Monday, November 24, 2008

Flight 173 yang Padat Sesak




Entah apa alasannya anak-anak SMA 2 Bandung memilih tema penerbangan sebagai tema pensi kali ini. Yang jelas, 173 adalah nomor sekolah mereka. Cihampelas 173.

Sabtu [22/11], kira-kira jam satu siang, saya tiba di SMA2. Disambut dengan pemandangan ABG yang lalu lalang. Banyak sekali jumlahnya. Ada di tenda-tenda makanan. Di tenda sponsor. Duduk di depan mesjid. Di pelataran-pelataran. Pakaiannya macam-macam, sepertinya sesuai dengan selera musiknya. Maklum, susunan band di pensi itu cukup beragam. Alone At Last, Rocket Rockers, Seringai, Pure Saturday, Maliq & D’ Essentials [damn, selalu susah mengeja band ini], dan Peterpan.

Ketika menunggu di salah satu ruang kelas, seorang ibu berkerung [kemungkinan guru, karena dia keluar dari salah satu ruangan di sebelah ruang tunggu] mendatangi Dawo, Road Manager Seringai. Meminta dia berfoto dengan anak laki-lakinya.

“Saya bukan personelnya Bu!” kata Dawo.

Dawo memanggil Arian. Dan berfoto lah si anak itu. Si ibu tampak bahagia sekali. Mengucapkan terima kasih atas kesediaan Arian. Sedangkan si anak, tak berbicara. Lebih banyak diam. Tersenyum bahagia pun tidak. Jauh lebih bahagia si ibu.

Kira-kira dua menit setelah adegan foto bareng itu, si ibu datang lagi. Kali ini bersama seorang ibu-ibu berkerudung lainnya. Teman si ibu, membawa kamera digital. Arian diminta berfoto lagi. Mungkin si ibu kurang puas, karena tadi hanya memfoto anaknya dengan kamera hand phone. Lagi-lagi si ibu berterimakasih dan terlihat bahagia melihat anaknya berfoto dengan Arian. Si anak pamit kepada Arian dengan mencium tangannya.

Mungkin si ibu ingin membuat anaknya menjadi lebih jantan dengan berfoto bersama orang-orang bertato. Hehe.

***

Rocket Rockers bermain sebelum Seringai. Mereka memakai kostum olahraga. Entah apa maksudnya. Entah sejak kapan juga mereka memakai kostum begitu. Yang jelas, menurut saya, bukan keputusan yang baik. Jika mereka band yang belum punya nama dan belum punya karakter, mungkin akan jadi keputusan baik. Entah dari mana inspirasinya. Tapi di mata saya, secara visual bukan keputusan yang baik. Padahal, mereka membuktikan jika penonton di depannya sudah hapal dan menyukai musik mereka [tak perlu direbut lagi perhatian mereka dengan berpenampilan konyol]. Buktinya, mereka bernyanyi mengikuti hampir semua lagu.

Sepertinya semua penampil siang itu punya massa fanatik masing-masing. Ini terlihat dari muka-muka penonton yang ada di depan panggung. Terus berganti sesuai band di panggung. Ada lalu lintas penonton yang cukup baik. Yang tak suka minggir, menggantikan posisi yang ingin menonton. Dari kepadatan yang terlihat di lapangan upacara itu, sepertinya dari segi penjualan tiket, pensi itu cukup sukses. Padahal, jam enam sore harus sudah berakhir. Kepolisian akan membubarkan acara jika lebih dari jam enam sore masih berjalan. Kata seorang panitia, Peterpan pun, akan batal manggung jika jam lima sore mereka belum naik tampil.

“Semoga di Bandung, izin dipermudah kembali ya,” kata Arian13. “Sayang sekali, penguasa kalian tidak mengerti anak mudaaa! Ini ‘Berhenti di 15’!”

Di depan panggung, seorang anak remaja selalu berteriak sepanjang penampilan Seringai.

“Kang Arian! Sok ka dieu lah! Turun ari wani mah!” kata anak itu. Dia terus-terusan menantang Arian untuk turun ke mosh pit.

Ada kira-kira dua kali keributan sepanjang penampilan Seringai. Tapi, setiap kali terjadi keributan, penonton meneriaki mereka kampungan. Selebihnya, acara itu aman terkendali. Para petugas kepolisian yang masih muda-muda tampangnya itu, sepanjang konser juga hanya duduk di depan panggung. Sepertinya mereka masih dalam pendidikan. Terlihat dari tampang-tampangnya yang belum terkorup. Hahaha. Ini saya yang berlebihan.

“Lagu ini sempat membuat beberapa kawan bermasalah beberapa waktu lalu,” kata Arian sebelum Seringai membawakan “Lencana.”

Tapi polisi itu adem ayem saja. Mungkin ada bagusnya pelafalan kalimat Arian ketika bernyanyi tak terlalu jelas.

Friday, November 21, 2008

Seringai di Pensi Tarakanita yang Diguyur Hujan Deras




Sabtu [15/11] jalan raya sekitar kawasan Senayan macet parah, terutama yang menuju ke arah JCC dan sekitarnya. Hari itu ada tiga acara besar: pameran komputer, pameran buku, dan Tardigras--pensinya anak Tarakanita.Saya yang kebetulan ada liputan ke JCC, sempat melihat antrean panjang di loket pembelian tiket pameran komputer. Di dalam JCC, bahkan untuk berjalan kaki pun sedikit susah.

Hari itu Seringai jadi salah satu pengisi acara di Tardigras. Sekira pukul empat sore, mereka sempat tak boleh masuk dari gerbang yang ada di depan Taman Ria. Polisi lalu lintas yang menjaga gerbang itu mengatakan Senayan sudah penuh. Tak boleh masuk. Padahal, lima belas menit lagi, Seringai harus tampil di atas panggung.

Panitia Tardigras yang menemui polisi penjaga gerbang sempat beradu argumen.

"Kalian belum ada koordinasi soal lalu lintas," kata pak polisi.

Setelah panitia laki-laki [kemungkinan besar anak Pangudi Luhur] berbisik-bisik dengan pak polisi itu, rombongan Seringai pun boleh masuk gerbang. Di dalam area Tardigras [di lapangan ABC, tepat di sebelah JCC], tak terlalu penuh dengan orang. Entah karena faktor masih sore. Entah karena faktor lalu lintas yang menggila.

Yang jelas, setelah Seringai tampil, hujan turun dengan deras. Membuat lapangan becek [Tapi tenang, masih ada ojek di depan. Hehe]. Tak di sekolah, tak di luar sekolah, air sepertinya senang sekali kepada Tarakanita. Dan sepertinya pawang hujan yang disewa mereka hari itu, tak akan mendapat order lagi dari Tarakanita. Akan tercoreng lah CV si pawang hujan. Ini membuat Tardigras punya akronim Tarakanita diguyur hujan deras.

Ah sudahlah. Saya sedang malas menulis. Ini juga saya posting karena akhirnya komputer saya punya Photoshop juga.