Monday, November 26, 2007

Laporan Seorang Cheap Bastard dari Terusik Traxkustik




Minggu [25/11] kemarin, di Hard Rock Café, Trax FM menggelar kembali Terusik Traxkustik, yang kali ini mereka beri judul Electrorock.

Saya datang, agak telat, jam setengah delapan malam. Efek Rumah Kaca sudah bermain sekira tiga lagu. Dan seperti biasa, cheap bastard tak tahu diri ini, meminta gratisan pada Sandra. Karina, yang bertanggungjawab pada guest list ketika menyambut saya di pintu, lantas meminta saya untuk meliput.

“Iya, tapi buat Multipy ya,” kata saya.

Karina tersenyum tanda setuju. Dan saya masuk dengan lega. Hahaha.

Di dalam, ternyata sudah banyak orang. Tak tahu berapa jumlahnya. Tapi, lantai bawah cukup penuh. Walau tak sesak. Ketika saya tiba di sana, saya baru pulang dari Sawangan. Mengantar Attan, yang sore harinya, mendadak meminta saya untuk menemani melihat rumah yang ingin dibelinya. Tapi, dia malah meminta saya untuk menyetiri motornya. Tanpa jaket, dari Fatmawati ke Sawangan, akhirnya saya menyetir motor. Setang motornya, diganti dengan setang jepit. Ini membuat pengendara lebih lelah. Apalagi saya tak memakai jaket.

Ah, melantur. Intinya begini, karena kejadian itu, enerji cukup terkuras. Datang ke Hard Rock terburu-buru. Akibatnya, mood terganggu. Tak sempat berpikir banyak ketika datang ke sana. Biasanya, kalau saya datang ke satu acara, dan berpikir untuk menuliskan acara itu, begitu datang ke lokasi, saya sudah tahu harus menulis apa. Saya memutar otak untuk menceritakan apa yang saya lihat.

Kemarin, tidak begitu.

Jadi, hasilnya begini. Kalau diteliti lebih lanjut lagi tulisan ini, kamu akan tahu kalau saya sebenarnya memaksakan diri untuk memasukan tulisan. Hehe. Oya, kali ini, saya iseng mencoba lensa 28 – 105 mm yang ada di kamar. Lensa ini, punya adek saya. Jarang dipake. Tak enak, katanya. Serba tanggung. Wide tidak. Zoom juga kurang.

Ternyata benar.

Belum lagi, tata cahaya di Hard Rock Café yang tak pernah bagus. Hasilnya, ya seperti ini. Banyak gambar yang kurang terang. Maafkan.

Kembali ke acara, saya tak tahu berapa banyak Efek Rumah Kaca bermain malam itu. Yang jelas, setelah mereka, RNRM tampil. Lama mengatur peralatan di panggung, MC memanggil personel untuk ngobrol mengisi kekosongan. Ekky dan Nyanya yang maju.

“Jangkrik bos,” kata Ryo.

Crowd tak mengerti. Tak ada yang tertawa. Tak ada juga, yang ikut berteriak, “Kriiik. Kriiik. Jangkrik.” Padahal, Nyanya memang cukup jangkrik. Saya ingin teriak juga, tapi yang lain diam saja.

Beres RNRM, Netral tampil. Rupanya sebagian besar crowd, datang untuk Netral. Buktinya, begitu Netral naik ke panggung, crowd memadati mulut panggung. Meneriakkan judul-judul lagu Netral. Dan ketika musik dimainkan, mereka berjoget.

“Yah, dikacangin lagi deh. Dikacangin lagi deh,” kata seorang anak.

Bagus tersenyum mendengar anak itu. Tak berapa lama, Bagus melempar pop corn ke arah crowd. Si anak yang tadi berteriak soal dikacangin, kegirangan. “Tuh kan, dikacangin,” katanya. Bagus tersenyum lagi.

Saya tak mengerti maksud mereka. Mungkin joke internal antara Netral dan penggemarnya. Atau mungkin ada joke baru ibukota, yang belum saya tahu.

Jam sepuluh, saya pulang. Menebeng Ronal dari Extravaganza. Saya lebih mengenalnya sebagai Mbe, karena begitu dia dipanggil waktu di kampus. Tapi kini, Ronal punya alter ego baru, Ronal Disko. Dia sedang memersiapkan album perdananya. Musiknya, sangat terpengaruh new wave, katanya. Mixing albumnya, dikerjakan oleh Indra Lesmana. Ronal Disko mengatakan masih mencari label.

Di perjalanan, Ronal mengajak karaoke. Akhirnya, saya ikut. Manajer dia, Luthfi adalah vokalis Purpose. Ternyata suaranya memang bagus. Biasanya, saya karaokean dengan para penyanyi yang pas-pasan. Tapi, malam itu, para penyanyinya malah bernyanyi dengan benar. Haha. Hanya saya yang suaranya pas-pasan.

Ah sudahlah. Semakin tak menarik dan tak jelas arah tulisannya.

Friday, November 23, 2007

The Brandals di Penjara




Setelah Johnny Cash, Metallica, dan Slank, kini giliran The Brandals manggung di penjara, Kamis [22/11] lalu.

Fanno, sang manajer bolak-balik ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia serta ke Lapas di Tangerang untuk melobi aparat supaya The Brandals bisa bermain di sana. Tak ada suap menyuap atau pungutan biaya yang dikenakan pengelola Lapas. “Yang penting gimana kita ngomong sama mereka,” katanya.

Akhirnya, mereka memilih Lapas dengan penghuni di bawah 18 tahun, Lapas Kelas II A. Kata Fanno, dengan alasan relatif lebih mudah terkendali. Selain karena umur, juga karena penghuni Lapas di sana, sekitar 300 orang. “Penggemar kami, umurnya rata-rata segitu kan, 12 sampai 18 tahun,” kata vokalis Eka Annash.

Secara fisik, para penghuni Lapas itu memang, relatif terlihat lebih mudah dikendalikan. Tak ada tipikal fisik tahanan seperti dalam film; badan kekar, bertato, wajah seram. Yang ada, malah remaja-remaja tanggung dengan wajah yang jauh dari kesan kriminal. Yang harusnya masih berada di bangku sekolah. Katanya, tak sedikit dari mereka yang asalnya dari jalanan. Sudah tak punya keluarga.

Tapi, fisik boleh menipu. Karena jumlah penghuni yang masuk karena kasus pembunuhan, mengutip keterangan salah seorang pengelola Lapas, “lumayan banyak.”

David Tarigan, A&R Aksara Records, bercerita soal salah seorang tahanan yang menghampiri gitaris Toni. Tahanan itu, salah satu dari sekian banyak penggemar The Brandals. Ketika Toni bertanya alasan si anak masuk penjara, anak itu menjawab, “Gue merkosa cewek gue. Terus, gue bakar,” katanya tenang.

Seorang anak, menceritakan alasannya masuk ke sana karena tabrakan setelah balapan liar. Sialnya, yang ditabraknya, meninggal. Akhirnya, yang masih hidup harus menanggung akibatnya.

Lapas itu juga, tak seseram yang dibayangkan. Lapas di sana, terdiri dari kelompok bangunan yang mengelilingi kompleks berbentuk segi empat. Di dalam area yang dikelilingi bangunan itu, terdapat lapangan basket, musholla, serta ruang tahanan. Ruang tahanannya, bukan berupa kamar berkasur dua seperti yang kita lihat di film Hollywood. Tapi, lebih seperti bangsal, yang entah berapa orang menghuni satu bangsal itu. Cat bangunan mungkin sengaja dipilih warna-warna cerah, supaya memberi kesan nyaman.

Memang, sedikit mirip dengan suasana sekolah. Ada ruangan yang mirip ruangan kelas. Ada bapak-bapak dan ibu-ibu berseragam, seperti halnya guru. Ada kumpulan foto di dinding, seperti halnya foto dokumentasi sekolah. Bahkan, saya melihat salah seorang anak berlari ke salah satu ruangan yang mirip ruangan guru, sambil membawa sejenis makalah. “Gue belum ngumpulin tugas nih,” katanya kepada temannya.

Walaupun tentu saja, bagi sebagian orang, penjara dan sekolah sama-sama tak menyenangkan. Juga, sama-sama masuk karena terpaksa. Hanya bedanya, mereka yang bersekolah, masih bisa bolos atau pulang ketika jam pelajaran berakhir. Sedangkan, para penghuni Lapas, terjebak dua puluh empat jam.

***
Jam dua siang, konferensi pers digelar. Seperti biasa, ada sesi tanya jawab. Hanya kali ini, ditambah sesi tanya jawab dari penghuni Lapas. Seorang anak kecil, malu-malu, bertanya, “Kak, kenapa nama bandnya The Brandals?” katanya.

Padahal, sebelumnya, seorang wartawan sudah menanyakan hal yang kurang lebih serupa. Nah, sekarang kita bisa membandingkan, kurang lebih seperti apa kelas intelektual wartawan yang masih bertanya soal alasan pemilihan nama band. Hehe.

Selain bicara soal nama band, Eka berbagi cerita pada para pemuda itu, soal apa yang membuat mereka bermain band. Ketika remaja, dia sering menyaksikan band-band seperti Slank dan Iwan Fals di panggung. Itu membuat dia ingin suatu saat ada di panggung juga. Entah kenapa nama Slank dan Iwan Fals dijadikan contoh, dari sekian banyak musisi yang ditonton Eka. Entah karena memang itu jadi pemicu, entah karena dua nama itu dirasa punya kedekatan buat para remaja penghuni Lapas.

"Jadi, kalian juga bisa mewujudkan mimpi kalian kalau kalian mau," begitu kurang lebih kata Eka, mencoba memberi pesan moral.

Hampir jam tiga sore, setelah konferensi pers, dua band yang personelnya para penghuni Lapas membuka acara. Bapak pengelolas Lapas yang saya lupa namanya mengatakan kalau band dari Lapas itu ada yang sudah ikut kompilasi album. “Yah dengan datangnya Aksara Records ke sini, mudah-mudahan kreativitas mereka bisa tersalurkan,” katanya.

Hanin Sidharta dan David Tarigan hanya tersenyum ketika mendengar itu.

Band Lapas yang pertama, Speak 86, memainkan lagu berjudul “Sakit Hati.” Lagunya dibuka dengan nada tipikal pop yang merengek-rengek. Tapi, ternyata itu hanya intro, karena mereka memainkan punk rock. Lagu kedua, saya lupa judulnya. Yang jelas, lagu ciptaan mereka sendiri. Dengan lirik yang samara-samar terdengar di kuping saya, seperti ini;

Oh Tuhan
Blablabla
Aku kesepian

Blablabla
Blablabla
Blablabla

Mereka ada di mana?

Band kedua, sepertinya bernama Alive. Karena dua personel mereka sudah pulang, mereka meminjam gitaris dan bassist band sebelumnya. Band yang ini, memainkan pop dengan nada-nada Melayu dan lirik yang juga bercerita soal sakit hati.

Tema sakit hati dan kesepian sepertinya jadi tema andalan para penghuni Lapas. Di salah satu ruangan, saya melihat komik karya mereka. Sepertinya dibuat ketika Hari Valentine. Hanya sedikit yang bernada optimis. Selebihnya, sakit hati karena tak punya pacar. Atau, melihat orang lain berpacaran.

Agaknya wajar kalau tema-tema seperti itu disukai mereka. Di antara jutaan orang di Indonesia, mereka termasuk yang paling berhak bercerita soal kesepian dan kekecewaan.

***

Tema yang serupa, saya rasakan di album ketiga The Brandals, “Brandalisme.” Lagu-lagu berbahasa Indonesianya, penuh dengan lirik bertema kekecewaan. Tipikal ungkapan rasa-kecewa-terhadap-keadaan-tapi-harus-bagaimana-lagi-ya-sudahlah-terima-saja.

Lama teringat janji yang terlupa
Sendiri tak ada tawa
Berteman sepi
Terbuai tertinggal

Kata Eka dalam “Surat Seorang Proletar Buat Para Elit Borjuis.” Lagu yang sarat pengaruh psikadelik, sedikit mengingatkan saya pada nuansa lagu “We Love You” milik The Rolling Stones.

Suap seribu janji seribu cerita
Kotori mata hati keriput derita
Sudah jangan ditambah
Kami sudah muak
Seribu hari janji
Terbalik tertolak
Manis di bibir pahit terasa

Kata Eka dalam “Janji 1000 Hari,” yang judulnya saya sukai.

Tak salah kalau mereka mengatakan album ini kristalisasi dari album pertama dan kedua. Album pertama, mereka seperti lebih berteriak. Lebih ingin didengar. Lebih ingin keras. Album kedua, terdengar lebih tenang. Lebih banyak bereksperimen dengan instrumen. Hasilnya, musiknya lebih variatif. Mengingatkan pada nuansa album “Exile On Main St” dari The Stones.

Album paling baru ini, adalah gabungan atmosfer dari kedua album sebelumnya. Tak terlalu bising, tapi masih ada enerjinya. Teriakan Eka tak terlalu terdengar frustasi penuh amarah. Buat telinga saya, suara Eka di album ini terdengar seperti orang yang masih marah, tapi akhirnya nyaris menuju ke tahap menerima keadaan karena tak tahu lagi harus berbuat apa.

Tak banyak instrumen tambahan seperti di album kedua. Hanya, mereka lebih berani bermain-main dengan komposisi. Walaupun di beberapa lagu, masih terasa beberapa part yang merupakan ‘rampasan’ dari lagu orang lain.

“Musik The Brandals itu kan gabungan antara blues dan punk, ya ibaratnya The Rolling Stones ketemu sama Sex Pistols deh,” kata Eka ketika ditanya salah seorang wartawan.

***

“Eka cakep deh,” kata bocah penghuni Lapas ketika The Brandals bersiap-siap. Eka tak mendengar. Bocah itu pun berkata dengan malu-malu. Teman si bocah rupanya juga sedikit malu-malu untuk berjoget ketika The Brandals mulai bermain. Walau akhirnya mereka mau juga berjoget. Salah seorang dari mereka, malah berjoget ala Modern Darlings.

Tak butuh banyak penjagaan untuk mengendalikan penonton. Di tempat yang isinya banyak ‘penjahat’ saja, tak butuh banyak aparat untuk mengawasi. Hanya tiga orang petugas berjaga-jaga. Itu pun lebih ke supaya mereka tak mengganggu permainan The Brandals. Dan anak-anak itu, memang mudah dikendalikan. Mereka hanya ingin bersenang-senang. Tak ada yang berkelahi karena tersenggol temannya. Saya lantas teringat pada beberapa pertunjukkan dengan mayoritas penonton remaja seusia mereka, yang selalu dihiasi dengan perkelahian.

Mereka memainkan enam lagu. Cukup banyak yang tahu lagu-lagu lama mereka. Ini jadi bukti kalau ucapan Fanno soal ada penggemar The Brandals di sana. Lewat setengah empat, pertunjukkan kecil itu rampung. Tak sebesar Live at Folsom Prison-nya Johnny Cash memang, tapi sepertinya itu cukup menghibur para penghuni Lapas. Setidaknya, kalau ukurannya banyak wajah tersenyum ketika berjoget dan belasan remaja menyerbu untuk meminta tanda tangan.

Eka menutup pertunjukkan sore itu dengan sedikit berkhotbah. “Kalau kalian sudah bisa pulang dari sini, minta maaf sama orangtua kalau yang orangtuanya masih ada. Ingat, kembali ke orangtua dan kembali ke agama,” katanya.

Tuesday, November 20, 2007

Dari Syuting Hits Cadas RCTI




Saya sebenarnya sedang malas menulis. Tapi, saya tak ingin halaman foto ini dibiarkan begitu saja tanpa ada intro. Jadi, langsung saja. Foto-foto ini saya ambil Rabu [14/11] lalu, Seringai dan beberapa rock band lain seperti Superglad, Superman Is Dead, KOIL, Netral dan Kunci diundang RCTI untuk masuk dalam program Hits, tayangan yang menampilkan band-band yang dianggap sedang hits untuk bermain live di studio. Tak usah ditanya lagi kenapa mereka memilih judul Hits Cadas untuk deretan nama-nama itu.

Siang itu, Jakarta diguyur hujan lebat. Di beberapa jalan, pohon tumbang, billboard berjatuhan. Seringai dijadwalkan sound check jam empat sore. Tapi, lalu lintas yang menggila membuat Khemod dan Sammy tak bisa datang tepat waktu. Karena Khemod membawa alat, maka sound check harus diundur. Untung, kru Netral sudah siap. Tapi, jam setengah enam sore, Sammy masih tak bisa datang tepat waktu ketika giliran sound check tiba. Akhirnya, Ronnie sang teknisi menggantikan posisi Sammy.

Saya tak bisa bercerita banyak selepas sound check. Saya harus pergi ke Metro TV. Dan ketika saya kembali, puluhan remaja tanggung yang kebanyakan laki-laki sudah ada di pelataran parkir RCTI. Beberapa dari mereka, malah mencoba masuk pintu samping. Menempelkan badannya di pintu. Membawa bendera Superman Is Dead. Berteriak-teriak histeris.

Ada beberapa hal yang bisa diceritakan dari ruang tunggu artis. Selain membawa beberapa koper, Superman Is Dead membawa makanan kecil seperti keripik singkong dalam kemasan, aneka macam gorengan, satu ember kecil berisi bir dan es batu, serta PS2. Pilihan game-nya? Guitar Heroes. Ruang tunggu Seringai dan KOIL, tak banyak barang, kecuali alat-alat mereka. KOIL yang di-endorse Jack Daniels, tentu saja membawa serta beberapa botol minuman yang nyatanya lebih banyak dihabiskan oleh anak-anak Seringai. Satu botol Jack D menghilang, dicuri orang, ketika ruangan itu ditinggalkan. Semua band bertampil live dalam taping itu, kecuali KOIL. Menurut Khemod, alasannya karena mereka beberapa kali tampil live di teve, tapi tidak puas dengan hasilnya.

Seringai memakai jaket dari Tomtion Leather malam itu. Dengan begitu, ada kesamaan antara Seringai, The Changcuters dan Luna Maya. Mereka sama-sama pengguna jaket kulit Tomtion dari Garut. Saya mengenal produk itu dari Che Cupumanik. Yang sialannya, si Tomtion itu, waktu saya menghubungi dia pertama kali, memasang harga Rp 500 ribu per jaket. Begitu Arian menghubungi dia, harganya jadi Rp 750 ribu, dengan alasan bahan yang diminta Arian berbeda. Tapi, ketika teman kantor saya memesan jaket harganya sudah sejuta perak. Entah berapa sekarang kalau mau memesan jaket kulit ke dia. Apalagi setelah Luna Maya juga memesan jaket dari dia, karena dia melihat salah seorang kru Rexinema memesan jaket ke Tomtion juga.

Ah segitu saja tulisannya. Ini saya mau upload gambar saja, susahnya minta ampun. Koneksi sialan. Membuat mood menulis hilang. Haha. Padahal mah, emang dasarnya lagi males.

Tuesday, November 13, 2007

Tak Hanya Diam di Kapal Perang




“Saya mengambil ide ini dari KISS. Waktu mereka mengumumkan reuni, mereka mengadakan konferensi pers di kapal perang,” kata Piyu ketika ditanya salah seorang wartawan.

Ah, dari manapun dia mengambil idenya, yang jelas, baru Padi yang bisa menggelar konferensi pers di atas kapal perang. Beberapa tahun lalu, memang Cokelat pernah mengadakan launching album [kalau saya tak salah], di dalam pesawat terbang dalam sebuah acara yang diadakan MTV Trax.

Saya tak ingat, kapan terakhir kali menonton Padi secara langsung. Mungkin setahun atau dua tahun lalu. Yang saya ingat, beberapa pertunjukkan mereka waktu itu, tidak menarik. Mereka seperti bermain sendiri-sendiri. Masing-masing personel sepertinya tidak ada di tempat yang sama. Fadly, bahkan jarang sekali mengucapkan basa-basi di panggung.

Seorang musisi, pernah mengatakan hal yang sama kepada saya. Dia menyayangkan Padi yang waktu itu, tak menarik di panggung. Musisi itu, bahkan berkata kalau para personel Padi, waktu itu tak saling bicara ketika turun panggung.

Saya tak tahu apa masalahnya. Mungkin, mengutip ucapan Piyu di pers rilis album itu, saluran komunikasi mereka terhambat. Ketika saya tanya soal ini, Yoyok menjawab, “Ya, mood kami kan tak selamanya bagus,”

“Tapi yang jelas, Padi ingin menunjukkan apapun permasalahannya, kami tak hanya diam. Semua bisa dibicarakan. Itu yang juga ingin kami sampaikan di album ini, “Tak Hanya Diam.” Kalau Anda lihat cover album kami, itu ada lingkaran-lingkaran kecil yang menuju satu pusat. Ada energi yang lebih besar dari semua ini,” begitu kurang lebih kata Piyu.

Saya jadi teringat lagu Slank, “Pulau Biru,” salah satu liriknya berkata, “…semua soal selesai dengan bicara…”

Tapi, Slank tak bisa menyelesaikannya dengan bicara. Persoalan di antara mereka, berakhir dengan hengkangnya tiga personel. Padi berbeda. Walaupun mereka tak secara tegas mengatakan pernah ada masalah di antara mereka, sepertinya apapun itu, sudah terselesaikan.

Dan Senin [12/11] sore lalu, saya melihat buktinya.

Padi sekarang berbeda dengan Padi yang terakhir saya lihat. Mereka sudah menemukan kembali kehangatannya. Piyu terlihat lebih ceria di panggung. Rindra seperti yang menikmati permainannya. Yoyok, well saya tak bisa melihat Yoyok dengan jelas. Tapi, mereka sudah saling berbicara lagi di panggung. Fadly, walaupun masih agak tambun, tapi dia jauh berbeda.

Fadly banyak bicara. Lebih komunikatif. Dan yang jelas, lebih humoris. Saya tak tahu bagaimana dia dulu. Yang jelas, sejauh ingatan saya, di setiap panggung yang saya lihat, Fadly tak banyak bicara, apalagi humoris.

Sore itu, Fadly menceritakan beberapa lelucon di antara jeda panggung. Lelucon tentang obrolan seorang opa dan cucunya.

“Waktu opa muda, opa sering naik turun gunung.”
“Apa hasilnya opa?”
“Ya ini, opa cacat,”

Fadly tersenyum. Penonton tertawa. Lelucon yang ini, walaupun masih agak garing, tapi lebih lucu dari yang sebelumnya. Lelucon soal opa menyelamatkan seorang anak yang jatuh dari kapal laut dan berhasil ditolong opa. Ketika opa diberi penghargaan, opa berkata, ‘Saya mau saja diberi penghargaan, tapi sebelumnya, siapa tadi yang mendorong opa?’

Sebuah perubahan besar bagi Padi. Ironis sebetulnya. Mereka berada di atas kapal perang. Tapi, justru di atas kapal yang identik dengan permusuhan, Padi menunjukkan pada saya, kalau mereka telah berdamai.

Saya baru mendengar satu lagu saja, “Sang Penghibur,” yang kebetulan malam itu, diputar perdana video klipnya. Lagu yang bagus. Vokal Fadly terdengar lebih jernih dan lebih baik dibandingkan sebelumnya. Dia tak lagi terdengar seperti orang menggerutu. Sepertinya album ini bisa sukses secara komersil, tanpa harus kehilangan kualitasnya.

Video klipnya, cukup bagus. Walaupun seperti juga banyak video klip lain dengan tema luar negeri; banyak gambar personel band sedang berjalan-jalan di luar negeri. Digabungkan dengan gambar mereka manggung di sebuah klub. Dan seorang perempuan berpakaian seperti tokoh wayang, yang mengingatkan saya pada video klip “Kirana” milik Dewa 19; band yang saking tak disukai Piyu hingga ia bertekad untuk tak sepanggung dengan mereka.

Piyu sedikit tersinggung sepertinya sore itu, pada salah satu pertanyaan dari seorang jurnalis. Soal kenapa lama sekali Padi rilis album dan apakah mereka tak pede karena banyak band baru.

“Ini pertanyaan yang sangat subyektif sekali. Sekarang gini mas, kalau saya suruh mas bikin lagu, memang bisa lima menit jadi?” kata Piyu. Dia lantas mengatakan soal agak risih ditanya banyak orang, kapan album Padi rilis. Dan saya lupa, apalagi yang dia katakan ketika menjawab itu. Hehe.

***

KRI Teluk Mandar bertolak dari dermaga sekitar jam tiga sore, atau kurang ya, saya lupa. Kapal itu berangkat sepuluh mil dari dermaga. Entah ke arah mana. Yang jelas, kata salah seorang Anak Buah Kapal, kapal itu melaju sepuluh mil ke laut. Kanan kirinya, dikawal kapal yang lebih kecil. Mungkin itu standar prosedurnya.

Setiap kapal itu berpapasan dengan kapal lain, mereka memberi penghormatan. Kapal itu mengeluarkan semacam suara klakson, dan ABK memberi hormat ke arah kapal yang lewat. Ternyata, bukan cuma pemilik mobil-mobil tua, yang saling memberi salam ketika saling berpapasan di jalan.

Saya sedikit agak ragu sebenarnya, dengan kekuatan kapal perang itu. Senapan yang ada di alat semacam kubah peneropongan bintang di Boscha, hanya ada dua. Dan saya tak melihat lagi senjata lainnya. Atau memang, disembunyikan ya. Tapi, kondisinya sangat tak nyaman. Kalau saya disuruh tinggal di sana seminggu, mungkin bisa stress.

Tempat tidurnya, seperti barak. Hanya beberapa yang ada kasur pegasnya. Itu pun kondisinya sudah buruk. Ada di lorong-lorong sempit, yang terasa panas di waktu siang. Seperti suasana kapal di film-film Hollywood memang. Tapi, saya tak tahu apakah kapal perang di film, hawanya panas atau tidak. Kamar mandinya, jangan ditanya. Mungkin kalau darurat, lebih baik memilih buang air besar di belakang kapal dan dibuang ke laut, daripada harus jongkok di WC di barak. Saya, sebagai orang yang cukup toleran dan kompromis terhadap WC pun, tak akan mau buang air di sana. Memang, ada WC yang lebih baik, tapi sepertinya itu untuk perwira. Karena waktu kami di sana, WC itu sepertinya lebih diutamakan untuk personel Padi.

Saya tak tahu, kapal itu digunakan untuk apa sehari-harinya. Mungkin sesekali dijadikan tempat tur untuk anak-anak SMA. Karena waktu kami ke sana, ada rombongan SMA juga. Entah kebetulan. Entah selalu ada tur seperti itu.

***

Pertunjukkan Padi sore itu, dibagi ke dalam dua sesi. Yang pertama, sekira lima lagu sebelum konferensi pers. Demi mendapatkan pemandangan ketika sunset, katanya. Sesi kedua, setelah konferensi pers. Dengan tata cahaya yang bagus. Tak terlihat kalau mereka sedang tampil di atas kapal perang. Walaupun tentu saja, di wilayah tertentu, kapal bergoyang. Mungkin karena sedang diam.

Langit cerah sore hingga malam itu. Katanya, mereka sampai membawa dua pawang hujan. Jakarta, yang biasanya diguyur hujan, cukup bersahabat. Tak terbayang kalau waktu itu turun hujan deras. Akan penuh sesak tenda oleh orang-orang. Dan mau bagaimana pertunjukkannya?

Sinyal Indosat masih kuat sepanjang perjalanan. Awalnya, saya kira, memang sekuat itu, sinyal kuat Indosat. Sampai ke tengah laut pun masih bisa menerima sinyal. Ternyata, karena mereka sponsor acaranya, mereka memasang penguat sinyal. Yah bagus lah.

Walaupun ada bagian sedikit memaksakan dari Indosat. Ketika pertunjukkan siap dimulai, mereka meminta crowd untuk memakai kaos Indosat yang sudah dibagi-bagikan. Padahal, kalau kapal tenggelam, kaos Indosat tak akan bisa menyelamatkan kami. Harusnya sih, mereka memberi pelampung saja. Setidaknya, itu bakal kami pakai. Bagaimana tidak? Para ABK yang terlatih di kapal saja, memakai pelampung.

Ah sudahlah. Mulai melantur nih.