Monday, July 28, 2008

I Wanna Kick Your Face

14.00. WIB. Sebuah bank swasta. Antrian cukup panjang. Satu suara memecah kesunyian.

"Gimana boos?"

"Beres, beres, boos."

"Siap, siap, siap, siaaap, boos."

"Beres booos."

"Siap, siap, siap, siap, siaaap, booos."

"Beres booos."

"Gimana boos?"

"Siap, siap, siap, siaaap."

"Beres bos. Siap, siap, siap, siap booos."


Thursday, July 17, 2008

Lima Album Guilty Pleasure Soleh Solihun

Boleh saja saya mengaku pecinta rock n’ roll music.

Tapi, ada beberapa album di luar rock n’ roll yang sempat dan masih saya sukai. Album-album yang kadang saya sendiri malu mengakuinya. Tapi, berhubung saya sudah dewasa (hahaha. berlebihan) maka saya sudah cukup berani untuk mengakuinya kali ini. Ada lima album yang paling guilty pleasure:

Judul-Judulan, Pengantar Minum Racun.
Tahun ’80-an, bapak saya masih rajin membeli kaset. Seingat saya, kaset yang dibelinya, kalau lokal sih di antaranya Koes Plus dan Gito Rollies. Saya lupa apalagi tepatnya. Karena ketika umur saya balita, atau umur TK, saya dan adik saya suka menarik pita dari kaset-kaset itu, lalu menariknya. Biasanya, pita satu album itu jika ditarik, jarak panjangnya bisa dari ruang tengah hingga dapur. Saya selalu menarik-narik pita itu. Hingga tak ada lagi kaset tersisa, dan mungkin itu yang membuat bapak saya malas lagi membeli kaset. Tapi, di antara kaset-kaset yang bapak saya beli, ada satu yang paling membekas; album perdana dari Pengantar Minum Racun. Vokalisnya, Johnny Iskandar. Orang dengan vokal melengking, rambut panjang keriting, dan kacamata tanpa kaca.

Buat kamu yang tak tahu lagu Judul-Judulan, itu adalah lagu dengan lirik “Neng ayo neng, ayo maen pacar-pacaran.” Ini adalah album parodi pertama yang saya dengarkan. Lagu Judul-Judulan sepertinya lagu orisinal mereka. Bukan plesetan lagu orang. Tapi, selebihnya, album ini berisi plesetan lagu orang lain. “Benci tapi Rindu” diplesetkan menjadi “Banjir Datang Lagi.” Ceritanya tentang suami istri yang kerepotan karena hujan turun lalu berhenti lalu hujan lagi, hingga akhirnya mereka kebanjiran. Sang suami lantas mengajak si istri menginap di hotel. Akhirnya mereka bisa tidur nyaman di hotel. Ketika sang istri bertanya soal bagaimana mereka harus membayar kamarnya, sang suami bilang mereka pulang ketika satpam sedang tidur. Eh, ternyata pas mereka pulang, rumahnya masih banjir. Cara penulis lirik bercerita benar-benar bagus. Biarpun itu hanya sebuah parodi, mereka mampu mencari cerita yang faktual, sekaligus disajikan dalam gaya kocak.

Atau, lagu “Pergi Tanpa Pesan” diplesetkan menjadi “Pergi Pulang Pingsan.” Liriknya, soal pemuda yang mabuk melulu. Membuat malu orang tua. Tak jelas masa depan. Akhirnya, disuruh belajar mengaji. Hidupnya jadi bersih.
    
    Kau pergi pulang pingsan
    Kau mabok tiada bosan
    Di mana kau beli
    Minuman brendy
    Nanti kau ditangkap ke polis
    
    Malu...lu..lu..lu...lu lu lu lu lu...
    
    Begadang tidak pulang
    Tidur di pelataran
    Kalaulah begini
    Hidup terasa mati
    Lebih baik kau mengaji
    
    Alif, ba, ta, tsa, jim...

Saya sering menyanyikan lagu itu. Yang paling saya ingat, dalam sebuah camping Pramuka—ya, saya pernah ikut Pramuka tingkat Siaga—saya menyanyikannya dalam sebuah lomba. Diiringi anggota regu saya yang membuat musik dari ember, dan alat-alat dapur lainnya. Saya senang sekali lagu itu. Saya dibuat kagum dengan punch line alif ba tsa jim itu. Dan lagi-lagi, story telling si penulis lirik bisa menghadirkan cerita di kepala.  

Satu lagi yang paling membekas adalah lagu soal zodiak, sepertinya lagu aslinya juga soal zodiak, saya tak tahu pasti. Yang jelas, lirik syalalalala diplesetkan menjadi syalawelawe. Gara-gara lagu itu, kadang saya suka masih percaya kalau orang yang bintang Virgo biar sekolah tapi masih bodo. Dan bintang Sagitarius, suka makan laler ijo.

    Syalawelawe
    Mana bintangmu
    Syalawelawe
    Ini bintangku
    Marilah kita tebak-tebakan
    Pribadimu pribadiku
    
    Boleh percaya
    Boleh pun tidak
    Kalau percaya
    Kita berdosa
    Kalaulah ada
    Kata yang salah
    Jangan simpan di hati

    Bintang Virgo
    Sekolah tapi masih bodo
    Bintang Gemini    
    Maunya menang sendiri
    Bintang Sagitarius
    Suka makan laler ijo
    Bintang Capricornus
    Kalau menggigit suka tetanus

Sepertinya gara-gara album ini, saya suka lirik-lirik yang humoris. Atau, sebenarnya saya sudah suka lirik humoris sejak kecil dan album ini hanyalah pemicunya? Entahlah. Yang jelas, kasetnya sudah tak ada. Tapi, saya masih bisa hapal beberapa lagu jika mendengar lagu ini diputar. Oya, album keduanya, saya tak suka, karena single yang dijadikan video klipnya, tak enak buat kuping saya. Kalau tak salah, lagu tentang nyengir kuda. Video klipnya, personel PMR dengan kuda bohongan yang dimainkan orang berjoget-joget di pinggir kolam renang kalau tak salah.

Jilid 2, Padhyangan Project.
Ini album setelah hits “Nasib Anak Kos.” Para personelnya, Denny Chandra, Daan Aria, Juhana alias Joe P Project, dan entah siapa lagi saya lupa. Ketertarikan saya pada lagu-lagu parodi dan lirik humor rupanya kembali dimunculkan. Dan seperti di kata pengantar di album, tujuan mereka membuat album parodi supaya orang Indonesia mudah menyanyikan lagu-lagu Barat yang enak buat telinga mereka.

Di album ini, mereka memarodikan “All For Love” yang dinyanyikan Rod Stewart, Bryan Adams dan aah siapa lagi itu satu lagi? Liriknya diganti menjadi “Cover Boy” atau “Menjadi Cover Boy”.

    Biar badan kurus tak terurus
    Maju terus
    Biar sakit cacingan
    Itu bukan halangan
    Menjadi cover boy!
    Cover boy!

Dan yang paling membekas adalah lirik “What’s Going On” dari 4 Non Blondes yang diplesetkan menjadi “Lampu Neon”. Jaman album ini keluar, di teve sering diputar iklan layanan masyarakat soal hemat energi, soal lebih baik memakai lampu neon ketimbang lampu bohlam. Juhana alias Joe menjadi vokalis di lagu ini. Masih ingat dengan adegan di mana seorang majikan menyuruh pembantunya mengganti lampu bohlam dengan lampu neon? Nah, lagu ini pada dasarnya menceritakan kembali adegan itu.

    Kirain lagi pada ngomongin apa
    Tahunya beda bohlam dengan neon
    Inah, padamkam lampu bohlamnya
    
    Kan asik hey hey hey
    Asiknya, lampu neon

Sepertinya, ada lagi lagu Lea Salonga yang duet dengan siapa itu penyanyi satu lagi. Mereka plesetkan menjadi “Bibiku Pergi.” Cerita ditinggal pembantu. Lagi-lagi sebuah lagu yang kontekstual dengan kehidupan sehari-hari. Story tellingnya benar-benar berhasil. Memlesetkan lagu bukanlah hal yang mudah. Apalagi memilih tema yang kocak dan keseharian.

Cintailah Cinta, Dewa.
Suatu kali, saya pernah ditolak seorang perempuan yang saya sukai. Kawan-kawan saya tahu soal ini. Salah seorang kawan, Cupi, menyarankan saya untuk membeli album ini. Padahal, dia sama seperti saya, seorang Stones Lover, pemuja Mick Jagger. Agak mengejutkan juga, saran itu datang dari saya. “Dengekeun geura, si Dhani bisaan nyieun lirik teh.” [Dengerin deh, si Dhani bisa aja bikin lirik teh].

Akhirnya, membelilah saya album itu. Dan sialan. Liriknya seperti menyuarakan isi hati saya yang sedang galau berat. Untuk sesaat, saya bisa mengerti kenapa orang bisa bilang suka lagu pop menye-menye dengan lirik patah hati. Seperti lagu “Pupus” di bawah ini:

    Baru kusadari
    Cintaku bertepuk sebelah tangan
    Kau buat remuk seluruh hatiku

    Semoga waktu akan mengilhami sisi hatimu yang beku,
    Semoga akan datang keajaiban, hingga akhirnya kaupun mau

    Aku mencintaimu
    Lebih dari yang kau tahu
    Meski kau tak kan pernah tahu

    Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku
    Meski kau tak cinta kepadaku
    Beri sedikit waktu, biar cinta datang
    Karena telah terbiasa

Atau, lagu “Kosong”

    Kamu seperti hantu
    Terus menghantuiku
    Kemanapun tubuhku pergi
    Kau terus membayangi aku

    Salahku
    Bermain dengan hatiku
    Aku tak bisa memusnahkan
    Kau dari pikiranku ini

Atau, lirik lagu “Angin”

    Angin tolonglah aku sedang
    Jatuh cinta
    Tapi aku tak punya nyali untuk nyatakan
    Bahwasanya setiap hari kumerindukan dia        

Ah, sialan. Ini sih the ultimate guilty pleasure. Suka malu sendiri jika mengingat betapa galau bisa membuat seseorang tak bisa berpikir jernih. Sekarang sih, dengan kondisi psikologis yang jauh berbeda, saya tak punya kenikmatan psikologis lagi ketika mendengarkan lagu-lagu ini. Paling, mendengarkannya akan membuat saya tersenyum sendiri di dalam hati.

Let Go, Avril Lavigne.
Saya suka album ini karena saya suka Avril Lavigne. Apalagi waktu pertama kali dia muncul. Remaja putri dengan gaya tomboy, sepertinya anaknya asik begitu yang terlintas di kepala. Rambut lurus dan panjang selalu saya sukai dari perempuan. Avril punya itu. Punya sedikit sifat yang sepertinya bisa merefleksikan karakter cuek. Waktu lagu “Complicated” keluar, saya belum terlalu suka. Kurang cathcy di kepala. Tapi, begitu “Sk8r Boy” keluar—penulisan Sk8r seperti An3dis, ini sih racun sekali buat saya. Sangat catchy buat kuping saya. Entah karena semakin suka melihat Avril, lagunya jadi semakin catchy.

Greatest Hits, Robbie Williams.
Semua lagu di sini, saya suka. Sebelum mendapat album ini, saya memang diam-diam suka menikmati setiap klipnya diputar atau lagunya diputar di radio. Tapi, begitu mendapat album ini, saya semakin menyukai Robbie Williams. “She’s The One” salah satu favorit saya. Klipnya bercerita dengan baik. Cara Robbie menyanyikannya juga begitu baik sehingga dia bisa seperti merasakan kesedihan yang digambarkan klip itu. Lagu “Old Before I Die” juga seperti menyuarakan isi hati saya yang selalu takut mati, dan ingin bisa merasakan hidup sampai usia tua. Tolong diingat, saya tak suka Take That. Tapi, lagu-lagu Robbie Williams ternyata saya suka. Mungkin itu sebabnya saya kadang masih malu mengakui jika saya menikmati musik Robbie Williams.  

Thursday, July 10, 2008

Soleh Solihun Mewawancarai Penyanyi Dangdut

Saya hampir menolaknya, karena saya awam dangdut.

Tapi, sang kawan menyuruh saya membuka Youtube dan Facebook. Ternyata, dia ada di sana. Mieke Asmara namanya. Kelahiran Sukabumi, 24 April 1977. Video klipnya “Merem Melek” ternyata bisa dilihat di Youtube. Mungkin supaya lebih mempopulerkan namanya. Mieke tipikal penyanyi dangdut. Make up menor. Sedikit menggoda. Yah, kamu bisa lihat sendiri lah di foto ini.

Mieke adalah kisah klise para pencari popularitas. Seperti lagu Tince Sukarti Binti Mahmud, yang ditulis Iwan Fals. Konon, Mieke adalah seorang mantan penyanyi dangdut tingkat kelurahan di Sukabumi. Konon lagi, ia hijrah ke Jakarta dengan impian untuk menjadi seorang bintang besar. Namun impiannya hancur ketika mengikuti sebuah audisi reality show dangdut di salah satu televisi swasta. Oleh dewan juri ia disebut tak bebakat dan lebih baik memikirkan karir alternatif. Sekali lagi konon, Mieke akhirnya menemukan karir alternatif tersebut: gonta-ganti menjadi pacar gelap para lelaki berduit Jakarta.

Oktober 2008 nanti, Mieke Asmara akan tampil dalam Gara-Gara Bola!, film komedi yang diproduseri oleh Nia DiNata (Janji  Joni, Quickie Express). Ini adalah debut aktingnya yang pertama. Sebelum melihat aktingnya di film itu, baca dulu wawancaranya.

Ada hubungan apa dengan Mira Asmara yang penyanyi dangdut?
Tidak ada. Mieke Asmara itu nama panggung. Nama asli saya Muhairoh Tresnasih.

Ini pertama kalinya saya wawancara dengan penyanyi dangdut. Rasanya deg-degan karena penyanyi dangdut biasanya selalu menggoda. Kalau Anda, bagaimana rasanya diwawancara saya?
Biasa saja. Apalagi muka Anda mirip teman dekat saya. Namanya Kang Jufri. Siang dia jualan bunga di Barito, malamnya dia suka nonton saya manggung di Pasar Rumput. Orangnya baik sekali, suka membelikan VCD dangdut, suka mengirimkan saya bunga. Yah, biar bunganya bekas karangan bunga duka cita, yang penting kan niatnya baik. Potongannya ya seperti Kang… Aduh, siapa nama Anda?

Soleh.
Iya, seperti Kang Soleh ini. Hitam, dekil, jaket kulit, pakai kacamata. Jadi saya seperti bicara dengan kawan lama saja. (Mieke terdiam agak lama. Mendadak matanya berkaca-kaca) Sayang Kang Jufri sudah tidak ada. Tahun lalu, bajaj yang dia tumpangi tercebur ke Kali Ciliwung karena adu balap dengan Metro Mini. Kejadian itu makin memecut semangat saya untuk rekaman. Makanya di album saya ada lagu yang saya dedikasikan untuk Kang Jufri.

Judulnya?
“Cintaku di Dasar Ciliwung”.

Tak banyak penyanyi dangdut yang punya account Facebook. Kenapa Anda punya?
Sebetulnya saya ini orangnya gaptek. Tapi beruntung, suami adik saya yang tinggal di Sukabumi punya usaha warnet. Jadilah dia membuatkan saya account di Facebook, sekaligus menambahkan isinya kalau ada berita baru. Duh, adik ipar saya ini memang suportif sekali terhadap karir saya. Saking suportifnya, dia suka mengirimi saya SMS-SMS penambah semangat. Seperti ini nih. (Mieke lalu menunjukkan sebuah SMS yang berbunyi: MIEKE SAYANG, KPN KT BS KTEMUAN? AK KANGEN. LELI LG GAK DI RUMAH LHO. KABARIN YA.) Manis ya?

Siapa yang memasukkan video klip “Merem Melek” ke Youtube?
Kalau itu kerjaan Bang Feri, produser saya.

Kalau Multiply? Punya account Multiply nggak? Ini kan wawancara buat Multiply.
Kebetulan belum. Padahal saya suka menulis buku harian lho. Tadinya saya mau minta tolong ke suami adik saya untuk membuatkan, tapi entah kenapa, sejak mengirim SMS terakhir tadi, dia jadi susah dihubungi. Pas saya hubungi adik saya, tanggapannya judes. Jadi bingung.

Kenapa Anda meng-claim musik Anda sebagai dangdut hiphop pertama di Indonesia?
Ya karena memang yang pertama kan? Dulu saya sempat dengar Bang Oma hendak duet dengan Iwa K, atau Martabak Manis, atau siapa gitu bintang hiphop lokal, tapi entah kenapa tak terdengar lagi perkembangannya. Syukur juga, karena dengan begitu saya bisa mengklaim sebagai penyanyi dut-hop pertama.

Ide siapa untuk menggabungkan dangdut dan hiphop?
Itu ide saya dan Bang Feri. Yah, namanya juga persaingan industri, harus punya ciri khas kalau mau laku. Dangdut koplo, dangdut rock, dangdut house, dangdut keroncong, semua sudah ada. Pilihannya tinggal dangdut seriosa atau dangdut hip-hop. Akhirnya kami memilih dangdut hip-hop. Lebih gampang nge-rap daripada nyanyi seriosa, sumpah.

Momen apa yang membuat Anda memutuskan untuk jadi penyanyi dangdut?
Menonton Aneka Ria Safari, suatu malam di tahun 1989. Di luar hujan rintik-rintik, di layar tampil Itje Trisnawati membawakan “Duh Engkang”. Saat itu juga, saya tahu kalau sudah besar mau jadi apa.

Bagaimana Anda memandang industri dangdut di Indonesia?
Semuanya serba ketat. Ya persaingannya, ya kostum panggungnya. Untung postur tubuh saya oke, jadi memakai kostum ketat pun tidak masalah.

Anda gagal di reality show dangdut. Bagaimana rasanya?
Seperti dicambuk, lalu lukanya dikecruti jeruk nipis pakai madu. Sakit karena ditolak, tapi manis karena bisa bertemu idola saya, seorang diva dangdut yang saat itu menjadi juri.

Kenapa Anda ingin sekali jadi superstar?
Kalau hanya jadi bintang, di langit juga banyak, Kang.

Anda punya goyangan khusus?
Ada dong. Namanya goyang dongkrak. Jadi suatu hari ban mobil saya kempes, terpaksa deh saya mengganti ban sendiri. Saat mendongkrak itulah saya dapat ide untuk membuat sebuah goyangan baru. Seperti ini nih… (Mieke pun memperagakan sebuah gerakan yang super sensual, mirip orang mendongkrak, tapi dengan pantat ketimbang tangan.) Anehnya Kang, sewaktu mogok itu ada banyak lelaki yang mengerubungi, tapi tak satu pun yang mau menolong.

Rasanya semua jenis goyangan sudah diambil penyanyi dangdut. Bagaimana Anda melihat fenomena ini?
Buat saya, ini bagian dari tuntutan zaman. Dulu, menyanyi saja sudah cukup. Sekarang perlu ditambah goyangan. Siapa tahu, beberapa tahun lagi, penyanyi dangdut sukses adalah mereka yang bisa nyanyi, goyang dan main sulap sekaligus. Dan beberapa tahun kemudian, nyanyi, goyang, main sulap dan pidato. Makanya saya sedang berpikir untuk mendaftar di sekolah sulapnya Kang Dedy Corbuzier, atau sekolah… Errr… Apa namanya? Robert Baden Powell?

John Robert Powers.
Iya. Itu.

Kenapa sih banyak penyanyi dangdut kalau bernyanyi selalu mendesah?
Yah, lebih baik mendesah daripada mengigau, Mas.

Katanya Anda gila seks. Benarkah itu? Segila apa sih?
(Tersenyum nakal) Benar nih Mas Soleh mau tahu?

(tertawa gugup). Kalau begitu, saya percaya saja deh. Bagaimana rasanya punya album rekaman?
Yang pasti, jauh lebih menyenangkan daripada punya album foto.

Apa yang menyenangkan dari bernyanyi di kafe Pasar Rumput?
Yah, selain bisa dapat uang, saya senang di sana bisa ketemu berbagai macam orang. Seperti investor yang membiayai album saya, itu ketemunya di Pasar Rumput. Dia bos karaoke dan panti pijat di Blok M, tapi suka dangdut. Orang yang menawarkan kerja sebagai manajer Bakmi Yona juga ketemunya di Pasar Rumput. Pokoknya bagus banget buat netwokring.

Apa?
Netwokring. Itu loh, yang kenal banyak orang buat bisnis.

Oooo… Networking!
Iya, netwroking.

Bagaimana suasana kafe di Pasar Rumput?
Wah, meriah, Kang. Apalagi saat tanggal muda. Acara di Dragonfly jadi seperti pesta ulang tahun anak SD.

Penyanyi dangdut di kafe, biasanya identik dengan perempuan nakal. Bagaimana dengan Anda?
Saya lebih suka menyebut diri saya ‘berjiwa petualang’. Ke mana jalan mengalir, ke situlah saya akan berhembus. Dan masalah nakal atau tidak kan sebetulnya juga kembali ke individualnya masing-masing pribadi. Dan tergantung kacamata yang digunakan. Kalau kacamatanya belum dilap, mungkin kelihatannya begini. Kalo kacamatanya bersih, ya kelihatannya begitu. Jangan mentang-mentang musiknya kafe dan mainnya di dangdut, lalu dicap nakal. Walaupun… Saya akui, oknum itu pasti ada. Di semua profesi juga begitu, bukan?

Digodek-godek itu sebenarnya sedang diapain?
Ini kembali tergantung pada kacamata yang kita gunakan. Dari kacamata dugem, orang godek-godek jelas orang yang menikmati dugemnya. Dari kacamata polisi, orang godek-godek berarti orang yang menolak tuduhan kalau dia maling. Dari kacamata pejalan kaki, orang godek-godek berarti orang yang mau menyeberang. Dari kacamata Mieke… (tertawa nakal) Pastinya menggodek karena kenikmatan.

Apa nikmatnya digodek-godek sehingga Anda sampai harus merem melek begitu?
Beda orang tentu beda ekspresi kenikmatan. Ada yang ngiler. Ada yang memelet. Ada yang mematuk. Nah, kalau saya merem melek.

Apakah kita harus selalu sedia lap setiap saat ingin menggodek Anda?
Tergantung. Kalau godekan Anda kurang mantap, lap itu mungkin tidak diperlukan, karena saya tak mungkin becek.

Kalau kita digodek Anda, apakah akan sampai becek juga?
Mungkin saja. Tapi beceknya setelah digodek, bukan saat digodek. Kalau saat digodek sudah becek, wah, stamina Anda perlu dipertanyakan.

Kalau "Gelinjang Cinta," itu bercerita tentang apa?
Gelinjang Cinta kisah tentang seorang gadis yang dari awal terus menuruti apa perkataan sang kekasih. Sang kekasih mau ke kiri, ia ikut ke kiri. Sang kekasih mau ke kanan, ia ikut ke kanan. Seperti tidak punya pendirian dan identitas. Akhirnya si gadis tak tahan dan memutuskan cintanya tatkala sang kekasih hendak menduakannya.

Dengan gadis lain?
Bukan, dengan lelaki lain.

Dari mana Anda mendapatkan kostum?
Yang mendesain asisten dan make-up artist saya. Namanya Memed. Dia memang punya usaha sendiri, namanya MmmmMemed Modiste & Vermak Levis. Lumayan, jadi lebih hemat.

Anda merasa seksi jika memakai pakaian apa?
Selama pakaiannya ada corak berwarna hijau spotlight atau shocking pink, selama berpayet, selama berumbai dan selama ketat menempel, saya pasti selalu merasa seksi saat mengenakannya.

Siapa idola Anda untuk urusan fashion?
Gabungan antara Marilyn Monroe, Itje Trisnawati dan Rama Aiphama. Ketiga sosok itu yang selalu saya jadikan panutan.

Bagaimana ceritanya Anda bisa bermain film?
Kebetulan casting director film itu, namanya Dimas, pacaran sama Iyut, adik Bang Feri, produser saya. Tahu-tahu Iyut hamil. Bang Feri murka, soalnya Iyut itu adik kesayangannya. Dia langsung mendatangi Dimas, lalu Dimas digebukin. Mungkin supaya Bang Feri menghentikan gebukannya, Dimas menjanjikan peran ini. Akhirnya Dimas tak jadi dibuat bonyok oleh Bang Feri. Saya lalu ikutan casting, dan ternyata perannya pas: seorang penyanyi dangdut ibukota. Sutradara suka, produser suka, jadilah saya ikutan.

Sepertinya semua terjadi begitu cepat. Punya album langsung main film. Bagaimana Anda memandang fenomena ini?
Seperti yang saya bilang tadi… Ke mana jalan mengalir, ke situlah saya akan berhembus. Dijalani saja, Kang. Yang penting kita total.







Wednesday, July 09, 2008

Soleh Solihun Pusing Karena Lagu Cinta

Kenapa mereka pikir, pop = cinta?

Seminggu ini saya mewawancarai dua nama pop; Yovie Widianto dan Kerispatih. Yang pertama, sudah jelas kredibilitasnya sebagai komposer pop handal pencipta banyak hits dan bertahan dari era ‘80an hingga sekarang. Yang kedua, biarpun bukan band sejuta kopi, namanya sudah bisa masuk ke jajaran band pop terkenal lokal meskipun saya tak tahu jika disuruh menyebutkan hits mereka.

Yovie bilang karena dia memainkan musik pop, wajar saja kalau membawakan lagu bertema cinta. Kalau musisi atau band mengaku rock, tapi liriknya cinta juga, itu tak benar. Lebih baik seperti dia. Terang-terangan mengaku musisi pop. Kerispatih bilang, mereka a romantic band. Sama seperti Yovie, mereka tak ingin jadi band yang sok nge-rock tapi liriknya tetep cinta. Katanya, mereka berusaha jujur dengan menjadi band pop. “Kami nggak mau jadi band yang sok sok ngerock tapi liriknya tetep menye juga. Atau, menghina yang liriknya katanya menyanyikan cinta terus, tapi musiknya pop juga,” kata Badai, kibordis sekaligus otak musikal Kerispatih.

Sepertinya pentolan Kerispatih itu sedang bicara soal Efek Rumah Kaca. Sayang, waktu wawancara saya agak kurang menyimak pas dia bicara bagian ini. Mungkin ini momen-momen dalam wawancara ketika saya hilang beberapa detik. Hehe. Saya sering begitu. Ternyata, pas didengarkan transkripnya, Badai bicara begitu. Jadi, saya tak bisa bertanya lebih lanjut.

Barusan, saya datang ke konferensi pers The Titans, di pres rilis ditulis kalau mereka masih percaya pada kekuatan cinta. Setahun lalu, waktu saya wawancara The Titans, mereka juga bilang berusaha jujur dengan menulis lagu cinta. Karena yang ada di pikiran mereka, ya hal-hal tentang cinta. Bukan kritik sosial atau politik.

Dan rata-rata band pop, jika ditanya apa bedanya lagu cinta mereka, jawabannya pasti lagu cinta mereka berbeda, karena sudut pandangnya berbeda, cara menceritakannya berbeda, atau lagu mereka tak cengeng. Jawaban yang paling standar dan klise sih, “Lirik cinta kami universal. Bisa diartikan cinta kepada Tuhan, alam semesta, keluarga, pacar, atau bahkan binatang.”

Kenapa mereka pikir, pop = cinta?

Padahal, ada juga musik pop yang tanpa lagu cinta, tapi berhasil jadi lagu yang bagus. Contoh paling segar, Efek Rumah Kaca. Contoh paling berhasil dan teruji, adalah Iwan Fals era ’90-an. Meskipun ada lagu cinta di antara lagu-lagu pop Iwan, tapi lagu macam (Surat Buat) Wakil Rakyat adalah lagu pop yang bisa memberi tema yang berbeda. Atau, kenapa tak pernah ada yang jujur saja bilang, “Ah, lagu cinta kami sama saja dengan lagu cinta banyak band pop. Namanya juga cari duit.”

Apakah lirik cinta lebih mudah dibuat oleh musisi-musisi pop itu? Saya belum pernah menulis lirik lagu, jadi tak tahu kesulitannya. Yang saya heran, kenapa mereka tak pernah menulis lirik yang sedikit berbeda. Benar-benar memberikan sudut pandang berbeda. Coba bandingkan lirik-lirik di bawah ini. Ini saya ambil sembarang, dari tumpukan CD yang ada di meja, kiriman label. Ini hanya contoh kecil. Dan ini merupakan puncak gunung es.

Cinta itu butuh pengorbanan hati, dan tak butuh cinta sesaat/ Jika kita bertahan cinta itu milik kita//Jika cinta dasar dari semua ini//Hadapilah segalanya/Dengan lapang dada//Meski pahit di sana (Tentang Sebuah Kisah, Kerispatih, 2008).

Walaupun kau telah pergi/Tapi hati tetap cinta/Biarpun di ujung waktu/Aku masih menunggumu//Oh waktu kembalikan/Cintaku hanya dia/Ingatkan aku padanya/Sandingkan aku dengannya (Cinta Mati, The Titans, 2008).

Aku tertipu kediamanmu/Yang ku anggap semuanya baik-baik saja/Ku tak menyangka/Di belakangku kau tigakan cintaku yang hanya kepadamu/Apa yang membuatmu/Tak pernah mengungkap isi hatimu/Andaikan engkau tau/Betapa hatiku mencintaimu (Kau Tigakan Cinta, Elkasih, 2008).

Oh terima kasih Efek Rumah Kaca. Sekarang saya punya soundtrack di kepala, setiap kali mendengar lagu-lagu cinta berkumandang.



Friday, July 04, 2008

Vokalis Lokal Paling Atraktif Versi Subyektif Soleh Solihun

Saya tak suka, jika ada band yang bilang, komunikasi di atas panggung tak penting.

Konsep pertunjukkan musik di atas panggung buat saya, adalah sesuatu yang berbeda dengan album rekaman. Makanya, saya tak setuju dengan pernyataan macam ‘biar musiknya yang berbicara.’ Orang—atau, minimal saya lah—datang ke konser, berharap mendapat suguhan yang menarik dari band. Suguhan menarik ini, tak hanya sound yang bagus, tapi juga band yang komunikatif.

Vokalis atau frontman, adalah yang punya peranan paling sentral dalam membuat sebuah band menjadi komunikatif di atas panggung. Namanya saja sudah frontman. Orang paling depan. Juru bicara. Kalau ingin asik bermain musik tanpa berbicara dengan publik, lakukan saja di dalam studio! Itu sebabnya, saya tak terlalu suka band shoegaze. Bukannya menatap ke arah penonton, mereka malah menatap sepatu. Hehe.

Komunikasi merupakan salah satu bentuk penghargaan sebuah band terhadap penontonnya. Yah, minimal disapa lah. Diajak berbicara. Atau, diberi sedikit basa-basi bahkan provokasi. Itu bisa membuat jarak antara band dan penonton menjadi tak terlalu jauh. Dan ketika ada jembatan antara penonton dengan band, otomatis pertunjukkan itu bisa menjadi lebih personal.

Berikut ini, sepuluh frontman--plus satu frontwoman jika memang istilah itu ada--lokal paling atraktif di panggung. Daftar ini dibuat berdasarkan selera pribadi saya tentunya. Berdasarkan ekspektasi dalam benak saya terhadap frontman.  Dan tentu saja, berdasarkan pengalaman saya menyaksikan pertunjukkan mereka.

David Naif
Panggung besar atau panggung kecil, David juara. Jakarta, Bandung hingga Makassar, David bisa menaklukkan publik. Dia punya semua kualitas yang dibutuhkan untuk jadi vokalis/frontman yang baik. Kualitas vokal yang terjaga selama pertunjukan. Sedikit humor. Blocking panggung yang baik. Penguasaan massa. Enerjik. Dan secara visual, fisiknya menarik. Meskipun kadang kental dengan logat Jakarta, entah kenapa David tak membuatnya jadi membatasi dirinya. Betawi tanpa pretensi. Dan lihat saja dia berdansa. Terlihat sekali menikmati musiknya. Saya belum pernah melihat Naif gagal menaklukan publik.  

Iwan Fals
Orang ini, sepertinya terlahir penuh kharisma. Mungkin, ketika dia baru terlahir di dunia, kharisma sudah terpancar dari dirinya. Hehe. Berlebihan. Tanpa banyak bicara, Iwan sudah memancarkan aura yang besar. Hanya dengan gitar kopong, Iwan bisa memberikan pertunjukkan yang penuh tenaga, dan bisa menaklukan ribuan massa. Dia adalah mantan pengamen jalanan yang paling berhasil. Ketika masuk nada tinggi, kharismanya makin meninggi. Di era liarnya, Iwan Fals bisa mewakili kegelisahan orang-orang di jalanan. Salah satu penyanyi yang bisa terlihat gagah bertelanjang dada di panggung [tak seperti Pasha Ungu, yang malah menggelikan, walaupun tentu saja masih menggelikan ketika dia memakai kostum gothic]. Beberapa hari lalu, saya menyaksikan Iwan Fals yang humoris lagi waktu dia main di panggung PRJ. Dan itu mengingatkan saya lagi, betapa dia sangat kharismatik.

Tria Changcut
Penampilan yang enerjik dan komunikatif adalah yang membuat The Changcuters menarik. Meskipun secara musikalitas mereka masih perlu banyak belajar, secara panggung mereka terlihat seperti band yang sudah banyak jam terbang. Tria Changcut, sang vokalis adalah yang paling atraktif di antara semuanya. Lenggak-lenggoknya di panggung, bisa membuat banyak Mick Jagger wannabe iri. Diberkahi dengan badan yang kurus, sehingga membuatnya aerodinamis untuk berdansa, Tria adalah salah satu vokalis yang bisa menyesuaikan irama langkahnya dengan musik yang dibawakan teman-temannya. Sempat diragukan soal penampilan panggungnya yang humor dan logatnya terlalu lokal Bandung, ternyata Tria bisa membuat publik Jakarta tak berkerut keningnya. Di saat banyak band Bandung yang tampil penuh pretensi, Tria malah membukakan dirinya untuk orang asing.

Kaka Slank
Ikon rock n’ roll lokal ini, punya kualitas yang mirip dengan penampilan panggung Iwan Fals. Dia punya kharisma. Secara fisik, penampilannya mendukung imej rock n’ roll yang keluar dengan sendirinya, tanpa harus berusaha terlalu keras. Di saat banyak vokalis ingin terlihat rock n’ roll dengan dandanannya, Kaka sudah punya semuanya. Dia tahu benar, bahwa kadang perkenalan sebelum membawakan lagu itu penting. Sedikit cerita sebelum bernyanyi, bisa membuat penonton tersenyum. Gaya panggungnya di era ’90-an terlihat banyak dipengaruhi Bob Marley. Gerak-geriknya di panggung, plus rambut gimbalnya. Belakangan, dia seperti ingin menjadi Iggy Pop. Walaupun dia sudah telanjang dada sejak dulu, tapi perhatikan saja gaya panggungnya belakangan ini. Ada kemiripan dengan gerak-gerik Iggy Pop. Tapi, biarlah. Yang penting, dia komunikatif. Wah, ini semakin subyektif nih. 

Armand Maulana
Ini adalah vokalis pop paling enerjik. Dia melompat. Melemparkan mik. Berlari. Bersimpuh. Menghampiri gitaris/bassis. Lalu bernyanyi lagi di depan panggung. Jika Armand Maulana tak begini, mungkin GIGI sudah ditinggalkan penontonnya sejak dulu. Band yang secara penjualan tak terlalu signifikan itu bisa bertahan bertahun-tahun di panggung. Armand bisa terlihat menghayati nyanyiannya. Dia bisa meyakinkan penonton bahwa dia menyukai lagu yang dinyanyikannya itu. Dan yang hebatnya, meskipun dengan semua lompatan dan berbagai gerakan di panggung itu, Armand masih bisa menjaga temponya bernyanyi.

Arian13
Arian bisa humoris sekaligus masih bisa tampil dengan nuansa hard core. Dia bisa memprovokasi massa, dengan kalimatnya. Tahu momen yang tepat untuk menghampiri penonton yang ingin bernyanyi bersama. Dan yang paling penting, dia menulis semua lirik yang dinyanyikannya. Membuat bahasa Indonesia terdengar keren dinyanyikan oleh rock band.

Otong Koil
Vokalis ini bisa membawa aura kegelapan, tapi di saat yang sama, memberikan suasana nyaman. Dia masih bisa humoris. Masih bisa sok ganteng di panggung. Secara visual, Otong tahu benar bagaimana mengemas dirinya supaya sesuai dengan imej yang ingin ditampilkannya. Dan bagusnya, pakaian rumbai-rumbai, gothic dan aneh itu bisa terlihat pas di tubuhnya. Lihat saja Andy /rif. Kurang lebih gaya panggungnya, kadang mirip, tapi di tubuhnya, malah terlihat menggelikan.

Jimi Multhazam
Saya sebenarnya sangat menyukai penampilan panggung Jimi di era tiga tahun lalu. Ketika dia masih tak terkontrol bicaranya. Ketika nuansa jalanan masih terasa di dirinya. Sekarang nuansa itu hilang seiring banyaknya penggemar remaja. Seiring profesinya menjadi penyiar. Seiring jarangnya Jimi ada di jalanan, mungkin. Tapi, dansa panggungnya masih juara, dan kadang celetukan spontannya masih keluar di beberapa kesempatan. Gerakan Jimi adalah gerakan vokalis yang paling banyak ditiru penggemarnya. Lihat saja ribuan Modern Darlings yang menggeliat seperti cacing penuh warna yang kepanasan. Ini adalah bukti betapa efektifnya komunikasi yang dilancarkan Jimi selama ini. Jika dulu dia pernah mengritik betapa dansa orang-orang yang dilihatnya di klub sangat seragam, kini dia juga malah menyeragamkan dansa ribuan penggemarnya. Dia telah menciptakan Planet Marsnya sendiri.

Eka Annash
Dia juga salah satu pemuja Mick Jagger. Perhatikan saja caranya bertolak pinggang. Hanya saja, versi lebih baik dari tiruan Mick Jagger, ada pada Tria Changcut. Tapi Eka memenuhi ekspektasi dari seorang vokalis rock n’ roll band. Dia atraktif di panggung. Bergoyang mengikuti irama. Melompat. Memberikan perkenalan pada lagu. Berkomunikasi dengan penonton. Bahkan, ketika dia grogi tampil di depan penggemar Iwan Fals pun, Eka masih berusaha untuk terlihat tegar. Sayang kurang berhasil.

Anto Arief
Yes yes yes. Soul brother yang satu ini punya potensi menjadi vokalis yang atraktif jika saja dia bisa lebih kreatif memilih kalimat. Tapi, Si Kumis telah menunjukkan kualitas vokalis/frontman yang baik. Skill bermain gitar yang mumpuni. Fashion statement. Dan penghayatan terhadap lagu. Meskipun berkulit sawo matang, di panggung dia merasa dirinya kulit hitam. Tanpa harus terlihat menggelikan seperti beberapa rapper lokal mediocre. Anto berhasil menjadi duta bagi musik 70’s Orgasm Club yang bagi sebagian publik remaja mungkin masih asing di telinga. Dia akan lebih menarik lagi, jika saja musik mereka lebih baik lagi dari yang sekarang. Mungkin dengan lebih menonjolkan unsur psikedeliknya.

Nona Sari
Yang paling berkesan buat saya, adalah ketika White Shoes and The Couples Company tampil di PPHUI, Kuningan beberapa waktu lalu. Sari bisa tampil humoris. Dan selera humor adalah nilai tambah dari seorang perempuan. Apalagi ini vokalis. Sari bisa tampil dengan nuansa feminin, tipikal perempuan rumahan—apalagi dengan dandanannya—tapi bisa juga sedikit terlihat menggoda penonton laki-laki. Ini penting buat vokalis perempuan di panggung. Hehe. Dan yang penting, Sari tak melupakan komunikasi dengan penonton.