Friday, June 23, 2006

Slank Reuni!

Hampir tidak dapat dipercaya, tapi itu terjadi. Bimbim, Kaka, Bongky, Indra Q dan Pay di satu panggung!

Sejak awal, acara Tribute to Imanez yang digelar di Hard Rock Café, Jakarta, Rabu [21/6] malam itu memang sudah istimewa. Orang-orang yang pernah jadi bagian komunitas Potlot berkumpul. Potlot adalah markas Slank. Banyak musisi pernah “sekolah” di sana. Imanez salah satunya. Penyanyi reggae itu meninggal setahun lalu.

Imanez menyatukan para alumni Potlot. Termasuk limamusisi berbakat yang sepuluh tahun lalu pecah. Formasi Slank paling dahsyat itu akhirnya bermain bersama kembali di depan publik. Membawakan lagu Bangsat dan Mawar Merah. Sambil tersenyum lebar! Beberapa kali, Kaka menghampiri Indra, memeluk Pay dan tertawa bersama Bongky. Mengharukan. Membahagiakan. Membuat bulu kuduk merinding.

Saya tidak bermaksud melebih-lebihkan. Saya belum pernah melihat mereka bermain sebahagia itu. Oke, mereka tersenyum ketika manggung. Tapi, bukan senyum seperti malam itu.

Rasanya, semua yang hadir di Hard Rock merasakan betapa formasi itu punya kharisma yang kuat. Penonton berteriak kegirangan. Bertepuk tangan dengan meriah. Beberapa orang berjingkrakan. Girang. Bernyanyi bersama mereka. Hanya dua lagu memang. Tapi, momen itu benar-benar berharga.

Kalau kamu di sana, kamu bisa rasakan betapa lima orang itu [pernah] bersahabat. Chemistry-nya benar-benar terasa!

Gila! Dada saya berdebar kencang! Ini mimpi jadi kenyataan! Dan saya yakin, bukan cuma saya yang bermimpi seperti itu. Slank dan Bip memang sering ada di satu event. Tapi, belum pernah sekalipun formasi itu ada di satu panggung. Bahkan untuk kolaborasi antara Slank dan Bip pun belum pernah.

Kalau kamu ada di sana, kamu juga pasti bisa merasakan betapa seisi Hard Rock berbahagia! Mungkin semua yang hadir di sana, sama-sama mengharapkan itu terjadi. Hingga ini ditulis pun, dada saya masih berdebar kencang setiap mengingat kejadian kemarin.

Benar-benar kejutan yang menyenangkan. Saya terkejut. Panitia terkejut. Lima musisi itu pun terkejut. Bukan apa-apa, ini di luar rencana. Semuanya terjadi dalam waktu singkat. Mereka "dijebak", meminjam istilah seorang panitia. Ah, benar-benar malam yang indah. Hehe.

Selain penampilan yang dahsyat itu, acara malam itu memang mengagumkan. Puluhan musisi, yang pernah nongkrong bareng. Lantas mengambil jalan masing-masing. Kemudian berkumpul kembali!

Roots, Rock, Reggae. Mereka tahu itu. Mereka memainkan musik dengan soul. Apakah itu bermain blues, rock n' roll, atau reggae. Kamu bisa rasakan itu keluar dari dalam hati!

Sekarang, Potlot memang lebih terkenal sebagai markas Slank dan tempat berkumpulnya Slankers. Tapi, komunitas itu, suka tidak suka, telah mengukir sejarah. Dan malam itu, saya seakan diingatkan kembali.

Pertanyaan saya; giliran komunitas mana yang sepuluh tahun lagi akan punya kekuatan seperti itu ya?

Perjalanan Majalah Musik di Indonesia

Kata Frank Zappa, "Most rock journalism is about people who can't write interviewing people who can't talk for people who can't read." Mungkin dia benar. Makanya, majalah musik di Indonesia tidak pernah bertahan lama. Walaupun istilah rock journalism belum ada di Indonesia.

Ini masih dalam rangka kursus jurnalisme sastrawi. Tugas terakhir adalah membuat outline. Untuk buku, atau pelaporan mendalam. Saya memilih buku. Dan ini, kira-kira yang ingin saya buat.


Outline Buku “Perjalanan Majalah Musik di Indonesia” karya Soleh Solihun. [Amiiin].

Majalah musik di Indonesia tidak pernah bernasib baik. Umurnya tidak pernah bertahan lama. Kalau dibandingkan di luar negeri, mereka punya majalah musik yang bertahan puluhan tahun. Rolling Stone, NME, Blender, Spin, beberapa di antaranya.

Di Indonesia, satu-satunya majalah musik yang pernah bertahan lama, hanyalah Aktuil. Dari tahun 1967, hingga 1981. Itu pun, hanya mengalami masa jaya pada kurun waktu 1970 – 1975. Setelah Aktuil, belum ada majalah musik yang bisa menyamai kesuksesan itu. Nah, buku ini ingin memaparkan bagaimana kisah majalah musik di Indonesia. Kenapa tidak pernah ada yang sukses? Bagaimana peranannya dalam perkembangan industri musik di Indonesia? Dan banyak pertanyaan lain.

Untuk menceritakan perjalanan majalah musik di Indonesia, saya bagi ke dalam empat periode.

Periode ’70-an.
Majalah yang diceritakan di sini, adalah Aktuil. Disinggung sedikit soal majalah musik sebelum Aktuil, yaitu Musika, yang terbit tahun ’50-an. Tapi karena Aktuil yang paling fenomenal, maka kisah ini dimulai di sini. Plus, industri musik Indonesia di tahun ’70-an mulai menunjukkan geliatnya.

Cerita dimulai dari pernyataan Remy Sylado, soal tidak akan mau lagi mengurus majalah musik. Dibayar berapapun. Lantas, flashback ke masa ketika Sylado ditawari jadi redaktur di Aktuil. Majalah ini kemudian berkembang. Sylado salah satu tokoh kunci. Sylado pula yang hingga sekarang masih dikenal publik. Itu sebabnya, karakter Sylado untuk menceritakan majalah Aktuil tepat digunakan. Dia juga bisa bicara banyak soal industri musik serta jurnalis musik di Indonesia.

Di periode ini, diceritakan juga, bagaimana Bens Leo yang masih muda bergabung di Aktuil. Dia juga salah satu alumni Aktuil yang masih aktif hingga sekarang. Bens Leo juga jadi Pemimpin Redaksi NewsMusik, majalah musik yang kemudian terbit di akhir ’90-an.

Periode ’80-an.
Banyak yang mencoba mengulang kesuksesan majalah Aktuil. Vista Musik di antaranya. Beberapa awak Aktuil bahkan ikut bergabung di sini. Tapi, Vista Musik tidak berhasil juga. Berubah format jadi Vista Film, Musik, Televisi. Di akhir ’80-an, majalah Hai mulai berubah format jadi majalah remaja pria. Arswendo masuk.

Periode ’90-an.
Di awal tahun ’90-an, Tabloid Citra Musik terbit. Setelah Monitor dibredel, pelan-pelan tabloid ini berubah format jadi tabloid hiburan. Untuk mengganti posisi Monitor. Beberapa karakter di era ini, Remy Soetansyah, dan Hans Miller Banureah. Dua nama ini, akan masuk lagi dalam cerita, di awal 2000-an.

Di era ini, Hai jadi majalah yang paling banyak memberi informasi musik. Remaja Indonesia, rasanya percaya saja apa yang Hai katakan. Mirip dengan yang dialami Aktuil. Sejarah berulang. Hanya, Hai masih bisa diselamatkan. Porsi musik dikurangi sedikit demi sedikit. Perusahaan yang besar di belakangnya, jadi salah satu faktor penentu juga. Di era ini, nama Denny MR muncul. Di era ini pula, Arswendo pernah mengelola Tabloid Dangdut selepas dari penjara. Tabloid Dangdut juga tidak bernasib baik.

Periode 2000-an.
Akhir ’90-an dan awal 2000-an, muncul media massa musik. Tabloid MUMU, yang hanya bertahan sekitar empat tahun. Majalah NewsMusik, yang hanya tiga tahun. Dan tabloid Rock, yang hanya sekitar 52 edisi. Remy Soetansyah dan Hans Miller Banureah dua petingginya. Majalah Popcity juga hanya bertahan sekitar tiga tahun. Majalah Poster juga tidak lebih baik nasibnya. Di era ini, beberapa majalah independen, yang membahas musik cutting edge terbit. Trolley, hanya 11 edisi. Kini, hanya beberapa nama bertahan. Trax dan Ripple di antaranya. Ripple majalah independent yang banyak menulis musik yang tidak mainstream. Sekarang berubah jadi majalah gratisan. Sebagian halamannya diisi katalog produk distro.

Alurnya kronologis. Tapi, di setiap periode, tentu saja digambarkan konflik-konflik yang melanda majalah-majalah itu. Beberapa kisah yang berulang juga, akan menarik untuk diceritakan. Misal, kesamaan Aktuil dan Ripple, yang terbit dari Bandung. Soal porsi musik rock yang cukup besar di Aktuil dan Trax. Cerita berhenti di tahun 2006. Menyisakan pertanyaan, soal berapa lama majalah musik yang sekarang masih terbit bisa bertahan? Apakah sejarah akan berulang?

Jrx: Fisik Tua, Hati Membara!

Superman Is Dead; gitaris/vokalis Bobby Kool, bassist/vokalis Eka Rock dan drummer Jrx baru saja rilis album terbaru Black Market Love. Lewat telepon, saya mewawancari Jrx, Rabu [21/6] lalu. Untuk dimuat di rubrik musik di majalah kami. Ini versi yang belum diedit. Di majalah, pasti tulisannya jauh lebih pendek. Selamat menikmati.

Sebelas tahun, enam album. Sesuatu yang sudah diduga, atau kalian sendiri kaget?
Kaget juga. Dulu, pas masuk major label, sempat nggak percaya. Wow! Tapi, itu membuat kami makin percaya diri ke depannya. Ingin nambah diskografi. Waktu bikin band, niatnya having fun. Sekarang masih fun, cuma nggak nyangka bisa professional.

Bagaimana caranya supaya tetap fun?
Punk rock, nggak boleh kehilangan fun. Kalau kehilangan fun, bubar aja! Harus berjiwa muda terus! Melankolis, tetap fun. Marah pun, tetap fun. Supaya tetap fun, jadi seorang alkoholik! [tertawa] Alkohol bikin rileks. Harusnya, saya udah masuk Alcoholic Anonymous nih. Waktu album Kuta Rock City mabuknya kelewatan. Itu pertama kali dapat duit dari band. Orang kaya baru. Jadi akhirnya, duitnya buat senang-senang. Liver saya hancur. Sekarang, saya jauhin whisky. Cuma bir aja. Makanya, ada lagu Goodbye Whiskey di album terbaru.

Kalian termasuk generasi menolak tua?
Ya. Kami termasuk Pestol. Pemuda Stok Lama. Dethu [propagandis SID] yang mengenalkan istilah itu. Tapi, biarpun tua, masih laku. Yang penting di dada. Fisik tua, hati membara. [tertawa].

Apa yang membuat kalian bertahan sejauh ini?
Kecintaan kami akan musik. Kalau bosen, pasti sudah bubar. Juga rasa bangga jadi seorang counter culture. Terus, ada orang-orang yang dukung sejak day one. Mereka yang masih setia, jadi alasan kami bertahan.

Apakah kalian memandang SID band yang berkualitas?
Banget sih nggak. Cukup iya. Apalagi sekarang kalau manggung, kami concern sama sound. Semirip mungkin dengan sound yang di album. Additional player kami ajak manggung.

Di deathrockstar.info, Dethu menulis soal menjaga kerukunan, Bhinneka Tunggal Ika. Kalian masih percaya dengan itu?
Dulu sih, nggak terlalu peduli. Tapi, sekarang Bhinneka Tunggal Ika terancam. Sekarang jadi peduli. Harus dijaga.

Bagaimana pandangannya terhadap daerah yang ingin membubarkan diri? Aceh, atau Papua misalnya.
Lebih baik nggak usah memisahkan diri. Itu bisa memancing yang lain. Ini kan pelajaran buat pemerintah. Supaya lebih baik lagi menangani negara ini.

Di lagu Tomorrow, kalian menulis soal dunia tanpa perang. Kalian percaya itu bisa terwujud?
Nggak yakin sih. Lagu itu kan sekadar harapan. Tapi, walaupun impossible, you have to have it! Kalau nggak, lo nggak punya motivasi dalam hidup! Punk rock adalah musik revolusi. Yang mengharapkan perubahan. Walaupun kecil, tapi daripada nggak berbuat apa-apa.

Apakah kalian percaya, musik benar-benar bisa mengubah dunia jadi lebih baik?
Skala kecil sih iya. Misalnya, fan base SID yang lebih mendengarkan lirik kami. Remaja-remaja yang mungkin nggak mau dengar apa kata guru dan orangtuanya. Kami berusaha mendidik mereka dengan cara fun. Supaya mereka lebih aware. Jangan sampai ada lagi diskriminasi, atau terorisme. Kami nggak mau jadi pahlawan sejarah. At least, we try something!

Itu membuat kalian jadi lebih bertanggungjawab?
Sangat! Makanya, sekarang banyak lirik bahasa Indonesia. Saya kira, sudah saatnya SID nge-push orang-orang supaya jangan salah nge-judge. Cuma bisa mabok, tanpa punya visi misi. Padahal agenda kami banyak.

Apa?
Kami ingin membuka pemikiran masyarakat. Jangan sampai jadi polisi moral. Jangan sampai jadi manusia sok Tuhan. Kembali ke filosofi Superman Is Dead. Tidak ada manusia yang sempurna.

Bisa cerita soal lirik bukan pahlawan berparas tampan.
Itu ungkapan untuk manusia-manusia sempurna. Sedikit berpuisi. [tertawa] Kami bukan band yang jual tampang. Kami jual attitude. Di Indonesia itu, orang sok pahlawan banyak. Kamu juga tahu orang-orangnya. Di bali juga banyak. Sedikit-sedikit mengatasnamakan agama.

Kalau lagu Psycho Fake. Rockstar palsu yang sok gothic. Apa di Bali ada yang seperti itu?
Di Bali ada. Di Jakarta lebih banyak lagi. [tertawa] Kami nyerang band yang sok rebel. Dandanannya rebel, tapi yang dilakukan nggak ada. Dan yang mereka nyanyikan cuma lagu pop komersil. Kalau orang rebel, do something! Jangan didik jadi negara yang cengeng.

Bisa sebut nama, siapa yang dimaksud?
Kalau saya nyebutin, takut dibesar-besarkan infotainment. Kami nggak mau terkenal dengan cara-cara seperti itu.

Di lagu Menginjak Neraka sepertinya cukup relijius juga ya.
Relijius juga. Itu dibikin selama tiga minggu selama saya di Kuta. Saya kan suka Social Distortion. Nah, vokalisnya ternyata suka Johnny Cash. Lirik Johnny Cash banyak yang relijius juga. Saya bukan yang seratus persen percaya Tuhan dan agama. Lirik relijius, bukan berarti orangnya relijius kan. Ini semacam introspeksi diri aja. Penyebabnya, karena rasa kesepian. Orang di Kuta, kan rame. Tapi, saya suka merasa sepi, nggak ada teman. Kenapa kita kesepian ya? Saya ngerasa ada yang salah.

Kalau lagu Lady Rose, kenapa harus dinyanyikan oleh Anda?
Lagu itu sangat personal. Ada kan, beberapa lagu yang saat dibuat, oh ini memang harus kau yang nyanyi!

Di album berikutnya, akan lebih banyak mendengar Jrx bernyanyi?
Saya cukup tahu diri kok. Porsi Eka memang akan lebih ditingkatkan, karena vokalnya cocok. Saya memang ingin tampil, makanya bikin band. Tapi, saya nggak ingin jadi kayak Ahmad Dhani. [tertawa].

Thursday, June 22, 2006

Slank Reuni!









Hampir tidak dapat dipercaya, tapi
itu terjadi. Bimbim, Kaka, Bongky, Indra Q dan Pay di satu panggung!







Sejak
awal, acara Tribute to Imanez yang digelar di Hard Rock Café, Jakarta, Rabu [21/6] malam itu memang sudah
istimewa. Orang-orang yang pernah jadi bagian komunitas Potlot berkumpul.
Potlot adalah markas Slank. Banyak musisi pernah “sekolah” di sana. Imanez salah satunya. Penyanyi reggae
itu meninggal setahun lalu.






Imanez
menyatukan para alumni Potlot. Termasuk limamusisi
berbakat yang sepuluh tahun lalu pecah. Formasi Slank paling dahsyat
itu
akhirnya bermain bersama kembali di depan publik. Membawakan lagu
Bangsat dan Mawar Merah. Sambil tersenyum lebar! Beberapa kali, Kaka
menghampiri Indra,
memeluk Pay dan tertawa bersama Bongky. Mengharukan. Membahagiakan.
Membuat
bulu kuduk merinding.


Saya
tidak bermaksud melebih-lebihkan. Saya belum pernah melihat mereka
bermain sebahagia itu. Oke, mereka tersenyum ketika manggung. Tapi,
bukan senyum seperti malam itu.




Rasanya,
semua yang hadir di Hard Rock merasakan betapa formasi itu punya kharisma yang
kuat. Penonton berteriak kegirangan. Bertepuk tangan dengan meriah. Beberapa
orang berjingkrakan. Girang. Bernyanyi bersama mereka. Hanya dua lagu memang.
Tapi, momen itu benar-benar berharga.


Kalau kamu di sana, kamu bisa rasakan betapa lima orang itu [pernah] bersahabat. Chemistry-nya benar-benar terasa!


Gila!
Dada saya berdebar kencang! Ini mimpi jadi kenyataan! Dan saya yakin,
bukan cuma saya yang bermimpi seperti itu. Slank dan Bip memang sering
ada di satu event. Tapi, belum pernah sekalipun formasi itu ada di satu
panggung. Bahkan untuk kolaborasi antara Slank dan Bip pun belum pernah.


Kalau
kamu ada di sana, kamu juga pasti bisa merasakan betapa seisi Hard Rock
berbahagia! Mungkin semua yang hadir di sana, sama-sama mengharapkan
itu terjadi. Hingga ini ditulis pun, dada saya masih berdebar kencang
setiap mengingat kejadian kemarin.



Benar-benar kejutan yang menyenangkan. Saya terkejut. Panitia terkejut.
Lima musisi itu pun terkejut. Bukan apa-apa, ini di luar rencana.
Semuanya terjadi dalam waktu singkat. Mereka "dijebak", meminjam
istilah seorang panitia. Ah, benar-benar malam yang indah. Hehe.



Selain penampilan yang dahsyat itu, acara malam itu memang mengagumkan.
Puluhan musisi, yang pernah nongkrong bareng. Lantas mengambil jalan
masing-masing. Kemudian berkumpul kembali!






Roots,
Rock, Reggae. Mereka tahu itu. Mereka memainkan musik dengan soul.
Apakah itu bermain blues, rock n' roll, atau reggae. Kamu bisa rasakan
itu keluar dari dalam hati!



Sekarang, Potlot memang lebih terkenal sebagai markas Slank dan tempat
berkumpulnya Slankers. Tapi, komunitas itu, suka tidak suka, telah
mengukir sejarah. Dan malam itu, saya seakan diingatkan kembali.



Pertanyaan saya; giliran komunitas mana yang sepuluh tahun lagi akan punya kekuatan seperti itu ya?






Perjalanan Majalah Musik di Indonesia



Kata
Frank Zappa, "Most rock journalism is about people who can't write
interviewing people who can't talk for people who can't read." Mungkin
dia benar. Makanya, majalah musik di Indonesia tidak pernah bertahan
lama. Walaupun istilah rock journalism belum ada di Indonesia.




Ini masih dalam rangka kursus
jurnalisme sastrawi. Tugas terakhir adalah membuat outline. Untuk buku,
atau pelaporan mendalam. Saya memilih buku. Dan ini, kira-kira yang
ingin saya buat.






Outline Buku “Perjalanan Majalah
Musik di Indonesia” karya Soleh Solihun. [Amiiin].












Majalah
musik di Indonesia tidak pernah bernasib baik. Umurnya tidak pernah bertahan
lama. Kalau dibandingkan di luar negeri, mereka punya majalah musik yang
bertahan puluhan tahun. Rolling Stone, NME, Blender, Spin, beberapa di
antaranya.

 

Di
Indonesia, satu-satunya majalah musik yang pernah bertahan lama, hanyalah
Aktuil. Dari tahun 1967, hingga 1981. Itu pun, hanya mengalami masa jaya pada
kurun waktu 1970 – 1975. Setelah Aktuil, belum ada majalah musik yang bisa
menyamai kesuksesan itu. Nah, buku ini ingin memaparkan bagaimana kisah majalah
musik di Indonesia. Kenapa tidak pernah ada yang sukses? Bagaimana peranannya
dalam perkembangan industri musik di Indonesia? Dan banyak pertanyaan lain.












Untuk
menceritakan perjalanan majalah musik di Indonesia, saya bagi ke dalam empat
periode.

 


Periode ’70-an.

Majalah
yang diceritakan di sini, adalah Aktuil. Disinggung sedikit soal majalah musik
sebelum Aktuil, yaitu Musika, yang terbit tahun ’50-an. Tapi karena Aktuil yang
paling fenomenal, maka kisah ini dimulai di sini. Plus, industri musik
Indonesia di tahun ’70-an mulai menunjukkan geliatnya.






Cerita
dimulai dari pernyataan Remy Sylado, soal tidak akan mau lagi mengurus majalah
musik. Dibayar berapapun. Lantas, flashback ke masa ketika Sylado ditawari jadi
redaktur di Aktuil. Majalah ini kemudian berkembang. Sylado salah satu tokoh
kunci. Sylado pula yang hingga sekarang masih dikenal publik. Itu sebabnya,
karakter Sylado untuk menceritakan majalah Aktuil tepat digunakan. Dia juga
bisa bicara banyak soal industri musik serta jurnalis musik di Indonesia.






Di
periode ini, diceritakan juga, bagaimana Bens Leo yang masih muda bergabung di
Aktuil. Dia juga salah satu alumni Aktuil yang masih aktif hingga sekarang. Bens
Leo juga jadi Pemimpin Redaksi NewsMusik, majalah musik yang kemudian terbit di
akhir ’90-an.








Periode ’80-an.

Banyak
yang mencoba mengulang kesuksesan majalah Aktuil. Vista Musik di antaranya.
Beberapa awak Aktuil bahkan ikut bergabung di sini. Tapi, Vista Musik tidak
berhasil juga. Berubah format jadi Vista Film, Musik, Televisi. Di akhir
’80-an, majalah Hai mulai berubah format jadi majalah remaja pria. Arswendo
masuk.








Periode ’90-an.

Di
awal tahun ’90-an, Tabloid Citra Musik terbit. Setelah Monitor dibredel,
pelan-pelan tabloid ini berubah format jadi tabloid hiburan. Untuk mengganti
posisi Monitor. Beberapa karakter di era ini, Remy Soetansyah, dan Hans Miller
Banureah. Dua nama ini, akan masuk lagi dalam cerita, di awal 2000-an.






Di
era ini, Hai jadi majalah yang paling banyak memberi informasi musik. Remaja
Indonesia, rasanya percaya saja apa yang Hai katakan. Mirip dengan yang dialami
Aktuil. Sejarah berulang. Hanya, Hai masih bisa diselamatkan. Porsi musik dikurangi
sedikit demi sedikit. Perusahaan yang besar di belakangnya, jadi salah satu
faktor penentu juga. Di era ini, nama Denny MR muncul. Di era ini pula,
Arswendo pernah mengelola Tabloid Dangdut selepas dari penjara. Tabloid Dangdut
juga tidak bernasib baik.








Periode 2000-an.

Akhir
’90-an dan awal 2000-an, muncul media massa musik. Tabloid MUMU, yang hanya
bertahan sekitar empat tahun. Majalah NewsMusik, yang hanya tiga tahun. Dan
tabloid Rock, yang hanya sekitar 52 edisi. Remy Soetansyah dan Hans Miller Banureah
dua petingginya. Majalah Popcity juga hanya bertahan sekitar tiga tahun.
Majalah Poster juga tidak lebih baik nasibnya. Di era ini, beberapa majalah
independen, yang membahas musik cutting edge terbit. Trolley, hanya 11 edisi.
Kini, hanya beberapa nama bertahan. Trax dan Ripple di antaranya. Ripple
majalah independent yang banyak menulis musik yang tidak mainstream. Sekarang
berubah jadi majalah gratisan. Sebagian halamannya diisi katalog produk distro.




Alurnya
kronologis. Tapi, di setiap periode, tentu saja digambarkan konflik-konflik
yang melanda majalah-majalah itu. Beberapa kisah yang berulang juga, akan
menarik untuk diceritakan. Misal, kesamaan Aktuil dan Ripple, yang terbit dari
Bandung. Soal porsi musik rock yang cukup besar di Aktuil dan Trax. Cerita
berhenti di tahun 2006. Menyisakan pertanyaan, soal berapa lama majalah musik
yang sekarang masih terbit bisa bertahan? Apakah sejarah akan berulang?





Jrx: Fisik Tua, Hati Membara!





Superman Is Dead; gitaris/vokalis Bobby Kool, bassist/vokalis Eka Rock dan drummer Jrx baru saja rilis album terbaru Black Market Love. Lewat telepon, saya
mewawancari Jrx, Rabu [21/6] lalu. Untuk dimuat di rubrik musik di majalah kami. Ini versi yang belum diedit. Di
majalah, pasti tulisannya jauh lebih pendek. Selamat menikmati.





Sebelas tahun, enam album. Sesuatu
yang sudah diduga, atau kalian sendiri kaget?


Kaget
juga. Dulu, pas masuk major label, sempat nggak percaya. Wow! Tapi, itu membuat
kami makin percaya diri ke depannya. Ingin nambah diskografi. Waktu bikin band,
niatnya having fun. Sekarang masih fun, cuma nggak nyangka bisa professional.










Bagaimana caranya supaya tetap fun?

Punk
rock, nggak boleh kehilangan fun. Kalau kehilangan fun, bubar aja! Harus
berjiwa muda terus! Melankolis, tetap fun. Marah pun, tetap fun. Supaya tetap
fun, jadi seorang alkoholik! [tertawa] Alkohol bikin rileks. Harusnya, saya udah
masuk Alcoholic Anonymous nih. Waktu album Kuta Rock City mabuknya kelewatan.
Itu pertama kali dapat duit dari band. Orang kaya baru. Jadi akhirnya, duitnya
buat senang-senang. Liver saya hancur. Sekarang, saya jauhin whisky. Cuma bir
aja. Makanya, ada lagu Goodbye Whiskey di album terbaru.








Kalian termasuk generasi menolak tua?

Ya.
Kami termasuk Pestol. Pemuda Stok Lama. Dethu [propagandis SID] yang
mengenalkan istilah itu. Tapi, biarpun tua, masih laku. Yang penting di dada.
Fisik tua, hati membara. [tertawa].






Apa yang membuat kalian bertahan
sejauh ini?


Kecintaan
kami akan musik. Kalau bosen, pasti sudah bubar. Juga rasa bangga jadi seorang
counter culture. Terus, ada orang-orang yang dukung sejak day one. Mereka yang
masih setia, jadi alasan kami bertahan.








Apakah kalian memandang SID band yang
berkualitas?


Banget
sih nggak. Cukup iya. Apalagi sekarang kalau manggung, kami concern sama sound.
Semirip mungkin dengan sound yang di album. Additional player kami ajak
manggung.








Di deathrockstar.info, Dethu menulis
soal menjaga kerukunan, Bhinneka Tunggal Ika. Kalian masih percaya dengan itu?


Dulu
sih, nggak terlalu peduli. Tapi, sekarang Bhinneka Tunggal Ika terancam. Sekarang
jadi peduli. Harus dijaga.










Bagaimana pandangannya terhadap
daerah yang ingin membubarkan diri? Aceh, atau Papua misalnya.


Lebih
baik nggak usah memisahkan diri. Itu bisa memancing yang lain. Ini kan
pelajaran buat pemerintah. Supaya lebih baik lagi menangani negara ini.






Di lagu Tomorrow, kalian menulis soal
dunia tanpa perang. Kalian percaya itu bisa terwujud?


Nggak
yakin sih. Lagu itu kan sekadar harapan. Tapi, walaupun impossible, you have to
have it! Kalau nggak, lo nggak punya motivasi dalam hidup! Punk rock adalah
musik revolusi. Yang mengharapkan perubahan. Walaupun kecil, tapi daripada
nggak berbuat apa-apa.








Apakah kalian percaya, musik
benar-benar bisa mengubah dunia jadi lebih baik?


Skala
kecil sih iya. Misalnya, fan base SID yang lebih mendengarkan lirik kami. Remaja-remaja
yang mungkin nggak mau dengar apa kata guru dan orangtuanya. Kami berusaha
mendidik mereka dengan cara fun. Supaya mereka lebih aware. Jangan sampai ada
lagi diskriminasi, atau terorisme. Kami nggak mau jadi pahlawan sejarah. At
least, we try something!










Itu membuat kalian jadi lebih
bertanggungjawab?


Sangat!
Makanya, sekarang banyak lirik bahasa Indonesia. Saya kira, sudah saatnya SID
nge-push orang-orang supaya jangan salah nge-judge. Cuma bisa mabok, tanpa
punya visi misi. Padahal agenda kami banyak.






Apa?

Kami
ingin membuka pemikiran masyarakat. Jangan sampai jadi polisi moral. Jangan
sampai jadi manusia sok Tuhan. Kembali ke filosofi Superman Is Dead. Tidak ada
manusia yang sempurna.










Bisa cerita soal lirik bukan pahlawan
berparas tampan.


Itu
ungkapan untuk manusia-manusia sempurna. Sedikit berpuisi. [tertawa] Kami bukan
band yang jual tampang. Kami jual attitude. Di Indonesia itu, orang sok
pahlawan banyak. Kamu juga tahu orang-orangnya. Di bali juga banyak. Sedikit-sedikit
mengatasnamakan agama.









Kalau lagu Psycho Fake. Rockstar
palsu yang sok gothic. Apa di Bali ada yang seperti itu?


Di
Bali ada. Di Jakarta lebih banyak lagi. [tertawa] Kami nyerang band yang sok
rebel. Dandanannya rebel, tapi yang dilakukan nggak ada. Dan yang mereka
nyanyikan cuma lagu pop komersil. Kalau orang rebel, do something! Jangan didik
jadi negara yang cengeng.






Bisa sebut nama, siapa yang dimaksud?

Kalau
saya nyebutin, takut dibesar-besarkan infotainment. Kami nggak mau terkenal
dengan cara-cara seperti itu.








Di lagu Menginjak Neraka sepertinya
cukup relijius juga ya.


Relijius
juga. Itu dibikin selama tiga minggu selama saya di Kuta. Saya kan suka Social
Distortion. Nah, vokalisnya ternyata suka Johnny Cash. Lirik Johnny Cash banyak
yang relijius juga. Saya bukan yang seratus persen percaya Tuhan dan agama.
Lirik relijius, bukan berarti orangnya relijius kan. Ini semacam introspeksi
diri aja. Penyebabnya, karena rasa kesepian. Orang di Kuta, kan rame. Tapi,
saya suka merasa sepi, nggak ada teman. Kenapa kita kesepian ya? Saya ngerasa
ada yang salah.










Kalau lagu Lady Rose, kenapa harus
dinyanyikan oleh Anda?


Lagu
itu sangat personal. Ada kan, beberapa lagu yang saat dibuat, oh ini memang
harus kau yang nyanyi!






Di album berikutnya, akan lebih
banyak mendengar Jrx bernyanyi?


Saya
cukup tahu diri kok. Porsi Eka memang akan lebih ditingkatkan, karena vokalnya
cocok. Saya memang ingin tampil, makanya bikin band. Tapi, saya nggak ingin
jadi kayak Ahmad Dhani. [tertawa].








Wednesday, June 21, 2006

Tiga Kord dari Bandung

Yeah. Ini masih dalam rangka tugas pelatihan jurnalisme sastrawi. Tulisan ini saya buat setelah datang ke TRL, Sabtu [17/6] lalu. Selamat menikmati.

Tiga Kord dari Bandung
Oleh Soleh Solihun

The Super Insurgent Group of Intemperance Talent. Kumpulan orang yang punya bakat, tapi tidak bisa mengendalikan dirinya. Begitu kira-kira arti nama itu. Kalau itu terlalu panjang, panggil mereka The S.I.G.I.T. Salah satu rock n’ roll band dari Bandung. Mereka adalah vokalis/gitaris Rekti, Bassist Adit, gitaris Farri, dan drummer Acil.

Fenomena garage rock revival di akhir ’90-an hingga awal 2000-an, yang melanda industri musik dunia, ikut berpengaruh terhadap mereka. Ketika kelompok musik macam The Hives, The Strokes, The Vines, dan banyak lagi nama mencuri perhatian publik, Rekti dan kawan-kawan dapat inspirasi. “Bukan berarti kami ikut-ikutan trend. Fenomena itu seperti membuat kami panas. Ah, kalau musik tiga kord doang sih, kami juga bisa. Bahkan mungkin bisa lebih bagus!” kata Rekti.

Persahabatan yang dimulai sejak tahun ’94 akhirnya menghasilkan The S.I.G.I.T. pada tahun 2002. Dua tahun kemudian, self titled mini album mereka dirilis di bawah Spills Records. 2000 kaset diproduksi, sekitar 1000 kaset terjual ke pasaran. “Sisanya lagi, nggak tau ke mana,” kata Rekti sambil tersenyum.

Tiga tahun sejak album dirilis, belum ada perkembangan yang berarti. Nama The S.I.G.I.T. belum juga dikenal banyak orang. Tidak aneh sebenarnya. Kelompok musik serupa, macam katakanlah The Brandals atau Speaker 1st pun belum mendapat popularitas dan kesuksesan finansial yang luar biasa. Walau begitu, tawaran manggung untuk The S.I.G.I.T. masih berdatangan.

Sabtu [17/6] malam lalu, mereka tampil di TRL Bar, di Jalan Braga 115, Bandung. Nama TRL diambil dari kata Traffic Light. Lokasinya memang ada di persimpangan antara Jalan Braga dan Jalan Suniaraja. Otomatis, ada lampu lalu lintas di sana. Bar itu ada di lantai dua. Dari dalam ruangan, terlihat suasana jalan raya. Sedikit mengingatkan pada salah satu program di MTV dengan nama yang sama; TRL, kependekan dari Total Request Live. Studio TRL ada di lantai atas. Pemandangannya; suasana jalan raya. Berbeda dengan TRL dari MTV, TRL Bar dibuka khusus untuk mereka yang ingin menikmati musik yang tidak mainstream.

Ini kali ke-tiga The S.I.G.I.T manggung di TRL. Kata manggung mungkin kurang cocok. Karena tidak ada panggung di sana. Para pemain dan penonton berdiri sejajar di lantai yang sama. Ukuran ruangan bar yang tidak terlalu besar, menambah kesan akrab. Pukul 22.00, kelompok musik bernama Vincent Vega jadi pembuka selama setengah jam. Tanpa basa-basi, The S.I.G.I.T. tampil sesudahnya.

Mereka membawakan lagu-lagu dari upcoming album yang akan dirilis FFWD Records—label dari Bandung yang sukses memasarkan Mocca—Agustus nanti. Semua lagunya berbahasa Inggris. Rekti penulis liriknya. Tapi, rock n’ roll bukan jadi alasan liriknya dibuat dalam bahasa Inggris. “Bahasa Indonesia kesannya buat komunikasi sehari-hari aja. Bukan untuk menggambarkan apa yang ada di hati,” kata Rekti.

Bagi Rekti, tampil di TRL, “seperti latihan yang ditonton.” Banyak orang yang dia kenal malam itu. Makanya, dia terlihat rileks. Tidak banyak berkomunikasi dengan penonton. Hanya sesekali menyapa dan mengenalkan lagu baru. Adit dan Farri, mengimbangi dengan bergoyang mengikuti irama. Acil yang paling enerjik. Maklum, drummer. Penampilan keempat anak itu, layaknya banyak personel rock n’ roll bands; berambut gondrong. Rambut Rekti, sedikit mengingatkan pada rambut Robert Plant, vokalis Led Zeppelin—salah satu kelompok musik yang memberi banyak pengaruh pada musik The S.I.G.I.T. Tentu saja, soal kemiripan rambut hanya karena Rekti dan Plant sama-sama berambut ikal.

Untuk sebuah rock n’ roll show, penonton malam itu, bisa dibilang malu-malu. Tidak banyak bergerak. Hanya menggerakkan kepala. Menghentakkan kaki. Sesekali ikut bernyanyi. Ada banyak kemungkinan. Kata Rekti, penonton di Bandung lebih jaga gengsi dibandingkan penonton, katakanlah Jakarta. Tidak akan memulai berjoged, kecuali ada yang memulai. Bisa jadi juga, mereka yang datang menonton malam itu, banyak yang masih remaja. Anak sekolah, yang mungkin masih canggung untuk berjoged di sana. Kemungkinan lain, banyak dari penonton musik di Bandung, yang juga bermain musik. Punya kelompok musik. Ketika datang ke pertunjukkan musik, mereka lebih banyak memerhatikan penampilan si kelompok musik. Bagaimana sound-nya. Bagaimana skill si personel. Hingga, instrumen apa yang digunakan. Bukannya menikmati musik. “Mentalnya mental kritik. Bahaya euy!” kata Rekti sambil tertawa.

Tuesday, June 20, 2006

Tiga Kord dari Bandung





Yeah.
Ini masih dalam rangka tugas pelatihan jurnalisme sastrawi. Tulisan ini
saya buat setelah datang ke TRL, Sabtu [17/6] lalu. Selamat menikmati.





Tiga Kord dari Bandung

Oleh
Soleh Solihun










































The
Super Insurgent Group of Intemperance Talent. Kumpulan orang yang punya bakat,
tapi tidak bisa mengendalikan dirinya. Begitu kira-kira arti nama itu. Kalau
itu terlalu panjang, panggil mereka The S.I.G.I.T. Salah satu rock n’ roll band dari Bandung. Mereka
adalah vokalis/gitaris Rekti, Bassist Adit, gitaris Farri, dan drummer Acil.



Fenomena
garage rock revival di akhir ’90-an
hingga awal 2000-an, yang melanda industri musik dunia, ikut berpengaruh
terhadap mereka. Ketika kelompok musik macam The Hives, The Strokes, The Vines,
dan banyak lagi nama mencuri perhatian publik, Rekti dan kawan-kawan dapat inspirasi.
“Bukan berarti kami ikut-ikutan trend. Fenomena itu seperti membuat kami panas.
Ah, kalau musik tiga kord doang sih, kami juga bisa. Bahkan mungkin bisa lebih
bagus!” kata Rekti.



Persahabatan
yang dimulai sejak tahun ’94 akhirnya menghasilkan The S.I.G.I.T. pada tahun
2002. Dua tahun kemudian, self titled
mini album
mereka dirilis di bawah Spills Records. 2000 kaset diproduksi,
sekitar 1000 kaset terjual ke pasaran. “Sisanya lagi, nggak tau ke mana,” kata
Rekti sambil tersenyum.



Tiga
tahun sejak album dirilis, belum ada perkembangan yang berarti. Nama The
S.I.G.I.T. belum juga dikenal banyak orang. Tidak aneh sebenarnya. Kelompok
musik serupa, macam katakanlah The Brandals atau Speaker 1st pun
belum mendapat popularitas dan kesuksesan finansial yang luar biasa. Walau
begitu, tawaran manggung untuk The S.I.G.I.T. masih berdatangan.



Sabtu
[17/6] malam lalu, mereka tampil di TRL Bar, di Jalan Braga 115, Bandung. Nama TRL
diambil dari kata Traffic Light. Lokasinya memang ada di persimpangan antara
Jalan Braga dan Jalan Suniaraja. Otomatis, ada lampu lalu lintas di sana. Bar
itu ada di lantai dua. Dari dalam ruangan, terlihat suasana jalan raya. Sedikit
mengingatkan pada salah satu program di MTV dengan nama yang sama; TRL,
kependekan dari Total Request Live. Studio TRL ada di lantai atas.
Pemandangannya; suasana jalan raya. Berbeda dengan TRL dari MTV, TRL Bar dibuka
khusus untuk mereka yang ingin menikmati musik yang tidak mainstream.



Ini
kali ke-tiga The S.I.G.I.T manggung di TRL. Kata manggung mungkin kurang cocok.
Karena tidak ada panggung di sana. Para pemain dan penonton berdiri sejajar di
lantai yang sama. Ukuran ruangan bar yang tidak terlalu besar, menambah kesan
akrab. Pukul 22.00, kelompok musik bernama Vincent Vega jadi pembuka selama
setengah jam. Tanpa basa-basi, The S.I.G.I.T. tampil sesudahnya.



Mereka
membawakan lagu-lagu dari upcoming album yang akan dirilis FFWD
Records—label dari Bandung yang sukses memasarkan Mocca—Agustus nanti. Semua
lagunya berbahasa Inggris. Rekti penulis liriknya. Tapi, rock n’ roll bukan jadi alasan liriknya dibuat dalam bahasa
Inggris. “Bahasa Indonesia kesannya buat komunikasi sehari-hari aja. Bukan
untuk menggambarkan apa yang ada di hati,” kata Rekti.



Bagi
Rekti, tampil di TRL, “seperti latihan yang ditonton.” Banyak orang yang dia kenal malam itu. Makanya,
dia terlihat rileks. Tidak banyak berkomunikasi dengan penonton. Hanya sesekali
menyapa dan mengenalkan lagu baru. Adit dan Farri, mengimbangi dengan bergoyang
mengikuti irama. Acil yang paling enerjik. Maklum, drummer. Penampilan keempat
anak itu, layaknya banyak personel rock
n’ roll bands
; berambut gondrong. Rambut Rekti, sedikit mengingatkan pada
rambut Robert Plant, vokalis Led Zeppelin—salah satu kelompok musik yang
memberi banyak pengaruh pada musik The S.I.G.I.T. Tentu saja, soal kemiripan
rambut hanya karena Rekti dan Plant sama-sama berambut ikal.



Untuk
sebuah rock n’ roll show, penonton
malam itu, bisa dibilang malu-malu. Tidak banyak bergerak. Hanya menggerakkan
kepala. Menghentakkan kaki. Sesekali ikut bernyanyi. Ada banyak kemungkinan.
Kata Rekti, penonton di Bandung lebih jaga gengsi dibandingkan penonton,
katakanlah Jakarta. Tidak akan memulai berjoged, kecuali ada yang memulai. Bisa
jadi juga, mereka yang datang menonton malam itu, banyak yang masih remaja.
Anak sekolah, yang mungkin masih canggung untuk berjoged di sana. Kemungkinan
lain, banyak dari penonton musik di Bandung, yang juga bermain musik. Punya kelompok
musik. Ketika datang ke pertunjukkan musik, mereka lebih banyak memerhatikan
penampilan si kelompok musik. Bagaimana sound-nya.
Bagaimana skill si personel. Hingga, instrumen
apa yang digunakan. Bukannya menikmati musik. “Mentalnya mental kritik. Bahaya euy!” kata Rekti sambil tertawa.






Friday, June 16, 2006

Anak Muda, Musik, dan Parc

Ini tugas kedua saya untuk pelatihan jurnalisme sastrawi dari Yayasan Pantau. Membuat tulisan dengan memasukan kata "saya" dalam tulisan. Ini sebenarnya sudah sering saya lakukan di blog dan multiply. Tapi, tulisan ini harus menggambarkan adegan.

Sebenarnya saya kurang puas dengan hasilnya. Berhubung sudah malam, dan saya sudah mengantuk, akhirnya saya kumpulkan seperti di bawah ini, buat besok. Tugas pertama sih, dapat respon positif dari pengajar. Sesuai ekspektasi dia. Walaupun beberapa peserta mengatakan tulisan saya terlalu segmented. "Terlalu Jakarta," kata peserta dari Papua.

Tulisan di bawah ini, adalah salah satu adegan di Parc--mungkin akan dikritik lagi, karena terlalu Jakarta. Bisa jadi, gabungan dari beberapa adegan yang saya muat di satu tulisan. Ah biarlah. Toh, mereka tidak akan tau. Hihihi. Yang dinilai kan, struktur dan gaya penulisannya.

Anak Muda, Musik, dan Parc
Oleh Soleh Solihun

Parc, nama tempat itu. Saya tidak tahu harus menyebut apa. Klub atau bar. Kalau disebut klub, yang terbayang adalah klub malam tempat orang berdansa, berjoged, bergoyang, bersenang-senang, minum-minum. Kalau disebut bar, berarti hanya tempat minum. Tapi Parc adalah keduanya. Definisi klub, masuk di situ. Orang-orang datang ke sana untuk bersenang-senang menikmati musik. Ada barnya pula. Lokasinya cukup strategis. Ada di salah satu ruko di Jalan Iskandarsyah, dekat Blok M. Itu agaknya jadi salah satu kelebihan Parc.

Tidak seperti klub atau bar lain di Jakarta, pilihan musik yang dimainkan di sana tidak mainstream. Anda bisa mendengar para DJ memainkan musik mulai rock n’ roll, new wave, indie pop, hingga metal. Begitu pula kelompok musik yang bermain di sana. Bukan tipikal home band klub, atau café yang memainkan musik Top 40 dengan vokalis perempuan yang biasanya dandanannya terlalu menor atau sangat seksi.

Itu sebabnya, Parc didatangi banyak anak muda. Saya salah satunya. Entah kali ke berapa, saya datang ke Parc, Kamis malam itu. Seperti biasa, selalu ramai. Maklum, ada event mingguan bernama Thusrday Riot. Tidak, saya tidak salah ketik. Itu memang cara pengelola Parc menulisnya.

Di pelataran parkir, di luar pintu masuk Parc, tampak puluhan anak muda. Dandanan mereka senada. Celana jins ketat, kaos beraneka warna, sepatu Converse All Star, atau Vans Old School bagi sebagian lelakinya. Sebagian dari yang perempuan, memakai rok, kaos ketat dipadu rompi, kalung dan rambut dengan pony tail.

“Meliput Leh?” tanya seorang laki-laki ketika saya baru datang. Saya lupa namanya.
“Oh, nggak. Mau nonton aja,” jawab saya singkat sambil bersalaman.

Jadi jurnalis membuat saya kenal banyak orang di sana. Sebagian besar dari mereka, pernah saya wawancarai. Sebagian, ada yang kenal karena membaca tulisan saya di majalah. Ini sebabnya, saya menikmati jadi jurnalis musik. Punya akses ke berbagai event musik. Salah satu impian saya.

Parc punya dua lantai. Lantai bawah, tempat mendengarkan musik yang dimainkan DJ. Lantai atas, tempat live music digelar. Ruangannya tidak terlalu luas. Kira-kira sebanding dengan tiga per empat ruang kelas di sekolah. Lantai atas, selalu penuh sesak. Asap rokok, aroma minuman keras dan keringat campur jadi satu.

Ini salah satu yang sering menggangu saya. Asap rokok dan minuman keras. Ada di ruangan penuh asap rokok selama berjam-jam membuat mata saya perih. Saya bukan perokok, walaupun banyak orang mengira saya perokok. Kata mereka, penampilan saya seperti perokok. Dan saya juga tidak mengonsumsi alkohol. Saya sering diolok-olok karena ini. Tidak jarang, teman-teman saya menawari bir dingin. Seperti juga malam itu.

“Ayo Leh, minum sedikit aja,” kata seorang teman.
“Nggak ah. Makasih. Nggak minum euy.”

“Yang bener Leh? Nggak minum?” kata seorang lagi.
“Iya bener. Makasih ya.”

Saya sering ada di situasi seperti itu. Banyak yang tidak percaya, kalau saya tidak mengonsumsi alkohol. Tidak sedikit juga yang selalu menawarkan bahkan memaksa saya minum. Padahal, saya murni datang ke sana untuk bersenang-senang. Dan saya cukup senang, hanya dengan menikmati musik yang asik.

“Iya nih, masa’ nggak mau minum. Katanya rock n’ roll. Suka Rolling Stones. Masa’ nggak minum. Mick Jagger juga minum Leh,” kata teman saya lagi, sambil tertawa dan menyodorkan gelas.
Eits. Mick Jagger mah Mick Jagger. Kan gua cuma suka musiknya. Emang kalo suka musiknya, harus ikut-ikutan minum juga ya? Nggak kan.”

Saya menolaknya sekali lagi. Seperti juga di malam-malam lain. Saya tidak ikut menenggak alkohol. Tapi, saya tetap bisa bersenang-senang bersama mereka. Menikmati musik. Sesekali menggerakkan kaki mengikuti irama. Badan bergoyang, walau hanya sedikit. Maklum, saya tidak bisa berdansa.

Anak Muda, Musik dan Parc

Ini
tugas kedua saya untuk pelatihan jurnalisme sastrawi dari Yayasan
Pantau. Membuat tulisan dengan memasukan kata "saya" dalam tulisan. Ini
sebenarnya sudah sering saya lakukan di blog dan multiply. Tapi,
tulisan ini harus menggambarkan adegan.




Sebenarnya saya kurang puas dengan
hasilnya. Berhubung sudah malam, dan saya sudah mengantuk, akhirnya
saya kumpulkan seperti di bawah ini, buat besok. Tugas pertama sih,
dapat respon positif dari pengajar. Sesuai ekspektasi dia. Walaupun
beberapa peserta mengatakan tulisan saya terlalu segmented. "Terlalu
Jakarta," kata peserta dari Papua.




Tulisan di bawah ini, adalah salah
satu adegan di Parc--mungkin akan dikritik lagi, karena terlalu
Jakarta. Bisa jadi, gabungan dari beberapa adegan yang saya muat di
satu tulisan. Ah biarlah. Toh, mereka tidak akan tau. Hihihi. Yang
dinilai kan, struktur dan gaya penulisannya.










Anak Muda, Musik, dan Parc

Oleh
Soleh Solihun


















Parc,
nama tempat itu. Saya tidak tahu harus menyebut apa. Klub atau bar. Kalau
disebut klub, yang terbayang adalah klub malam tempat orang berdansa, berjoged,
bergoyang, bersenang-senang, minum-minum. Kalau disebut bar, berarti hanya
tempat minum. Tapi Parc adalah keduanya. Definisi klub, masuk di situ.
Orang-orang datang ke sana untuk bersenang-senang menikmati musik. Ada barnya
pula. Lokasinya cukup strategis. Ada di salah satu ruko di Jalan Iskandarsyah, dekat
Blok M. Itu agaknya jadi salah satu kelebihan Parc. 



Tidak
seperti klub atau bar lain di Jakarta, pilihan musik yang dimainkan di sana
tidak mainstream. Anda bisa mendengar
para DJ memainkan musik mulai rock n’
roll, new wave, indie pop
, hingga metal.
Begitu pula kelompok musik yang bermain di sana. Bukan tipikal home band klub,
atau café yang memainkan musik Top 40 dengan vokalis perempuan yang biasanya
dandanannya terlalu menor atau sangat seksi.



Itu
sebabnya, Parc didatangi banyak anak muda. Saya salah satunya. Entah kali ke
berapa, saya datang ke Parc, Kamis malam itu. Seperti biasa, selalu ramai.
Maklum, ada event mingguan bernama
Thusrday Riot. Tidak, saya tidak salah ketik. Itu memang cara pengelola Parc
menulisnya.



Di
pelataran parkir, di luar pintu masuk Parc, tampak puluhan anak muda. Dandanan
mereka senada. Celana jins ketat, kaos beraneka warna, sepatu Converse All
Star, atau Vans Old School bagi sebagian lelakinya. Sebagian dari yang
perempuan, memakai rok, kaos ketat dipadu rompi, kalung dan rambut dengan pony tail.


















“Meliput
Leh?” tanya seorang laki-laki ketika saya baru datang. Saya lupa namanya.

“Oh,
nggak. Mau nonton aja,” jawab saya singkat sambil bersalaman.



Jadi
jurnalis membuat saya kenal banyak orang di sana. Sebagian besar dari mereka,
pernah saya wawancarai. Sebagian, ada yang kenal karena membaca tulisan saya di
majalah. Ini sebabnya, saya menikmati jadi jurnalis musik. Punya akses ke
berbagai event musik. Salah satu
impian saya.



Parc
punya dua lantai. Lantai bawah, tempat mendengarkan musik yang dimainkan DJ.
Lantai atas, tempat live music
digelar. Ruangannya tidak terlalu luas. Kira-kira sebanding dengan tiga per empat
ruang kelas di sekolah. Lantai atas, selalu penuh sesak. Asap rokok, aroma
minuman keras dan keringat campur jadi satu. 



Ini
salah satu yang sering menggangu saya. Asap rokok dan minuman keras. Ada di
ruangan penuh asap rokok selama berjam-jam membuat mata saya perih. Saya bukan
perokok, walaupun banyak orang mengira saya perokok. Kata mereka, penampilan saya
seperti perokok. Dan saya juga tidak mengonsumsi alkohol. Saya sering
diolok-olok karena ini. Tidak jarang, teman-teman saya menawari bir dingin.
Seperti juga malam itu.




























“Ayo
Leh, minum sedikit aja,” kata seorang teman.

“Nggak
ah. Makasih. Nggak minum euy.”



“Yang
bener Leh? Nggak minum?” kata seorang lagi.

“Iya
bener. Makasih ya.”



Saya
sering ada di situasi seperti itu. Banyak yang tidak percaya, kalau saya tidak
mengonsumsi alkohol. Tidak sedikit juga yang selalu menawarkan bahkan memaksa
saya minum. Padahal, saya murni datang ke sana untuk bersenang-senang. Dan saya
cukup senang, hanya dengan menikmati musik yang asik.



“Iya
nih, masa’ nggak mau minum. Katanya rock n’ roll. Suka Rolling Stones. Masa’
nggak minum. Mick Jagger juga minum Leh,” kata teman saya lagi, sambil tertawa
dan menyodorkan gelas.

Eits. Mick Jagger mah Mick Jagger. Kan gua
cuma suka musiknya. Emang kalo suka musiknya, harus ikut-ikutan minum juga ya?
Nggak kan.”



Saya
menolaknya sekali lagi. Seperti juga di malam-malam lain. Saya tidak ikut
menenggak alkohol. Tapi, saya tetap bisa bersenang-senang bersama mereka. Menikmati
musik. Sesekali menggerakkan kaki mengikuti irama. Badan bergoyang, walau hanya
sedikit. Maklum, saya tidak bisa berdansa.





Tuesday, June 13, 2006

Serigala Mencari Kata

Saya
sedang ikut pelatihan jurnalisme sastrawi yang diadakan Yayasan Pantau,
mulai Senin [12/6] kemarin. Nah, setiap beres pertemuan, peserta diberi
tugas yang akan dibacakan di depan kelas di pertemuan berikutnya. Tugas
pertama, menuliskan kembali obrolan dengan teman, narasumber, atau
pacar. Topiknya bisa apa saja.




Jadi grogi nih. Soalnya tulisannya
besok bakal dikritik orang lain. Saya takut tulisan saya tidak cukup
bagus. Belum pernah soalnya, dievaluasi langsung di depan kelas. Waktu
kuliah sih ada yang seperti ini. Tulisan dikritisi dosen. Tapi, itu
statusnya mahasiswa. Masih mewakili individu. Besok berbeda. Ada gengsi
majalah yang ikut dipertaruhkan. Hehe.




Oya, ini tulisan yang akan saya
kumpulkan besok. Hasil mengobrol dengan Arian. Harusnya sih, direkam.
Tapi, kalau bilang begitu, takut tidak keluar semua. Baru beberapa
menit yang lalu, saya beri tau Arian soal ini.







Serigala Mencari Kata

Oleh Soleh Solihun


































Tattoo, Levi’s belel, kaos hitam,
kaca mata, sepatu Vans Old School, musik rock. Tidak banyak lelaki usia 30-an
dengan ciri-ciri seperti itu. Arian Arifin salah satunya. Pekerjaan tetapnya;
Deputy Editor Playboy Indonesia.
Pekerjaan sampingannya; musisi. Nama Arian memang belum dikenal banyak orang.
Tidak setenar Kaka Slank atau Ariel Peterpan. Seorang temannya, menyebut dia
selebritis tanggung.



Tahun ’92 di Bandung, seorang
teman bernama Robin Malau mengajak dia bergabung di band metal bernama Puppen—diambil
dari kata tai. Posisi vokalis yang semula akan diisi Robin akhirnya diserahkan
pada Arian yang belakangan memakai nama Arian13. Puppen merilis 1 album dan 2
mini album. Salah satu pelopor dalam gerakan musik independen di Indonesia. Setelah
sepuluh tahun berkarir, Puppen bubar. Mantan drummernya, kini laris sebagai
penyanyi yang digilai banyak perempuan: Marcel.



Arian lantas membentuk Seringai,
yang merilis mini album pada tahun 2004 di bawah Parau Records. Hanya terjual
10 ribu kopi memang. Tapi, Seringai ikut meramaikan banyak panggung pentas seni
SMA-SMA di Jakarta dan Bandung.
Meraih banyak penggemar remaja. Bukan remaja tipe penggemar Marcel. “Kalau
bisa  nyanyi sih, gua juga udah bikin
musik kayak Marcel kali,” ujarnya sambil tertawa.



Siang itu, di meja kerjanya,
Arian terlihat serius. Matanya menatap monitor komputer. Dia dikejar deadline. Bukan dari pekerjaan tetapnya.
Seringai sedang mempersiapkan album perdana. Sudah dua bulan mereka masuk
studio. Sekarang tinggal take vokal. Sembilan
lagu sudah rampung. Tiga lagi belum ada lirik. Itu tugas dia. “Anak-anak sih,
pada nggak bisa bikin lirik. Jadi, semuanya harus gua. Waktu di Puppen juga
begitu. Lirik selalu gua yang bikin. Emang yang lain nyumbang tema, tapi tetep
yang bikin lirik gua. Kalau mood-nya
lagi bagus sih, sehari bisa bikin tiga lagu. Nggak tau kenapa, sekarang lagi
mentok,” katanya.



Matanya masih pada monitor yang
menampilkan program iTunes. Musik tanpa vokal dari upcoming album Seringai diputar dalam volume tinggi. Tiga lagu yang
belum rampung itu, diberi judul sementara “Something dengan Citra”, “Something
dengan Kekerasan Domestik” dan “Standar Ganda”. Sejauh ini, dia dan
teman-temannya cukup puas dengan karya mereka. “Waktu di studio, terus
ngedengerin lagu yang udah beres, anak-anak pada ngomong, ‘Anjing! Kita emang keren
ya!’ Hahaha. Gua penasaran, band lain begitu juga nggak ya? Belagu,” kata dia,
mengenang salah satu momen di studio.



Seringai memainkan musik yang
mereka sebut rock oktan tinggi, crossover
antara rock dan metal. Itu jadi judul mini album mereka, “High Octane Rock”. Untuk
album perdana nanti, rencananya diberi judul “Serigala Militia”. “Gua sih
sebenernya kurang setuju. Pengin yang lebih keren aja. Tapi, kalah suara sama
anak-anak. Nggak tau ya, gua sih udah bosen sama kata itu. Mungkin karena gua
yang bikin. Jadi udah lama denger kata itu. Emang sih, itu lebih catchy. Cukup
menjual. Aing yeuh [Gua nih] Serigala
Militia! Gua sih penginnya, judul yang bisa bikin orang mikir. Kayak misalnya,
‘Amplifier, Amplifier!’ Itu kan
bakal bikin orang bilang, apa sih?”



Arian memang terobsesi dengan
serigala. Cover CD Seringai, tengkorak serigala. Nama Serigala dia gunakan untuk
account Friendster, My Space, dan
email. Foto serigala juga dia tampilkan di profil Yahoo Messenger-nya. Dan
Serigala Militia, adalah nama yang dia pilih untuk memanggil mereka yang
menyukai musik Seringai. “Gua suka dengan estetika serigala. Evil. Serigala kan suka berkelompok.
Wolf pack. Keren aja. Brrrrrrjjzjzl. [menirukan suara gerombolan serigala yang
berlarian]. Bukan persoalan jantan atau tidak jantan. Terus, kalau diketik kata
‘Seringai’ di google, selain Seringai sebagai nama band, yang paling sering
muncul kalimat ‘seringai sang serigala’. Identik dengan evil. Sesuatu yang
menakutkan. Cocok aja buat imej band.”   



Dia masih asik mencari kata-kata.
Monitor komputernya kali ini menampilkan lirik yang belum rampung; “Something
dengan Kekerasan Domestik”. “Di kasus begini, biasanya kan ceweknya yang jadi korban. Tapi, mereka
selalu merasa mereka yang salah. Berharap cowoknya bisa berubah. Gua sering
denger cerita begini dari temen. Ini kepedulian gua sama mereka. Nanti,
gara-gara lagu ini, banyak cewek yang aaaaah [tangannya menirukan gerakan
mengelu-elu dan histeris]. Hahaha.”



 


Serigala Mencari Kata

Saya sedang ikut pelatihan jurnalisme sastrawi yang diadakan Yayasan Pantau, mulai Senin [12/6] kemarin. Nah, setiap beres pertemuan, peserta diberi tugas yang akan dibacakan di depan kelas di pertemuan berikutnya. Tugas pertama, menuliskan kembali obrolan dengan teman, narasumber, atau pacar. Topiknya bisa apa saja.

Jadi grogi nih. Soalnya tulisannya besok bakal dikritik orang lain. Saya takut tulisan saya tidak cukup bagus. Belum pernah soalnya, dievaluasi langsung di depan kelas. Waktu kuliah sih ada yang seperti ini. Tulisan dikritisi dosen. Tapi, itu statusnya mahasiswa. Masih mewakili individu. Besok berbeda. Ada gengsi majalah yang ikut dipertaruhkan. Hehe.

Oya, ini tulisan yang akan saya kumpulkan besok. Hasil mengobrol dengan Arian. Harusnya sih, direkam. Tapi, kalau bilang begitu, takut tidak keluar semua. Baru beberapa menit yang lalu, saya beri tau Arian soal ini.

Serigala Mencari Kata
Oleh Soleh Solihun

Tattoo, Levi’s belel, kaos hitam, kaca mata, sepatu Vans Old School, musik rock. Tidak banyak lelaki usia 30-an dengan ciri-ciri seperti itu. Arian Arifin salah satunya. Pekerjaan tetapnya; Deputy Editor Playboy Indonesia. Pekerjaan sampingannya; musisi. Nama Arian memang belum dikenal banyak orang. Tidak setenar Kaka Slank atau Ariel Peterpan. Seorang temannya, menyebut dia selebritis tanggung.

Tahun ’92 di Bandung, seorang teman bernama Robin Malau mengajak dia bergabung di band metal bernama Puppen—diambil dari kata tai. Posisi vokalis yang semula akan diisi Robin akhirnya diserahkan pada Arian yang belakangan memakai nama Arian13. Puppen merilis 1 album dan 2 mini album. Salah satu pelopor dalam gerakan musik independen di Indonesia. Setelah sepuluh tahun berkarir, Puppen bubar. Mantan drummernya, kini laris sebagai penyanyi yang digilai banyak perempuan: Marcel.

Arian lantas membentuk Seringai, yang merilis mini album pada tahun 2004 di bawah Parau Records. Hanya terjual 10 ribu kopi memang. Tapi, Seringai ikut meramaikan banyak panggung pentas seni SMA-SMA di Jakarta dan Bandung. Meraih banyak penggemar remaja. Bukan remaja tipe penggemar Marcel. “Kalau bisa nyanyi sih, gua juga udah bikin musik kayak Marcel kali,” ujarnya sambil tertawa.

Siang itu, di meja kerjanya, Arian terlihat serius. Matanya menatap monitor komputer. Dia dikejar deadline. Bukan dari pekerjaan tetapnya. Seringai sedang mempersiapkan album perdana. Sudah dua bulan mereka masuk studio. Sekarang tinggal take vokal. Sembilan lagu sudah rampung. Tiga lagi belum ada lirik. Itu tugas dia. “Anak-anak sih, pada nggak bisa bikin lirik. Jadi, semuanya harus gua. Waktu di Puppen juga begitu. Lirik selalu gua yang bikin. Emang yang lain nyumbang tema, tapi tetep yang bikin lirik gua. Kalau mood-nya lagi bagus sih, sehari bisa bikin tiga lagu. Nggak tau kenapa, sekarang lagi mentok,” katanya.

Matanya masih pada monitor yang menampilkan program iTunes. Musik tanpa vokal dari upcoming album Seringai diputar dalam volume tinggi. Tiga lagu yang belum rampung itu, diberi judul sementara “Something dengan Citra”, “Something dengan Kekerasan Domestik” dan “Standar Ganda”. Sejauh ini, dia dan teman-temannya cukup puas dengan karya mereka. “Waktu di studio, terus ngedengerin lagu yang udah beres, anak-anak pada ngomong, ‘Anjing! Kita emang keren ya!’ Hahaha. Gua penasaran, band lain begitu juga nggak ya? Belagu,” kata dia, mengenang salah satu momen di studio.

Seringai memainkan musik yang mereka sebut rock oktan tinggi, crossover antara rock dan metal. Itu jadi judul mini album mereka, “High Octane Rock”. Untuk album perdana nanti, rencananya diberi judul “Serigala Militia”. “Gua sih sebenernya kurang setuju. Pengin yang lebih keren aja. Tapi, kalah suara sama anak-anak. Nggak tau ya, gua sih udah bosen sama kata itu. Mungkin karena gua yang bikin. Jadi udah lama denger kata itu. Emang sih, itu lebih catchy. Cukup menjual. Aing yeuh [Gua nih] Serigala Militia! Gua sih penginnya, judul yang bisa bikin orang mikir. Kayak misalnya, ‘Amplifier, Amplifier!’ Itu kan bakal bikin orang bilang, apa sih?”

Arian memang terobsesi dengan serigala. Cover CD Seringai, tengkorak serigala. Nama Serigala dia gunakan untuk account Friendster, My Space, dan email. Foto serigala juga dia tampilkan di profil Yahoo Messenger-nya. Dan Serigala Militia, adalah nama yang dia pilih untuk memanggil mereka yang menyukai musik Seringai. “Gua suka dengan estetika serigala. Evil. Serigala kan suka berkelompok. Wolf pack. Keren aja. Brrrrrrjjzjzl. [menirukan suara gerombolan serigala yang berlarian]. Bukan persoalan jantan atau tidak jantan. Terus, kalau diketik kata ‘Seringai’ di google, selain Seringai sebagai nama band, yang paling sering muncul kalimat ‘seringai sang serigala’. Identik dengan evil. Sesuatu yang menakutkan. Cocok aja buat imej band.”

Dia masih asik mencari kata-kata. Monitor komputernya kali ini menampilkan lirik yang belum rampung; “Something dengan Kekerasan Domestik”. “Di kasus begini, biasanya kan ceweknya yang jadi korban. Tapi, mereka selalu merasa mereka yang salah. Berharap cowoknya bisa berubah. Gua sering denger cerita begini dari temen. Ini kepedulian gua sama mereka. Nanti, gara-gara lagu ini, banyak cewek yang aaaaah [tangannya menirukan gerakan mengelu-elu dan histeris]. Hahaha.”

Saturday, June 03, 2006

Dua Puluh Tujuh

Hari ini, saya genap berusia 27 tahun.

Alhamdulillah. Bisa juga sampai di titik ini. Padahal, waktu masih kelas 6 SD lah, saya selalu mengira tidak akan melebihi usia 18 tahun. Benar. Waktu itu, saya yakin tidak akan diberi umur panjang. Tidak tau kenapa saya punya pikiran seperti itu. Mungkin kematian seorang teman main di kompleks, meninggalkan trauma mendalam buat saya.

Dulu, waktu masih kecil, saya kira, 25 tahun saya sudah akan jadi bapak-bapak. Ternyata...Hehe. Saya masih belum merasa tua. Dan tidak ingin merasa tua!

Saya harus menulis momen ini. Supaya sepuluh tahun kemudian--kalau saya masih ada, tentu saja--saya bisa ingat. Bahwa ketika usia saya genap 27 tahun, saya sedang bekerja di ibukota. Di taman bermain yang sempat menghebohkan Indonesia. Hehe.

Dan saya ada di sekeliling teman-teman yang menyenangkan. Serta tentu saja, pacar yang menyayangi saya. Hehe. Ini sebenarnya yang paling membedakan ulang tahun sekarang dengan terdahulu. Bah. Curhat lagi nih. Gawat.

Yah, Alhamdulillah. Pacar saya datang ke kantor membawa kue dari Dapur Cokelat. Jadi, teman-teman di kantor yang sejak siang menagih traktiran bisa sedikit terobati. Hehe. Terima kasih, sayang!

Walaupun, kurang ajar juga tuh Dapur Cokelat. Pacar saya memesan cokelat bergambar lidah Rolling Stones di atas kuenya. Tapi, mereka malah memberi gambar sekelompok lelaki gondrong '70-an di padang rumput. Entah siapa mereka. Yang jelas, mbak Dapur Cokelat mengira itu The Stones. "Kami browsing di internet juga loh mbak," ucap mbak Dapur Cokelat bangga kepada pacar saya.

Tidak mengurangi kelezatan kuenya memang. Tapi, merusak gambaran kue yang diharapkan Tetta, pacar saya.

Oya, kembali soal menulis momen. Bukan apa-apa. Saya nyaris tidak ingat, sepuluh tahun lalu, ketika saya genap berusia 17 tahun, saya sedang di mana. Yang jelas, saya tidak merayakannya dengan siapa pun. Itu yang saya ingat. Bahkan, siapa saja teman SMA yang tau ulang tahun saya waktu itu, saya tidak ingat.

Ah sudahlah. Ijinkan saya tutup tulisan ini dengan kutipan lagu "I Don't Want to Grow Up" dari The Ramones.

...
I don't wanna have to shout it out I don't want my hair to fall out
I don't wanna be filled with doubt I don't wanna be a good boy scout
I don't wanna have to learn to count I don't wanna have the biggest amount
I don't wanna grow up

...

I'd rather stay here in my room Nothin' out there but sad and gloom
I don't wanna live in a big old tomb on grand street
When I see the 5 o'clock news I don't wanna grow up
Comb their hair and shine their shoes I don't wanna grow up

Stay around in my old hometown I don't wanna put no money down
I don't wanna get a big old loan Work them fingers to the bone
I don't wanna float on a broom Fall in love, get married then boom
How the hell did it get here so soon I don't wanna grow up



Friday, June 02, 2006

Dua Puluh Tujuh

Hari ini, saya genap berusia 27 tahun.



Alhamdulillah. Bisa juga
sampai di titik ini. Padahal, waktu masih kelas 6 SD lah, saya selalu
mengira tidak akan melebihi usia 18 tahun. Benar. Waktu itu, saya yakin
tidak akan diberi umur panjang. Tidak tau kenapa saya punya pikiran
seperti itu. Mungkin kematian seorang teman main di kompleks,
meninggalkan trauma mendalam buat saya.




Dulu, waktu masih kecil,
saya kira, 25 tahun saya sudah akan jadi bapak-bapak. Ternyata...Hehe.
Saya masih belum merasa tua. Dan tidak ingin merasa tua!




Saya
harus menulis momen ini. Supaya sepuluh tahun kemudian--kalau saya
masih ada, tentu saja--saya bisa ingat. Bahwa ketika usia saya genap 27
tahun, saya sedang bekerja di ibukota. Di taman bermain yang sempat
menghebohkan Indonesia. Hehe.




Dan saya ada di sekeliling
teman-teman yang menyenangkan. Serta tentu saja, pacar yang menyayangi
saya. Hehe. Ini sebenarnya yang paling membedakan ulang tahun sekarang
dengan terdahulu. Bah. Curhat lagi nih. Gawat.




Yah,
Alhamdulillah. Pacar saya datang ke kantor membawa kue dari Dapur
Cokelat. Jadi, teman-teman di kantor yang sejak siang menagih traktiran
bisa sedikit terobati. Hehe. Terima kasih, sayang!




Walaupun,
kurang ajar juga tuh Dapur Cokelat. Pacar saya memesan cokelat
bergambar lidah Rolling Stones di atas kuenya. Tapi, mereka malah
memberi gambar sekelompok lelaki gondrong '70-an di padang rumput.
Entah siapa mereka. Yang jelas, mbak Dapur Cokelat mengira itu The
Stones. "Kami browsing di internet juga loh mbak," ucap mbak Dapur
Cokelat bangga kepada pacar saya.




Tidak mengurangi kelezatan kuenya memang. Tapi, merusak gambaran kue yang diharapkan Tetta, pacar saya.



Oya,
kembali soal menulis momen. Bukan apa-apa. Saya nyaris tidak ingat,
sepuluh tahun lalu, ketika saya genap berusia 17 tahun, saya sedang di
mana. Yang jelas, saya tidak merayakannya dengan siapa pun. Itu yang
saya ingat. Bahkan, siapa saja teman SMA yang tau ulang tahun saya
waktu itu, saya tidak ingat.




Ah sudahlah. Ijinkan saya tutup tulisan ini dengan kutipan lagu "I Don't Want to Grow Up" dari The Ramones.



...


I don't wanna have to shout it out I don't want my hair to fall out
I don't wanna be filled with doubt I don't wanna be a good boy scout
I don't wanna have to learn to count I don't wanna have the biggest amount
I don't wanna grow up



...



I'd rather stay here in my room Nothin' out there but sad and gloom

I don't wanna live in a big old tomb on grand street

When I see the 5 o'clock news I don't wanna grow up

Comb their hair and shine their shoes I don't wanna grow up



Stay around in my old hometown I don't wanna put no money down

I don't wanna get a big old loan Work them fingers to the bone

I don't wanna float on a broom Fall in love, get married then boom

How the hell did it get here so soon I don't wanna grow up


Thursday, June 01, 2006

Saya, The Upstairs dan Slank

Satu lagi konser The Upstairs saya datangi.

Entah konser ke berapa, konser mereka di Barbados Cafe, Kemang, Rabu [31/5] sore tadi. Yang jelas, suasananya selalu sama. Baik itu di Jakarta, maupun di Bandung. Anak muda dengan pakaian yang berwarna cerah. Celana ketat, kaos band atau kaos motif garis-garis. Keriting jambul. Rambut poni kuda buat perempuannya.

Remaja-remaja putrinya memang sedap dipandang mata. Hehe.

Karakter kelompok musik itu sudah kuat terbentuk. Dan pengaruh mereka bisa terlihat dari pakaian anak-anak muda yang datang ke setiap konser The Upstairs. Anak-anak itu berdandan seperti idola mereka. Jangan heran kalau datang ke konser The Upstairs kamu menemukan anak dengan penampilan mirip vokalis Jimi Multhazam.

Ini mengingatkan saya waktu remaja dulu. Datang ke banyak konser Slank dan Iwan Fals. Dengan celana jins robek-robek, kaos lusuh, rambut gondrong. Semakin lusuh, rasanya semakin pas kostumnya. Tentu saja itu dulu. Sekarang, Slank sudah tidak lusuh lagi. Dan penonton konser Slank sudah tidak didominasi anak-anak lusuh.

Makanya, melihat Modern Darlings--sebutan untuk penggemar The Upstairs--di konser-konser The Upstairs, sedikit mengingatkan Slankers pada jaman Slank baru muncul. Modern Darlings itu sepertinya punya potensi untuk jadi sekuat Slankers. Atau, sekuat Oi--sebutan untuk penggemar Iwan Fals.

Oke, di konser The Brandals pun memang banyak crowd fanatik mereka--Brigade Rock n' Roll kalau saya tidak salah. Atau, adanya Speaker People--sebutan untuk penggemar Speaker 1st--di Bandung. Tapi, ada kesamaan antara Slankers dan Modern Darlings.

Di konser launching album kedua The Upstairs tadi, manajemen dibantu anak-anak muda yang disebut sebagai The Upstairs Street Team. Mereka jadi penerima tamu. Penjaga pintu masuk. Penjual merchandise.

Setelah Slankers dan Oi, rasanya giliran Modern Darlings unjuk gigi.

Oke, sekarang konsernya. The Upstairs main selama kurang lebih 1 jam 45 menit. Membawakan lagu-lagu dari album "Matraman" dan "Energy". Warner Music Indonesia rupanya berbahagia melihat antusiasme crowd yang begitu besar. Setidaknya, salah satu dari mereka wajahnya sangat senang.

Bagaimana tidak? Selama konser, crowd ikut menyanyikan semua lagu yang dibawakan The Upstairs. Catat itu. Semua! Bukan hanya lagu dari album terdahulu mereka. Ini berarti mereka yang datang benar-benar menyukai lagu-lagunya.

Sekali lagi, mengingatkan saya jaman dulu ketika masih penuh semangat datang ke konser Iwan Fals dan Slank. Sepanjang konser pasti saya ikut bernyanyi.

Dan seperti biasa, Jimi paling enerjik di antara mereka. Gitaris Kubil Idris, dingin. Sembunyi di balik gitar dan rambut poninya. Dengan rambut seperti itu, Kubil mengingatkan saya akan Johnny Ramone, tapi lebih kalem. Bassit Alfi Chaniago, juga tidak lebih enerjik dibandingkan Kubil. Saya selalu melihat kemiripan antara Jimi dan Alfi. Rambut dan bentuk muka. Hanya saja, Alfi terlihat lebih rupawan dibandingkan Jimi.

Kibordis Elta Emanuella juga begitu. Tenang. Sesekali tersenyum. Drummer Beni Adhiantoro masih bisa enerjik. Tidak jarang, dia ikut bernyanyi. Kalau ada yang bisa sedikit mengimbangi penampilan Jimi yang enerjik, itu adalah Backing Vocalist Dian Maryana. Dia berdansa sambil bernyanyi. Bisa memaksimalkan perannya di panggung.

Saya jadi penasaran bagaimana proses kreatif yang mereka lalui. Maksudnya, dengan para personel yang pendiam seperti itu, mereka bisa menghasilkan karya yang apik. Untung saja, dari segi penampilan, mereka bisa terlihat senada.

Mungkin juga di situ kekuatannya. Jimi, paling banyak bicara. Paling lincah. Dan paling tua--kelahiran '74. Yang lainnya, tenang. Beraksi lewat instrumen yang mereka mainkan. Dan usia mereka jauh di bawah Jimi--kelahiran '79 hingga '83.

Di tengah-tengah konser, saya membayangkan bagaimana jadinya kalau The Upstairs sudah sukses secara komersil. Dan jadi sebesar Slank. Tur keliling Indonesia. Tiketnya sold out. Secara finansial mereka meningkat. Dan Jimi tidak lagi bisa nongkrong di pinggir jalan. Naik bis kota. Atau naik scooter-nya.

Nah, saat itu tiba, saya jadi berpikir. Mungkin tidak akan ada lagi lirik seperti "Demi trotoar dan debu yang beterbangan..." atau "Berangkat ke jantung selatan dalam bis kota bersama orang-orang lelah bermata lima watt..."

Akankah lirik bertema urban khas Jimi masih ada ketika The Upstairs jadi kelompok musik papan atas? Ataukah mereka akan jadi kelompok musik yang ternyata malah jadi lebih bagus menulis lagu cinta. Seperti Slank sekarang. Lirik-liriknya tidak sekuat seperti di 5 album mereka.

Ah. Maaf kalau jadinya mengkhawatirkan sesuatu yang belum pasti. Nyatanya, The Upstairs masih menghasilkan karya yang apik di dua album dan satu mini albumnya. Album "Energy" pun masih dipromosikan. Jadi, mari kita nikmati momen menyenangkan ini.

Dan esok kita pasti berdansa.