banyak sahabat cewek. Mungkin karena sebagian besar
teman cowok yang saya tanya, mengatakan tidak pernah ada itu cowok yang
murni
bersahabat dengan cewek.






Atau,
mungkin juga karena perut lapar, pikiran saya mulai aneh.








Bisakah Cowok dan Cewek Tulus Bersahabat?

Pertanyaan itu sering menghantui saya.

Maksudnya, benar-benar bersahabat. Tanpa pretensi. Walaupun memang, yang namanya manusia pasti selalu dihubungkan oleh kepentingan-kepentingan. Kan katanya tidak ada kawan dan lawan abadi. Yang ada, hanya kepentingan abadi.

Tapi, kalau hubungan itu dalam konteks cowok dan cewek, bisakah murni bersahabat tanpa ada daya tarik fisik maupun seksual? Pernah nonton film When Harry Met Sally kan? Di situ Harry bilang, cewek dan cowok tidak bisa berteman. Karena selalu ada daya tarik seksual terlibat.

“Cowok mah nggak pernah kosong,” kata seorang teman cowok.

Maksudnya, ketika cowok berteman dengan cewek, pasti ada maunya. Apalagi kalau kadar pertemanannya sangat dekat. Apalagi kalau si cowok tidak punya pacar. Pasti ada maunya. Itu yang diyakini sebagian besar teman saya. Termasuk saya.

Saya punya sahabat cewek. Dan harus saya akui, ketika di awal saya ingin berteman dengan dia, itu karena daya tarik fisik. Saya pikir dia manis. Makanya, saya senang berteman dengannya. Pernah ada masanya, saya menyukai dia. Bahkan, kunjungan ke kosannya pun, bukan semata-mata mencari teman ngobrol. Pernah ada misi lah.

Saya tidak pernah mengatakan perasaan saya padanya. Di tengah-tengah proses pertemanan kami, dia punya pacar. Plus, saya juga tidak pernah sepenuh hati padanya. Entah apa yang kurang. Perasaan saya, atau keberanian saya. [Belakangan sih, dia tahu juga bagaimana perasaan saya. Setelah saya punya pacar, di suatu hari saya bilang kalau saya pernah suka sama dia].

Itu makanya saya kadang masih suka memertanyakan bisakah cewek dan cowok bersahabat. Saya tidak tahu ya dari sudut pandang cewek. Tapi saya selalu sedikit curiga dengan seorang cowok yang memberi perhatian lebih pada teman ceweknya. Atau, seorang cowok yang mengajak jalan teman ceweknya. Oke lah, mereka mengatakan bersahabat. Tetap saja, saya selalu memandang curiga hal itu. Sekali lagi, apalagi kalau si cowok tidak punya pacar. Mungkin ada tempat kosong yang coba diisi. Bisa merasakan jalan dengan cewek untuk beberapa jam.

“Kalau cewek mah, biasanya lebih tulus dibanding cowok,” kata teman saya lagi.

Pacar saya tadi bilang diajak makan sahabatnya. Lantas, mereka nonton. Saya sih sekarang sudah percaya sama pacar saya. Tapi itu tadi. Kadang saya masih suka curiga sama niat cowok. Makanya, sekarang saya tidak pernah mau janjian makan atau nonton dengan teman cewek berdua saja.

Mungkin juga karena saya tidak kenal baik dengan sahabat pacar saya. Bawaannya jadi sedikit cemburu. Mungkin karena jam terbang saya berpacaran yang baru dua kali, membuat saya kurang santai menanggapi hal ini. Mungkin karena saya tidak punya banyak sahabat cewek. Mungkin karena sebagian besar teman cowok yang saya tanya, mengatakan tidak pernah ada itu cowok yang murni bersahabat dengan cewek.

Atau, mungkin juga karena perut lapar, pikiran saya mulai aneh.

Monday, November 27, 2006

Saya Membunuh Orang Malam Tadi

Ini tentang mimpi aneh yang saya alami lagi malam tadi.

Adegannya terpotong-potong. Meloncat dari satu adegan ke adegan lain. Pertama, saya mengejar seseorang di jalan raya dekat tempat tinggal waktu kecil [umur satu tahun sampai kelas dua SD], Jalan Raya Narogong. Di mimpi itu, saya marah. Entah siapa yang saya kejar, saya tidak ingat. Yang jelas, amarah saya sampai menyesakkan dada. Saya kejar terus orang itu. Tapi dia berhasil melarikan diri.

Tiba-tiba, adegannya jadi ada di depan konser The Rolling Stones! Mick Jagger ada di depan mata saya. Dekat sekali. Saya ada di deretan paling depan. Panggungnya besar sekali. Tata cahayanya memancarkan warna biru dan putih yang menyilaukan. Perasaan saya berubah menjadi senang. Akhirnya saya bisa menonton mereka. Ah sangat senang. Mungkin saya bisa masuk ke backstage, begitu pikir saya.

Dan adegan pun langsung berubah. Saya terlibat perkelahian dengan seorang laki-laki brewokan. Kami berkelahi sangat singkat. Saya marah lagi. Dada saya sesak karena amarah. Saya lupa bagaimana adegannya. Yang jelas, laki-laki itu akhirnya mati tertusuk tombak saya. Darah mengalir deras dari dadanya. Mata dia melotot. Mulutnya menganga. Mayatnya, saya sembunyikan di sebuah rumah.

Dari sini, adegan malah pindah ke sebuah toko sepatu. Ada diskon hingga lima puluh persen. Tokonya mirip Sports Station lah. Menjual produk Converse, Nike hingga Vans. Di mimpi itu, saya teringat pacar. Saya ingin membelikan dia sepatu, tapi lupa berapa nomor sepatunya. Dia punya Vans juga Converse. Dan sepertinya nomernya berbeda. Di mimpi itu, saya ingin membelikan dia Vans, tapi lupa ukurannya. Ketika saya sedang melihat-lihat sepatu, adegan pindah lagi ke rumah tempat saya menyembunyikan mayat laki-laki yang saya bunuh tadi.

Teman saya masuk ke rumah itu. Tidak jelas siapa teman saya itu, yang pasti saya menganggapnya teman saya. Dia melihat mayat yang bersimbah darah dengan tombak menancap di dada. Tapi, kali ini malah ada dua mayat laki-laki. Di sini, perasaan saya jadi takut. Seperti perasaan ketika mimpi buruk.

Sesaat setelah pintu rumah ditutup, adegan langsung pindah ke dalam pesawat. Entah mau pergi ke mana. Adegan ini cuma bertahan sebentar.

Tiba-tiba, saya kembali ke suasana konser lagi. Saya lupa, apakah masih di konser The Stones atau sudah pindah. Mungkin sudah tidak penting lagi konsernya. Karena di situ, seorang laki-laki mencopet HP saya. Dia panik karena aksinya kepergok. Saya marah. Saya berteriak. Dada saya sesak lagi karena amarah. Saya kejar orang itu. Saya tantang dia berkelahi. Seorang teman si copet tiba-tiba datang.

Dalam berapa jurus, si copet jatuh. Temannya tidak berani menyerang saya setelah melihat si copet jatuh. Saya injak dada si copet. Tangannya saya pelintir. Amarah saya makin menjadi. Saya injak-injak terus dada si copet. Dia merintih kesakitan. Tiba-tiba, saya baru sadar kalau si copet itu badannya jadi sangat kurus. Seperti badan orang-orang Etiopia yang sering saya lihat di berita waktu masih kecil. Tapi saya tetap menginjak orang itu. Tidak peduli walaupun dia kesakitan.

Dan saya pun terbangun karena ingin pipis.

Saya Membunuh Orang Malam Tadi

Ini tentang mimpi aneh yang saya alami lagi malam tadi.



Adegannya terpotong-potong.
Meloncat dari satu adegan ke adegan lain. Pertama, saya mengejar
seseorang di jalan raya dekat tempat tinggal waktu kecil [umur satu
tahun sampai kelas dua SD], Jalan Raya Narogong. Di mimpi itu, saya
marah. Entah siapa yang saya kejar, saya tidak ingat. Yang jelas,
amarah saya sampai menyesakkan dada. Saya kejar terus orang itu. Tapi
dia berhasil melarikan diri.



Tiba-tiba, adegannya jadi ada di depan konser The Rolling Stones! Mick
Jagger ada di depan mata saya. Dekat sekali. Saya ada di deretan paling
depan. Panggungnya besar sekali. Tata cahayanya memancarkan warna biru
dan putih yang menyilaukan. Perasaan saya berubah menjadi senang.
Akhirnya saya bisa menonton mereka. Ah sangat senang. Mungkin saya bisa
masuk ke backstage, begitu pikir saya.



Dan adegan pun langsung berubah. Saya terlibat perkelahian dengan
seorang laki-laki brewokan. Kami berkelahi sangat singkat. Saya marah
lagi. Dada saya sesak karena amarah. Saya lupa bagaimana adegannya.
Yang jelas, laki-laki itu akhirnya mati tertusuk tombak saya. Darah
mengalir deras dari dadanya. Mata dia melotot. Mulutnya menganga.
Mayatnya, saya sembunyikan di sebuah rumah.



Dari sini, adegan malah pindah ke sebuah toko sepatu. Ada diskon hingga
lima puluh persen. Tokonya mirip Sports Station lah. Menjual produk
Converse, Nike hingga Vans. Di mimpi itu, saya teringat pacar. Saya
ingin membelikan dia sepatu, tapi lupa berapa nomor sepatunya. Dia
punya Vans juga Converse. Dan sepertinya nomernya berbeda. Di mimpi
itu, saya ingin membelikan dia Vans, tapi lupa ukurannya. Ketika saya
sedang melihat-lihat sepatu, adegan pindah lagi ke rumah tempat saya
menyembunyikan mayat laki-laki yang saya bunuh tadi.



Teman saya masuk ke rumah itu. Tidak jelas siapa teman saya itu, yang
pasti saya menganggapnya teman saya. Dia melihat mayat yang bersimbah
darah dengan tombak menancap di dada. Tapi, kali ini malah ada dua
mayat laki-laki. Di sini, perasaan saya jadi takut. Seperti perasaan
ketika mimpi buruk.



Sesaat setelah pintu rumah ditutup, adegan langsung pindah ke dalam
pesawat. Entah mau pergi ke mana. Adegan ini cuma bertahan sebentar.



Tiba-tiba, saya kembali ke suasana konser lagi. Saya lupa, apakah masih
di konser The Stones atau sudah pindah. Mungkin sudah tidak penting
lagi konsernya. Karena di situ, seorang laki-laki mencopet HP saya. Dia
panik karena aksinya  kepergok. Saya marah. Saya berteriak. Dada
saya sesak lagi karena amarah. Saya kejar orang itu. Saya tantang dia
berkelahi. Seorang teman si copet tiba-tiba datang.



Dalam berapa jurus, si copet jatuh. Temannya tidak berani menyerang
saya setelah melihat si copet jatuh. Saya injak dada si copet.
Tangannya saya pelintir. Amarah saya makin menjadi. Saya injak-injak
terus dada si copet. Dia merintih kesakitan. Tiba-tiba, saya baru sadar
kalau si copet itu badannya jadi sangat kurus. Seperti badan
orang-orang Etiopia yang sering saya lihat di berita waktu masih kecil.
Tapi saya tetap menginjak orang itu. Tidak peduli walaupun dia
kesakitan.



Dan saya pun terbangun karena ingin pipis.




Wednesday, November 22, 2006

Yang Bikin Kesal Sewaktu Naek Angkot

Ini keluhan seorang cheap bastard tidak tahu diri, ingin murah meriah tapi banyak maunya. Hehe.

1. Penumpang yang duduk di pintu masuk--di kursi ekstra, yang menghadap ke belakang serta di kursi paling pinggir--tapi tidak mau turun dulu dari angkot waktu ada orang yang turun. Padahal, kalau dia mau turun sebentar akan sangat membantu orang yang turun.

2. Angkot kosong, tapi ada penumpang yang duduk di pintu masuk dan tidak mau menggeser ke dalam padahal dia mengganggu orang yang mau naik angkot.

3. Penumpang yang duduknya miring, sehingga membuat kursi lebih sempit. Apalagi kalau yang duduk itu pake rok mini. Jadi, dia tidak akan duduk lurus. Kalau pake rok, terus tahu resikonya bakal terlihat orang banyak di angkot, ya mendingan jangan naek angkot atuh!

4. Penumpang yang selalu menutup hidungnya dengan sapu tangan atau tissue. Padahal dia tidak sedang pilek. Tapi sepanjang perjalanan terus menutup hidung, seperti yang tidak ingin ada di sana. Seperti yang hina. Kalau begini kan, kadang-kadang suka berpikir, apa badan saya yang bau ya? Hahaha.

5. Laju angkot yang super ekstrem. Antara lambat sekali atau ngebut sekali. Apalagi angkot S01 Blok M -- Pondok Labu dan teman-temannya, S11 dan D02. Kalau sedang pelan, mereka akan melaju seperti laju perahu di anjungan Istana Boneka. Tapi kalau ngebut, bisa bikin jantung berdebar keras. Dan yang lebih menyebalkan lagi, kalau mereka berhenti di setiap gang. Setiap ada orang jalan kaki, mereka tunggu. Dikiranya, orang-orang itu bakal naek angkot mereka! Bah. Kegeeran! :p

6. Sedang enak-enak duduk di kursi depan, tiba-tiba ada penumpang baru yang juga duduk di kursi depan. Kalau di kursi belakang sudah tidak ada tempat lagi sih bolehlah. Tapi, kalau di kursi belakang masih ada, terus orang itu malah duduk di kursi depan juga, itu sih sangat menyebalkan.

7. Angkot yang lampu dalamnya berwarna biru. Seperti mobil-mobil gaul itu loh. Begitu duduk di dalam, lampu biru itu biasanya malah bikin pusing. Apalagi kalau sopir angkotnya memutar house music jedang jedung. Ini pernah saya alami di angkot S11 Lebak Bulus -- Pasar Minggu.

Ah sudahlah. Kalau mau enak mah, memang mendingan naek taksi. Tapi, karena pada dasarnya saya seorang cheap bastard, selama masih bisa naek angkot, saya pilih angkot. Hehe. Walaupun memang, ada uang ada gaya.

Yang Bikin Kesal Sewaktu Naik Angkot

Ini keluhan seorang cheap bastard tidak tahu diri, ingin murah meriah tapi banyak maunya. Hehe.



1.
Penumpang yang duduk di pintu masuk--di kursi ekstra, yang menghadap ke
belakang serta di kursi paling pinggir--tapi tidak mau turun dulu dari
angkot waktu ada orang yang turun. Padahal, kalau dia mau turun
sebentar akan sangat membantu orang yang turun.




2. Angkot kosong, tapi ada
penumpang yang duduk di pintu masuk dan tidak mau menggeser ke dalam
padahal dia mengganggu orang yang mau naik angkot.




3. Penumpang yang duduknya miring,
sehingga membuat kursi lebih sempit. Apalagi kalau yang duduk itu pake
rok mini. Jadi, dia tidak akan duduk lurus. Kalau pake rok, terus tahu
resikonya bakal terlihat orang banyak di angkot, ya mendingan jangan
naek angkot atuh!




4. Penumpang yang selalu menutup
hidungnya dengan sapu tangan atau tissue. Padahal dia tidak sedang
pilek. Tapi sepanjang perjalanan terus menutup hidung, seperti yang
tidak ingin ada di sana. Seperti yang hina. Kalau begini kan,
kadang-kadang suka berpikir, apa badan saya yang bau ya? Hahaha.




5. Laju angkot yang super ekstrem.
Antara lambat sekali atau ngebut sekali. Apalagi angkot S01 Blok M --
Pondok Labu dan teman-temannya, S11 dan D02. Kalau sedang pelan, mereka
akan melaju seperti laju perahu di anjungan Istana Boneka. Tapi kalau
ngebut, bisa bikin jantung berdebar keras. Dan yang lebih menyebalkan
lagi, kalau mereka berhenti di setiap gang. Setiap ada orang jalan
kaki, mereka tunggu. Dikiranya, orang-orang itu bakal naek angkot
mereka! Bah. Kegeeran! :p




6. Sedang enak-enak duduk di kursi
depan, tiba-tiba ada penumpang baru yang juga duduk di kursi depan.
Kalau di kursi belakang sudah tidak ada tempat lagi sih bolehlah. Tapi,
kalau di kursi belakang masih ada, terus orang itu malah duduk di kursi
depan juga, itu sih sangat menyebalkan.



7. Angkot yang lampu dalamnya berwarna biru. Seperti mobil-mobil gaul
itu loh. Begitu duduk di dalam, lampu biru itu biasanya malah bikin
pusing. Apalagi kalau sopir angkotnya memutar house music jedang
jedung. Ini pernah saya alami di angkot S11 Lebak Bulus -- Pasar Minggu.



Ah sudahlah. Kalau mau enak mah, memang mendingan naek taksi. Tapi,
karena pada dasarnya saya seorang cheap bastard, selama masih bisa naek
angkot, saya pilih angkot. Hehe. Walaupun memang, ada uang ada gaya.




Dasar Bajakan!

Tadinya saya mau bilang sialan di pembuka tulisan ini.

Terus, saya bicara soal pengalaman saya menikmati DVD bajakan. Kalau soal gambar jelek, teks ngaco atau film yang tidak bisa diputar di akhir sih, itu biasa. Nah, tadinya saya mau menulis soal merasa tertipu ketika memutar film Jet Li yang Fearless.

Saya melihat DVD tergeletak di meja fotografer. Langsung saya sambar, putar di komputer saya. Ketika saya putar, di menu malah tertulis film "An Extremely Goofie Movie 2". Tadinya, saya menulis 'berharap menonton Jet Li, eh malah dikasih Goofie. Ya sudah, saya tonton Goofie saja.'

Eh, tau-tau, pas saya mengetik tulisan ini dan film Goofie-nya saya hide, tiba-tiba kenapa suaranya jadi bak bik buk orang berkelahi? Sialan. Ternyata, setelah beberapa menit filmnya jadi benar-benar Fearless-nya Jet Li.

Dasar bajakan...

Tuesday, November 21, 2006

Dasar Bajakan!

Tadinya saya mau bilang sialan di pembuka tulisan ini.



Terus, saya bicara soal pengalaman
saya menikmati DVD bajakan. Kalau soal gambar jelek, teks ngaco atau
film yang tidak bisa diputar di akhir sih, itu biasa. Nah, tadinya saya
mau menulis soal merasa tertipu ketika memutar film Jet Li yang
Fearless.




Saya melihat DVD tergeletak di meja
fotografer. Langsung saya sambar, putar di komputer saya. Ketika saya
putar, di menu malah tertulis film "An Extremely Goofie Movie 2".
Tadinya, saya menulis 'berharap menonton Jet Li, eh malah dikasih
Goofie. Ya sudah, saya tonton Goofie saja.'




Eh, tau-tau, pas saya mengetik
tulisan ini dan film Goofie-nya saya hide, tiba-tiba kenapa suaranya
jadi bak bik buk orang berkelahi? Sialan. Ternyata, setelah beberapa
menit filmnya jadi benar-benar Fearless-nya Jet Li.



Dasar bajakan...




Monday, November 20, 2006

Mbah Surip di Jazz Goes To Campus

Ini tentu saja tentang Mbah Surip.

Penyanyi tua, gimbal, katanya sih pengamen--sebelum dia sepopuler sekarang, saya pernah lihat albumnya di toko kaset, judulnya Reggae something gitu lah lupa--aneh, seperti orang orang gila, dan tenar dengan kalimat "I love you full" serta teriakan "Ah...ah...ah...ah...aaah..." Mengingatkan saya pada teriakannya The Count di Sesame Street.

Kemarin saya lihat dia lagi, di Jazz Goes To Campus. Dia tampil di sesinya Bertha and Friends. Malam itu, di Cozy Stage, Bertha membawa penyanyi lain. Tiga orang anak kecil--salah satunya putrinya, bule--serta Mbah Surip.

Mbah Surip masih dengan rompi jins-nya. Sialan. Melihat Mbah Surip memakai rompi jins, saya jadi berpikir ulang kalau mau memakai rompi jins saya. Takut disamakan dengan Mbah Surip. Hehe.

Dan malam itu, penonton terhibur oleh penampilan Mbah Surip. Sebagian besar tertawa. Saya sendiri, kadang-kadang masih suka bertanya-tanya, di mana letak lucunya Mbah Surip. Mungkin karena orang itu absurd, berteriak-teriak, selalu tertawa, orang-orang jadi pengen ikut tertawa.

Dia membawakan empat lagu. Pertama, katanya sih judulnya "Mak Erot". Kurang lebih bercerita soal Mak Erot tentunya. Saya kurang bisa menangkap liriknya--dan tidak bisa mengingatnya sekarang. Tapi, penonton tertawa mendengarnya. Kedua, "Kepolisian". Lagunya bercerita soal adiknya yang menjual ganja, nah yang ditangkap polisi malah Mbah Surip karena mirip dengan adiknya. Kurang lebih begitulah. Ketiga, "Uka Uka". Something tentang setan lah. "Ini lagu jazz metal," katanya sebelum membawakan lagu itu. Riff gitarnya memang mencoba ala-ala metal begitulah. Dan dia bernyanyi seperti berteriak-teriak.

Lagu penutup rasanya lagu andalan dia. Mungkin judulnya "Bangun Tidur". Penonton sepertinya sudah familiar dengan lagu ini. Saya baru mendengarnya dua kali. Sebelumnya pernah melihat dia membawakan lagu ini di Tribute to Imanez. Lagu bernuansa reggae ini bercerita soal bangun tidur, terus ngajak olahraga, tapi kalau tidak sempat ya...tidur lagi. Liriknya sangat sederhana. Tapi catchy. Mudah dinyanyikan pula--baik itu oleh mereka yang baru pertama mendengarnya. Jadinya, crowd JGTC bisa dibuat bernyanyi bersama sambil tersenyum. Apalagi pas part lirik "tidur lagi". Di tengah kebingungan saya mencari tahu di mana letak lucunya Mbah Surip, harus saya akui, kalau orang itu penampilan panggungnya bisa diacungi jempol.

Ah..ah...ah...aah...

Mbah Surip di Jazz Goes To Campus

Ini tentu saja tentang Mbah Surip.



Penyanyi tua, gimbal, katanya sih
pengamen--sebelum dia sepopuler sekarang, saya pernah lihat albumnya di
toko kaset, judulnya Reggae something gitu lah lupa--aneh, seperti
orang orang gila, dan tenar dengan kalimat "I love you full" serta
teriakan "Ah...ah...ah...ah...aaah..." Mengingatkan saya pada
teriakannya The Count di Sesame Street.



Kemarin saya lihat dia lagi, di Jazz Goes To Campus. Dia tampil di
sesinya Bertha and Friends. Malam itu, di Cozy Stage, Bertha membawa
penyanyi lain. Tiga orang anak kecil--salah satunya putrinya,
bule--serta Mbah Surip.



Mbah Surip masih dengan rompi jins-nya. Sialan. Melihat Mbah Surip
memakai rompi jins, saya jadi berpikir ulang kalau mau memakai rompi
jins saya. Takut disamakan dengan Mbah Surip. Hehe.



Dan malam itu, penonton terhibur oleh penampilan Mbah Surip. Sebagian
besar tertawa. Saya sendiri, kadang-kadang masih suka bertanya-tanya,
di mana letak lucunya Mbah Surip. Mungkin karena orang itu absurd,
berteriak-teriak, selalu tertawa, orang-orang jadi pengen ikut tertawa.




Dia membawakan empat lagu. Pertama, katanya sih judulnya "Mak Erot".
Kurang lebih bercerita soal Mak Erot tentunya. Saya kurang bisa
menangkap liriknya--dan tidak bisa mengingatnya sekarang. Tapi,
penonton tertawa mendengarnya. Kedua, "Kepolisian". Lagunya bercerita
soal adiknya yang menjual ganja, nah yang ditangkap polisi malah Mbah
Surip karena mirip dengan adiknya. Kurang lebih begitulah. Ketiga, "Uka
Uka". Something tentang setan lah. "Ini lagu jazz metal," katanya
sebelum membawakan lagu itu. Riff gitarnya memang mencoba ala-ala metal
begitulah. Dan dia bernyanyi seperti berteriak-teriak.



Lagu penutup rasanya lagu andalan dia. Mungkin judulnya "Bangun Tidur".
Penonton sepertinya sudah familiar dengan lagu ini. Saya baru
mendengarnya dua kali. Sebelumnya pernah melihat dia membawakan lagu
ini di Tribute to Imanez. Lagu bernuansa reggae ini bercerita soal
bangun tidur, terus ngajak olahraga, tapi kalau tidak sempat ya...tidur
lagi. Liriknya sangat sederhana. Tapi catchy. Mudah dinyanyikan
pula--baik itu oleh mereka yang baru pertama mendengarnya. Jadinya,
crowd JGTC bisa dibuat bernyanyi bersama sambil tersenyum. Apalagi pas
part lirik "tidur lagi". Di tengah kebingungan saya mencari tahu di
mana letak lucunya Mbah Surip, harus saya akui, kalau orang itu
penampilan panggungnya bisa diacungi jempol.



Ah..ah...ah...aah...



Friday, November 17, 2006

Miskol Misterius

Ini terjadi kira-kira setahun lalu. Kalau tidak salah.

Waktu itu, ada undangan pernikahan seorang sahabat. Jam sebelas siang di Mesjid Taman Mini. Jam sembilan pagi, setelah terbangun, saya langsung ke kamar teman di sebelah kamar saya. Maklum, kamar kos saya tipenya yang dua kamar satu kamar mandi di dalam. Jadi, saya bisa masuk ke kamar teman saya lewat pintu kamar mandi itu.

Teman saya masih tertidur pulas. Ketika saya bangunkan dia, tampangnya masih berantakan. Matanya penuh belek. Rambut acak-acakan. Suaranya parau. "Lima menit lagi deh. Lo mandi aja duluan ya," kata dia ketika saya ingatkan hari itu ada undangan pernikahan.

Beres mandi, saya masuk ke kamar dia lagi. Ah, akhirnya dia terbangun juga. Duduk di depan TV, kebingungan. Memandangi HP-nya.

"Kenapa sih, kok kayak yang bingung gitu?" tanya saya.

"Nggak. Ini ada yang miskol sampe empat belas kali. Kasihan aja, nggak sempet keangkat sama gue. Siapa ya?" jawabnya.

Saya tidak hiraukan dia. Saya berganti pakaian. Dan menyuruh dia bersiap-siap. Begitu kembali ke kamar teman saya, dia masih saja terduduk. Bingung. Memandangi HP.

"Ternyata si Agu, Leh. Miskol sampe empat belas kali. Tapi, siapa ya si Agu ini? Gue nggak kenal. Apa salah ketik kali ya? Si Ayu atau si Aga kali."

"Nggak mungkin lah salah ketik mah. Masa' ada HP bisa salah ketik miskolnya. Yah, itu kan HP lo, harusnya lo kenal dong, siapa aja yang ada di situ."

"Tapi siapa ya? Si Agu...kasihan juga. Sampe empat belas kali. Mau ditelepon lagi, nggak ada pulsa."

Saya juga jadi bingung. Akhirnya, saya ke kamar saya lagi. Karena teman saya tidak terdengar masuk ke kamar mandi--padahal janjinya mau langsung mandi, biar bisa segera pergi ke acara pernikahan--saya datangi lagi kamarnya.

Kali ini, wajahnya sudah tidak bingung.

"Oh ternyata Leh, ini teh ada miskol hari ini, 14 Agu..."

Miskol Misterius

Ini terjadi kira-kira setahun lalu. Kalau tidak salah.




Waktu
itu, ada undangan pernikahan seorang sahabat. Jam sebelas siang di
Mesjid Taman Mini. Jam sembilan pagi, setelah terbangun, saya langsung
ke kamar teman di sebelah kamar saya. Maklum, kamar kos saya tipenya
yang dua kamar satu kamar mandi di dalam. Jadi, saya bisa masuk ke
kamar teman saya lewat pintu kamar mandi itu.



Teman saya masih tertidur pulas. Ketika saya bangunkan dia, tampangnya
masih berantakan. Matanya penuh belek. Rambut acak-acakan. Suaranya
parau. "Lima menit lagi deh. Lo mandi aja duluan ya," kata dia ketika
saya ingatkan hari itu ada undangan pernikahan.



Beres mandi, saya masuk ke kamar dia lagi. Ah, akhirnya dia terbangun juga. Duduk di depan TV, kebingungan. Memandangi HP-nya.



"Kenapa sih, kok kayak yang bingung gitu?" tanya saya.



"Nggak. Ini ada yang miskol sampe empat belas kali. Kasihan aja, nggak sempet keangkat sama gue. Siapa ya?" jawabnya.



Saya tidak hiraukan dia. Saya berganti pakaian. Dan menyuruh dia
bersiap-siap. Begitu kembali ke kamar teman saya, dia masih saja
terduduk. Bingung. Memandangi HP.



"Ternyata si Agu, Leh. Miskol sampe empat belas kali. Tapi, siapa ya si
Agu ini? Gue nggak kenal. Apa salah ketik kali ya? Si Ayu atau si Aga
kali."



"Nggak mungkin lah salah ketik mah. Masa' ada HP bisa salah ketik
miskolnya. Yah, itu kan HP lo, harusnya lo kenal dong, siapa aja yang
ada di situ."



"Tapi siapa ya? Si Agu...kasihan juga. Sampe empat belas kali. Mau ditelepon lagi, nggak ada pulsa."



Saya juga jadi bingung. Akhirnya, saya ke kamar saya lagi. Karena teman
saya tidak terdengar masuk ke kamar mandi--padahal janjinya mau
langsung mandi, biar bisa segera pergi ke acara pernikahan--saya
datangi lagi kamarnya.



Kali ini, wajahnya sudah tidak bingung.



"Oh ternyata Leh, ini teh ada miskol hari ini, 14 Agu..." 




Wednesday, November 08, 2006

Sekte dari Bandung

Ini cerita dari sekitar tiga tahun lalu.

Saya lupa waktu pastinya. Bahkan, kejadian ini hampir saya lupakan kalau saja teman saya tidak mengungkit-ungkit ini ketika saya bertemu dia di Bandung liburan lebaran kemarin.

Kurun 2003 - 2004 adalah masa-masa sakit hati saya. Biasalah, anak muda. Sakit hati karena percintaan. Nah, di tengah-tengah masa itu, suatu hari saya berkunjung ke rumah mantan yang membuat saya sakit hati.

Saya kaget. Heran. Bingung. Perempuan yang dulu pernah jadi pacar saya sudah berubah. Saya hampir tidak mengenal dia. Mungkin ini perasaan standar laki-laki yang diputusin dan masih berharap si mantan kembali ke pangkuan. Hehe. Yang jelas, waktu itu saya merasa si mantan berubah.

Dia jadi serius. Bicara soal kehidupan. Soal betapa dia ingin punya kehidupan yang lebih baik. Dan ingin mengajak ayah, ibu, serta teman-teman dia untuk ikut berubah. Saya termasuk yang diajak. Waktu itu, saya cuma cengengesan.

Dia cerita soal pertemuan yang sudah didatanginya. Ada kelompok yang bertemu seminggu sekali, di Gedung Kantor Pos Pusat, Bandung, di Jalan Banda. Kalau kamu tahu Bandung, itu ada di depan FO Heritage dan Dakken Cafe. Kelompok itu memberi dia pencerahan. Hidup bisa lebih baik, katanya. Atau kurang lebih begitu yang saya tangkap waktu itu.

Saya langsung berpikir macam-macam. Wah, anak ini seperti yang kena hipnotis. Dicuci otaknya. Makanya, dia langsung bicara serius, nada bicaranya santai. Malah, nyaris seperti yang baru dapat doktrin kuat. Dan dia pun mengajak saya datang ke pertemuan rutin di Rabu malam.

Saya bilang padanya, akan datang. Begitu sampai di rumah, saya hubungi teman saya yang waktu itu bekerja di Tempo News Room.

"Bob, kayaknya ada sekte nih di Bandung. Masa' mantan gue tiba-tiba berubah gitu setelah sering dateng ke sana. Elo pernah denger soal ini nggak? Mereka ada pertemuan tiap Rabu Malam di Kantor Pos Pusat," kata saya pada teman saya.

Saya bilang pada teman saya, kalau ada apa-apa, sekiranya saya tercuci otak sepulangnya dari sana, tolong diselidiki lebih lanjut. Kalau bisa, diblow up di media massa. Biar tahu rasa itu sekte!

Lantas, saya hubungi teman saya. Yang kira-kira, cukup kuat fisik dan pikirannya. Tidak akan tercuci otak. Atau, kalaupun ada bentrok fisik, misalnya saja saya harus melawan anggota sekte itu, saya harus cari teman yang bisa diandalkan. Berani berkelahi.

Si teman bersedia. Berangkatlah kami, Rabu malam itu ke Kantor Pos Pusat. Lantai berapa saya lupa. Setibanya di sana, saya disambut oleh resepsionis. Dia meminta bayaran tujuh ribu per orang untuk masuk sana. Si resepsionis memberi kami sticker nama. Saya pakai nama palsu kalau tidak salah waktu itu--tapi lupa nama apa yang saya gunakan.

Ada sekitar tiga puluh hingga empat puluh orang malam itu. Ada yang terlihat tua, ada yang tampangnya masih mahasiswa. Mantan saya ada di barisan depan saya. Tidak berapa lama kami duduk, seorang laki-laki tampil di depan audiens. Bicaranya lantang, menyapa audiens. Seperti halnya pengkhotbah di program agama Kristen yang biasa ada di TV.

Dada saya berdebar. Hmmm, sekte apa ini? Apa yang akan mereka gunakan untuk mencuci otak orang-orang?

Pembicara pertama itu lantas bicara soal mengubah hidup. Soal jadi bawahan terus. Dan soal kita bisa pegang kendali dalam hidup. [setidaknya itu yang saya tangkap, mungkin juga saya salah]. Lantas, dia bicara soal program bernama Network 21!

Maka, dia menulis soal uang sedikit terus menjadi jutaan per bulan. Untuk kita! Saya kurang paham. Dia juga bilang, kalau awal sih, akan susah paham. Setelah beres dia bicara, dipanggillah orang-orang sukses yang sudah ikut program itu. Ada yang katanya mahasiswa, tapi bisa membiayai adik-adiknya yang banyak. Ada bapak-bapak pensiunan yang bisa punya uang tambahan.

Sialan! Ini sih bukan sekte!

Teman saya ngakak. Karena kesal, baru sekitar lima belas menit di sana, kami pulang. Waktu pamit, mantan saya bertanya apakah akan balik lagi ke ruangan, saya tidak menjawab.

Sepanjang perjalanan, teman saya ngakak. Menertawakan saya. Belakangan, saya dituduh gelap mata. Karena waktu itu masih berharap si mantan kembali, pikiran saya jadi macam-macam.

Apa memang laki-laki suka bertindak bodoh ya kalau sakit hati?

Sekte dari Bandung

Ini cerita dari sekitar tiga tahun lalu.



Saya lupa waktu pastinya. Bahkan, kejadian ini hampir saya lupakan
kalau saja teman saya tidak mengungkit-ungkit ini ketika saya bertemu
dia di Bandung liburan lebaran kemarin.



Kurun 2003 - 2004 adalah masa-masa sakit hati saya. Biasalah, anak
muda. Sakit hati karena percintaan. Nah, di tengah-tengah masa
itu,  suatu hari saya berkunjung ke rumah mantan yang membuat saya
sakit hati.



Saya kaget. Heran. Bingung. Perempuan yang dulu pernah jadi pacar saya
sudah berubah. Saya hampir tidak mengenal dia. Mungkin ini perasaan
standar laki-laki yang diputusin dan masih berharap si mantan kembali
ke pangkuan. Hehe. Yang jelas, waktu itu saya merasa si mantan berubah.



Dia jadi serius. Bicara soal kehidupan. Soal betapa dia ingin punya
kehidupan yang lebih baik. Dan ingin mengajak ayah, ibu, serta
teman-teman dia untuk ikut berubah. Saya termasuk yang diajak. Waktu
itu, saya cuma cengengesan.



Dia cerita soal pertemuan yang sudah didatanginya. Ada kelompok yang
bertemu seminggu sekali, di Gedung Kantor Pos Pusat, Bandung, di Jalan
Banda. Kalau kamu tahu Bandung, itu ada di depan FO Heritage dan Dakken
Cafe. Kelompok itu memberi dia pencerahan. Hidup bisa lebih baik,
katanya. Atau kurang lebih begitu yang saya tangkap waktu itu.



Saya langsung berpikir macam-macam. Wah, anak ini seperti yang kena
hipnotis. Dicuci otaknya. Makanya, dia langsung bicara serius, nada
bicaranya santai. Malah, nyaris seperti yang baru dapat doktrin kuat.
Dan dia pun mengajak saya datang ke pertemuan rutin di Rabu malam.



Saya bilang padanya, akan datang. Begitu sampai di rumah, saya hubungi teman saya yang waktu itu bekerja di Tempo News Room.



"Bob, kayaknya ada sekte nih di Bandung. Masa' mantan gue tiba-tiba
berubah gitu setelah sering dateng ke sana. Elo pernah denger soal ini
nggak? Mereka ada pertemuan tiap Rabu Malam di Kantor Pos Pusat," kata
saya pada teman saya.



Saya bilang pada teman saya, kalau ada apa-apa, sekiranya saya tercuci
otak sepulangnya dari sana, tolong diselidiki lebih lanjut. Kalau bisa,
diblow up di media massa. Biar tahu rasa itu sekte!



Lantas, saya hubungi teman saya. Yang kira-kira, cukup kuat fisik dan
pikirannya. Tidak akan tercuci otak. Atau, kalaupun ada bentrok fisik,
misalnya saja saya harus melawan anggota sekte itu, saya harus cari
teman yang bisa diandalkan. Berani berkelahi.



Si teman bersedia. Berangkatlah kami, Rabu malam itu ke Kantor Pos
Pusat. Lantai berapa saya lupa. Setibanya di sana, saya disambut oleh
resepsionis. Dia meminta bayaran tujuh ribu per orang untuk masuk sana.
Si resepsionis memberi kami sticker nama. Saya pakai nama palsu kalau
tidak salah waktu itu--tapi lupa nama apa yang saya gunakan.



Ada sekitar tiga puluh hingga empat puluh orang malam itu. Ada yang
terlihat tua, ada yang tampangnya masih mahasiswa. Mantan saya ada di
barisan depan saya.
Tidak
berapa lama kami duduk, seorang laki-laki tampil di depan audiens.
Bicaranya lantang, menyapa audiens. Seperti halnya pengkhotbah di
program agama Kristen yang biasa ada di TV.



Dada saya berdebar. Hmmm, sekte apa ini? Apa yang akan mereka gunakan untuk mencuci otak orang-orang?



Pembicara pertama itu lantas bicara soal mengubah hidup. Soal jadi
bawahan terus. Dan soal kita bisa pegang kendali dalam hidup.
[setidaknya itu yang saya tangkap, mungkin juga saya salah]. Lantas,
dia bicara soal program bernama Network 21!



Maka, dia menulis soal uang sedikit terus menjadi jutaan per bulan.
Untuk kita! Saya kurang paham. Dia juga bilang, kalau awal sih, akan
susah paham. Setelah beres dia bicara, dipanggillah orang-orang sukses
yang sudah ikut program itu. Ada yang katanya mahasiswa, tapi bisa
membiayai adik-adiknya yang banyak. Ada bapak-bapak pensiunan yang bisa
punya uang tambahan.



Sialan! Ini sih bukan sekte!



Teman saya ngakak. Karena kesal, baru sekitar lima belas menit di sana,
kami pulang. Waktu pamit, mantan saya bertanya apakah akan balik lagi
ke ruangan, saya tidak menjawab.



Sepanjang perjalanan, teman saya ngakak. Menertawakan saya. Belakangan,
saya dituduh gelap mata. Karena waktu itu masih berharap si mantan
kembali, pikiran saya jadi macam-macam.



Apa memang laki-laki suka bertindak bodoh ya kalau sakit hati?






Friday, November 03, 2006

Dari Blender

Ini kutipan artikel dari blender.com yang baru saja saya baca. Terlalu panjang kalau dikutip semuanya. Tapi, karena ada tentang Indonesianya, ya sudah saya masukan yang ini. Kalau mau baca lebih lengkap, ini link-nya.

http://www.blender.com/guide/articles.aspx?ID=2170

All We Are Saying Is … Give Pop a Chance
Attention, Kofi Annan! Still struggling to bring peace to the world’s trouble spots? You’ve overlooked one potential solution: pop music! Congo already has its answer to the Wu-Tang Clan; Lebanon has its own jailbait teen-pop sensation; and there’s even a Palestinian Nick Lachey. With musicians as outrageous, trashy and decadent as these, can western-style democracy really be far behind?

6. INDONESIA
Nothing — not the Bali terrorist bombings, not the 2004 tsunami, not lingering tensions with separatists in Aceh or former colonial subjects in East Timor — has rocked Indonesia’s populace quite like the controversy over pop star Inul Daratista ’s dance moves. Daratista’s suggestive gyrations, a style known as “drilling,” were denounced in a fatwa by the Indonesian Muslim Council, inspired anti-pornography legislation in the Indonesian parliament and drew jeers from other Indonesian pop singers. The public, of course, loved every minute of it, and the slinky 27-year-old remains the nation’s biggest star.

Inul Daratista = Kelis - Nas

Dari Blender

Ini
kutipan artikel dari blender.com yang baru saja saya baca. Terlalu
panjang kalau dikutip semuanya. Tapi, karena ada tentang Indonesianya,
ya sudah saya masukan yang ini. Kalau mau baca lebih lengkap, ini
link-nya.





http://www.blender.com/guide/articles.aspx?ID=2170




All We Are Saying Is … Give Pop a Chance


Attention,
Kofi Annan! Still struggling to bring peace to the world’s trouble
spots? You’ve overlooked one potential solution: pop music! Congo
already has its answer to the Wu-Tang Clan; Lebanon has its own
jailbait teen-pop sensation; and there’s even a Palestinian Nick
Lachey. With musicians as outrageous, trashy and decadent as these, can
western-style democracy really be far behind?




6. INDONESIA


Nothing — not the Bali terrorist bombings, not the 2004 tsunami, not
lingering tensions with separatists in Aceh or former colonial subjects
in East Timor — has rocked Indonesia’s populace quite like the
controversy over pop star Inul Daratista ’s dance moves. Daratista’s
suggestive gyrations, a style known as “drilling,” were denounced in a
fatwa by the Indonesian Muslim Council, inspired anti-pornography
legislation in the Indonesian parliament and drew jeers from other
Indonesian pop singers. The public, of course, loved every minute of
it, and the slinky 27-year-old remains the nation’s biggest star.






Inul Daratista = Kelis - Nas