Friday, July 27, 2007

pada awalnya vox [bukan] di the rock cafe




“Tugas Aksara adalah membuat musik yang bagus,” kata David Tarigan.

Dan musik bagus versi David, A& R Aksara Records yang baru saja rilis adalah album Pada Awalnya dari Vox. Mereka finalis LA Lights Indiefest yang pertama. Anak-anak Surabaya ini adalah gitaris/vokalis Vega, bassist/vokalis Joseph, kibordis/vokalis Donny, dan drummer/vokalis Mayo.

Album perdana mereka kental sekali pengaruh dari The Beach Boys dan The Beatles. Bahkan, intro lagu Pada Awalnya, mirip sekali dengan Wouldn’t It Be Nice milik Beach Boys. Ketika saya tanya pada David soal kemiripan ini, dan bagaimana supaya batas antara terpengaruh dan meniru tetap terjaga, dia kurang lebih menjawab, “Selama masih alami dan tak dipaksakan, ya tak apa-apa.”

“Intro itu bentuk rasa kagum kami pada The Beach Boys,” tambah Joseph.

Kamis [26/7] malam kemarin, Aksara Records menggelar launching album Pada Awalnya, di The Rock Café. Kata Nasta dari Aksara Records, agak sulit melobby Dhani Ahmad untuk menggelar acara di sana. “Dia mau dengerin dulu musiknya.”

Alah. Look who’s talking! Hahaha. Musik jelek macam Dewi-Dewi saja dia gelar di sana.

Setelah Vox tampil, Denial menutup acara. Ini adalah semacam proyek sampingan Tony dan Doddy The Brandals. Tony, yang di band itu jadi vokalis, terlihat grogi. "Untung udah minum Jack D. Jadi nggak terlalu grogi," katanya sambil cengengesan di panggung.

The Rock Café, interiornya mirip rumah Dhani. Setidaknya, begitu yang sering saya lihat di televisi. Dan yang menarik, adalah WC cowoknya. Banyak sekali foto perempuan telanjang maupun setengah telanjang. Berpelukan. Berduaan. Seperti girl on girl action!

Ah, untuk selera Dhani yang satu ini, saya sepaham.

Tuesday, July 24, 2007

dari syuting klip the brandals




Kompleks Ruko di kantor kami, mati lampu dua kali, Senin [23/7] kemarin.

Pertama, menjelang makan siang. Kedua, menjelang malam. Teman-teman kantor akhirnya berkumpul di depan lobby, yang terang atas bantuan generator. Rasanya seperti anak-anak bimbingan belajar, yang nongkrong di depan tempat kursusnya selepas pelajaran. Haha. Generator hanya bertahan sekira satu jam. Akhirnya, saya memutuskan untuk datang ke syuting video klip the Brandals, di The Trip Café, Kemang. Alasan utamanya sih, karena Tetta, pacar saya sedang liputan ke sana.

Koe, teman kantor, menemani saya ke sana.

Lokasi syutingnya, ada di lantai dua. Bar yang ruangannya tidak lebih besar dari lantai dua Parc. Di dekat pintu masuk, jam delapan malam, rupanya sudah banyak orang berkumpul. Adegan di bar itu, katanya adegan terakhir yang diambil. Konsepnya standar; suasana band yang manggung dalam ruangan kecil, yang nyaris tak berjarak dengan crowd.

Sutradaranya: Andri Lemes.

Video klip yang dibuat the Brandals malam itu, untuk lagu 100% Kontrol, dari album mereka yang akan rilis sebentar lagi, mungkin bulan Agustus kalau saya tidak salah dengar.

Judul albumnya: Brandalisme [masih belum yakin, apakah begini mengejanya]

“Ka, seperti Slankissme aja, pake isme-isme-an,” kata saya pada Eka.

Lantas, dia menjawabnya dengan penjelasan soal inspirasi Brandalisme yang didapatnya dari aksi di London; menghancurkan billboard-billboard iklan. Saya tak bisa menjelaskannya lebih lanjut. Kemarin, waktu Eka menjelaskan itu, ada interupsi. Saya lupa interupsi macam apa. Mungkin Eka bisa menjelaskannya lebih jelas soal judul album itu, kalau dia baca tulisan ini.

100% Kontrol, adalah tipe the usual rock n’ roll song—yang sing along—dan enerjik. Saya tak tahu, apakah para figuran yang sebagian besar laki-laki itu, sudah pernah mendengar lagu ini sebelumnya, atau karena murni catchy hingga mereka bisa ikut bernyanyi dengan Eka. Di belakang Rully, beberapa figuran perempuan menari-nari.

Saya tak bisa mendengar dengan jelas, seperti apa liriknya. Hanya saja, yang paling sering terdengar adalah kata “kontrol.”

Blablabla kontrol!
Kontrol blablabla!
Blablabla kontrol!

Bukan tidak mungkin, ada yang sengaja menghilangkan huruf “r” ketika ikut bernyanyi. Hehe.

Friday, July 13, 2007

Copet adalah Perampok Malu-malu

Tadi melihat [suspect] copet di angkot.

Waktu saya, Arian dan Koe, teman sekos kami hendak masuk angkot yang berisi empat orang plus keranjang jeruk yang memenuhi seperempat angkot, salah seorang dari mereka menyuruh kami duduk di depan.

Seperti de ja vu. Biasanya, penumpang yang selalu menyuruh orang yang akan naek kendaraan umum, mengatur lokasi mereka duduk, pasti copet. Setidaknya, itu yang sering saya temui di Metro Mini, trayek 604. Saya belum pernah bertemu copet di angkot. Tadi, kali pertama saya.

Bukannya saya berprasangka buruk, tapi dugaan saya selalu benar. Tidak pernah meleset kalau soal copet. Makanya, ketika tadi Koe menerima telepon di dalam angkot, salah seorang dari mereka, yang duduk di dekat pintu, terus memandangi HP Koe. Seorang lagi, yang duduk di sebelah saya juga begitu.

Penampilan mereka selalu sama. Rapi. Berkemeja dan celana bahan. Baju dimasukkan. Dan atribut wajib; tas punggung berukuran besar, yang terlihat jelas tak ada isinya. Tapi, mereka tidak berbuat apa-apa. Mungkin mereka tak tertarik mencopet kami, atau susah untuk bergerak, atau karena melihat Arian yang duduk di depan, atau karena kami terlihat tak punya uang—saya dari tadi hanya memegang selembar uang seribu.

Begitu turun, saya teriak “KIRIII!” di sebelah kuping si suspect copet sebelah saya. Sekadar melampiaskan kekesalan. Dia kaget. Haha. Setidaknya, cuma itu yang bisa saya lakukan.

Saya jadi ingat masa-masa naek Metro Mini 604 ketika masih kos di Pancoran dan berkantor di Thamrin. Maaf. Tanpa bermaksud menjelekkan suku Batak, tapi sebagian besar dari mereka berwajah Batak. Kotak-kotak. Menyeramkan. Hehe. [Padahal, saya juga terlihat begitu ya, buat beberapa orang]

Tapi, first encounter saya dengan copet terjadi ketika masih kelas 2 SMA, dalam bus antar kota ke arah Bogor. Rumah saya, di Gunung Putri, sekolah saya, SMA 3 Bogor, harus ditempuh melalui jalan Tol Jagorawi.

Suatu hari, saya melihat orang yang berdiri di sebelah saya, selalu menempel-nempelkan badannya ke penumpang di depan. Tangannya selalu berusaha menempel ke saku depan penumpang di depan.

Saya perhatikan terus orang bertangan jahil itu.
“Apakah ini copet?” begitu pikir saya.
“Wah, seru nih. Melihat copet beraksi di depan mata.”
“Kalau dia marah, dan bertanya pada saya, akan saya jawab, sepatunya bagus!”
Begitu kata saya dalam hati.

Ketika bus hampir sampai di Terminal Baranangsiang, si copet belum juga berhasil. Beberapa kali, dia menengok ke arah saya. Yang tentu saja, dibalas saya dengan pura-pura tak melihatnya. Langsung tengak-tengok ke luar, sambil jantung berdebar.

Masuk Terminal, si copet tiba-tiba berbalik ke arah saya.

“Apaan lo lihat-lihat?” katanya marah.
“Nggak bang,” jawab saya.

Plaaak! Tangannya meninju wajah saya. Orang di sebelah dia, entah kondektur atau komplotannya, langsung menyuruh saya turun.

Sejak saat itu, saya bisa langsung tahu, kalau ada copet di kendaraan umum.

Thursday, July 12, 2007

Simpsons Avatar atau Gara-gara Ryan Koesuma

Tadi buka posting-an Ryan soal avatar Simpson. Dan ini hasil saya iseng utak-atik di sana. Badannya emang kurang pas, tapi pilihannya sedikit banget. Ada yang lebih kurus dari ini, malah kurus banget, mirip orang sakit. Kayaknya ini yang sedikit bisa mewakili sosok saya. Sempet tidak tahu bagaimana caranya nge-save gambar. Sampai nelepon Eric buat nanya nomer telepon Ryan--karena dia lama nge-reply. Untung, Eric ngasih petunjuk. Hehe.


Lumayan lah, kalo lagi nggak ada kerjaan. Kalau mau ikutan, silakan buka http://www.simpsonsmovie.com/main.html.

Monday, July 09, 2007

Bermain Tuhan dan Nyaris Menghadiri Resepsi




Dari juri dadakan, hingga nyaris terjadi kawin dadakan. Ini cerita saya berakhir pekan bersama rombongan Seringai di Malang.

Seringai mengajak saya ke Malang, akhir pekan kemarin. Kamis [5/7] sore, Arian tiba-tiba menawarkan saya ikut dalam rombongan. Sound engineer mereka, Jorghi tidak ikut rombongan, karena ada urusan keluarga di Malang. Dia lewat jalan darat. Satu kursi kosong, akhirnya menjadi rejeki saya, setelah Probo dan Jaymz yang ditawarkan lebih dulu, tidak bisa.

Pesawat Air Asia yang dijadwalkan berangkat jam setengah sembilan malam, ternyata mundur hingga sejam kemudian. Sudah lama saya tidak naik pesawat. Hampir lupa rasanya takut terbang. Kemarin, saya diingatkan lagi. Sialan. Untung saja, cuma sejam di udara.

Kami berangkat ke Surabaya. Dari sana, kawan-kawan dari Malang, menjemput. Perjalanan ke Malang menempuh waktu tiga jam. Sebelum terjadi kasus Lapindo, perjalanan bisa ditempuh dengan waktu satu jam setengah, lewat tol. Tapi, gara-gara Bakrie sialan, semuanya berantakan.

Saya akhirnya bisa melihat langsung akibat kecerobohan Bakrie. Rasanya berbeda, dengan hanya melihatnya di teve. Apalagi ketika kami lewat di sana, malam hari. Benar-benar seperti kota mati, yang biasanya hanya ada di film. Sepanjang jalan, saya melihat bangunan hancur, ditinggalkan penghuninya. Dengan lampu-lampu yang menerangi kawasan lumpur, pemandangan dari mobil, adalah area hitam luas, dengan di beberapa titik asap mengepul. Kalau begini, saya benar-benar kesal sama pemerintah, ataupun Bakrie. Jadi terbayang wajah Ical, dengan dagu majunya, yang semakin menyebalkan dan proyek-proyek pembangunan gedung Bakrie di Jakarta. Kurang ajar!

Entah jam satu atau jam dua pagi, kami tiba di Malang. Dingin. Mengingatkan pada cuaca di daerah Ledeng, Bandung. Dan Malang, ternyata banyak kesamaannya dengan Bandung. Kalau Bandung Kota Kembang, Malang Kota Bunga. Hanya bedanya, Malang belum dipenuhi Factory Outlet, tempat penarik orang-orang Jakarta di akhir pekan. Jalanan di Malang tanpa kemacetan. Di siang hari, udara di Malang masih sejuk. Suasananya mirip Bandung di era 80 atau 90-an.

Dan bicara musik underground, ternyata Malang dan Bandung sudah punya cerita sejak lama. Anak-anak Malang yang sepanjang akhir pekan menemani kami—mereka menamakan dirinya Kolektif Radiasi—ternyata sudah sering berkunjung ke Bandung, tepatnya ke Ujung Berung. Kata Ook, salah seorang dari anggota kolektif, mereka belajar cara menggelar event dan membuat zine dari anak-anak Ujung Berung. Dan katanya, anak-anak Ujung Berung, sering menghabiskan waktu di Malang. “Waktu Eben [Burger Kill] belum sekaya sekarang,” kata Ook tertawa.

Tidak seperti di Bandung, yang banyak toko kaos band import, Malang belum ada yang seperti itu. Tapi, kaos-kaos import, piringan hitam, dan merchandise resmi banyak beredar di sana, melalui jalur cokro. Tidak jarang, anak-anak SMA, yang memesan barang-barang itu, tidak tahu apa yang mereka pesan. Tapi, mereka selalu punya pembeli.

Berbeda dengan Bandung, Malang bersih. Saya tidak melihat tumpukan sampah di pinggir jalan. Menyenangkan sekali kotanya. Dan bakso Malangnya, terasa lebih enak dibandingkan bakso Malang di Jakarta atau Bandung, apalagi pangsitnya.

***

Seringai main dalam rangka penutupan Battle of Bands, festival band yang telah digelar di beberapa kota di Jawa bagian Timur. Saya baru tahu itu, begitu tiba di sana. Seharusnya, Seringai mengirimkan perwakilannya menjadi anggota Juri. Ricky malah menawarkan posisi itu ke saya. Setelah mendengar bakal diberi honor, saya langsung menyatakan kesediaan saya. hehe.

Publik Malang, tidak terlalu atraktif menyaksikan Seringai tampil. Hanya segelintir anak remaja yang loncat-loncat di depan panggung. Selebihnya hanya berdiri. Ketika band peserta festival manggung, mereka malah duduk-duduk saja. “Biasa lah. Arema,” kata seseorang, saya lupa siapa, setelah acaranya beres.

Benar-benar pengalaman yang aneh. Tahu-tahu saya jadi satu dari tiga juri. Bermain Tuhan. Menentukan mana yang lebih bagus dibandingkan yang lain. Tiga jam dan sepuluh band. Untung saja, honor setengah juta, bisa melupakan kejenuhan itu.

Kalau itu belum aneh, pengalaman dengan Sound Engineer Seringai menambah lagi daftar keanehan. Jorghi yang datang bersama pacar, memutuskan ingin menikah malam itu juga, di Malang. Dia minta dicarikan penghulu. Pagi harinya, Jorghi menambah lagi perilaku anehnya. Di tengah-tengah obrolan santai, dia tiba-tiba membuka pembicaraan.

“Gue punya visi misi nih Yan, buat memersatukan bangsa Indonesia. Soalnya, tahun 2009, Indonesia bakal pecah. Sultan Hamengkubuwono bakal jadi Raja Jawa, dan Jusuf Kalla bakal jadi perdana menterinya. Nah, kita harus memersatukan bangsa lewat musik Yan,” kata Jorghi.

“Elu tahu dari mana?” kata Arian.

“Dari orang-orang CIA.”

“Nanti aja ya ngobrolnya, masih pagi,” Arian cengengesan sambil mencolek punggung saya.

***

Pesawat pulang, dijadwalkan jam setengah sebelas malam. Ternyata ditunda hingga dua jam. Sialan. Hasilnya, dua jam di bandara. Anak-anak sudah mirip begundal bandara. Kaos hitam. Sebagian bertato. Brewok. Minum-minum. Menggoda perempuan yang lewat di depan kami. Seorang ibu-ibu yang duduk di kursi tunggu di sebelah kami, beberapa kali memandang sinis ke arah kami. Apalagi ketika anak-anak datang membawa beberapa botol bir, dan mulai berbicara soal lokalisasi. Haha.

Setengah satu, pesawat lepas landas. Sampai di kosan dini hari. Dan sekarang saya menuliskannnya untuk kamu. Alhamdulillah, saya selamat lagi dari perjalanan udara. Maklum, setiap naik pesawat, saya selalu berpikir, kalau saat saya telah tiba. Inilah dia. Saya tidak akan melihat lagi esok pagi. Sepanjang perjalanan berdebar dan berdoa.

Ah, coba ada pintu ke mana saja.

Tuesday, July 03, 2007

optimus prime




kemaren baru nonton transformers.

edan. bener kata teman saya, syauqy, "kita bakal seperti jadi anak-anak kecil lagi. dibuat terbengong-bengong."

saya bukan penggemar transformers. waktu kecil pun, tidak mengikuti ceritanya. cuma sesekali suka menonton di rumah teman. tapi, film transformers benar-benar dahsyat. membuat jantung berdetak terus.

apalagi kalau nontonnya di blitz megaplex. bukan promo. tapi, di auditorium 1, dengan layar super besar, dan sound system yang masih baru, mata dan telinga benar-benar dimanjakan.

belum lagi, pemain perempuannya, megan fox dan satu lagi si analis seksi benar-benar menambah daya tarik visual film itu. hehe.

sialan tuh film. tadi malam, saya sampai bermimpi memainkan robot2an optimus prime. makanya, saya harus muat foto-foto ini di sini. hitung-hitung menghilangkan rasa penasaran.

ini optimus keluaran bandai. kata si pemiliknya, michael tju, ini merupakan barang langka. waktu bandai mau memproduksi mainan ini, lisensi transformers sudah dimiliki hasbro. agak repot mengurusnya, katanya. makanya ini jadi barang langka. waktu dia beli sih, harganya katanya 1,8 juta rupiah [harga maenan kadang-kadang suka agak susah masuk akal].

di film, truknya bermoncong. ini versi orisinalnya.