Friday, October 17, 2008

Mieke Asmara adalah Aida Nurmala adalah Pemain Gara-Gara Bola!

Oke, ini saatnya saya mengklarifikasi soal wawancara saya dengan Mieke Asmara beberapa waktu lalu.

Ketika wawancara itu saya posting, banyak yang bertanya apakah Mieke Asmara benar-benar ada? Apakah wawancara itu direkayasa? Beberapa teman malah menanyakan bagaimana rasanya ketika berhadapan langsung dengan Mieke Asmara si penyanyi “Merem Melek.”

Wawancara itu tak direkayasa, namun juga tak sepenuhnya nyata. Tak direkayasa karena jika kita bicara syarat syah nya wawancara, di mana ada narasumber, ada pewawancara dan ada proses tanya jawab, maka wawancara saya itu memang nyata. Mieke Asmara itu memang ada. Hanya, dia adalah salah satu karakter dalam film Gara-Gara Bola! Ini menjadikan wawancara itu tak sepenuhnya nyata. Tapi, saya tak merekayasa jawaban. Saya melemparkan pertanyaan, narasumber [yang berperan jadi Mieke Asmara] yang menjawabnya.

Nah, buat kamu yang kemarin sempat mengira saya orang yang humoris karena membaca tulisan itu lucu dan jawabannya gebleg, maka saya harus meminta maaf. Karena pertanyaan memang dari saya, tapi jawaban itu datang dari dua tandem penulis skenario/sutradara Khalid Kashogi dan Agasyah Karim atau, lebih singkatnya Karim/Kashogi.

Dan buat kamu yang bertanya-tanya suara siapa yang menyanyikan lagu “Merem Melek”, maka jawabannya adalah Kartika Jahja alias Tika, penyanyi multi bakat yang namanya sudah tak asing lagi di scene musik independen yang menurut saya bisa dibilang diva indie. Hahaha. Tapi, di film, Aida Nurmala sendiri yang menyanyikan lagu itu. Makanya, terdengar agak fals.

Film Gara-Gara Bola! bercerita tentang dua sahabat penggemar sepak bola: Heru [Herjunot Ali] dan Ahmad [Winky Wiryawan]. Heru, penggemar bola yang juga senang bermain bola dan punya pacar cantik bernama Laura [Laura Basuki]. Sedangkan Ahmad, adalah penggemar bola yang hanya menyukai olahraga itu jika ada taruhannya. Karena ulah Ahmad, mereka berhutang dua puluh juta rupiah, dan dikejar-kejar oleh dua penagih hutang: Gompar [Indra Herlambang] dan seorang lagi yang saya tak tahu namanya. Cerita film ini sepertinya agak rumit jika dituliskan dengan kata-kata. Banyak karakter yang saling bersingggungan di cerita filmnya. Itu saja intinya. Kalau saya ceritakan lagi, takut malah jadi spoiler.

Memang, jika ditulis begini tak terasa humornya. Begitupun ketika medio 2004 Agasyah Karim menceritakan sinopsisnya pada saya. Tak terbayang di mana letak humornya. Dan seperti yang rumit. Padahal, ketika kemarin saya menonton filmnya, bahasa gambarnya [dengan beberapa sentuhan animasi] ternyata tak serumit yang dibayangkan. Alur cerita bisa mengalir dengan nyaman. Dan banyaknya karakter yang saling bersinggungan ternyata tak membuat kening berkerut.

Malah, dialog-dialognya bisa membuat tertawa, walaupun bukan tipe tertawa hingga perut sakit. Tapi, ada letupan-letupan lelucon yang tak disangka-sangka datangnya. Plus, cara film itu menerangkan sistem apa saja yang biasa dipakai dalam taruhan bola, benar-benar efektif. Hanya dalam beberapa menit, saya yang awam taruhan bola, jadi bisa mengerti apa sebenarnya voor, dan apa itu lek-lekan. Yang juga mendukung cerita adalah musik yang ditata dengan baik oleh Aghi Narottama dan Bemby Gusti, di antara beberapa lagu dari Efek Rumah Kaca, Teenage Death Star, Naif, C 'mon Lennon, Davkillz alias David Tarigan.


Tak ada satu bintang pun yang dominan di sini. Meskipun jangkar cerita ini adalah Heru dan Ahmad, sebagian besar pemain bisa mencuri perhatian. Kadang, kita melihat film yang sebenarnya hanya bagus karena satu atau dua tokoh saja. Tapi, di sini, semua bisa memainkan perannya dengan maksimal. Indra Herlambang yang kemayu, di sini bisa menjadi jantan. Tarzan bisa menjadi serius, walaupun mukanya masih menggemaskan. Winky yang biasa terlihat serius di beberapa filmnya, bisa terlihat goblok. Dan Junot ternyata lebih terlihat bagus chemistry-nya dibandingkan ketika dia berpartner dengan Vino Bastian. Aida Nurmala yang tipikal sosialita bisa menjadi penyanyi dangdut kampungan dengan logat bicara yang sangat mendukung. Serta tentu saja para pemain banci di film ini. Biar mendapat dialog sedikit, mereka bisa memanfaatkan dengan baik momen yang singkat itu. Film ini berakhir bahagia, sesuai dengan nama production house mereka, Happy Ending Pictures.
 
“Film ini bukan untuk ditelaah, tapi untuk dinikmati,” kata Agasyah Karim.

Karim dan Kashogi hanya tersenyum ketika mendengar pertanyaan dari wartawan kepada Junot soal pesan moral film ini, di Blitz Grand Indonesia, Kamis [16/10] kemarin.

“Pesan moralnya, berjudi itu jangan pake emosi,” kata Khalid Kashogi sambil tertawa.

Ide awal film ini sebenarnya adalah film drama dengan cerita yang gelap. Soal anak yang dikecewakan ayahnya, lantas ingin merampok perusahaan si ayah. Tapi, belakangan mereka malah mengubah ide ceritanya karena tak ingin membuat film yang membuat kening berkerut. Akhirnya, tema komedi dipilih.

Entah sudah berapa production house yang menolak naskah komedi mereka. Dari produser India hingga produser lokal, semua menolak. Menurut Aga, mungkin karena mereka tak bisa menyampaikannya dengan baik. Seperti juga saya yang tak menangkap unsur humornya waktu Aga menceritakannya.

“Di mana letak humornya?” kata satu produser.

“Wah, kayaknya nanti dulu deh. Kami belum sanggup bikinnya,” kata produser lain.

Hingga kira-kira setahun setelah naskah itu rampung dan ditawarkan ke banyak produser, Nia Dinata mengatakan tertarik kepada naskah itu.

Khalid Kashogi alias Ogi, adalah adik kandung Nia Dinata. Tapi, sejak awal dia tak ingin naskahnya diproduksi oleh production house kakaknya. Tak ingin ini terlihat seperti karya yang bisa diproduksi karena ada unsur kekeluargaan, mungkin begitu pikirnya. Ogi tak pernah sekalipun menyodorkan naskah ini kepada Nia untuk dibacanya. Nia membaca naskah itu tanpa sengaja ketika salah satu copy-an nya tertinggal di rumahnya.

“Gue produksi ya, tapi dengan satu syarat. Harus direvisi,” katanya.

Dan naskah itu direvisi hingga 14 kali. Waktu awal bercerita soal film itu, Aga mengatakan sebenarnya sosok Ahmad akan diperankan oleh Ronaldisko [mungkin karena Sunda]. Tapi, belakangan pihak production house punya pertimbangan lain. Dan sepertinya tak salah juga keputusan produser, karena Winky bisa memainkan perannya dengan baik. Keputusan yang tak salah juga adalah ketika memilih Laura Basuki sebagai pemain. Dan Nia juga akhirnya meminta mereka menyutradari naskah mereka, karena dianggap paling tahu soal cerita itu.

“Teteh punya feeling yang bagus soal pemain. Laura Basuki itu Teteh yang nyuruh supaya kami masang dia. Awalnya gue pengen pemain yang memang terlihat bitchy, menggoda. Tapi, setelah dipikir-pikir, sosok yang kayak gitu yang cocok. Kelihatannya polos, tapi bisa menggoda juga,” kata Aga.

Dan ya, kamu harus melihat langsung Laura Basuki. Bukan tipikal bom seks dengan bagian tubuh yang menonjol di mana-mana. Tapi, dia bisa terlihat sangat menggoda. Hehe. Nasib seperti Sandra Dewi yang tiba-tiba melesat karena film Quickie Express kemungkinan besar bisa juga menimpa Laura Basuki.


***

Saya mengenal Agasyah Karim sejak tahun 1997. Kami sama-sama kuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran. Aga adalah lulusan SMA Pangudi Luhur. Sejak dulu, saya selalu mengenal Aga sebagai sosok gilafilm. Jauh sebelum saya kenal seorang Salman Aristo yang mengaku gilafilm, sosok gilafilm di benak saya adalah Agasyah Karim.

Di semester pertama, saya kaget melihat buku catatan Aga yang space kosong di atasnya selalu ditulisi judul-judul film. Lengkap dengan credit title-nya. Sutradaranya siapa, penulis skenarionya siapa, bintangnya siapa, penata musiknya siapa, dan detil-detil lain yang akan membuat sosok Aga terlihat sedikit gila di mata saya. Saya tak tahu bagaimana dia bisa mengingat credit title itu dengan baik. Entah karena dia memang punya ingatan yang kuat. Dan sampai sekarang, saya belum tahu dari mana asalnya detil-detil itu bisa tertulis dengan lengkap.

Dari dulu, keinginan Aga untuk membuat film sering dilontarkan dalam pembicaraan. Bahkan, saya pernah melihat skenario yang dibuatnya ketika liburan. Saya tak tertarik untuk membacanya, karena kertasnya saja terlihat tebal. Dari dulu saya malas membaca. Hehe.

Saya menyaksikan pengalaman pertama Agasyah Karim sebagai penulis skenario/sutradara adalah ketika menggarap talk show untuk praktikum pertelevisian di kampus, medio ‘98. Talk show yang diberi judul “Zol Zho-lech Show” itu, dibawakan oleh saya. Talk show soal kehidupan mahasiswa Jomblo. Topik yang menarik untuk sebagian mahasiswa [makanya, saya tak heran ketika Aditya Mulya menulis novel Jomblo dengan latar belakang kehidupan kampus].

Di era ini pula, saya mengenal Aga sebagai sosok pecinta bola yang senang memainkan Championship Manager tapi tak suka dan tak bisa bermain bola. Pernah, satu kali kami ada di tim sepakbola plastik yang sama. Dan dia memang tak pantas ada di lapangan bermain bola. Percayalah. 

Di benak saya, Aga identik juga dengan Brit Pop. Jaman terjadinya British Invasion, lagu-lagu Brit Pop salah satu playlist yang sering diputar. Makanya, tak mengherankan ketika melihat Ahmad memakai kaos Oasis. Aga adalah salah satu orang dengan  selera musik baik dan pengetahuan musik yang luas. Untuk tahu lebih banyak soal kualitas tulisan Agasyah Karim, kamu bisa kunjungi di manusiakardus.multiply.com.

Aga juga punya banyak pengalaman yang sangat membekas yang berkaitan dengan suku Batak. Mulai dari nama-nama yang aneh [Gompar Naibaho, hingga Tobok] dan persentuhannya dengan Lapo [“Tapi jangan diceritain semuanya Leh,” kata Aga]. Makanya, di film, debt collectornya digambarkan sebagai orang Batak. Padahal, sepertinya debt collector identik dengan orang Ambon. Saya rasa, ini sebagai tribute dia kepada suku Batak yang telah mengisi hari-harinya. Haha.

Ogi, adalah sepupu Aga. Saya mengenal Ogi medio 2004 ketika bermain ke rumah Aga. Sekilas, secara fisik mereka punya kemiripan. Walaupun badan Ogi lebih besar dibandingkan badan Aga. Dua orang ini sepakat untuk selalu sepaket.

“Kayak ganja dan papir ya Ga,” kata saya.

“Hahaha. Nggak lah, kalau nggak ada papir kan masih bisa pake bong,” kata Aga.

“Kalau gitu, kayak Mick dan Keith aja lah. Kalau kayak John dan Paul, kan pada akhirnya mereka pisah.”

“Hahaha. Bener juga. Mick tanpa Keith karyanya nggak terlalu bagus ya.”

Gara-gara film Gara-Gara Bola! Aga - Ogi masuk industri film. Gara-gara film Gara-Gara Bola! multiply saya mencapai hit terbanyak sejauh ini [dengan 190 komentar dan 500 orang pembaca  tercatat untuk satu posting]. Gara-gara film Gara-Gara Bola! Aga yang sekarang berprofesi sebagai copy writer [salah satu karyanya adalah iklan Holcim] berpikir ingin serius di film atau menjadi jurnalis dengan sampingan penulis skenario.

Dan gara-gara film Gara-Gara Bola! tulisan ini dibuat.

Tuesday, October 14, 2008

The Brandals Sebelum Iwan Fals




Senangnya melihat Iwan Fals humoris (lagi).

“Oi singkatan dari apa?” tanya Eka Annash, vokalis The Brandals.
“Orang Indonesia!” jawab ribuan orang di depannya.

“Kalian orang Indonesia, Iwan Fals orang Indonesia, The Brandals juga orang Indonesia!” kata Eka, mencoba menenangkan massa. “Sabar ya, sebentar lagi Bang Iwan maen.”

Waktu hampir menunjukkan jam sembilan malam. Kamis, 19 Juni 2008, arena Pekan Raya Jakarta masih dipadati pengunjung. Mereka yang tak berkeliling melihat-lihat stand produk, memilih berada di depan panggung. Sebagian besar adalah penggemar Iwan Fals. Penggemar berat. Terlihat dari kaos, bendera, bahkan poster Iwan Fals yang melekat di tubuh mereka. Sebagian dari mereka, berteriak memanggil nama Iwan Fals sejak The Brandals memainkan lagu pertama. Sebagian lagi, malah berteriak meminta The Brandals turun. Mereka tak banyak bereaksi terhadap penampilan The Brandals. Hanya segelintir orang yang berjoget. Tak heran jika Eka Annash terlihat grogi. Mungkin ini salah satu penampilan mereka yang paling menegangkan. Bahkan ketika mereka tampil di penjara beberapa bulan lalu, The Brandals tak terlihat tegang.

“Gila ya. Lebih baik gue maen di depan Slankers deh,” kata Eka setelah The Brandals turun panggung.

Tak berapa lama, Iwan Fals lewat di depannya. Dia menuju panggung. Eka Annash lantas memberanikan diri menghampiri Iwan. Mereka berfoto bareng.

“Yang lain mana?” tanya Iwan.

“Ada di belakang Om,” jawab Eka. Setelah tadi dibuat grogi oleh penggemar Iwan, kini dia dibuat grogi oleh the legend himself. Semua serba mendadak. Eka tak mengira bakal melihat Iwan Fals lewat di depannya begitu cepat. Padahal, dia sudah memersiapkan kaset serta majalah untuk ditandatangani.

Di depan panggung, massa makin tak sabar. Teriakan mereka makin keras begitu melihat teknisi Iwan memersiapkan alat-alat di panggung. Tapi mereka masih harus bersabar. Bahkan setelah MC naik panggung, membagikan hadiah dan memanggil nama Iwan pun, yang ditunggu tak kunjung tiba. Layar besar yang ada di panggung memutar semacam iklan layanan masyarakat tentang Pekan Raya Jakarta. Mau tak mau, mereka harus menyaksikan presentasi soal manfaat PRJ dan acara peresmian PRJ, yang disajikan dengan gaya bahasa yang formal dan terasa kaku. Apalagi mengingat itu diputar di depan massa yang tak sabar ingin menyaksikan pertunjukkan musik.

Sepuluh menit kemudian, Iwan Fals muncul. Massa berteriak kegirangan. Iwan mengenakan kaos putih bertuliskan Djakarta, yang dimasukkan ke jins hitamnya. Setelah mengucap salam, Iwan membuka penampilannya dengan lagu “Belum Ada Judul” yang dibawakannya tanpa iringan band. Keputusan yang tepat. Beberapa tahun lalu, saya pernah melihat Iwan membawakan lagu itu dengan iringan band, kekuatan lagunya malah hilang.

Tanpa dikomando, massa langsung mengikuti nyanyian Iwan. Lagu tentang persahabatan itu memang cocok dibawakan sebagai pembuka. Seperti sapaan untuk sahabat lama yang tak dijumpainya. Sudah lama Iwan jarang tampil di panggung besar. Belakangan ini, dia lebih sering manggung di rumahnya sendiri. Ada kabar, Iwan agak rewel soal urusan panggung. Dia tak ingin ada tampilan sponsor sedikit pun di panggung. Khususnya rokok. Padahal, sebagian besar konser musik, dibiayai oleh produk rokok.

Massa dibuat bergoyang setelah musisi pendukung Iwan muncul. Hanya ada dua nama lama yang telah menemani Iwan bermain selama belasan tahun di sana; bassist Herri Buchaeri dan gitaris/pemain ukulele Cok Rampal. Selebihnya, musisi muda yang baru beberapa tahun terakhir ini menemani Iwan. Agak terlihat timpang memang. Iwan akan terlihat lebih maksimal dan lebih pantas bersanding dengan musisi-musisi yang relatif selevel dan seumur. Walau begitu, itu tak mengurangi daya tarik Iwan malam itu.

Set list Iwan malam itu disusun dengan baik. Lirik-liriknya masih sesuai dengan kondisi republik ini, setelah puluhan tahun. Kondisi guru masih belum banyak berubah sejak Iwan menyanyikan “Oemar Bakrie” lebih dari dua puluh tahun lalu. Walaupun mungkin kini Iwan tak perlu khawatir lagi tak bisa memberi susu karena harga BBM melambung tinggi. Tak seperti ketika “Galang Rambu Anarki” dilahirkan tahun 1982 lalu. Dan issue Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir masih jadi pembicaraan, seperti halnya yang dinyanyikan Iwan dalam “Proyek 13.” Tapi, yang paling aktual adalah soal penyadapan percakapan antara Artalyta Suryani dengan (mantan) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, serta dialog antara Artalyta dengan jaksa Urip Tri Gunawan.

“Pada ngikutin beritanya kan?” tanya Iwan.

Dia lantas menirukan percakapan para tersangka tersebut. Suaranya dibuat menyerupai perempuan ketika bagian mengucapkan dialog Artalyta. Mata Iwan mendelik. Senyum lebar terkembang di wajahnya.

“Gila. Enam Milyar masih kurang? Capek deeh,” kata Iwan sambil menaruh tangannya di dahi. Dia tertawa. Dan tak ada lagu lain yang lebih cocok dengan kasus itu selain “Tikus-tikus Kantor.”

Bukan sekali itu saja, Iwan mengucapkan ‘Capek deh’ dalam orasinya. Sebelum mengenalkan lagu lainnya, Iwan juga mengulangi ‘Capek deh,’ yang diikuti oleh senyuman lebar di wajahnya. Selain menjadi pengamen, Iwan memang mengawali karirnya dengan menjadi juara lomba lagu humor, tapi belakangan sosok Iwan yang humoris jarang terlihat. Imej serius malah mengalahkan sosok humoris Iwan Fals. Malam itu, sosok humoris Iwan muncul lagi. Dia bisa humoris tanpa menghilangkan sisi kritisnya.

Ini sepertinya berpengaruh pada mood penonton. Biarpun banyak dari mereka selalu berteriak meminta lagu “Bento” dibawakan, mereka tetap sabar menunggu. Adegan ini memang selalu ada di setiap konser Iwan. Di set awal, mereka biasanya sudah tak sabar ingin mendengar lagu itu dimainkan. Tak jarang, jika permintaannya tak dipenuhi, massa berteriak lebih kencang. Seakan kesal. Tapi malam itu, semua bisa terbawa oleh suasana yang menyenangkan.

“Asik itu nama pemain dari Turki, Emre Asik,” kata Iwan setelah lagu “Bento” selesai dibawakan. “Pemainnya banyak yang cedera ya, tapi saya tetep dukung Turki. Semoga saja Turki bisa menang!” Iwan tersenyum lagi.

Waktu hampir menunjukkan jam sebelas malam. Massa masih bersemangat. “Wah, pengennya masih maen nih. Tapi, udah mau jam sebelas, harus pulang. Nanti kan ada pertandingan,” kata Iwan beralasan.

Dia menutup penampilannya dengan sebuah lagu baru tentang sepak bola. Satu lagi pilihan lagu yang sangat aktual dan kontekstual. Di ujung lagu, beberapa buah bola sepak dilempar ke atas panggung. Iwan menendang bola-bola itu ke arah penonton. Senyumnya makin lebar. Dia tertawa lagi. Tak hanya menendang, Iwan juga memamerkan sedikit kemampuannya memainkan bola dengan kepala. Sebuah penutup yang bagus. “Sampaikan salam saya buat keluarga di rumah ya,” katanya.


*tulisan ini saya copy paste dari tulisan saya untuk edisi 40 RS, karena malas menulis versi berbeda untuk multiply. Sebenarnya, sudah lama saya ingin posting foto-foto ini, tapi baru sempat mengecilkan file-nya sekarang. Dari dulu, memang ingin ada foto-foto Iwan Fals di halaman multiply saya. Plus, kemarin saya janji pada penggemar Iwan Fals yang lain untuk barter foto-foto ini dengan bootleg lagu Iwan Fals yang tak pernah masuk album rekaman.

Monday, October 13, 2008

Nama Saya, Soleh Solihun!

Bukan Soleh Solihin.

Bukan pula Soleh Solihudin.

Bukan pula Sholeh.

Ya, saya suka sebal melihat orang salah menulis nama saya. Hehe.

Kemarin, mahasiswa dari Unisba menelpon saya. Meminta saya jadi pembicara di acara kampus. Mereka sudah menghubungi saya beberapa minggu lalu. Sudah saya suruh kirim email yang isinya undangan, supaya saya gampang minta ijin ke kantor. Tapi, tak kunjung juga dikirim. Saya suka sebal melihat mahasiswa yang begini. Selalu membiarkan segala sesuatu mepet dengan jadwal acara. Perasaan, waktu saya mahasiswa, jika butuh sesuatu ke orang lain, akan saya konfirmasi jauh-jauh hari.

Kemarin, mereka bilang, emailnya sudah dikirim. Tapi, tadi belum juga sampai. Waktu saya tanya apakah email sudah dikirim, dengan lincahnya si mahasiswi menjawab:

"Wah, masa, besok wna krm lg klo gt. almt email'y ini bkn tkt'y slh jd g k krm, soleh_solihudin@yahoo.com."

Waktu saya balas lagi, dan bilang bahwa nama saya Soleh Solihun, dia [dengan cengengesan sepertinya] hanya menjawab:

"Eh iya maap mksd'y itu ...inget am tmn jd aj slh ktk ;p"






Seniman Mbeling Bikin Pusing

Jum’at [10/10] kemarin, saya bertemu Remy Sylado.

Ini pertemuan kelima kami. Yang pertama, 9 Februari 2004 untuk kepentingan skripsi. Yang kedua, masih di tahun yang sama, dalam rangka pemutaran film dokumenter tentang majalah Aktuil. Yang ketiga, waktu memotret dia untuk kepentingan feature di majalah saya sebelum ini. Yang keempat, waktu meminta dia menulis untuk majalah saya yang sekarang.

Edisi Nopember ini, kami mengangkat tema Immortals. Ada 25 musisi paling berpengaruh di Indonesia yang akan diangkat di majalah. Masing-masing musisi, akan ditulis oleh satu musisi juga. Nah, di antaranya Bing Slamet, yang akan ditulis oleh Remy Sylado alias Yapi Tambayong. Dia tak hanya musisi, tapi juga penulis. Makanya, kami pikir sosok dia akan cocok untuk menulis Bing Slamet yang notabene eranya jauh di belakang.

Singkat kata, Sylado sepakat untuk menulis soal Bing Slamet. Di pertemuan keempat itu, saya sudah menjelaskan tulisannya seperti apa; hanya satu halaman, isinya cerita tentang si immortal, dan apa pengaruhnya buat si musisi yang menuliskannya. Sylado hanya tertawa ketika mendengar bagian pengaruhnya itu. Dia tak merasa Bing Slamet ada pengaruhnya langsung ke dirinya.

“Yah, pokoknya cerita tentang Bing Slamet saja deh, dan apa yang membuat dia menjadi musisi berpengaruh di Indonesia,” kata saya.

“Berapa banyak tulisannya?” tanya Sylado.

“Kalau di komputer sih, ya sekitar lima ribu karakter lah Kang.”

“Ya itu kan di komputer, saya pakai mesin tik.”

Terjawab sudah mitos soal Remy Sylado yang masih mengirimkan tulisan membuat mesin tik.

“Lihat aja di contoh majalahnya Kang, bisa dikira-kira berapa banyak tulisannya,” jawab saya.

Jum’at pagi, saya menghubungi dia lewat telepon. Menanyakan kabar soal tulisannya. Dia menjawab tulisan itu sudah siap diambil di rumahnya. “Asal, dengan satu syarat,” katanya. “Nggak boleh diedit ya. Kalau kamu mau motong-motong, lebih baik nggak usah saya kirimin. Soalnya, wartawan-wartawan suka sok tahu motong tulisan saya. Jadi menghilangkan esensi. Gimana? Saya udah bikin tujuh lembar kuarto dua spasi nih.”

“Wah, jatah kami cuma satu halaman Kang, kalau nggak dipotong nanti kebanyakan,” kata saya.

“Saya biasa bikin di Tempo, kalau lima halaman kuarto ini jadinya dua halaman di majalah lah, sudah termasuk ilustrasi dan foto.”

“Hmmm, gimana ya? Kalau bisa dipotong deh ya Kang.”

“Kamu ke sini aja dulu deh, baca dulu aja tulisannya.”

Rumah Remy Sylado ada tiga. Satu di Bandung, satu di Jakarta, dan satu di Bogor. Itu yang saya tahu. Saya pernah mendatangi rumahnya di Bandung. Warna hitam putih sangat dominan di sana. Bahkan, dia menamai rumahnya dengan Rumah Putih atau apalah saya lupa yang jelasa ada kata putih di belakangnya. Lantainya bermotif hitam putih seperti papan catur. Rumahnya yang di Bandung tak terlalu luas, bahkan terkesan agak sempit oleh banyak barang.

Rumahnya di Jakarta, ada di kawasan Cipinang Muara. Jalan raya ke sana pas-pasan untuk dua mobil. Kavling rumahnya, bahkan harus masuk ke jalan kecil yang hanya pas untuk satu mobil. Rumah itu pun ternyata bercorak hitam putih. Dua lantai, dengan pepohonan rindang di depannya. Dan garasi mobil yang hanya cukup untuk satu mobil. Tak ada ruang tamu yang besar. Begitu masuk ke area rumah, ruang tamunya hanya terdiri dari empat kursi kayu. Tak seperti ruang tamu. Atau memang itu bukan ruang tamu ya? Saya juga kurang tahu.

Ruang tempat Sylado menerima saya dekat dengan meja makan dan tempat seperti ruang kerja dengan mesin tik besar yang entah masih bisa dipakai atau hanya pajangan. Di salah satu lemari, ada gitar putih dengan model seperti Les Paul Gibson. Di lemari satu lagi, ada beberapa koleksi gitar lagi yang dicampur dengan ukulele, dan bas betot.

Lantainya juga bermotif papan catur.

Saya berkomunikasi dengan Remy Sylado lebih banyak menggunakan bahasa Sunda. Di pertemuan keempat kami, Sylado mengatakan bahwa ada dua bahasa yang harus dikuasai di Indonesia, selain bahasa Indonesia. Yaitu bahasa Sunda dan Jawa, karena dua suku itu yang paling banyak di sini. “Jakarta itu milik orang Sunda. Dulu aja, di sini namanya Pelabuhan Sunda Kelapa kan?”

Sepertinya dia juga senang dipanggil Kang. Mungkin karena merasa dianggap masih muda [padahal, dia kelahiran 12 Juli 1945]. Dan kalau melihat sejarahnya, Remy Sylado sangat membenci kaum tua. Dalam lagu “Orexas” di album Orexas, dia berorasi seperti ini:

“Heh, mari kita panjatkan doa kita, semoga orang-orang tua kita cepat dilanda malapetaka. Biar mampus dengan segala kemunafikan mereka. Satu...dua...tiga! Semoga orang-orang tua kita cepat dilanda malapetaka. Malapetaka penyakit gula. Malapetaka penyakit pes. Malapetaka penyakit darah tinggi. Malapetaka penyakit cacing pita. Idi Aamiiin. Hahahaha.”

Sylado memberikan saya kertas hasil ketikannya. Isinya, paparan soal Bing Slamet serta kaitannya dengan industri musik Indonesia. Cukup komprehensif memang. Tapi, itu terlalu banyak untuk jatah satu halaman.

“Kumaha?” katanya.

“Lengkap kieu nya Kang. Penutupna sae yeuh, anu soal Soekarno.”

Dia tersenyum mendengar puijan saya.

“Susah kan dipotong? Kalau dipotong, bakal hilang maknanya,” kata Sylado.

Dia lantas menunjukkan satu majalah yang mengangkat profil dia. Di sampulnya, ada judul “Remy Sylado: Penulis dengan Pendalaman Riset.”

“Saya kalau nulis selau riset. Nggak main-main. Saya nggak mau pembaca nggak dapet apa-apa,” katanya.

“Kalau gitu, saya coba hitung dulu deh di komputer ya Kang. Siapa tahu ternyata nggak terlalu banyak.”

Saya keluarkan laptop. Dia agak kaget, setelah tahu yang saya maksud dengan dihitung dulu adalah dengan mengetik dulu seluruh naskah itu.

“Mau berapa jam kamu ngetiknya? Itu banyak loh.”

Padahal, kalau hanya mengetik mah tak akan terlalu lama. Yang lama kan, memikirkan isinya. Kalau naskahnya sudah ada, pekerjaan akan lebih cepat.

Sambil menunggu saya mengetik, dia mondar-mandir ke kursi depan saya. Ke kamar, dan entah ke mana lagi. Di sela-sela mengetik, saya tanyakan soal kegiatannya. Dia bercerita bahwa sebentar lagi akan ada novel soal gerakan mahasiswa angkatan ’98. Penerbit Gramedia sudah siap menerbitkannya. Sampai hari itu, dia bilang sudah ada sekira 300 halaman. Saya tak berani bertanya apakah dia mengetiknya dengan mesin tik atau dengan komputer. Takut merusak misi saya mengedit tulisan Remy Sylado. Dia juga mengatakan kecewa dengan hasil film Ca Bau Kan.

“Pemred kamu siapa sih?”

“Untuk sementara sih, Adib Hidayat Kang. Kenal?”

Dia menggelengkan kepala.

“Tapi, di kantor kami, ada penasehat redaksi sekaligus Presiden Direktur. Andy Noya,”

“Ooh. Dia. Kenapa mesti dia?” katanya.

“Wah, itu urusan investor Kang. Saya nggak tahu. Kang Remy pernah ngobrol sama Andy Noya?”

“Belum. Buat apa? Saya mah nggak suka sama itu orang. Sama acaranya juga.”

“Kenapa Kang?”

“Ah, legeg.”

Legeg itu kurang lebih artinya belagu.

Setengah jam kemudian, tulisan itu berhasil saya ketik di komputer. Jadinya hanya tiga halaman Word, dengan satu spasi dan sekitar 10 ribu karakter lebih sedikit. Saya butuh maksimal 6500 karakter. Setelah saya bilang bahwa kita paling hanya memotong satu halaman lebih sedikit, ide mengedit tulisan itu tak jadi terlalu menakutkan buat Remy Sylado.

Akhirnya, terjadi tawar menawar antara saya dan Remy Sylado. Banyak bagian yang menurut saya terlalu melebar dari topik soal Bing Slamet. Memang, itu informasi penting. Tapi, jika kita bicara konteks Bing Slamet, mungkin akan jadi tak terlalu penting. Apalagi mengingat jatah halaman yang sangat terbatas.

“Saya membuat tulisan ada unsur historiografinya. Kalau cuma tulisan soal kesan dan opini mah, kamu minta ke orang lain aja,” katanya.

“Tapi Kang, kami pingin musisi yang tahu soal Bing Slamet dan bisa menulis dengan baik. Dan sejauh ini, kami menilai hanya Remy Sylado yang layak,” saya memuji dia sekali lagi.

Dia terdiam. Tak melanjutkan keluhannya. Lantas, dia meminta saya merapikan kata yang terlihat di monitor. Tahu kan, jika kita menulis kadang tersisa satu atau dua kata di akhir paragraf dan tak terlihat enak komposisinya. Dia menyuruh saya memindahkan dua kata tersisa itu ke baris atas supaya terlihat enak. Setelah saya bilang itu otomatis dari komputernya, dia menyerah.

“Kang, bagian soal Titiek Puspa membuat lagu tentang dia, dihapus aja ya. Ini kan nggak terlalu penting.”

“Hush. Jangan! Memang pada waktu itu, Titiek Puspa kehilangan sekali. Dan Titiek Puspa itu, penyanyi segala masa yang paling inspirasional dalam peta seni-seni populer Indonesia [dia mengutip tulisannya sendiri, sambil menunjuk ke kertas ketikan] sampai menulis lagu buat Bing. Ini penting loh!”

“Ya udah, kalau gitu, bagian masyarakat sedih waktu Bing meninggal dihapus aja ya. Ini kan kepanjangan.”

“Eh, itu juga jangan. Gimana pembaca bisa tahu betapa berpengaruhnya dia kalau tulisan itu nggak ada?”

Akhirnya, setelah tawar menawar selama sekira hampir dua jam, jumlah karakter yang bisa kami pangkas hanya sekira 3000 karakter. Menyisakan sekira 72oo karakter. Dia setuju judulnya dipangkas karena memang konsepnya seperti itu. Tak ada judul apa-apa, hanya nama si immortal. Bagian Titiek Puspa itu, akhirnya mau juga dipotong oleh Sylado. Kecuali bagian masyarakat sedih.

“Ya udah. Saya nggak bisa motong lagi nih. Udah banyak banget tuh. Historiografinya udah hilang gara-gara kamu potong-potong. Tulisannya jadi nggak mengalir lagi nih. Jadi kayak undang-undang [atau pernyataan, atau deklamasi ya? saya lupa istilah yang dia gunakan].”

“Kang, sedikit lagi aja. Ini tiga paragraf kalau dipotong, tulisannya bakal pas!”

Bagian yang saya maksud, adalah soal dia bertemu istrinya, serta soal dia yang juga pencipta lagu.

“Ah nggak bisa. Kalau kamu nggak mau muat yang ini, ya udah buang aja. Nanti biar saya kasih ke majalah lain aja,” kata Sylado seraya membuka kacamata dan menjauh dari monitor.

Kesabaran saya benar-benar diuji. Sepanjang proses negosiasi itu, lagu “Orexas” terus berkumandang di kepala. Orasi-orasi Sylado soal orangtua terus terngiang. Saya tak berani bertanya soal lagu itu, dan soal posisinya sekarang yang sudah jadi orangtua. Mungkin lain kali.

Dua jam setengah saya di rumah Remy Sylado. Ketika saya pamit, orang-orang dari Penerbit Gramedia sudah datang. Mereka sepertinya lebih beruntung karena tak harus bernegosiasi soal jumlah tulisan.

Di lagu “Orexas” itu, orang-orang yang ikut berorasi bersama Remy Sylado, mengibaratkan orang tua yang cerewet, dengan bebek.

“Kalian tahu nggak? Gimana caranya ngurusin orang-orang tua kita? Gampang. Kita bikin mereka jadi pajangan. Caranya begini, kita beli air keras. Lantas kita rendem itu papi mami kita ke air keras itu,“ kata suara seorang pria.

“Atau, kalau nggak, disetum aja. Diratain aja sama jalan By Pass,” kata suara seorang perempuan.

“Semoga arwah setan dan iblis mau menyambut dengan riang itu hati orang-orang munafik yang sudah disetum. Hihihi,” kata Sylado.

Monday, October 06, 2008

Di Hari Itu Dia Menjadi Maskulin

...

Laki-laki: Kenapa sih, elo suka gue? Apa sih yang elo sukai dari gue?


Perempuan: Habis, elo bad boy sih. Hihihi.

...