Friday, September 19, 2008

18 Wajah Arian13 dan Beberapa Gambar Lainnya




Who: Seringai.

What: Syuting Klik!

When: Kamis, 18 September 08.

Where: Studio Nusantara 2, ANTV, kawasan Cawang, Jakarta.

Why: Diundang ANTV tentu saja.Untuk episode entah kapan tayangnya.

How: Playback, tanpa sammy. Datang sejak jam sembilan malam kurang, baru taping jam sepuluh lebih, mungkin karena malam itu mereka taping untuk lima episode jadinya sedikit molor waktunya. Karena bosan, beberapa gambar ini tercipta. Arian13 menunjukkan apa yang bisa kamu lakukan dengan satu sapu tangan, eh slayer, eh kain apapun itu namanya yang suka dipakainya di kepala.

Thursday, September 18, 2008

Gara-Gara Bola!

http://garagarabola.multiply.com
Ini alamat Multiply film Gara-gara Bola, di mana pedangdut Mieke Asmara mendapat peran. Sebentar lagi rilis filmnya.

Kemarin Saya Nonton Kantata Takwa

Dan betapa berbahagianya saya.

Beberapa waktu lalu, sempat membaca review soal film ini dari tulisan Eric Sasono. Waktu saya membaca review itu, saya kira film ini adalah film dokumenter soal pembuatan konser Kantata Takwa. Seperti Shine A Light-nya Martin Scorsese lah. Ada dokumenter soal band, lalu lebih banyak cerita soal konser. Dan saya kira, film ini adalah film yang sama seperti yang sering diputar TPI beberapa tahun lalu. Film konser Kantata Takwa. Ternyata, ini film tentang gerakan budaya yang dilakukan beberapa seniman dengan menggelar pertunjukkan yang merupakan kombinasi antara musik dan teater. Film musikal yang inspirasinya diambil dari lagu-lagu Kantata Takwa dan Swami, begitulah deskripsi singkatnya.

Film ini dibuka dengan adegan WS Rendra alias Willy yang tertidur. Lantas narasi dibuka oleh Willy yang membacakan puisi yang kemudian dikenal publik lebih luas lewat lagu "Kesaksian." Sebuah pembuka yang langsung mencuri perhatian. Apalagi buat penggemar Iwan Fals seperti saya. Lagu ini sudah saya dengar bertahun-tahun, dan mendengarnya kembali di dalam bioskop, mendengarnya ada di dalam film adalah kebahagiaan tersendiri.

Aku mendengar suara, jerit makhluk terluka.
Luka,luka, hidupnya luka.
Orang memanah rembulan, burung sirna sarangnya.
Sirna,sirna hidup redup, alam semesta luka.

Banyak orang hilang nafkahnya.
Aku bernyanyi menjadi saksi.
Banyak orang dirampas haknya.
Aku bernyanyi menjadi saksi.
Mereka dihinakan tanpa daya.

Ya, tanpa daya.
Terbiasa hidup sangsi.

Orang-orang harus dibangunkan. Aku bernyanyi menjadi saksi.
Kenyataan harus dikabarkan. Aku bernyanyi menjadi saksi.

Lagu ini jeritan jiwa. Hidup bersama harus dijaga.
Lagu ini harapan sukma. Hidup yang layak harus dibela.


Kalimat "Orang-orang harus dibangunkan" sepertinya yang jadi alasan kenapa adegan pembukanya Willy yang tertidur lelap. Saya masih menebak-nebak maksud dari simbolisasi orang tertidur ini. Mungkin simbol bahwa masyarakat kita yang tak peduli, tertidur saja sementara banyak ketakadilan terjadi di negara ini, jika kita lihat liriknya. Sosok perempuan berkerudung hadir sejak awal film. Perempuan ini tak berbicara sepanjang film. Di setiap adegan, dia hanya memandang iba.



Kantata Takwa adalah teater yang difilmkan. Semua pesannya, disampaikan sebagian besar lewat teater. Tapi, tenang saja. Bukan tipikal teater yang akan membuat kening orang awam berkerut. Setidaknya, saya sebagai orang awam teater tak berkerut melihat semua adegan film ini. Simbolisasinya digambarkan dengan cukup lugas. Lagipula, di awal film ditulis bahwa ketika film ini dibuat rezim Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto sedang berkuasa. Makanya, saya rasa siapapun akan dengan mudah menangkap maksud yang ingin disampaikan film ini.

Militer digambarkan dengan sosok orang-orang memakai jas hujan, memakai masker, serta membawa senjata. Mereka menyiksa. Membunuh. Dan pada akhirnya, mereka dikejar massa yang kemarahannya memuncak.

Selain adegan teatrikal yang dipentaskan oleh Bengkel Teater Rendra, film ini menggabungkan dokumentasi pementasan konser Kantata Takwa, dan semacam wawancara singkat dengan para personel Kantata Takwa: Iwan Fals, Sawung Jabo, WS Rendra, Yockie Suryoprayogo, dan Setiawan Djody. Masing-masing menjelaskan definisi Takwa menurut mereka. Di sini ada adegan Yockie bermain piano di atas mobil, mengelilingi kota yang mengingatkan pada adegan Vanessa Carlton di video klipnya. Hanya saja, ini dibuat beberapa belas tahun lebih awal.

Ada tiga adegan yang paling saya suka. Yang pertama, adalah adegan ketika para personel Kantata berdiskusi soal konsep pertunjukkan mereka. Willy menyarankan mereka membuat lebih banyak lagu. "Asal jangan berdakwah aja," kata Iwan Fals, sambil tertelungkup di lantai dan bertelanjang dada.

Yang kedua, adalah adegan di lagu "Hio." Sawung Jabo dan Iwan Fals berhadapan dalam ruang gelap. Sorot lampu menyinari keduanya, sehingga gambar itu akan sangat indah sekali secara fotografi. "Hidup ini hanya ada dua pilihan. Serius atau tidak serius," kata Jabo kepada Iwan. "Jadi, kamu serius tidak?" kurang lebih begitu kata Jabo. Iwan, tak langsung menjawab. Ada keraguan di benaknya. "Tapi saya hanya manusia biasa," kata Iwan. Jabo yang meledak-ledak penuh semangat, dibalas Iwan yang seakan ogah-ogahan menjawab tantangan Jabo. Mungkin penulis skenario [Erros Djarot dan Gotot Prakosa] sengaja memberi dialog ini pada Iwan karena memang mereka tahu Iwan orangnya seperti itu. Jika kita mengutip kalimat "Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata" dari puisi Willy, maka Iwan cenderung malas untuk melaksanakan kata-kata.

[Sedikit intermezzo, dua hari lalu saya mewawancarai Bimbim Slank. Kurang lebih dia berkata hal yang sama soal Iwan. Jika Slank ingin tak sekadar bicara, tapi ada aksi, Iwan lebih memilih posisi sebagai seniman yang hanya mencetuskan ide.]

Yang ketiga, adalah adegan Iwan Fals yang bertelanjang dada, menenteng gitar di sebuah tepi sungai. Di sana, dia disambut belasan anak kecil yang bertelanjang bulat dan belum disunat. "Bento! Bento! Bento!" mereka meneriakki Iwan dengan nama itu. "Jangan panggil saya Bento!" kata Iwan. Lantas, anak-anak kampung nan kumal itu mengenalkan namanya masing-masing yang ternyata namanya terdengar lebih kota daripada penampilannya. Ada yang namanya Teddy, hingga Jansen. Yang lainnya saya lupa. Dan mereka pun menyanyikan lagu "Bento," diiringi gitar kopong Iwan Fals. Adegan lalu pindah ke hutan di mana seorang lelaki botak berpakaian jas melihat-lihat tanah. Dia lantas dikejar-kejar massa dan gerombolan anak kecil. Dan lagu "Bento" pun dinyanyikan. Gambar berpindah-pindah dari adegan si bos dengan perempuan-perempuan seksi ala '90s dengan blazer yang pundaknya diberi bantalan, dan model rambut mengembang, hingga adegan di pertunjukkan Kantata Takwa.  

Menjelang akhir, adegannya adalah pembunuhan semua personel Kantata. Dan di setiap adegan itu, perempuan berkerudung hanya memandang tanpa bicara nyaris tanpa emosi. Di akhir adegan, si perempuan berkerudung terlihat mengajak ratusan perempuan muda lainnya yang juga berkerudung menuju satu arah. Si perempuan berkerudung yang diperankan Clara Sinta itu, kembali memandang dari kejauhan ke arah para personel Kantata yang sedang berdiri di atas batu.  

Pada saat konferensi pers, saya tanyakan soal simbol perempuan berkerudung ini kepada Erros Djarot dan Willy. Saya merasa para pembuat film tak tegas menggambarkan pandangan mereka terhadap agama. Apa yang ingin disampaikan mereka soal agama, tak segamblang atau selugas penggambaran mereka terhadap sosok penguasa yang menindas. Makanya, simbolisasinya hanya perempuan berkerudung yang bisanya cuma memandang tanpa berinteraksi. Apakah ini karena faktor banyak pita yang terendam hingga adegannya sedikit? Atau memang, itu yang dirasakan pembuat film, agama tak banyak membantu ketika penindasan itu terjadi?

Erros Djarot mengatakan bahwa di era itu banyak kyai yang terkooptasi penguasa. Dan kurang lebih seperti itulah yang ingin disampaikan. Walau begitu, dia bilang, faktor agama digambarkan dengan banyak lewat puisi-puisi yang dibacakan Kyai Willy--meminjam istilah yang digunakan Erros--di film. "Doa itu tak harus melulu literer!" kata Willy. "Kita tak perlu setiap saat mengangkat tangan dan membaca doa-doa."

Kembali ke delapan belas tahun lalu ketika pementasan Kantata Takwa digelar, Willy tak mengira gerakan budaya yang mereka susun malah berkembang menjadi besar. Djody malah mendatangkan paduan suara. Lantas malah merekam lagu-lagu yang mereka buat. "Kalau pementasannya dilarang, minimal lagunya sudah direkam," kata Djody. Djody juga membeli sinar laser untuk pertunjukkan itu. Dan bisa mendapat ijin untuk menggelarnya di stadion. "Bu Tien suka sama Djody soalnya, makanya kami dapet ijin. Djody itu wajahnya mirip Pak Harto waktu muda," kata Erros sambil terbahak.

Film Kantata Takwa ini, mengendap selama belasan tahun di rumah sutradara Gotot Prakosa. Baunya sudah sering dikeluhkan istri Gotot. "Makanya, saya telpon Erros, saya bilang, kalau film ini tak segera dibuat, saya bisa diusir dari rumah," kata Gotot sambil tertawa.

Delapan belas tahun menunggu rasanya tak apa. Seperti halnya film Rock N' Roll Circus dari The Rolling Stones yang baru dirilis pada tahun 1995 padahal dibuat pada tahun 1968, penantian akan film Kantata Takwa tak sia-sia. Melihat sosok para personel Kantata delapan belas tahun lalu, jelas menjadi nostalgia yang menyenangkan. Iwan Fals masih dalam kondisi liarnya. Bertelanjang dada, rambut panjang, berkumis dan berjenggot. Djody belum terlalu memaksakan egonya di Kantata. Dia masih sadar akan posisinya yang sama dengan yang lain, meskipun dia yang membiayai gerakan itu. Berbeda dengan ketika Kantata masuk di album Kantata Samsara, di mana Djody mulai ingin terlihat lebih menonjol dengan cara memasang fotonya dalam ukuran paling besar dan menulis kata pengantar sok bijak dan sok budayawan.                
 

Dan yang paling membahagiakan tentunya kehadiran film musikal seperti ini. Yang digarap dengan baik. Yang punya pesan mendalam sekaligus akan menghibur. Yang tak senorak film [maunya] musikal Bukan Bintang Biasa. Tahun depan, Garin Nugroho akan merilis film [yang sepertinya sih judulnya] Generasi Biru. Film musikal yang digabung dengan dokumenter dan animasi, tentang Indonesia yang dilihat berdasarkan lagu-lagu Slank. Dengan begitu, dua musisi pujaan saya punya film musikal yang berkualitas.[Mudah-mudahan film karya Garin juga akan semenarik Kantata Takwa].

Tapi, melihat film ini saya jadi sedikit sedih. Karena faktanya, sekarang tak ada lagi gerakan budaya sebesar dan sepopuler ketika Kantata Takwa digelar. Gerakan budaya yang tak hanya akan masuk pada kalangan seniman, budayawan dan sejenisnya. Tapi juga akan diterima dengan baik oleh orang awam.

Kantata adalah kombinasi yang pas; Musisi paling digilai di Indonesia, bertemu sastrawan kelas atas, musisi/komposer handal, musisi/seniman gila, dan musisi/penyokong dengan kondisi finansial yang super berlebih.

Buat kamu yang penasaran ingin menontonnya. Berbahagialah, karena atas adanya teknologi digital yang kemudian membuat film ini bisa diputar di bioskop, Kantata Takwa akan diputar di Blitz Megaplex dari tanggal 26 September hingga 4 Oktober. Ini masih bisa diperpanjang jika masih banyak orang yang ternyata ingin menontonnya.

Dan oya, tolong dimaafkan poster filmnya yang jelek. Untuk kali ini, tolong jangan menilai sesuatu dari sampulnya.    
      

 

Tuesday, September 16, 2008

Iggy Kapan Kau Akan Datang?

Suka iri melihat posting soal orang yang bahagia akan pergi ke konser Motley Crue.

Ada beberapa musisi luar negeri yang sangat ingin saya tonton langsung. Tapi, beberapa di antaranya sudah tak mungkin. The Ramones jelas. The Clash juga. MC5 apalagi. Makanya saya suka iri melihat orang-orang beramai-ramai membobol tabungan dan pergi ke Singapura buat menonton band pujaannya.

Waktu The Rolling Stones datang ke Singapura, saya belum bekerja. Boro-boro beli tiketnya. Beli albumnya aja harus mengumpulkan dulu uang. Sekarang, mereka keburu pensiun. Harapan itu sepertinya makin kecil saja. Padahal, begitu saya dapat kerja, saya berjanji, salah satu alasan menabung adalah demi konser The Stones, jika mereka mampir lagi ke Singapura. Eh sekarang mereka malah pensiun. Sialan. Waktu Mick Jagger ke Jakarta, saya masih bocah. Boro-boro sudah suka Kang Mick, ijin dari orangtua pun belum tentu dapat.

Sepertinya, yang paling sedikit agak mungkin, adalah berharap melihat The Stooges mampir ke Singapura nih [ke Indonesia mah sepertinya akan susah sekali, biarpun Setiawan Jody berteman dengan Iggy Pop, sepertinya The Stooges tak akan pernah bisa tampil di Indonesia]. Tahun kemarin mereka kan rilis album The Weirdness. Bermimpi melihat The Stooges sepertinya bukan sesuatu yang muluk.

Jadi, oh Iggy Pop, kapan kau akan datang?  

Monday, September 15, 2008

Soleh Solihun Vs Deddy Corbuzier

Saya mewawancarai Deddy lebih dari setahun lalu, waktu masih bekerja di majalah sebelum ini, dalam rangka penulisan feature soal sulap dan membuat naskah cadangan untuk rubrik 20Q. Feature itu akhirnya malah dimuat di majalah tempat saya bekerja sekarang, dan naskah cadangan untuk rubrik 20Q itu jadi terbengkalai. Jadi, daripada tak dimuat sama sekali, lebih baik saya publikasikan di sini.


20Q DEDDY CORBUZIER

Teks Soleh Solihun
Foto Bayu Adhitya

Best Asian mentalist bicara soal rasanya mencabuti rambut, pentingnya memertahankan karakter dan kenapa keluarganya mirip dengan The Adams Family.

Q1
Sejak memutuskan untuk berdandan begini, Anda telah berkomitmen ya?
Yang namanya karakter, berarti mulai pagi hari, elo harus punya karakter. Banyak orang nanya, elo jalan-jalan ke mall aja, make up. Gue balik lagi, Kris Dayanti ke mall kan seperti biasa. Pemikiran gue begini, kenapa di teve dia seperti itu, karena dia ingin terlihat seperti itu. Harusnya dia punya tanggungjawab yang sama. Itu yang gue lakukan. Elo ketemu gue di manapun, elo akan melihat gue yang ada di teve. Jadi, masyarakat tidak menganggap itu hanya make up, hanya topeng.

Q2
Butuh kerja keras kan?
Ya rambut kan dicabutin dua hari sekali. Makanya sambil dicabutin sambil ngomong, cari duit susah, cari duit susah. [tertawa]. Tidak semudah itu kita bisa sukses. Apalagi gue mulainya dari nol.

Q3
Momen terberat dalam karir Anda?
Ya saat Kalina hampir mati. Latihan memang, tapi dengan lingkungan yang terkontrol. Pada saat itu, kami tidak mengharap akan selama itu. Tapi, in other hand, kami mengalahkan Houdini, karena lebih lama. [tertawa]. Jeleknya, dia pingsan, sampai gagal nafas. Itu momen yang paling berat. Dan itulah, sulap walaupun ada teknisnya, ada rahasianya, bukan sesuatu yang mudah. Salah sedikit, aja itu fatal. Apalagi permainan yang menyangkut diri.

Q4
Kalau dalam hal perjuangan meniti karir?
Kalau bicara perjuangannya, berat. Gue sempet show sama Indra Safera dan Titi DJ. Mereka diminta tanda tangan, gue ngangkut koper, nyari taksi. Belum lagi, tekanan dari teman-teman, orangtua, elo mau makan apa dari sulap? Cuma, orangtua saya waktu itu mengatakan, elo mau ngapain aja, asal kuliah elo selesaikan. Sulap itu the art of magic itu sebenernya seperti the art of dreaming. Apapun yang elo mimpikan, bisa elo wujudkan. Elo mimpi terbang, harus bisa terbang. Gue mimpi bisa prediksi masa depan, gue harus bisa memprediksi. Bikin orang seperti X Men gue harus bisa. Banyak magician yang merasa dia bisa mewujudkan mimpi-mimpinya, akhirnya mengabaikan formal education. Gue tidak menomorduakan formal education. Makanya gue punya master di Parapsikologi. Gue dosen tamu di UI, ngajar psikologi. Banyak seminar yang bukan sulap, bisnis, branding. Banyak magician yang uneducated. Very uneducated. Bagaimana mereka menjadikan sulap sebagai bisnis, kalau mereka uneducated. Itu juga salah satu penyebab sulap di Indonesia kurang  berkembang. Mereka tidak mengerti, bahwa magic can be a very good business.

Q5
Berapa kali dalam setahun Anda memikirkan trik baru?
Ada sekali. Jadi, gue membuat sebuah program bahwa setiap tahun, gue harus ada sesuatu yang dibicarakan masyarakat. Contohnya, waktu itu nyetir nutup mata. Bantu polisi nyari bahan hilang. Pernah nebak headline KOMPAS. Itu semuanya under schedule. Terakhir kali gue muncul di serial TV, “Mentalist in Action” di TV7 tiga tahun lalu. PR kita harus kuat. Kebetulan PR-nya gue sendiri. Contohnya, gue bikin buku “Mantra,” ini buku psikologi, nggak ada sulapnya sama sekali. Nanti gue bakal nerbitin buku lagi, “The Book of Magic.” Buku sulap paling tebal di Indonesia. Paling komplit, mahal. Ada Romy Rafael, Demian, semua anak-anak Pentagram. Ada yang nanya, kenapa tahun lalu gue nggak buat apa-apa. oh, tahun lalu gue married. Gue nggak perlu buat apa-apa. Itu kan udah seperti sebuah jualan.

Q6
Ketika menikahi Kalina, Anda memikirkan soal dia bisa dibentuk sesuai imej Anda?
Oh iya, sudah dipikirkan. Sampai Kalina itu adalah nama ciptaan saya. Nama aslinya Rani. Ketika saya pacaran sama dia, saya ditanya wartawan, saya beri nama Kalina. Karena nama Rani tidak menjual. Dia model, tidak bisa sulap. Saya membuat karakter wanita yang bisa maen sulap. Model bok, apa gothic-nya? Akhirnya gue bikin semua hitam. Rambut dipanjangin.

Q7
Itu salah satu bukti keahlian Anda berkomunikasi?
Kalau mau dibilang, Kalina itu ciptaan, sosok Kalina itu nggak ada. Romy Rafael itu nggak ada, gue nyiptain Romy Rafael. Demian itu nggak ada, gue nyiptain sosok. Karakter itu gue yang nyiptain semua.

Q8
Waktu anak Anda ulang tahun, dia melakukan trik membengkokan sulap. Ini bagian dari promosi Anda?
Jadinya seperti The Adams Family ya. [tertawa]. Buat gue, sulap itu komoditi. Sesuatu yang memang bisa kita kembangkan. Balik lagi, seperti jual barang deh, yang mahal merk barangnya kan?

Q9
Punya pakaian selain warna hitam?
Kebetulan, gue nggak punya. Semua wardrobe pun. Sampai celana dalam gue. Mau lihat? [tertawa]. Nah, ini salah satu penciptaan karakter. Apa yang ingin masyarakat lihat. Makanya ada orang nanya, ‘kenapa sih elo pake item-item?’ supaya elo nanya. [tertawa]. Anak gue aja, gue pakein baju item-item. Makanya, banyak wartawan nanya, ini kan pemaksaan kehendak. Anak gue kan belum punya kehendak. Baru lahir dong.

Q10
Berapa banyak yang melihat sosok Anda di luar kostum ini?
Paling keluarga dan kru. Janjian sama orang  biasa aja gue dandan. Temen lama aja, kadang-kadang gue make up-an.

Q11
Melelahkan?
Melelahkan melelahkan, boring ya boring. Tapi, then again it’s a matter of character. Gue nggak akan bisa membuang karakter itu. Kalau berubah sih bisa. Beberapa bulan lalu, sempet numbuhin jenggot dan kumis. Satu-satunya masyarakat melihat gue tanpa make up di teve ketika ayah gue meninggal. Mau ngomong apa? Ya itu kan, satu hal yang tiba-tiba. Kalau gue make up, namanya kurang ajar. Ini fleksibel, tapi dalam artian branding can be modified, but can not be changed.

Q12
Di situs, Anda mengaku best Asian mentalist? Tidak takut dikira sombong?
Oh nggak. Karena pada tahun 2003, ada perkumpulan magician di Asia yang mengadakan lomba sulap dan gue menang. perlombaan trik dan kreativitas. Ada beberapa permainan yang dianggap bagus. Terus performance gue dilihat juga.

Q13
Yang paling aneh yang pernah dikira orang tentang Anda?
Ada orang-orang yang datang ke gue mau pasang taruhan, judi bola. Karena ngelihat gue bisa nebak headline Koran. Bisa nggak minta tolong. Sampe ngemis-ngemis, bilang punya hutang seratus juta. Gue jawab jujur aja, kalau gue bisa gue pasang sendiri [tertawa]. Itu akhirnya gue terangin lagi, eh ini entertainment. Ini bukan hal-hal seperti itu.

Q14
Dan ada yang percaya Anda punya jin ya.
Oh kalau itu gue selalu bilang, gue punya banyak. Ada LEA, Levi’s. [tertawa]. Intinya kalau saya belum lihat, saya belum percaya. Sampai saat ini sih belum pernah. Wah susah banget ngelihatnya. Bagaimana caranya?  

Q15
Pandangan Anda soal paranormal?
Saya tidak mengatakan efek-efek paranormal itu nggak ada. Tapi kalau di dunia sulap, kami bisa menduplikat efek-efek paranormal. Banyak paranormal yang palsu. Kalau gue mengatakan banyak, berarti bukan semuanya palsu. Ada yang asli? Oh gue belum ketemu. Karena gue nggak pernah nemuin paranormal. Ngapain gue nemuin paranormal? Jadi banyak yang palsu. But then again, it’s a good business buat mereka.

Q16
Waktu itu Anda pernah menantang paranormal untuk menebak tulisan di kertas yang Anda buat.
Gue nggak nantang paranormal. Tapi, nantang masyarakat. Paranormalnya aja yang merasa tertantang. Padahal, loh ngapain gue nantang paranormal? Ngapain juga paranormal ngurusin yang begituan? Mending ngurusin negara.

Q17
Kalau pandangan Anda soal santet?
Selama ini sih, saya pribadi nggak percaya tentang santet, pelet, penyembuhan gaib. Ngapain ada dokter? Semuanya aja sembuhin dengan cara itu.

Q18
Musik seperti apa yang Anda dengarkan?
Gue macem-macem. Kebetulan gue nggak terlalu suka musik, paling mendengarkan musik kayak Enja, Sarah Brightman, Gregorian. tapi bini gue suka banget musik. Jadi dia atau asisten gue yang nge-burn-in gue CD. Dengerin di mobil, jadi akhirnya gue tahu lagu-lagu baru. Tapi gue nggak tahu lagunya siapa. Jadi, mereka yang nge-burn-in dan secara kurang ajar masukin ke tempat CD gue [tertawa.]
 
Q19
Tidak menyukai musik keras malah ya? Menyeramkan di luar, di dalemnya lembut?
Saya baik hati. Kalau metal segala macem saya nggak suka. Menurut saya nggak ada seninya. Nggak ngerti lah, teriak-teriak doang. [tertawa]

Q20
Padahal, Anda identik dengan kegelapan.
Then again, it’s a matter of character. Marylin Manson aja kan guru TK.
 

Thursday, September 11, 2008

Soleh Solihun dan The Titans

Setahun lalu, ketika saya masih bekerja di majalah sebelum ini, saya mewawancarai vokalis Rizky, kibordis Andika, bassis Indra, drummer Tomtom, gitaris Oni dan programmer Imot dari The Titans dalam rangka promosi album perdana mereka. Tapi, wawancara ini tak pernah dimuat karena majalahnya belum kunjung terbit. Hari ini, saya mewawancarai mereka untuk kedua kalinya--kali ini dalam rangka promo album kedua mereka, Melayang Lagi. Hitung-hitung mengenang pertemuan kami dan membayar hutang karena tak pernah mempublikasikan wawancara kami tahun lalu, saya muat petikannya.


Bagaimana sejauh ini, perkembangan The Titans?
Andika: Alhamdulillah, belum ada hambatan yang berarti. Kebanyakan sih, nerima kami dengan baik. Seru-seru aja. Yang paling kerasa sih, bikin tambah semangat. Ternyata, orang nganggap kami bagus.
Tomtom: alhamdulillah, selain dari respon dari masyarakat remaja maupun dewasa, anak-anak kecil juga, Udah banyak yang suka. Seneng aja. mudah-mudahan kakaknya ada yang suka, ibunya juga bisa suka.

Waktu membuat ini, harapan kalian apa?
Andika: Kami hanya mikirnya, ini tempat buat mencurahkan karya kami. Nggak ada target apa-apa. Apalagi soal penjualan.

Ibaratnya, kalian standarnya sudah tinggi. Tidak terbebani?
Andika: Makanya, kami di sini mencoba membuat lagu yang bagus. Kalau sudah begitu, kami puas. Mudah-mudahan prestasi itu bisa terulang kembali.

Kabar band kalian sebelumnya bagaimana nih?
Tomtom: Awalnya saya pindah ke The Titans, karena masing-masing personel di T-Five, sudah ribet dengan urusannya, ngumpulinnya susah. Ceritanya Andika sama Indra mau bentuk band lagi. Denger curhatnya Andika waktu dikeluarin. Awalnya waktu itu sih, gue sama Andika mikirnya buat ngobrol aja dulu. Tahu-tahu, kami mencari yang lain. Temen-temen T-Five sih mendukung, dan saya sudah resmi mengundurkan diri.
Ricky: Izzy, tahun kemarin masih jalan, sampai pemain gitar keluar, pemain drumnya juga. Bulan Oktober, pemain bass kami masuk Peterpan. Sampai akhirnya gue ditawarin buat ikut audisi.

Waktu di Izzy, Anda kan berpakaian ketat ala rock n’ roll, sekarang berpakaian biasa saja. Apakah kemarin itu karena tuntutan produser?
Rizky: Kompetisi begitu kan, Cuma menyatukan kemampuan bermusik saja. Percuma, kalau di band bersatu, tapi tidak di kehidupan sehari-hari. Kemarin, itu dilihat dari kemampuan orang-orang bermusik, maunya ke mana. Cuma, anak-anaknya sendiri ngerasa nggak nyaman.

Apa rasanya, selalu dibanding-bandingkan dengan Peterpan?
Andika: Karena infotainment, memberitakannya selalu seperti itu sejak awal. Jadi, orang-orang ter-brainwashed. Padahal kan, kami beda. Di Peterpan itu, ada warnanya aku sama Indra. Kalau di The Titans, ada warna yang sama, itu karena ada aku dan Indra. Mungkin karena kami masih jarang manggung, imej kami masih menyangkut ke sana. Mudah-mudahan seiring banyaknya manggung, imej itu akan hilang dengan sendirinya, dan menganggap The Titans band baru. Dan masyarakat bisa tahu, ternyata ada band baru.

Untuk yang berempat, bagaimana rasanya ketika The Titans selalu dikaitkan dengan Peterpan?
Tomtom: Kalau saya sih, tidak masalah. Karena ada dua orang dari Peterpan. Dan kami juga mengakui kalau Peterpan dulu pernah jadi band besar, band yang termasuk fenomenal. Kami berempat menganggap wajar lah, kalau ada orang yang menganggap begitu. Kalau misalnya di sini, ada anak T-Five nya tiga orang, mungkin yang disebut dua band. Karena di sini dua orang, terus kondisinya nggak jauh waktunya, karena mereka berdua nggak lama dengan waktu dikeluarin.

Lagu “Hingga Nanti Sampai Mati” bercerita tentang sakit hati dipecat dari band?
Andika: Lagu itu global. Bisa bercerita tentang apa saja. Tapi, itu lebih ke soal cewek. Lagi saying-sayangan sama cewek, tiba-tiba menghilang tidak ada kabar. Karena di album ini, tema cintanya banyak. Jadi, kami nyari tema cinta yang arahnya agak berbeda sedikit. Itu nggak soal aku saja. Tergantung interpretasi orang mau dibawa ke mana, yang penting albumnya dibeli. [tertawa].

Sepertinya tema kesepian cukup dominan di album ini. Apa yang melatarbelakanginya?
Indra: Karena kami melihat band lain, tema cintanya begini, kami mencoba bikin yang berbeda. Mungkin buat album kedua, lirik cintanya nggak akan yang sedih.
Rizky: Orang Indonesia itu senang dengan tema yang sedih.

Memang lebih mudah menulis tema cinta ya?
Indra: Kalau didengerin semua, album ini nggak melulu cinta sih. Lagu “Batas Waktu” kan bukan cinta. Mungkin kami belum kepikiran ke tema yang lain.
Andika: Yang pasti sih, kami mencoba untuk jujur. Apa yang kami rasain, ya itu yang keluar. Aku dari kemaren nggak kepikiran soal politik. Jadi, kalau aku bikin lirik politik, bullshit banget. Kalau kami jujur, mungkin ke orang juga bakal lebih kena.

Kalau kita lihat sejarah band-band pop, setelah lima album popularitas mereka menurun. Apa yang bisa kalian lihat dari itu?
Indra: Yang aku tahu sih, itu biasanya karena pengin idealis. Dan biasanya musiman. Di Indonesia itu bukan penikmat, tapi pengidola.  
Andika: Mungkin bisa dibilang, orang Indonesia itu nggak ada yang setia. Ada band baru yang lebih fresh, kalau nggak denger itu, kampungan. Akhirnya yang sebelumnya ditinggalin. Cara the Titans buat bertahan, antara lain bikin lagu yang bagus. Ditahan idealismenya jangan sampai keluar semua. Karena kalau dibilang semua band seperti itu, nggak setuju juga, lihat aja Slank.

Menahan idealisme itu, bagaimana?
Oni: Mungkin harus lebih dikendalikan. Kayak yang di The Titans, aku masukin unsur-unsur elektronik, aku tahan supaya nggak jadi band elektronik. Kalau kita bikin karya cuma bisa dinikmati sendiri, itu namanya onani.  
Tomtom: Idealis perlu, tapi kalau mau jualan, harus ada batasannya.

Definisi idealis itu seperti apa sih?
Indra: Maen sendiri kalau menurut aku sih. Ada yang ngasih masukan, nggak mau didenger.
Oni: Idealis itu, satu hal yang ideal menurut si orang. Dan masing-masing harus tersalurkan idealismenya. Itu yang ideal.

Bagaimana ceritanya bisa dikontrak EMI?
Andika: Memang, dari awal kami terbentuk, ada beberapa major label yang tertarik, bahkan Musica sendiri. Cuma, dari EMI kami diberikan kebebasan penuh untuk berkarya. Nggak disetir. Dari awal mereka percaya. Kami cuma ngasih dua atau tiga lagu demo. Treatment yang kami dapatkan dari EMI juga bagus. Dan untuk saat ini, kami tidak gabung dengan Musica, karena kami tidak mau dibayang-bayangi Peterpan terus.

Kalian mendengarkan album Peterpan yang terbaru?
Andika: Masih bagus sih, cuma suasananya udah berbeda aja yang sekarang. Nuansanya ganti deh.

Untuk Rizky, bagaimana rasanya membaca komentar orang di situs The Titans, yang menganggap Anda meniru-niru Ariel?
Rizky: Karena memang jalannya musti seperti itu, kalau gue yang keluar duluan dan Ariel yang menggantikan gue, mungkin Ariel yang akan dimirip-miripkan dengan gue. Jadi, gue sih nyantai aja. Dan ada temen gue, yang juga kenal Ariel, dia bilang gue nggak mirip. Tinggi, lebih tinggi gue. Lebih putih gue. Kalau ganteng, gantengan Ariel. Sedikit! Gue yang banyaknya [tertawa].
Andika: Aku pribadi sama Indra, tujuh tahun sama Peterpan, bisa menjamin, kalau Rizky nggak ada mirip-miripnya sama Ariel.

Kenapa Rizky yang dipilih?
Andika: Kami udah ngerekam tiga lagu, range vocal Rizky yang paling cocok. Terus, dia bisa menghayati lagu-lagu yang kami bikin, dengan waktu yang mepet. Ada sekitar lima puluh orang yang ikut audisi.
Tomtom: Dan sebelum kami memilih Rizky, kami mencari info soal Rizky ke orang-orang, buat tahu gimana sih Rizky? Paling nggak, attitude-nya Rizky yang paling utama. Alhamdulillah sejauh ini sih, attitude-nya masih bagus. Masih nurut [tertawa].

Pendapat kalian soal Kangen Band?
Oni: Secara materi lumayan, karena mereka Melayu sekali lagunya, jadi mudah laku. Mungkin kualitas kurang.
Andika: Aku baru tahu kemarin soal mereka. Pengetahuan mereka kurang soal aransemen lagu yang bagus. Mungkin mereka sendiri juga, nggak tahu bakal seperti ini. Dan di beberapa track, ada yang fals kok direkam? Masih ngasal. Mudah-mudahan mereka bisa lebih bagus lagi dari sekarang.
Oni: Aku sih bebas-bebas aja, mungkin karena ini yang pertama.
Indra: Aku sih simple aja. Mereka cuma butuh waktu dan jam terbang.

Kalau ada yang ngaku fans the Titans minta foto bareng, tapi tidak pernah mendengar musik kalian. Apa perasaan kalian?
Indra: Tadi pas kami berangkat ke sini, ada yang minta foto bareng, terus nanya, Arielnya ke mana?
Tomtom: Di Jogja, lagi wawancara radio, penyiarnya ngomong begini, “Gimana Indra?” “Gimana Tomtom?” Pas nanya Indra, “Lukman gimana? Eh, Lukman atau Uki?” Untung nggak bilang, “Selamat ya Peterpan buat album barunya.”

Atau, mungkin salah media? Lebih sering mengultuskan sosok, ketimbang karya.
Andika: Mungkin sedikit banyak ada pengaruh media juga. Ngomongin selingkuh lah, kawin. Orang lebih seneng ngeliat sosok orangnya jadinya. Makanya kami sepakat, kalau ada pertanyaan yang tidak berhubungan dengan musik, tidak akan dijawab. Di band kami dulu, lebih banyak diekspos soal pribadinya. Sekarang, kalau mengekspos karya, hayuk kami ladeni.

 
 

Tuesday, September 09, 2008

10 Fakta Tentang Saya

Beberapa hari lalu, Alin men-tag saya untuk ikut permainan ini. Maka, inilah respon saya atas tag Alin:


1. Obsessive Compulsive Disorder. Saya baru tahu istilah ini setahun terakhir. Setelah tahu, ini menjelaskan beberapa perilaku saya. Sejak masih di bangku TK, setiap memakai sepatu, saya selalu ingin panjang kedua talinya sama. Saya belum bisa berangkat jika dua talinya belum sama panjang. Dan ini masih berlangsung hingga sekarang, walaupun tak separah dulu. Di kampus, saya sering kali meninggalkan kampus dalam jam-jam  yang pas. Misalnya, jam empat pas. Jam lima pas. Jam setengah empat pas. Saya kira, dulu saya mengatakan itu karena ingin mengulur-ulur waktu supaya bisa lebih lama di kampus dan supaya teman-teman mau menunggu, ternyata setelah saya tahu ada yang namanya OCD, hal itu bisa dijelaskan.

2. Dancing Queen. Kata ibu saya, ketika saya berumur sekira dua tahun, saya sangat menyukai lagu ini. Sering kali saya memaksa untuk diputarkan lagu ini. Dan bisa menangis jika tak diputarkan permintaannya. Saya tak ingat tentu saja.

3. Pernah mimpi basah di lapangan sepak bola di saat ospek. Tepatnya di dalam tenda peleton. Kejadiannya tahun 1997. Sekira dua hari sebelum Lady Diana meninggal dunia [saya ingat benar, ketika pulang dari ospek melihat berita teve kalau Lady Di meninggal]. Entah kenapa, setiap kali saya lelah, dengkul dan kaki pegal, sering kali malam harinya bermimpi basah. Nah, ospek sudah pasti melelahkan. Mungkin itu sebabnya. Mungkin juga karena anggota Tatib perempuan, angkatan ’95 Fikom Unpad sebagian besar berwajah cantik, menarik, dan bertubuh wangi. Bukannya takut dan kesal, saya malah senang dimarahi mereka dalam jarak yang sangat dekat. Hehe. Dulu saya malu setiap teman-teman saya meledeki soal ini. Tapi sekarang, ah kenapa mesti malu. Tak semua orang bisa merasakan mimpi basah di tempat dan saat seperti itu, bukan? Mungkin ini menandakan saya bisa melihat sisi positif dari kegiatan yang sangat penuh tekanan sekalipun.

4. Waktu TK, selalu tak ingin dipotong rambut karena teman-teman TK rata-rata gondrong dan berambut seperti Adi Bing Slamet. Hingga suatu saat, saya menggunting sendiri poni depan rambut saya supaya terlihat seperti belah tengah, tapi tanpa harus dibelah. Saya bikin belah tengah itu permanen dengan menggunting poninya. Akhirnya ibu saya malah menggunduli kepala saya. Akibatnya, saya malah malu karena teman-teman meledeki saya Pak Ogah.

5. Medio ’88, rumah keluarga kami pindah dari sebuah daerah bernama Desa Narogong, ke Kompleks BTN di Gunung Putri. Narogong adalah daerah yang sebagian besar penghuninya berbahasa Sunda. Sedangkan Gunung Putri, terdiri dari banyak suku. Ada yang Jawa, Sunda, bahkan Betawi. Di hari-hari pertama kami pindah, saya malu untuk berbicara. Pasalnya, bahasa Indonesia saya tak fasih. Bahkan ketika disuruh ke warung beli telur dan pulpen pun, saya malah menggunakan ‘endog’ dan menggunakan kata ‘ballpoint’ yang diucapkan dengan volume yang sangat kecil karena takut salah. Belakangan saya tahu bahwa kata ‘pulpen’ juga adalah bahasa Indonesia.

6. Pernah mencoba belajar memainkan gitar ketika SMA tapi menyerah. Pertama, karena jari saya jadi kapalan dan saya kesal. Kedua, karena gitar di rumah selalu fals, tak ada yang bisa menyetem, jadi bagaimanapun saya memainkannya, selalu terdengar fals. Ketiga, karena di saat saya ingin belajar memainkan gitar, eskul bela diri dan baris berbaris lebih menyita waktu saya.

7. Bicara soal fals, ketika SMA, saya selalu menuliskan nama Fals di belakang nama saya. Soleh Fals. Bahkan, di buku tahunan pun, saya menuliskan nama itu di bawah tanda tangan saya. Baru setelah kuliah saya meninggalkan kebiasaan itu. Beberapa teman SMA, kadang masih suka meledek saya dengan nama Fals ini jika bertemu.

8. Pernah menjadi santri terbaik di pesantren kilat ketika kelas dua SMP. Padahal, kerjaan saya sebulan penuh selama pesantren kilat itu, hanya tidur. Tak pernah mendengarkan khotbah. Predikat ini rupanya saya dapatkan setelah saya menjuarai lomba pidato di sana. Naskah pidatonya, adalah naskah lama yang saya hapal ketika harus lomba pidato alias khotbah waktu masih kelas 6 SD. Dan di masa ini, saya sempat ingin bercita-cita antara menjadi ABRI [karena seragamnya terlihat gagah], atau ulama [karena waktu itu saya mengidolakan Zainuddin MZ, yang pandai bicara dan kocak].

9. Pernah ikut-ikutan mencoba merokok, ketika SMP. Segala macam rokok saya coba—kecuali ganja, dari mulai Gudang Garam, Dji Sam Soe, hingga Marlboro. Tapi, tak satupun meninggalkan kesan yang menyenangkan. Itu sebabnya saya tak suka merokok.

10. Pernah tergila-gila sama dunia kebatinan dan kanuragan. Niatnya ingin menjadi jagoan atau ahli bela diri. Entah karena pengaruh film-film Kung Fu yang sering saya tonton. Entah karena pengaruh pergaulan. Akibatnya, pernah ada masanya saya sering bermeditasi di kamar tidur. Membaca banyak wirid setelah sholat. Hingga tak makan daging selama tiga bulan lebih, demi [katanya sih] melatih mata batin dan mengenal diri sendiri. Hahaha. Masa vegetarian itu hancur pada saat kami kuliah lapangan dan di saat-saat lapar kampus hanya memberikan makanan KFC. Wangi daging crispy dan ratusan orang memakan KFC dengan nyaman akhirnya membuat saya melupakan program. Aah, lupakanlah kebatinan. Yang penting perut kenyang. Nikmat Tuhan jangan disia-siakan. Begitu pikir saya. Sekarang, saya tak lagi menekuni dunia itu. Karena saya tahu, bahwa masih ada yang lebih hebat dari jago silat bela diri. Yaitu silat lidah.

Oke, karena saya harus men-tag teman-teman, maka orang-orang di bawah ini akan saya tag [teman kosan dan teman kantor, yang ada di depan mata saya dan sepertinya agak aktif di Multiply];


   1. Arian13.
   2. Ernest Prakasa.
   3. Anastsia Meira.
   4. Ricky Siahaan.
   5. Wendi Putranto.
   6. Hasief Ardiasyah.
   7. Wening Gitomartoyo.
   8. Yarra Aristi.
   9. Adib Hidayat.
  10. Edy ‘Khemod’ Susanto, ini karena kantornya paling dekat sama kosan.

Tuesday, September 02, 2008

Impian Banyak Jurnalis

Ah, seandainya saja ada Audio - Word Converter.

Program atau alat yang memungkinkan rekaman audio langsung ditransfer ke dalam bentuk file word. Tinggal colok digital voice recorder ke komputer, copy file-nya, lalu si file audio itu tinggal diubah ke dalam bentuk file word.


Betapa bahagianya saya, jika ternyata program itu sudah ditemukan.

Wawancara berjam-jam tak akan ada masalah, karena tinggal diubah filenya. Tak akan ada pekerjaan mendengarkan kembali hasil wawancara lalu menuliskannya ke dalam bentuk file. Ini salah satu proses paling melelahkan dalam pekerjaan jurnalis. Bayangkan, wawancara setengah jam, artinya membutuhkan waktu sekira satu jam untuk menuliskannya kembali ke dalam bentuk file.

Tapi, jika ada AUDIO - WORD CONVERTER, akan banyak sekali waktu yang dihemat. Dan tentunya, akan sangat berguna sekali buat para jurnalis yang sering malas membuat transkrip--termasuk saya. Hehe.

Oh, teknologi, ayo tunjukkan perkembanganmu. 

*setengah sepuluh malam, dan masih banyak rekaman wawancara yang harus didengar lalu dituliskan.

Monday, September 01, 2008

Indiefest Final Regional Jakarta




Jumat, 29 Agustus 2008, Hall Basket, Senayan, Jakarta.

Katanya, lebih sepi dibanding Bandung, Surabaya [dua-duanya sold out] dan Jogjakarta.

Ini kali pertama Teenage Death Star manggung betulan setelah album keluar. Maksudnya, manggung tanpa harus terganggu penonton dan sound yang tak terdengar.

Pacar pemain biola Minerva yang paling kece, konon cukup posesif. Ketika dia menjemput si perempuan di bandara, lewat di depan juri laki-laki dengan sedikit songong. Hahaha. Sewaktu kumpul-kumpul dengan media, si pacar dengan setia menaruh tangannya di atas pundak. Bukti kepemilikan mungkin. :p

Ya sudah. Silakan nikmati saja foto-fotonya. Saya sedang malas menulis. Perut mules-mules melulu.