Friday, October 26, 2007

That One Night: Megadeth Live in Jakarta!




Sempat digosipkan batal manggung, Megadeth akhirnya datang juga.

Hujan turun dengan deras ketika saya datang ke Tennis Outdoor, Kamis [25/10] jam setengah tiga sore. Yah beginilah, nasib mereka yang ingin mendapat gratisan dan mendapat ijin memotret. Jauh sebelum penonton lain datang, saya harus ke sana. Belakangan ini saya sering mengalami hal ini.

Datang ke Senayan. Susah payah mencari ID. Lalu pergi ke Plaza Senayan untuk mengisi waktu. Kembali lagi ke venue. Jalan kaki! Acara belum dimulai, betis sudah pegal-pegal. Pinggang sudah panas. Gawat.

Di Plaza Senayan, tanda-tanda penonton Megadeth sudah berdatangan, juga terlihat. Pria-pria 30 something dengan kaos band kebanggaannya, lalu lalang. Ada juga yang berkumpul di meja food court. Entah perasaan saya saja, atau memang demikian adanya. Ketika di antara mereka saling memandang, mereka tahu kalau yang dilihatnya itu akan pergi ke konser Megadeth. Dan biasanya, ketika bertemu sesama pemakai kaos band, yang tak akan luput dari pandangan adalah kaos yang dipakainya. Memang sih, kadang agak curi-curi pandang.

Begitu saya sampai venue, lebih banyak lagi pria 20 dan 30 something dengan kaos band kebanggaannya. Jam enam sore mereka sudah berdatangan. Tentu saja dengan kaos yang dianggap bisa mewakili selera musiknya.

Tak ada keterangan jam berapa konser akan dimulai. Baik di tiket, maupun di poster. Entah lupa. Entah panitia menganggap penonton sudah bisa mengira kalau konser biasanya dimulai jam delapan malam.

Perbedaan antara konser malam kemarin dengan dua konser yang saya datangi sebelumnya, cukup signifikan. Tak banyak datang girl yang got her body from her mama. Tak ada goyang perempuan dengan liuk-liukan tubuh mengundang selera. Tak ada jeritan perempuan memanggil-manggil idola.

Bahkan ketika yang dinanti tak kunjung tiba, jeritan memanggil nama Megadeth ataupun Dave Mustaine hanya terdengar beberapa kali saja. Semakin memertegas kecurigaan saya, kalau yang berteriak memanggil idola di konser sebagian besar adalah ABG. Di sana, yang ada malah teriakan-teriakan khas ujung gang,

“Woy jablay! Lama banget sih!”

“Beruuuk!”

Yang diteriaki begitu, hanya tersenyum. Beberapa kali si teknisi bolak-balik. Nyaris setengah jam dia mondar-mandir di panggung. Baru sekira jam setengah sembilan pertunjukkan dimulai.

Tiga lagu pertama, saya berjibaku bersama puluhan fotografer lain. Kepala mendongak. Mencoba mencari sudut yang bagus. Saya baru memahami kenapa banyak fotografer tak bisa bekerja sekaligus. Memotret sekaligus menuliskan laporannya.

Jika saya datang sebagai wartawan tulis, saya biasanya menonton sambil memikirkan kata-kata atau sudut pandang cerita. Tapi, dengan kamera di tangan, rasanya sulit untuk maksimal di situ. Yang ada di kepala, hanyalah bagaimana caranya tiga lagu bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Belum lagi, bahu dan leher pegal-pegal. Betis panas. Pinggang juga. Ah, berat juga ya tugas para fotografer itu.

Ini penampilan perdana kamera 30D saya. Tapi, lensa 17 – 40 nya masih meminjam punya kantor. Setelah berpindah-pindah dari Olympus e 500, Canon 20D, atau 5 D, akhirnya saya punya kamera sendiri, 30 D hasil THR. Hehe.

Mudah-mudahan bisa menghasilkan uang! Amiiin. :D

Sialan. Melantur.

Beres tiga lagu, saya ke area festival. Mengambil gambar diam-diam. Ternyata, di sana beberapa fotografer dengan lensa panjang sudah siap. Dengan santainya memotret. Sebagian besar penonton hanya berdiri. Terpana. Beberapa di antara mereka, saya lihat wajahnya seperti terharu. Tersenyum. Memandang terus ke depan.

Kru [atau manajer ya?] Jeruji, yang bernama asli Bambang tapi ingin dipanggil dengan Megadeth saya lihat di antara mereka. Setengah mabuk. Tersenyum sendiri. Memandang idolanya dari kejauhan. Kacamatanya melorot. Matanya tidak terbuka dengan lebar. Kepalanya diangguk-anggukan. Badannya sedikit bergoyang. Di sebelahnya, seorang pria melakukan air guitar, mengikuti solo gitarnya Dave Mustaine.

Peace sells!
Peace
Peace sells,
Peace sells…but who’s buying?
Peace sells…but who’s buying?
Peace sells…but who’s buying?

Megadeth Bambang bernyanyi diiringi air guitar pria di sebelahnya.

Sialan. Kenapa pemandangannya tidak indah begini ya? Hahaha. Di depan saya, beberapa penonton mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk tanda damai. Seperti di konser Slank saja. Sedangkan di benak saya, malah terbayang chatting Arian dengan pacarnya sehari sebelumnya. Arian sedang bersenda gurau lewat YM dengan pacarnya. Dan topiknya konser Megadeth. Dia mengetik ini untuk syarin:

Peace sells, but apa?
But who’s buying?

Peace sells, but apa?
But who’s buying?

Melantur lagi. Kembali ke konser. Rasanya hanya bernyanyi dan menggerakkan sedikit badan yang bisa dilakukan mereka yang tak mau memaksakan fisiknya, tapi berusaha menikmati konser. Sebagian tentu saja ada yang slamdance, bernyanyi sekuat tenaga hingga konser berakhir.

Dan baru sadar kalau fisiknya sudah tak compatible lagi dengan rock show, ketika konser berakhir.

Ungkapan ‘If it’s too loud then you’re too old’ nampaknya tidak berlaku malam itu. Musiknya memang tidak too loud buat kuping mereka yang datang malam kemarin. No sir, it’s not their ears who have issues. But their other organs. Haha.

Ah sudahlah. Biarlah laporan lebih mendetil soal konser ini ditulis oleh mereka yang lebih mencintai Megadeth dibandingkan saya.

Wednesday, October 24, 2007

Longhair Alumni

Lihat dulu yang ini;

http://aparatmati.multiply.com/journal/item/65/longhair.

Arian men-tagged saya untuk mem-post foto saya ketika berambut panjang. Ini salah satu foto yang ada di account friendster saya. Foto-foto gondrong lainnya, sebenarnya masih banyak. Tersimpan di laci di kamar saya di Bandung.

Di foto yang ini tidak terlalu kucel tampang saya. Mungkin karena efek foto, wajah saya jadi bersih. Hahaha. Atau, mungkin karena kumis saya baru di-trim.

Hampir sepanjang masa perkuliahan, saya berambut gondrong. Tahun pertama, masih cepak gara-gara ospek. Nah, sejak tahun kedua hingga tahun ke-lima saya nyaris tak pernah memotong rambut. Saya selalu deg-degan setiap ingin pergi ke tukang cukur. Takut gagal. Jadi, lebih baik tak dipotong saja. Sudah jelas, kan, begitu potongannya.

Kalau dipikir lagi, mungkin itu sebabnya saya baru punya pacar ketika saya dicukur. Kapan-kapan saya posting foto saya dengan rambut gondrong, kumis dan brewok tak terawat. Mamang-mamang sekali lah. Hahaha.

Penghuni kampus lain, banyak yang mengira saya tak pernah mandi. Dandanan saya selalu sama. Jins, jaket kulit atau jaket jins, kaos hitam. Nah, yang saya ganti hanya kaos dan celana dalam. Itu sebabnya mereka mengira saya tak pernah mandi. Atau, mungkin karena dasarnya saya kucel, jadi tak terlihat bekas mandi.

Tapi, rambut gondrong memang selau terasa manfaatnya ketika mendengar musik rock atau metal. Haha. Sepertinya tak akan pernah salah kostum mendengar musik itu dengan rambut panjang terurai. Biarpun ujungnya pecah-pecah dan rambutnya bau terbakar matahari, perasaan kalau sudah mendengar musik keras, rambut itu terasa gagah-gagah saja.

Monday, October 22, 2007

'Tell Me, Where'd You Get Your Body From?'




The Black Eyed Peas selalu punya kenangan tersendiri di benak saya.

Pertama, karena mereka, saya bisa pergi ke luar negeri, dan paspor saya dicap untuk pertama kalinya ketika saya ditugaskan meliput konser mereka di Singapura tahun 2005. Kedua, seingat saya, itu kali pertama saya memotret pertunjukkan musik. Waktu itu, saya masih sangat awam dengan suasana memotret panggung.

Dan ketika Sabtu [20/10] malam kemarin mereka menggelar konser di Istora Senayan, saya seperti sedang napak tilas perjalanan sebagai fotografer panggung [wanna be]. Hehe.

Jam tiga sore, saya datang ke venue. Tidak seperti konser Java Musikindo yang lain, tak ada konferensi pers digelar. Biasanya, wartawan datang ke konpres, mengisi daftar hadir di meja, lalu setelah konpres digelar, ID peliputan dibagikan. Tapi, kemarin, sedikit berbeda. Panitia telah memasukkan media mana saja yang bisa mendapat ID.

Bersama sejumlah wartawan lain, saya tidak termasuk di dalam daftar. Yah bisa dimengerti. Tidak hanya acara itu, nama saya tak ada dalam daftar. Mungkin orang-orang tak tahu harus menghubungi ke mana. Mungkin juga bingung dengan eksistensi majalah saya.

Mereka yang dibagikan ID, harus menandatangani surat pernyataan yang berisi akan menulis liputan sesuai dengan ketentuan panitia. Ada beberapa nama yang harus ditulis atau disebutkan dengan tepat. Seperti sponsor dan nama konser itu.

Gawat. Soalnya, sebagian besar event yang saya datangi, berakhir di solehsolihun.multiply.com. Kalaupun ada yang dimuat di majalah, itu hanya dapat porsi sedikit, karena dengan jatah dua halaman untuk musik, persaingan ketat sekali.

Jeng jeng.

Akhirnya, mereka yang tak kebagian ID, diminta menulis di kertas kosong. Katanya, ID bisa diambil nanti malam, tanpa keterangan lebih jelas dari panitia. Untung pertolongan datang. Sandra dari Trax FM menawarkan ID lebih. Haha. Selamat lah saya, dari kewajiban meliput dan mengirimkan bukti liputan ke panitia.

Dan tak hanya irit pada media, sepertinya panitia juga cukup irit pada koleganya. Salah seorang kawan, bercerita, kalau biasanya dia menelepon Adri Subono dan meminta berapapun ID atau tiket, selalu dikasih, konser kemarin tidak begitu. Adri tak mengangkat telepon. Akhirnya, si kawan dapat tiket dari anaknya. Itupun dipirit.

Jam delapan malam, saya sudah di venue. Saya sempat mengira konser bakal sepi, karena tiket resmi saja dibandrol setengah juta untuk yang paling murah [tribun]. Tapi, rupanya setengah juta masih terjangkau untuk banyak orang Jakarta. Atau, mungkin juga, banyak yang membeli tiket atau ID dengan paket dua ID seharga Rp 700 ribu, seperti yang dialami salah seorang teman saya.

Konon, kabarnya rombongan mereka sebanyak 60 orang. Mereka datang dengan jet pribadi. Dan jika musisi yang tampil di konser Java, selalu dipesankan hotel oleh panitia, mereka memesan sendiri hotel pilihannya. Tagihannya langsung di-fax ke panitia.

Sempat mengira konser bakal dimulai jam sembilan malam, karena di jadwal ditulis jam delapan. Dan seperti di konser Fall Out Boy, konser baru digelar sejam dari jadwal di tiket. Ternyata, kali ini tepat waktu. Dan hilanglah kesempatan saya memotret Click Five.

Jam sembilan kurang, saya sudah siap di tempat fotografer. Ketika pintu belum dibuka, mereka sudah mengambil aba-aba. Seperti sedang mengikuti lomba lari saja. Saya malah santai-santai. Padahal, ternyata, bukan tanpa alasan mereka berbuat begitu.

Area untuk fotografer ternyata sempit. Ini area memotret paling sempit yang pernah saya lihat di venue lokal. Hampir tak bisa bergerak. Kalau sudah mendapat lokasi untuk berdiri, kemungkinan besar tak bisa pindah ke tempat lain. Sialan. Pantas saja mereka bersiap-siap. Akhirnya, angle foto-foto di sini, tak terlalu bagus. Untung saya sangat menikmati konser itu. Walaupun saya bukan penggemar the Black Eyed Peas, tapi harus saya akui, penampilan panggung mereka sangat menarik.

Tak ada crowd berteriak-teriak memanggil idolanya malam itu. Mungkin, di Indonesia, hanya ABG yang melakukan itu di konser-konser. Atau, saya yang tak mendengar teriakan-teriakan itu? Tapi, yang jelas, penonton malam itu lebih bervariasi ketimbang penonton di konser Fall Out Boy.

Dan suasana konser the Black Eyed Peas, mengingatkan saya pada suasana acara-acara musik di kampus saya. Maklum, Fikom Unpad periode ’99 hingga 2004, didominasi band-band top 40 atau R n B. Yah, band-band begitulah yang mendapat perhatian banyak dari crowd kampus saya waktu itu. Hanya sedikit rock n’ roll band yang muncul di panggung.

Yang paling menyenangkan dari konser R n B adalah tentu saja crowd-nya. Banyak sekali perempuan cantik, yang tak malu-malu berjoged. Ah, siapa yang tak suka berada di kerumunan dengan di kanan dan kirimu perempuan cantik berjoged?

Terbawa suasana, saya jadi ikut berjoged. Joged saya masih saja seperti dulu. Kaku. Tapi, bukan in a robotic way. Saya biasanya hanya menghentak-hentakkan kaki, kepala sedikit diangguk-anggukan. Pundak sedikit digerakkan. Sesekali ikut-ikutan mengangkat tangan ke atas. Hehe. Sialan. Saya selalu ragu untuk berjoged. Sepertinya, hanya lagu-lagu The Stones yang bisa membuat saya berjoged sepenuh hati. Sejak jaman mahasiswa, joged R n B saya selalu begitu. Setengah hati.

Kalau di kampus, lagu-lagu standar yang sering terdengar pasti yang ini;

“Have fun go mad!”
“Have fun go mad!”
“That’s what I say, yeah yeah yeah!”

Atau,

“Ja go make me loose my head”
“Up in here, up in here.”

Malam itu, tentu saja lagunya lebih kekinian.

“Na na na, don’t phunk with my heart.”

Atau,

“Tell me where’d you get your body from?” kata will. i. am.

“I got it from my mama.”
“I got it from my mama,” kata para penyanyi latar sambil meliuk-liukkan tubuhnya.

Yah, sepertinya untuk ukuran konser setengah juta, harga yang dibayar cukup setimpal. Mereka benar-benar menghargai penonton. Panggung tak hanya dihiasi dengan visual yang menarik, tapi juga para penari latar. Dan seperti juga mereka yang datang ke sini, the Black Eyed Peas sering sekali mengeluarkan pujian-pujian untuk crowd.

“Chantik, Chantik, Chantik,” kata salah seorang dari mereka, saya lupa siapa, mengomentari soal perempuan-perempuan Indonesia.

“Yeaaaaaaaaaah,” crowd bergemuruh. Entah apa yang membuat crowd berteriak kegirangan. Apakah karena dibilang cantik, atau idola mereka berkata dalam bahasa Indonesia.

“Far more delicious,” kata Fergie mengomentari makanan lokal sesaat sebelum membawakan lagu yang entah judulnya apa, yang jelas ada kata ‘delicious’-nya.

“Yeaaaaaaaah,” lagi-lagi crowd berteriak girang.

Tapi, ketiak Fergie tentu saja tidak delicious. Ketika sudah lebih dari sejam konser berjalan, ketiak The Dutchess basah. Dan dia mengangkat-angkat tangannya ke atas terus. Jadi penasaran, bagaimana aromanya. Haha. Dan tentu saja, jadi ingat iklan Rexona.

Tapi, meskipun basah ketek, Fergie cukup atletis. Di salah satu lagu, dia bernyanyi sambil koprol. Mungkin di sekolah, pelajaran Penjaskes-nya dapat nilai bagus.

Fergie sempat tertangkap kamera dengan ketiak dan selangkangan basah ketika konser. Dia rupanya tak belajar. Harusnya pakai kaos hitam saja, bukan kemeja biru terang yang akan membuat ketiak basahnya terlihat jelas.

Tapi, itu sepertinya tak mengurangi daya tarik konser itu. Dan segala pujian-pujian yang dilontarkan the Black Eyed Peas selalu disambut meriah.

“Kami pernah main di India, masa’ jam setengah dua belas malam, pesta sudah berakhir?”

“Eleven thirty!”

“Kami ingin pesta di sini berlangsung sampai pagi! Kalau bisa, sampai jam lima atau jam enam pagi,” kata Taboo kalau tak salah.

“Yeaaaaaaaaaah,” lagi-lagi crowd kegirangan.

Setelah dua jam berjalan, konser berakhir.

Waktu menunjukkan jam sebelas malam.

Tuesday, October 02, 2007

Momen Gombal dalam Lagu Iwan Fals

Barusan chatting dengan Bin Harlan Boer, salah satu obrolan kami menyerempet ke lirik-lirik lagu Iwan Fals. Dia cerita kalau beberapa waktu lalu, masuk rumah sakit karena demam berdarah. Harus dirawat selama delapan hari. Saya jadi ingat lirik “Kembang Pete” karya Iwan Fals, dari album KPJ [1985]. 

“…kalau di antara kita jatuh sakit, lebih baik tak usah ke dokter. Sebab ongkos dokter di sini, terkait di awan tinggi…”

Bin tertawa. Dan berkata kalau semakin hari, lirik Iwan semakin kena buat kehidupannya. Lantas, saya mengutip lagi lirik “Ikrar.” [Belum Ada Judul, 1992] Saya bilang pada Bin, kalau lirik itu cocok sekali untuk pria beristri yang akan meninggalkan rumah, atau pergi dinas, atau keluar kota lah.

“..kutitipkan semua yang kutinggalkan. Kau jagalah, semua yang mesti kau jaga. Permataku, aku percaya padamu…”

Pas di bagian itu, Iwan menyanyikannya dengan nada tinggi. Mantap. Saya selalu suka ketika Iwan harus mengambil nada-nada tinggi ketika bernyanyi. Dan lirik itu, ketika jomblo, membuat saya ingin punya istri, atau minimal pacar lah. Ingin punya orang yang disayangi. Supaya bisa saya beri kata-kata bijak. Hehe.

Dan bicara soal gombal-gombalan, ada beberapa lagu Iwan Fals, yang liriknya sangat gombal, tapi tidak cengeng, masih maskulin, tak berkata dia lelaki bukan untuk dipilih serta tak perlu meminta ijin untuk menyanyangi perempuan. :p

Ini beberapa di antaranya, yang bisa saya ingat sekarang. Oya, sebelumnya, harus saya peringatkan, tulisan ini mirip dengan tulisan soal lagu-lagu The Ramones beberapa waktu lalu.

Maaf Cintaku [Sugali, 1984].
Ini lirik Iwan yang gombal sekaligus sedikit aneh dalam mengungkapkan rasa kagumnya pada perempuan. Entah maksudnya biar terlihat berbeda, atau memang waktu itu, Iwan benar-benar merasa seperti itu. Saya yang masih SMP ketika pertama kali mendengar lagu ini, [telat memang kalau dibandingkan dengan tahun rilisnya], agak kaget ketika mendengar liriknya.

Ingin kuludahi mukamu yang cantik
Agar kau mengerti bahwa kau memang cantik
Ingin kucongkel keluar indah matamu
Agar engkau tahu memang indah matamu

Kurang ajar, bukan? Dan sedikit kasar. Tapi, dia menutupnya dengan kalimat yang manis. Iwan ini bisa kasar sekaligus lembut pada perempuan.

Jalan masih teramat jauh
Mustahil berlabuh
Bila dayung tak terkayuh

Maaf cintaku
Aku menggurui kamu

 

Yang Tersendiri [Sore Tugu Pancoran, 1985]
Iwan menulis lagu ini bersama seseorang bernama Tommy Marie—saya tak tau siapa dia. Tapi, di sini, dari mulai bait pertama hingga terakhir, Iwan mengeluarkan kata-kata indah. Tidak kasar. Tapi tetap lugas.

Terhempas ku terjaga
Dari lingkar mimpi
Pada titik sepi

Suaramu terngiang
Menembus khayalku
Yang juga tentangmu

Nah, ketika masuk nada tinggi, Iwan seakan ingin lebih menegaskan perasaannya. Jaman SMP dan SMA dulu, lagu ini sering saya jadikan pengantar ketika melamunkan kecengan. Haha.

Dan ku akui tanpa kemunafikan
Ku cinta kau
Bahwasannya keakuanku bersumpah
Ku cinta kau
 

Yakinlah [Lancar, 1987]
Lagu ini lebih cocok untuk soundtrack kisah cinta dua vokalis, karena Iwan berduet dengan penyanyi bernama Elly Sunarya—yang entah siapa itu. Si perempuan meminta si lelaki menyanyikan lagu, tapi si lelaki takut menyakiti telinga si perempuan. Agak bodoh sebenarnya. Ya udah lah, kalau mau nyanyi, nyanyi saja. Jangan belaga takut menyakiti telinga, tapi tetap saja dilakukan.

Bukan ku tak mau mengalunkan laguku
Kutakut menyakiti telingamu
Bukan aku enggan memainkan gitarku
Sebab cinta bukan hanya nada

Tapi, di bagian duetnya ini yang gombal dan sedikit berlebihan.

Kalau kita saling percaya
Tak perlu nada tak perlu irama
Berjalanlah hanya dengan diam
Melangkahlah hanya dengan diam

 

Aku Sayang Kamu [Aku Sayang Kamu, 1986]
Nah, para penulis lagu cinta buat Iwan Fals harusnya bisa melihat karakter seorang Iwan Fals kalau jatuh cinta. Betapapun Iwan memuja perempuan, sepertinya dia tak pernah memosisikan dirinya di bawah perempuan. Ini sebabnya saya bilang masih maskulin. Haha.

Gampang naik darah omong tak mau kalah
Kalau datang senang nona cukup ramah
Bila engkau bicara persetan logika

Sedikit keras kepala, ah dasar betina.

See? Dia tak seperti sekarang, yang merengek-rengek meminta ijin untuk menyayangi seorang perempuan, atau sedih karena merasa dijadikan pilihan!

Tapi, bagian yang to the point-nya yang gombal di lagu ini—tapi saya sukai. Tegas. Lugas. Langsung ke inti perasaan.

Ku suka kamu
Sungguh suka kamu
Ku perlu kamu
Sungguh perlu kamu

Dan ini, the ultimate gombalnya;

Engkau aku sayang sampai dalam tulang
Banyak orang bilang aku mabuk kepayang
 

14-04-84 [Ethiophia, 1986]
Ini sebenarnya lagu tentang pria berkeluarga. Tapi, tetap saja, bait awalnya masih cocok untuk siapapun yang sedang jatuh cinta.

Tahukah kau
Kurindu dirimu
Tahukah kau

Rasakah kasih
Cintaku putih
Rasakah kasih

Coba bayangkan. Kalau kamu jatuh cinta, dan merindukan siapapun itu kecengan kamu. Maka, dengarkan lagu ini. Pasti akan lebih lengkap rasanya. Dan lagi-lagi, ini dia bagian di mana nadanya agak meninggi.

Saat gelisah begitu buas hancurkan jiwa
Saat tak kuat lagi memendam marah

Lantas, dia lanjutkan dengan bernyanyi lembut,

Sungguh, aku cinta kau

Mata Indah Bola Pingpong [Wakil Rakyat, 1987]
Ini cocok untuk dijadikan pegangan buat para lelaki yang suka menggoda wanita di pinggir jalan. Mungkin lagu-lagu begini yang menjadikan lagu-lagu Iwan cocok untuk dinyanyikan di gang-gang, atau di pinggir jalan. Mamang-mamang iseng mungkin akan merasa punya teman ketika mereka menggoda perempuan yang lewat.

Bagian ini maksud saya,

Jangan marah kalau kugoda
Sebab pantas kau digoda
Salah sendiri kau manis
Punya wajah teramat manis

Wajar saja kalau kuganggu
Sampai kapan pun kurindu
Lepaskan tawamu nona
Agar tak murung dunia

Tapi, ini kalimat rayuan paling gombal di lagu ini.

Engkau baik, engkau cantik
Kau wanita, aku cinta
Aku puja, kau betina
Bukan gombal, aku yang gila

 

Buku Ini Aku Pinjam [1910, 1988]
Paling cocok buat mahasiswa atau anak sekolah. Dan ini salah satu bukti betapa laki-laki menggunakan trik meminjam buku untuk pedekate sudah sejak lama. Dan sepertinya sudut pandang pendidikan ketika ingin masuk ke pribadi seseorang langkah yang cukup aman. Pertama, meminjam buku, adalah wajar dilakukan, apalgi oleh laki-laki yang kadang malas mencatat atau membeli buku. Kedua, buku pelajaran atau catatan bukanlah barang yang terlalu pribadi, sehingga aman-aman saja dipinjam orang lain.

Ada dua bagian gombal yang penting di lagu ini. Yang pertama;

Memang usia kita muda
Namun cinta soal hati
Biar mereka bicara
Telinga kita terkunci

Yang kedua, bagian gombal sekaligus bagian kurang ajarnya [masa’ udah minjem buku, eh dia mau nulis-nulis di buku orang itu]

Buku ini aku pinjam
Kan kutulis sajak indah
Hanya untukmu seorang
Tentang mimpi mimpi malam

Jangan Tutup Dirimu [Antara Aku, Kau dan Bekas Pacarmu, 1988]
Ini mungkin buat lelaki yang berusaha untuk mendapatkan perempuan, tapi belum berhasil juga. Sebenarnya, di album ini, isinya cinta-cinta melulu. Beberapa lagu, malah daur ulang dari lagu lama, yang aransemennya dibuat lebih manis dan modern mungkin ya.

Datanglah kau kekasih
Dekap aku erat erat
Jangan lemparkan pelukku yang tulus

Biarkan hujan turun
Basahi jiwa yang kering
Jangan tutup dirimu

Nyanyianmu [masih di album yang sama]
Ini lagi-lagi, tentang kisah cinta antara dua orang vokalis. Di bagian awal saja, sudah gombal.

Tulikanlah kedua telingaku
Butakanlah kedua bola mataku
Agar tak kulihat dan kudengar
Kedengkian yang mungkin benar

Dan ini penutupnya.

Memang aku jatuh
Dalam cengkeramanmu
Sunggu aku minta

Teruskanlah kau bernyanyi
Kan ku dengar itu pasti
Teruskanlah kau bernyanyi
Dan jangan lagumu terhenti

Sebelum Kau Bosan [masih dari album yang sama]
Ini rayuan gombal untuk pacar yang sepertinya sedang atau mulai masuk masa jenuh dalam hubungan.

Sebelum kau bosan sebelum aku menjemukan
Tolonglah ucapkan dan tolong engkau ceritakan
Semua yang indah semua yang cantik
Berjanjilah

Dan lagi-lagi, masuk ke bagian kisah cinta dua vokalis.

Ciptakanlah lagu yang kau anggap merdu dik
Nyanyikan untukku sungguh aku perlu itu
Bila kau tak suka bilang saja suka
Berjanjilah

Ya Atau Tidak [Belum Ada Judul, 1992]
Lagu wajib buat penggemar Iwan Fals yang sedang jatuh cinta. Haha. Dulu, saya sempat berpikir untuk menyatakan pada perempuan yang saya sukai dengan lagu ini. Tapi, suara saya terlalu datar. Bermain gitar pun tak bisa. Sayang sekali, padahal lirik gombalnya pas sekali untuk kalimat pernyataan, jika kamu tak tahu harus berkata apa untuk orang yang kamu sukai dan ingin dijadikan pacar.

Dan setelah semua lirik sebelumnya, merayu dan bergombal ria, lagu ini pas untuk dijadikan penutup. Karena inilah inti dari semua gombalan dan rayuan itu. Untuk mendapatkan si kecengan tentu saja.

Ah, saya lebih baik tulis semua liriknya.

Sepertinya, ini bagian ketika Iwan menggoda si perempuan, sebelum bertanya apakah dia mau menjadi pacar.

Bicaralah nona
Jangan membisu
Walau sepatah kata
Tentu kudengar

Tambah senyum sedikit
Apa sih susahnya?
Malah semakin manis

Semanis tebu

Nah, ini dia inti dari pembicaraan dia dengan perempuan itu.

Engkau tahu isi hatiku
Semuanya sudah aku katakan
Ganti kamu jawab tanyaku
Ya atau tidak itu saja

Dan ketika si perempuan diam saja, dia bisa berkata ini.

Bila hanya diam
Aku tak tahu
Batu juga diam
Kamu kan bukan batu

Aku tak cinta pada batu
Yang aku cinta hanya kamu
Jawab nona dengan bibirmu
Ya atau tidak itu saja

Tak aku pungkiri
Aku suka wanita
Sebab aku laki laki
Masa suka pria

Ah kuraslah isi dadaku
Aku yakin ada kamu di situ
Jangan diam bicaralah
Ya atau tidak itu saja

Monday, October 01, 2007

20Q David Naif

Ini teks yang paling lama mengendap di komputer. Saya mewawancari David awal 2006, entah Januari atau Februari. Baru diterbitkan di edisi Juni 2007, karena pemred saya selalu menyuruh saya mencari tokoh lain. Sempat merasa tak enak pada David, karena dia tokoh pertama yang saya wawancarai untuk majalah ini, tapi tak kunjung diterbitkan juga.

Akhirnya, hutang saya terbayar. Ini versi yang sedikit lebih panjang dibandingkan yang diterbitkan di majalah. Ada beberapa pertanyaan yang saya ganti--karena ada yang lebih segar ketimbang beberapa pertanyaan di bawah--ketika majalah itu di-lay out.


Vokalis gokil bicara soal dirinya yang tidak romantis dan mengapa Boy George meninggalkan kesan yang begitu mendalam di benaknya.
 

Q1
Keseharian David Naif tidak sekocak di panggung. Kenapa?

Kalau di panggung, itu kan hanya stage act. Kalau di kehidupan sehari-hari gue selalu melucu, bisa dianggap gila. Misalnya, masa ketika gue sedang jalan-jalan di mall sama istri gue, terus jingkrak-jingkrak? Walau begitu, basically otak gue selalu ingin membuat semua hal jadi bahan untuk bercanda. Gue selalu gatal, ingin mengeluarkan kata-kata ngaco. Ingin melawak terus. Garing kan kalau melucu di antara orang yang nggak gue kenal. Tapi intinya, gue tidak terlalu serius. Malah cenderung paling nggak serius dibanding anak-anak yang lain. Saat serius, gue serius. Tapi, capek juga kalau selalu serius.

Q2
Ya, tapi Anda paling tidak suka dicap sebagai anggota band lawak. Kenapa?

Karena lagu-lagu kami tidak melawak. Itu hanya performance saat manggung. Jadi, jangan di-judge karena lagunya lucu, lantas disebut band lawak. Basically, kami bukan band lawak. Kalau kami band lawak, nanti harapan orang kami musti membawakan lagu yang selalu lucu. Gue nggak ingin itu jadi imej yang melekat di Naif. Pokoknya nggak mau. Memang kami bukan pelawak.

Q3
Bagaimana perasaan Anda soal ekspektasi publik terhadap David Naif yang harus selalu tampil kocak?

Gue sih masih bisa bersyukur. Karena gue bukan pelawak. Masih bisa santai, tidak harus selalu melucu. Yang jelas, gue bisa menempatkan diri. Di mana gue harus tidak melucu, atau di mana harus sedikit menghibur. Kalau di panggung kan, kadang-kadang penonton butuh hiburan lain selain lagunya.

Q4
Kita bicara awards. Apakah mendapatkannya penting buat Anda?

Kalau di luar negeri mungkin ya. Agaknya musisi akan senang kalau mendapat awards. Tapi, soal penting tidaknya mendapat awards, mungkin pentingnya untuk anak cucu saja. ‘Eh, bapak dulu pernah dapat piala nih’. [tertawa]. Cuma, gue tidak tahu kondisi di negara kita. Penghargaannya benar-benar murni atau memang ada konspirasi di belakangnya.  Pertanyaan gue sih, ini hanya media promosi atau ada yang menunggangi? Sepertinya, di negara kita memang belum ada awards yang benar-benar murni. Mungkin baru ada di beberapa majalah.

Q5
Anda pernah berharap mendapat awards?

Untuk skala lokal sih, pengharapan gue biasa saja. Kalau dapat awards, gue akan bersyukur. Kalaupun tidak, memang pada dasarnya gue tidak terlalu berharap. Kalau untuk MTV Asia Awards sih, mungkin sedikit berharap bisa mendapat awards. Hanya, ibu gue memang pernah bertanya. ‘Kok tidak pernah dapat itu sih? SCTV Awards Band Ngetop?’ Gue jawab, ya karena memang kami nggak ngetop. [tertawa]. Ketika ibu gue bertanya, ‘Kok nggak masuk nominasi sih?’ gue jawab, bodo amat. [tertawa].

Q6
Lalu, standar apa yang dipakai untuk mengukur perkembangan musikalitas?

Kalau bagi gue, band bisa berumur panjang saja sudah termasuk sukses. Ukuran gue sih, lebih dari sepuluh tahun bisa eksis. Bisa tetap terdengar dan masih bisa berkarya, sudah tenang deh.

Q7
April ini, album tribute untuk Naif dirilis. Bagaimana perasaan Anda?

Itu melebihi semua penghargaan apapun di Indonesia. Gue pikir tadinya itu cuma kabar angin. Pas dengerin, busyet! Seneng banget. Bahagia sejati. Apalagi waktu baca pendapat masing-masing band soal Naif, terharu banget. Gue kayak udah mati aja. [tertawa]. Rasanya nggak kebayar oleh apapun.

Q8
Kalau kisah hidup Anda difilmkan, siapa yang ingin Anda pilih untuk memainkan peran Anda?

[lama terdiam]. Pemain film di Indonesia sedikit sih. Hmmm. Tora Sudiro aja deh. Konyol orangnya. Lagipula, siapa lagi coba? Pemain film yang lain, rata-rata orangnya serius. [tertawa].

Q9
Apa sih mimpi kanak-kanak Anda?

Pokoknya gue dulu tidak pernah ingin jadi penyanyi. Cita-cita, paling ingin jadi astronot. Standar lah. Terus, waktu kecil gue sekolah di Cirebon. Bangunannya luas. Nah, dulu gue selalu bermimpi apa jadinya kalau sekolah itu jadi rumah gue. Saudara-saudara gue tinggal di ruang kelas yang ada. Lalu, gue bermimpi punya ruangan kedap udara yang bisa gue gunakan untuk melayang-layang. Waktu kecil, itu yang selalu gue mimpikan. Rasanya senang kalau bisa terbang. Mimpi terbang sih sering. Pernah, satu waktu gue mimpi bisa terbang, dengan daya dorongnya dari kentut. Kalau kentut, duuss! Melayang. [tertawa].

Q10
Hmm mimpi terbang ya? Kalau mimpi basah dengan selebritis. Pernah?

Boy George! [ngakak]. Gue pernah mimpi di-blow job Boy George. Akhirnya gue merasa bersalah. Memang, mimpi nggak disengaja kan? Namanya juga mimpi. Tapi, tetap saja. Boy George ngasih gue blow job di kamar mandi. [ngakak]. Tapi gue bukan homo lho! Ketika terbangun, gue merasa kesal. Halah, kenapa Boy George? Kenapa nggak dengan perempuan? Jadi, sampai sekarang kalau gue melihat Boy George selalu teringat mimpi itu. Yang anj*&$nya tuh, di mimpi gue, teman gue yang bassist Rumah Sakit, mengintip. Dia bilang, ‘Eh ngapain lo?’ Lantas, gue jawab, Jangan bilang-bilang lo! [tertawa].

Q11
Wah gawat juga ya. [tertawa]. Tapi, Anda punya fantasi seksual dengan selebritis perempuan kan? Terus, kalau bisa satu malam dengannya, apa yang akan Anda lakukan?

Monica Belucci. Kalau bisa satu malam dengan dia, mungkin gue akan gemetar. Paling, gue akan tanya dia, payudara kamu asli apa palsu? [tertawa]. Terus, gue mau ngomong, akting kamu di film “Irreversible” bagus. Terutama di adegan waktu dia diperkosa di gang itu. Satu lagi pertanyaan yang akan gue tanyakan, Kenapa sih kamu selalu mendapat peran sebagai perempuan yang selalu ditindas laki-laki?

Q12
Memangnya, apa arti perempuan buat Anda?

Perempuan adalah segalanya buat gue. Di album terbaru ini, “Televisi”, gue menulis lagu judulnya “Lagu Wanita”. Itu bentuk pemujaan gue terhadap wanita. Inspirasinya dari all the woman in the world. Tapi ya yang terdekat mungkin istri gue. Gue melihat wanita tuh indah sekali. Misalnya, begitu melihat Playboy, anj*&# foto ini indah sekali. Dibandingkan dengan pemandangan alam, bagi gue lebih indah tubuh perempuan. [tertawa]. Gue tidak bisa hidup tanpa wanita. Gue pemuja wanita, tapi tidak romantis orangnya. Tapi, perempuan lebih menyukai laki-laki romantis ya? Lebih suka digoda ya? [ngakak].

Q13
Oya? Tidak romantis? Lalu, apa hal paling romantis yang pernah Anda lakukan untuk perempuan?

Gue benar-benar tidak romantis. Justru di lagu, gue sedang menunjukkan sisi dari diri gue yang ingin romantis. Itu yang nggak bisa gue lakukan di kehidupan nyata. Bahkan, istri gue suka ngomong begitu. ‘Bisa ya buat lagu seperti itu? Tapi kenapa kalau bicara langsung tidak bisa.’ [tertawa]. Lagunya gombal. Tapi, gue nggak bisa mengungkapkan dengan kata-kata, sayang aku…[tertawa]. Gue suka merasa norak dengar diri sendiri berkata seperti itu. Gue sih nggak romantis. Payah. Perbuatan yang romantis mungkin hanya mengirim surat cinta. Waktu nonton sinetron dan mendengar dialog, aku cinta kamu…t*# nih! Geli sendiri. [cekikikan] Gue nggak bisa mengungkapkan langsung perasaan gue. Sepertinya memang lebih enak pakai nada. Tuh, gue berkeringat nih dikasih pertanyaan seperti ini. [tertawa]. Paling standar lah, gue memberi bunga. Ada yang jualan bunga di jalan, gue beli.

Q14
Jadi, menurut Anda lagu-lagu Naif memang gombal?

Ada yang memang kami sengaja buat supaya terdengar gombal. Lagu “Kau” misalnya. Gue menemukan lirik untuk refrain-nya lebih dulu. Selebihnya, anak-anak yang menambah liriknya supaya jadi gombal. Udah, jualan m*#@k aja, kata anak-anak. [tertawa].

Q15
Di album “Retropolis” Anda menulis lagu “Uang”, apa yang jadi inspirasinya?

Itu karena sudah berbulan-bulan nggak juga pulang ke rumah. Tidak memberi istri gue uang. Tur selama tiga bulan di jalan, istri nggak gue beri nafkah. Lagu itu kan mencoba berkata begini, tenang gue pulang bawa uang nih. Sesederhana itu kok. Sangat harafiah. Memang waktu gue buat lagu itu, gue ingin pulang. Kalau sedang tur, pasti akan lama tidak bertemu dengan keluarga. Juga tidak bercinta berbulan-bulan, itu yang membuat gue kesal. Akhirnya, gue menggantinya dengan masturbasi deh. [tertawa].

Q16
Di album terbaru ini, ada lagu “Superstar”. Apakah ini sebuah bentuk olok-olok? Kalau iya, kan Anda juga superstar.

Iya, itu olok-olok. Lagu ini sebenarnya ditulis udah lama. Waktu acara pencarian bakat sedang marak di tv. Banyak artis baru, yang attitude-nya mestinya nggak begitu. “Nih gue nih!” Ya sebel aja ngelihatnya, capek. Gue superstar? Amiin. [tertawa]. Di Indonesia tuh justru yang superstar, pelawak. Dibandingin penyanyi, masih lebih kaya pelawak. Lihat aja pelawak, ada yang mobilnya Hummer.

Q17
Apa sih yang paling membanggakan dari seorang David Naif?

Apa ya? Suara gue biasa saja. Suara gue tuh cempreng. Istri gue pernah ngomong, ‘Suara kamu tuh biasa saja ya.’ Buat gue, vokalis yang bagus, Kaka Slank tuh, suaranya bagus. Semakin tua, suara Kaka semakin bagus. Gue nggak bisa membanggakan diri gue sendiri sih. Suara gue, nggak ada skill-nya. Kalau ada yang membanggakan dari hidup gue, itu bisa tergabung di band Naif. Gue bangga dengan lagu-lagunya Naif.

Q18
Apa jadinya Naif tanpa David?

Apa ya? Nggak akan ada Naif. Mungkin semuanya akan berbeda. Nggak tahu juga ya. Nggak mungkin ada Naif dong. Karena memang dari awal kami bersama-sama sih. Nggak ada Emil, nggak ada Naif. Nggak ada Pepeng, nggak ada Naif. Nggak ada Jarwo pun nggak ada Naif.

Q19
Di salah satu acara di Bandung, Anda mengeluarkan lelucon soal Radja dan Kangen Band. Sebenarnya bagaimana pendapat Anda soal kedua band itu?

[tertawa]. Oh elo ada di sana ya waktu itu? Ah lagi-lagi, itu kan cuma stage act. Buat mancing reaksi penonton aja. Waktu itu gue pikir kalau ngomong begitu, pasti dapet reaksi yang bagus. Eh, ternyata bener. Bukan karena sebel sama dua band itu. Memang sih, kayaknya tiap tahun mesti ada band yang begitu. Yang mewakili selera kebanyakan masyarakat Indonesia. [tertawa].

Q20
Boleh tahu, satu dirty little secret Anda?

Gue pernah kepergok saat bercinta di mobil. Waktu gue masih pacaran. Kejadiannya di jalan deh. [tertawa]. Gue nggak akan bilang siapa yang mergokin gue. Pokoknya ada deh orangnya. Intinya, gue kepergok saat bercinta di mobil, di jalanan jaman pacaran. [tertawa].