Tuesday, March 22, 2005

Lagu Lama Itu Terdengar Lagi

Bagai petir di siang bolong.

Dia datang. Tepat di saat yang tidak terduga. Kemarin. Di Ibu Kota. Di kamar kos. Tempat yang saya pikir tidak mungkin didatangi dia. Saya yang mengajaknya memang. Salah saya. Tapi, saya tidak tau harus bagaimana lagi. Dia butuh pertolongan. Ya sudah. Saya kasih.

Tapi, namanya petir, pasti dampaknya luar biasa. Apalagi petir ini pernah menyambar saya hampir satu tahun lalu. Hasilnya, perasaan itu datang lagi. Hanya saja, saya tidak tau mana yang harus saya nikmati. Sakitnya, senangnya, bingungnya, atau dendamnya?

Saya tau, dia datang tanpa pretensi. Hanya butuh seseorang di tengah kebingungannya di kota ini. Tapi, mungkin dia tidak tau, bagaimana dampaknya kepada saya.

Ketika saya pikir api ini hampir padam. Ketika saya pikir bara itu sudah habis. Dengan santainya, dia datang. Meniup bara tadi. Fyuh.

Ketika saya pikir telah bisa melupakannya. Menghapus semua catatan tentang dia dari buku saya. Dia datang. Menggoreskan tintanya di sana. Padahal, saya susah payah menghapusnya.

Lagu lama yang tidak ingin saya dengar itu, tiba-tiba diputar lagi. Saya suka lagu itu. Tapi, lagu itu ternyata bukan buat saya. Lagu itu milik orang lain sekarang. Dan mendengar lagu itu kembali setelah sekian lama, membuat hati saya kacau balau.

Saya tidak ingin harapan semu itu muncul. Saya cuma ingin melupakan dia. Dan saya kira saya sudah. Sampai hari itu. Saya tidak tau bagaimana sesungguhnya perasaan saya.

Sialan. Sekarang saya bingung. Masih satu bulan lagi dia ada di kota ini. Kasihan juga sebetulnya. Dia butuh teman di kota ini. Tapi, kalau saya menemaninya. Seperti kemarin. Saya akan seperti dulu lagi. Sakit. Senang. Dendam. Akan datang lagi. Bergantian. Bercampur.

Kalau saya menghindar, tidak memenuhi permintaannya, dia akan mengira saya tidak mau menolongnya. Padahal, saya hanya tidak ingin lagu itu diputar lagi. Itu saja. Sesederhana itu.

Saya ingin baik-baik saja. Tanpa harus mendengar lagu itu berputar terus di kepala. Capek. Tubuh saya jadi ikut lelah.

Selamat. Dia melakukannya lagi. Dan sekali lagi, saya korbannya.

Tuesday, March 15, 2005

Bertanya, Bertanya, Selalu Bertanya

"Belajar dong, kan mau UMPTN!"

Kata orang tua saya kepada saya ketika kelas 3 SMA. Dan luluslah saya. Masuk ke perguruan tinggi negeri. Memasuki tahun ke-5, muncul pertanyaan lagi. "Kapan lulus?". Itu baru terjawab dua tahun kemudian.

Bagusnya, saya langsung kerja. Jadi, pertanyaan kapan cari kerja, bisa terlewati. Itu pun sebenarnya belum selesai. Karena pertanyaan, "Nggak mau ngelamar ke kantor yang lain?" kadang-kadang masih muncul.

Ini yang gawat. Pertanyaan ini belakangan muncul. "Si ini udah kawin. Si itu udah kawin juga. Kapan kamu?" D*zig! Awalnya, hanya implisit saja. Bertanya itu kepada teman saya yang main ke rumah. Tapi, sekarang sudah mulai langsung ke sasaran.

Gawat. Gawat. Pertanyaan itu sepertinya tidak pernah berakhir.

Kemapanan sepertinya jadi harapan banyak orang tua. Teman saya, beberapa hari lalu, curhat. "Leh, urang mabok wae yeuh!" katanya sambil mabuk. Alasannya, orang tua pacarnya sudah mulai bertanya, kapan dia akan dapat kerja. Dan pekerjaan yang diharapkan orang tua pacar teman saya itu, yang kantoran. Yang ada tunjangannya. Yang seperti itulah. Kamu tau maksud saya.

Saya tau rasanya ditanya seperti itu. Di pertengahan dan akhir 20-an sepertinya, harapan orang tua lebih besar lagi kepada kita dibanding masih remaja. Dan kadang-kadang, mereka tidak lantas mengerti apa yang kita rasakan.

Bukannya saya atau teman saya tidak memikirkan itu. Cuma, kadang-kadang itu malah membuat kita tertekan. Teman saya, yang mengaku skinhead sejati pun, harus tunduk dengan kenyataan bahwa orang tua pacarnya menginginkan dia mencari pekerjaan sesungguhnya. Bukan bisnis clothing atau karir di musik, yang sedang dijalaninya.

"Skinhead sampai mati, ya? Tetep lah, kalah sama omongan orang tua pacar mah," kata saya kepada teman saya itu. Dan dia pun hanya tertawa. Pahit. Dan ujung-ujungnya, minta dikasih info soal lowongan pekerjaan.

Saya yakin, pertanyaan itu pun tidak akan berakhir kalaupun saya akhirnya menikah. Ataupun, kalau akhirnya teman saya dapat pekerjaan dan menikah dengan pacarnya. Saya tau itu sekarang. Kita tidak akan pernah berhenti ditanya. Bahkan, sampai di liang kubur pun, saya yakin kita masih akan ditanya. "Man robbuka!"

Salam,

Tuesday, March 08, 2005

Membuat Janji dengan Takdir

Menunggu orang yang tepat itu seperti menunggu jemputan.
Kamu tau, jemputanmu akan datang.
Kamu tunggu di satu tempat.
Kamu tau dia bakal datang.

Hanya saja, ada yang tidak kamu tau.
Kapan pastinya jemputanmu itu bakal datang.

Yang bisa kamu lakukan, hanyalah menunggu.
Tapi, kamu tau dia bakal datang.
Karena kamu telah membuat janji.
Dengan takdir.

Di sini, kesabaranmu diuji.
Kalau ternyata jemputanmu tidak kunjung datang.

Kamu tau perjalanan dia bisa saja terhambat.
Persoalannya, apakah kamu akan tetap tunggu jemputan itu.
Atau, memutuskan untuk naik kendaraan lain yang kebetulan lewat.
Dan, apakah kamu terburu-buru atau tidak ke tempat tujuan.

Itu kalau kamu menunggu.
Kalau kamu jadi penjemput, tinggal balik saja keadaan yang tadi saya ceritakan.

Setelah jemputanmu datang.
Kamu pergi ke tempat tujuan yang sama.
Melakukan perjalanan dengan kendaraan yang sama.
Maka, petualangan yang sebenarnya pun baru dimulai.

Apakah akan berakhir di tempat tujuan yang sama?
Hanya takdir yang tau.
Kalaupun tidak, kamu bisa menunggu lagi jemputan yang lain datang.
Atau, kamu jemput orang yang lain.

Dan sekali lagi.
Kamu membuat janji yang baru dengan takdir.

*terlintas begitu saja, ketika menunggu jemputan dari seorang teman.

Thursday, March 03, 2005

Empati Untuk Para Pengubah Wajah

Pernah lihat, orang yang tampangnya dipermak?

Saya baru saja lihat tadi sore. Bukan yang dioperasi plastik di dokter. Tapi, hasil pijatan seorang yang mengaku pakar kecantikan internasional. Seorang yang bernama Haji Jeje. Kalo kamu pernah lihat tampangnya, pasti langsung terbayang. Hidungnya yang mancung, gede, tapi aneh, dagunya yang ke bawah, dan pipinya yang jadi agak tembem.

Tampang keluarganya pun seperti itu. Mirip. Tapi, bukan cuma karena darah. Tapi karena dipermak. Nah, mari kembali ke perempuan yang saya lihat di Busway tadi sore. Tampangnya seperti itu juga. Mirip Haji Jeje. Saya langsung berpikir kalau dia adalah pasiennya.

Tapi, entah kenapa saya malah kasihan sama dia. Tidak. Pakaian dia bagus, tidak mencerminkan orang yang patut dikasihani. Tapi, kasihan karena tampangnya jadi mirip Haji Jeje. Dan gawatnya lagi, mirip Wadam alias waria.

Ternyata bukan cuma korban bencana alam yang patut dikasihani. Tapi, 'korban' Haji Jeje juga ya. Hahaha. Padahal, tampang aslinya saya yakin tidak semenggelikan itu. Heran ya. Kenapa sih dengan mereka yang tidak percaya diri, tidak puas dengan penampilannya.

Kalau mau memperbaiki penampilan sih, pilih pakaian atau make up yang bagus kek. Hanya jangan pergi ke orang seperti Haji Jeje. Heran juga ya, kenapa masih banyak orang mau dipijat mukanya. Mereka sadar tidak ya, kalau tampangnya malah jadi mirip Haji Jeje.

Kasihan sekali. Tapi sudahlah. Selera memang susah diperbincangkan. Pesan saya, kalau kamu ingin mengubah tampang, jangan pergi ke Haji Jeje. Hahaha.

Salam,

Wednesday, March 02, 2005

Rock n' Roll Tidak Ada di Sini

Aku ingin rock n' roll.
Ada yang tau di mana bisa kutemukan?
Aku ingin rock n' roll.
Sudah lama rock n' roll kurindukan.

Semua orang merasakan rock n' roll.
Semua orang bicara rock n' roll.
Katanya rock n' roll mudah ditemukan.
Tapi, aku tidak lihat rock n' roll.

Rock n' roll. Di mana kamu?
Rock n' roll. Apa kabarmu?
Rock n' roll. Aku di sini!
Rock n' roll. Ayo ke sini!

Tapi, rock n' roll tidak ada di sini.
Karena rock n' roll telah pergi.
Meninggalkanku sendiri.
Membiarkanku dalam sepi.

Oh, rock n' rollku pergi.
Bersama sang pencuri.
Sialan kau rock n' roll!
Kukira kau akan di sini.

Aku ingin rock n' roll.
Agar aku bisa berdansa kembali.
Aku ingin rock n' roll.
Agar aku jadi laki-laki lagi.

Hujan, Cuek dan Cinta

Semua kalah sama cuek.
Cuek kalah sama hujan.
Tapi, hujan kalah sama cinta.
Berarti, semua kalah sama cinta.

Hidup cinta!
Hebat lah cinta.
Tapi, di mana itu cinta?
Ada yang jual?

Kasih tau saya ya.
Tapi, jangan yang terlalu mahal.
Sebab kebutuhan saya masih banyak.
Sebab yang mahal, biaya perawatannya juga pasti lebih tinggi.

Tuesday, March 01, 2005

Suatu Malam Kata Tuan Kepada Sri

Sri...Sri...
Ya, ada apa Tuan?
Nggak. Kamu kok, montok sekali ya?
Loh, Tuan mau apa naik ke ranjang saya?
Sudah. Kamu diam saja.
Tuan, jangan Tuan.
Ssst. Diam ya.
Jangan Tuan, jangan.
Nyonya kamu sudah menopause Sri.
Terus, apa hubungannya sama saya Tuan?
Sudah kamu diam saja.
Loh, Tuan tangannya jangan ke situ dong Tuan.
Ssst. Diam dulu. Baru kamu bicara ya Sri.
Tuan, jangan Tuan. Geliii...
Tuh kan Saya bilang juga apa. Itu belum seberapa Sri.
Iih Tuan. Jangan Tuan.
Jangan bilang-bilang Nyonya ya. Nanti gaji kamu saya naikin ya.
Oh, kenapa nggak bilang dari tadi Tuan?
Sudah. Sekarang kamu ikutin saya aja ya.

Manis di Bibir

Ah, leganya. Dia dateng bulan.
Tuh kan, gua bilang pake kondom.
Abis, katanya lebih enak kalo nggak pake.
Tapi, lu nggak bakal parno kayak gitu.
Hehehe.
Kan gua bilang, pake kondom. Kalo gua bilang dosa, lu nggak bakal inget sih.
Ya ya. Sekarang gua udah kapok kok.
Ah. Manis di bibir.
Bener. Nggak akan gua ulang lagi lah.
Paling nanti juga gitu lagi.
Beneran. Kemaren aja cuma blow job.
Tuh kan! Manis di bibir.
Tapi, gua udah beneran nahan diri kok.
Manis di bibir.
Gua bukan tipe player kali ya? Jadi nggak enak gitu.
Tapi tetep aja habis manis sepah dibuang.
Gue kan nggak ada hati sama dia.
Satu lagi, yang membuat dia kecewa.
Nggak kok. Dia udah tau perasaan gua.
Ya ya. Apapun lah.
Ini pelajaran berharga buat gua.
Apanya?
Bahwa, ternyata gua nggak terlalu nyandu sama seks.
Hahaha.
Gua juga nggak akan maen-maen lagi sama cewek.
Ya ya ya.

Boks Biks Baks

Feeling lo gimana?
Sekarang, biasa aja.
Kalo gitu, kita cabut yuk.
Tapi, begitu dapet, langsung cabs ya?
Ya. Nggak lama kok.

...

Katanya mau berenti.
Ya, nanti. Sekarang juga udah agak kurang kok.
Dari dulu selalu ngomong gitu.
Bener. Sekarang gua udah nggak terlalu ngebet kok.
Ah. Lagu lama.

Janji Berteman

Kita temenan aja dulu ya.
Loh, kenapa?
Nggak. Kayaknya kamu lebih enak jadi temen aku deh.
Emang, salahku apa?
Nggak. Bukan kamu yang salah.
Terus, kenapa dong?
Ini di akunya kok.
Kalo ada yang nggak kamu suka dari aku, bilang aja.
Nggak. Ini beneran akunya kok.
Aku bisa berubah kok. Janji.
Nggak. Beneran akunya. Kita temenan aja dulu ya?
Tapi, aku nggak mau jadi temen kamu.
Kamu pasti bisa.
Nanti, kita bisa balikan lagi kan?
Ya kita liat aja nanti.

Klise

Aku sayang kamu.
Oya? Makasih.
Mau nggak jadi pacarku?
Ehm, gimana ya?
Mau ya? Mau ya?
Gimana ya. Aku udah nganggap kamu kayak kakak sendiri.
Tapi, aku nggak nyari adek. Nyari pacar.