Friday, March 28, 2008

THE SOLEH SOLIHUN INTERVIEW: THE CHANGCUTERS

Duta terbaru rock n’ roll dari Kota Kembang bicara soal Multiply, maskulinitas dan kenapa di sampul album, wajah mereka berminyak.

The Changcuters adalah seragam. The Changcuters adalah kuda. The Changcuters adalah rock n’ roll? The Changcuters digilai, sekaligus dibenci. The Changcuters adalah vokalis Tria, gitaris Qibil dan Alda [bergaya rambut sama], bassist Dipa [berwajah Batak, karena memang orang Batak], dan drummer Erick--mereka semua memakai nama belakang Changcut. The Changcuters juga pernah membuat kehebohan di pelukislangit.multiply.com.

Medio 2005, waktu saya diberi demo mereka, yang pertama terlintas adalah nama mereka jelek. Padahal, wajah mereka tak jelek-jelek amat. Bisa dijual lah. Apalagi sejak jaman masih demo, mereka sudah berseragam. Karakternya sudah mulai terbentuk. Sayang namanya jelek, begitu yang saya pikir. Ternyata, sekarang jadinya tak terlalu jelek juga terdengarnya.

Waktu mereka merilis album perdana “Mencoba Sukses” dengan produser Uki Peterpan, hasilnya buruk. Secara produksi, masih jauh dari bagus. Padahal, lagu-lagunya cukup catchy. Tema lagunya pun bervariasi. Liriknya memang masih belum terlalu bagus. Tapi, penampilan panggung mereka menghibur. Salah satu band yang sadar bahwa di panggung, mereka harus menyuguhkan pertunjukkan yang bisa memuaskan visual, tak hanya audio.

The Changcuters membuka launching album KOIL. Dalam sebuah obrolan, Otong mengatakan kalau beberapa orang memang memertanyakan keputusan mereka mengajak Changcuters. Tapi, kepada saya, Otong berkata kalau dia meminta Changcuters karena anaknya suka mereka. “Anak kecil mah, jujur kan?” kata Otong.

Tahun ini, The Changcuters merilis repackaged album, “Mencoba Sukses Kembali,” di bawah bendera Sony BMG. Ada lagu baru, macam “Racun” dan “I Love You, Bibe.” Gara-gara lagu yang kedua, Luna Maya menelepon Tria, dan mengucapkan terima kasih karena namanya disebut dalam lagu.

Di album itu, produksi mereka terdengar lebih baik dibanding yang sebelumnya. Dua lagu terbarunya, menunjukkan kalau Tria sebenarnya bisa jadi penulis lirik yang lebih baik setelah berjalannya waktu. Walaupun sebenarnya, lagu-lagu The Changcuters akan terdengar biasa saja di telinga mereka yang sudah mendengar banyak rock n’ roll albums, tetap saja, lagu-lagu mereka pada dasarnya catchy dan tipe lagu-lagu yang enak dibawakan di panggung.

Tahun ini, mereka membintangi layar lebar berjudul “The Tarix Jabrix,” film arahan murid sutradara Hanung Bramantyo, yang dirilis Star Vision. Film tentang sekelompok anak SMA, yang ditolak jadi anggota geng motor dan memutuskan memutuskan membuat geng motor juga.

Mereka juga menjadi bintang iklan Flexi. The Changcuters sepertinya bakal ada di mana-mana. Dan The Changcuters jadi band pertama yang menghiasi halaman Multiply ini. Rencananya, saya akan mulai mewawancarai beberapa orang atau band untuk halaman ini.

Minggu [23/3] malam lalu, The Changcuters bermain di Terusik Traxustik, di Score! Cilandak Town Square, Jakarta. Saya menyambangi mereka di apartemen Cilandak, tempat mereka beristirahat. Sebelumnya, saya bertemu Tria dan Erick di Senayan City. Erick mencari bretel. Punya dia rusak. Tapi, yang dicari tak ada. Maka, malam itu, hanya Erick yang tak memakai bretel.

The Changcuters adalah tipe pria-pria senang dandan. Beres mandi, semuanya memakai hair dryer. Sepertinya, mereka cukup metrosexual. Tria, ketika berjalan-jalan di Senayan City, membawa tas jinjing, yang sepertinya hanya akan dipakai pria metrosexual. Tipe tas jinjing dengan motif-motif dan warna gelap yang entah bagaimana saya mendeskripsikannya karena saya bukan pria metrosexual.

Tapi di panggung, mereka tak terlihat seperti pria metrosexual. Tria, adalah generasi paling baru dari para pemuja Mick Jagger—setelah Deddy Stanzah, Rico Corompies dan Eka Annash. Penggemar Mick Jagger manapun akan langsung tahu, dari mana asalnya lenggak-lenggok Tria di panggung.

Beruntungnya Tria, diberi tubuh langsing. Membuat liukan tubuhnya masih terlihat lincah dan menarik di panggung. Kalau kamu pernah melihat Rico Corompies sekarang, dia sudah tak bisa meliuk-liuk. Tubuhnya sudah tambun. Yang tersisa dari kemiripan dia dengan Mick, hanya bibirnya. Beruntung juga Changcut yang lain. Semuanya diberi tubuh langsing. Membuat pakaian ketat yang menempel di tubuh mereka, terlihat pantas. "We are the next best things!" kata mereka di account MySpace. Untuk soal itu, kita harus sama-sama tunggu.

45 menit sebelum berangkat menuju Score! saya mewawancarai mereka.

Karena ini buat Multiply, apa kesan pertama yang terlintas ketika mendengar kata Multiply?
Dipa [D]:
Wah seksi, smart. Karena itu bisa jadi satu informasi yang beda.
Alda [A]: Rame. Banyak tukar informasi lah.
Qibil Q]: Multiply menurut saya agak kurang penting yah. Penting nggak penting. Jadi kalau misalnya, kayak sesuatu kalau orang di jaman sekarang kan harus online. Dan nggak mesti setiap yang online harus punya Multiply.
Tria [T]: Sebuah media baru.
Erick [E]: Positifnya, informasi bisa didapet dengan bebas. Negatifnya, jadi nggak kebendung, bisa disalahgunakan.


Merasa jadi korban Multiply?
D:
Yah itu yang gue bilang bisa disalahgunakan itu ya. Pernah kan, ada kasus sama White Shoes yang albumnya bisa didownload secara gratis tanpa ijin.
T: Maksudnya, harusnya itu bisa jadi wadah untuk mengekspresikan, tapi itu disalahgunain banget kalau sampe merugikan orang lain. Padahal kan, itu wadah untuk eksistensi diri. Ya udah, tulis aja pendapat dia, jangan sampe merugikan orang lain. Apalagi kayak kasus White Shoes itu.


Kalau Changcuters gimana?
D:
Wah, gue buka internet aja setahun sekali [tertawa].


Oke, langsung aja nih. Waktu itu kan sempet ada kehebohan di pelukislangit.multiply.com, gara-gara review dia
Q:
Pada awalnya sih, waktu kami baca di Ripple, sempat bertanya-tanya, siapa ini Pelukis Langit? Akhirnya, kata si Manik, Pelukis Langit mah temen Multiply gue. Waktu awal sih, sempet down juga. Band baru pula.
T: Kayak misalnya gini lah, orang udah jelek, dibilang udah jelek gendut pula. Padahal dia tahu, nggak usah dibilang gitu juga.
Q: Tapi, setelah kami pikirkan secara dewasa, bijaksana, rasional dan mendengar input dari orang lain, akhirnya ya bad news itu good news. Akhirnya, sampai sekarang ini belum pernah ngebahas posting-an itu.
T: Akhirnya, sekarang kami menyadari, masalah itu bukan datang dari yang meledek, tapi lebih datang dari intern. Gue udah nggak terlalu peduli lagi, kalau ada yang bilang wah elu keren euy masuk Sony, ya terima kasih. Kalau ada yang bilang jelek juga, nggak dipikirin. Da yang lebih bikin pusing mah, persoalan intern.
A: Ya itu jadi kritik membangun lah. Itu baru komentar segelintir orang. Apalagi kalau lebih luas lagi.
Q: Pemanasan lah.


Selain itu, pernah ada yang bikin kalian down?
D:
Satu orang punya 100 persen di kepalanya, tapi digabung harus jadi 100 persen juga.
Q: Justru terpaan dari luar yang bikin kami lebih solid. Kalau yang bikin down, justru karena adat si ini begini, adat si ini begini.
T: Kalau gue pribadi, yang bikin gue nge-drop sih, adalah ketika gue lagi nggak fit, gue harus tampil secara nasional. Pertanggungjawabannya itu yang lebih besar. Padahal cuma satu lagu, tapi menentukan.
A: Sekarang sih, kalau ada kritikan ya kami tampung.
D: Suka tidak suka kan, sama halnya kayak kita nggak mau makan ini atau itu, selera lah. Itu kan upaya pembentukan opini publik aja.


Kalau yang bikin kalian semangat?
Q:
Banyak ya. Setelah kejadian Multiply itu, kami manggung nih di sebuah acara underground Bagus Netral. Bapak Arian menghampiri saya, kurang lebih bilang gini, “Persetan gosip lah! Maju terus!”
T: Dan itu, sangat memotivasi pisan.
Q: Secara itu Arian. Kami lebih tahu Arian, ketimbang Felix. Siapa Felix?
T: Kalau gue satu lagi kejadiannya. Waktu di konser Bjork, tiba-tiba ditowel orang. “Eh sori ya, gue cuman bisa lihat elu di TV.” Bens Leo nyalamin. Tahu Changcuters! Gimana teu lieur? Kenapa Bens Leo bisa tahu kami? Terus, Kang Micko Protonema, yang sudah terkenal di scene rock n’ roll dan blues, ternyata tahu kami. Itu yang membuat kami harus belajar banyak. Buat memertanggungjawabkan pada mereka yang mendukung kami.


Sama Felix pernah ketemu langsung?
A:
Waktu di acara Indie Fest. Nggak ketemu langsung sih.
T: Gue tahu dari MC, ada Felix. Gue pengen ngebecandain dia. Kalau di Hollywood kan suka ada yang ngeritik, your rules, gue bikin rules lagi. Ternyata dia seneng, dan nulis di Multiply. Gue pengen ketawa aja. Padahal itu kan, kayak misalnya Eminem bikin lagu tentang Britney Spears, eh Britney-nya ada.
Q: Mungkin kalau di Hollywood itu udah di-setting ya. Ada ketemuan dulu.
D: Kalau ketemu sama gue mah, bahaya lah! [tertawa].
T: Tapi da nggak ada dendam juga.
D: Bagus lah, kalau nggak ada omongan dia, nggak akan dilirik media lain. Itu kan promosi juga. Yang penting kata Tria tadi, ke depannya harus bagus.
T: Tapi bukan karena si Felix, kami jadi pengen lebih bagus ya. Kami ingin memertanggungjawabkan kepercayaan yang udah dikasih sama orang-orang yang udah ngedukung kami. Kayak tiba-tiba waktu itu Kang Micko, ngajak kami kumpul sama anak-anak blues di Bumi Sangkuriang. Anjir, gimana nggak pusing? Di sana kami mau ngapain? Jadi, wah nggak boleh selamanya kami nutupin, kami harus belajar. Tapi, waktu diajak itu, kami lagi nggak bisa.


Scene Bandung gimana penerimaannya?
D:
Ya sama aja. ada yang nerima, ada yang nganggap angin lalu.
T: Kami cuma nganggap Changcut Rangers aja. Kalau suatu saat kami udah nggak musim, selama Changcut Rangers masih berdiri, kami masih eksis.
E: Kalau band-band nya mah, aman-aman aja.


Kalian kan akrab sekali dengan Peterpan, pelajaran apa yang kalian dapat?
D:
Ya itu tadi, mental.
Q: Waktu kami ada kasus review yang di Ripple itu, si Uki bilang, “Udah lah Bil, waktu itu kami dijelek-jelekin sama Ahmad Dhani. Dijelek-jelekin sama banyak orang.”
E: Kalau gue mah, soal kasus di Multiply itu, ya gue anggap hiburan aja. Kayak ngelihat kucing kesandung lah. [tertawa]. Jarang kan lihat kucing kesandung? Makanya lucu kan? Hanya hayalan aja. Nggak nyata lah.


Waktu Peterpan mecat dua personelnya, apa yang ada di kepala kalian?
Q:
Pelajaran buat kami juga. Yang kami pernah down gara-gara kendala intern itu. Woy! Kita tuh masih baru! Lu mau kayak Peterpan?
T: Dulu mereka juga pernah ngasih nasihat. Mereka tuh kan sebenernya jenuh. Kurang komunikasinya juga. Mereka bilang, “Sok nanti kalau elu udah tur mah, pasti jenuh juga.” Terus gue bilang, ah nggak mungkin kami mah maennya bareng da. Makanya akhirnya, banyak petuah Peterpan itu, kami jadiin bahan buat kami, mengingat kami band masih baru. Itu kami jadikan buat hati-hati.


Memang, problem internalnya apa sih?
D:
Ya ego lah. Kalau ego udah muncul, itu yang paling berat.


Yang paling terlihat sering memaksakan egonya siapa?
D:
Gue. [tertawa]. Karena gue kan dari luar kota. Sering home sick euy Leh!
T: Kalau gue lihat, setiap orang di sini punya sisi negatifnya. Ketika sisi negatifnya keluar, itu egonya berjalan. Gue pundungan. Emo lah! Kibil tempramen. Alda don’t care.
A: Ya say amah dari dulu suka males lah. Pengen santai.
D: Kalau gue sangat perhatian. Walaupun omongan gue keras, itu karena cuaca di Medan panas. Jadi gue perhatian.
Q: Nah ketika dia perhatian, nggak ada yang peduli, keluar deh egonya.
E: Kalau gue pemalu. Ke band juga, jadi susah juga mau ngapa-ngapain.


Proses kreatifnya gimana?

Q: Nge-jam
T: Kadang genjrengannya dari Qibil misalnya, tetep aransemennya dikembangin rame-rame.

Pake nama siapa di kredit buat pencipta lagunya?
T:
The Changcuters.


Padahal kan, katanya itu jelek. Kalau suatu saat ada yang keluar, bagi-bagi royaltinya susah.
T:
Kami komitmennya kalau salah satu keluar, bubar! Jeleknya itu kan kalau ada yang keluar masuk dari band-nya. Kami mah, kalau ada yang satu keluar, bukan Changcuters lagi. Susah nemuin yang kayak gini lagi [menunjuk Erick dan Alda].


Emang, nemuin mereka di mana?
Q:
Si Erick waktu SMP ke SMA, nge-band sama gue. Si Alda nge-band waktu kuliah.
D:
Jadi, ini the band si Qibil. Gue ketemu Tria, gara-gara dia. Ketemu Erick dan Alda, gara-gara dia juga.
E: Waktu itu, si Qibil lagi nyari drummer handal, makanya dia nelepon gue.
Q: Sebenernya karena elu yang gue kenal [tertawa].
T: Mungkin kalau ketemunya sama Eno Netral, dia yang jadi drummer kami [tertawa].


Kenapa memakai kata “Mencoba Sukses” buat judul album?
Q:
Itu dari jaman masih demo. Tadinya mau “Menuju Sukses,” kenapa akhirnya jadi “Mencoba Sukses?” itu karena artinya ikhtiar ya.
T: Ada juga yang mengartikan coba-coba sukses. Sukses kok coba-coba bikin album sih? Sebenernya nggak ada salahnya juga, ya iya lah masa orang nggak mencoba. Nanti nggak tahu hasilnya. Tapi, hasil juga bukan yang kami tuju. Ini prosesnya, ini ikhtiar-nya. Pengen tahu gimana hasilnya. Tadinya juga, nggak mau bikin album, kami mau nyebar-nyebarin aja. Eh ada yang suka juga. Ya udah, lumayan juga kalau kami orderin [tertawa]. Eh si Uki ternyata mau jadi produser. Ya udah lah, serba kebetulan aja.
A: Mencobanya tuh usaha, bukan mencoba-coba.
Q: Kami punya barang, ini kualitasnya, coba deh.
T: Kayak bikin ramuan. Asalnya buat kami doing. Eh ternyata banyak yang suka. Ya udah bikin banyak aja.
D: Kalau dari silsilah katanya, ‘Mencoba’ tuh enak aja. Kalau misalnya, ‘Mencoba’ pasangannya ‘Sukses,’ enak kan? Kalau ‘Menuju Sukses,’ nggak enak.
T: Tadinya sempet kepikiran, “Berusaha Sukses,” cuma nggak enak. Kesannya kami ambisius banget.


Memang, nggak mau dicap sebagai band ambisius?
T:
Ambisi boleh, ambisius jangan. Karena kalau ambisius, lebih mentingin hasil.
E: Kami lebih ke optimis, ketimbang ambisius.


Kualitas album perdana kalian, jelek menurut gue mah
D:
Kami juga nggak puas. Yang puas yang sekarang. Dengan skill kami yang segitu, ternyata frekuensinya bagus juga.


Kalau sudah sadar jelek, kenapa dikeluarin juga?
Q:
Pada saat masternya jadi, sangat kepepet. Mental fisik segala macem, udah lelah. Wah ini udah enak kok.
T: Jadi intinya gini, waktu rekaman album perdana itu, kami udah semaksimal mungkin. Yang penting, kami udah dapet banyak ilmu. Gue jadi tahu, recording tuh nggak gampang. Itu yang berharganya mah. Hasilnya jelek atau nggak mah, itu niat ke sananya aja yang kami butuhkan.
A: Mungkin manusiawi ya, nggak pernah puas. Cuma, waktu itu kami ngerasa wah udah deh udah cukup. Udah bagus lah. Ternyata pas udah dapet pelajaran lebih, pas kami dengerin lagi, kok gini banget ya?


Berapa lama rekamannya waktu sama si Uki?
D:
Rekamannya sebentar, dua sampe tiga bulan. Cuma si operatornya waktu itu sibuk banget.
T: Kebayang, selain vokal, drum sama bass, itu nge-track sendiri di rumah si Uki, pake computer, belum di studio.
K: Stressfull lah.
Q: Ilmu buat nge-track aja belum seberapa.
D: Dan inti daripada intinya sih, duit. Buktinya nge-track gitar di rumah. Begitu sama Sony, mau berapa jam, sook.


Boleh tahu, budget waktu rekaman sama Uki?
Semua:
Waaah, jangan lah. Nggak enak sama si Uki.


Dan repackaged album ini, diberi judul “Mencoba Sukses Kembali.” Seakan-akan kalian sebelumnya mencoba sukses, tapi gagal, sekarang nyoba lagi.
T:
Bukan begitu. Maksudnya, ini usaha yang kedua.
Q: Second coming lah. Kalau film mah, Empire Strikes Back lah!
D: Yang pertama mah, Jawa Barat kan. Nah, sekarang nasional.


Tapi, kenapa foto kalian nggak di-retouch? Itu berminyak sekali
Semua:
[tertawa]
T: Iya bener. Tapi, itu jadinya bagian dari konsep.
Q: Wah, ini sampai berpeluh keringat begini, biar kelihatan, wah usahanya pasti keras nih.
T: Itu melambangkan sebuah usaha untuk sukses [tertawa]. Ah, tapi nggak apa-apa kok. Dengan keadaan buruk kayak gitu aja, banyak yang beli. Apalagi kalau keadaan kami ganteng abis.
Q: Itu sebenernya efek berminyak. Pernah lihat album The Racounters atau siapa ya…yang dipukulin. Itu kan kayak yang dipukulin. Kalau kami, kayak yang berminyak.


Gue tahu, kalian terinspirasi dari cover The Rolling Stones, tapi perasaan, Mick Jagger mah da nggak berminyak kayak begitu [tertawa]
T:
Yah udahlah [tertawa]. Nanti juga, pasti ada yang lebih lucu lagi pas di film. Awalnya masih putih, tapi lama-lama kulitnya jadi item. Kami mah emang nggak ditakdirkan untuk jadi artis yang putih beraura.


Dari awal, memang ingin berseragam?
T:
Oh iya. Lebih dulu ada konsep seragamnya, daripada mikirin konsep musiknya seperti apa [tertawa]. Awalnya sih, karena emang band udah pada meninggalkan konsep seragam.
D: Pengen gaya. Terus satu lagi, biar nggak ada kesenjangan sosial di panggung. Kalau beda-beda, si Qibil pasti yang lebih keren, karena dia yang lebih gaya. Nanti lebih banyak yang suka dia [tertawa].
T: Si Alda masih mending, mukanya masih banyak yang suka. Kalau gue? [tertawa].
D: Kalau begini kan, jelas. Kalau ada yang suka, pasti karena lihat muka dan attitude-nya. Dan lebih enak dipandang.


Jadi, si pria idaman wanita teh sebenarnya cuma dua di Changcuters? Alda dan Kibil?
A:
Sebenernya, tiap lelaki adalah idaman wanita.
T: Justru karakter-karakter kayak kami gini, jadinya ada pasarnya masing-masing. Kibil yang rada-rada bule.
D: Alda, ABG labil. Kalau Erick, dangdut [tertawa].
T: Kalau gue, biasanya ibunya [tertawa]. Soalnya, sering ada yang bilang, ‘Tria, ada salam dari ibu gue.’
D: Mereka udah bingung kan, kalau lihat dari pakaian, udah seragam.
Q: Jadi, kalau misalnya ada yang nanya, ‘Who’s your favorite Changcute?’ Udah ada jawabannya sendiri-sendiri, ‘Ini! Ini! Ini!’ [menunjuk ke arah teman-temannya]


Jadi, lagu “Pria Idaman Wanita” bukan karena pengalaman pribadi kalian yang ternyata digilai perempuan?
Q:
Memang pada saat kami bikin lagu itu, pas banyak yang suka. Milihnya susah.
D: Akhirnya, nggak ada yang dapet [tertawa].
T: Inti lagu itu mah sebenernya pengen ngasih tahu ke cowok. Kan waktu itu, lagu banyak yang soal ditinggal cewek, nangis. Udah mulai nggak cowok banget. Mau kenalan, ceweknya dulu yang kenalan. ‘Tolong ajari aku. Tolong dekati aku.’ Nggak cowok banget itu mah.


Jadi, lagu “Pria Idaman Wanita” itu sebenernya kental dengan nuansa maskulinitas?
Semua:
Naaaah! Bener! Cowok banget lah!


Kenapa video klipnya jelek banget?
Semua:
[tertawa].
T: Ini mah gara-gara gue! Itu sebenernya tugas kampus. Gue tuh dulu bikin band, sebenernya untuk latihan desain gue. Bikin video klip, logo, company profile, semua tuh tentang band gue. Kalau misalnya hasil visualnya butut, handycam yang dipakenya pun, kelas teri.
Q: Kalau konsepnya sih sebenernya bagus, bisa jadi film. Coba digarap sama Hollywood. Ya itu karena keterbatasan sumber daya.
T: Kalau diperhatikan seksama, itu ada bloopers-nya. Saya harus jadi sutradara, jadi pemaen pula, sampai tas pinggang saya lupa dilepas.
D: Video klip itu kami buat sebelum kami bikin album.


Kalau logo kuda?
D:
Lihat aja muka si Tria dari samping.
T: Sebenernya kan, tadinya pengen kayak Rolling Stones. Logonya inspirasinya dari bibir Mick Jagger. Nah Changcuters dari muka gue. Awalnya, kan konsep itu ada karena gue anggap Changcuters tuh cowok banget lah! Gagah. Jantan. Tadinya sih mau titit, tapi nggak enak kalau nanti ditanya-tanya [tertawa]. Soalnya Changcuters tuh kebanyakan cewek. Kalau digambar kan, ada pelernya. Akhirnya, karena nggak enak, ya udahlah kuda aja. Kenapa rambutnya berjambul? Biar lebih stylish lah. Kacamatanya nggak pake kacamata kuda, supaya dia melihat lebih luas, jadi pake kacamata BL.


Road Manager memberi tahu kalau waktu kami hampir habis.


Oke, lagu “Pria Idaman Wanita” mirip dengan “Not Fade Away”-nya Rolling Stones. Ada penjelasannya?
T:
Itu sebenernya nggak sengaja. Gue baru denger lagu “Not Fade Away” setelah lagu “Pria Idaman Wanita” jadi. Sebenernya kalau dipikir-pikir itu grip dasar sih. “Desire” kayak gitu, terus di KISS juga ada kayak gitu.


Tapi, kocokan gitarnya sama banget
T:
Sebenernya kalau mau jujur-jujuran, gue waktu itu sih terlintasnya, lagu Time Bomb Blues yang “Maung Bandung.” Ada part ‘Kajeun!’
D: Waktu itu, kami coba dengerin lagi, dan nggak mirip ah sama lagunya Time Bomb Blues.
T: Walaupun sebenernya kan, grip blues tuh cuma tiga. [Tria menirukan suara kocokan gitar]. Bulak balik. Kalau kami, ada empat. Beda sebetulnya, Cuma kocokannya aja sama. Wajar lah. Ahmad Dhani aja ada yang sama.
D: Nggak niru plek plek sebenernya. Elemen-elemennya aja ada yang dimasukin.


Tapi, kalau “I Love You, Bibe” memang terinspirasi dari “Honky Tonk Woman?”
D:
Tah, kalau itu awalnya gini, kami pengen bikin lagu yang memasyarakat. Apa ya? Cinta we cinta. Tapi, gue maunya yang universal. Kalau elo udah sayang sama sesuatu, meskipun dibilang jelek sama orang, kalau udah suka mah, ya suka. Udah titik! Terus, aransemennya gimana ya? A stone A! Ya udah, Honky Tonk we! [tertawa]. Makanya, genjrengannya juga. Terus, ada cowbell.
D: Tapi, pas didengerin bareng, jauuh ah.
T: Jauh, da Honky Tonk mah rhtym and blues pisan!
Q: Kalau misalnya nyekill, Stones banget lah, pasti jadinya mirip. Karena nggak semuanya Stones Lover, jadinya ya gitu banget.


Intinya mah, di lagu ini, dengan penuh kesadaran kalian memang patokannya lagu Honky Tonk Woman?
Semua:
Iya!
Q: Udah, di-Honky Tonk-in we lah!


Lagu “Racun,” kalian bilang wanita racun dunia. Kenapa?
T:
Itu sebenernya misunderstood. Padahal, artinya ketika lelaki ketemu wanita tuh pasti ngalah. Ini gue ambil filosofisnya, dari Cupi [kakak ipar Tria], sepreman-premannya cowok, sama cewek mah, nangis! [tertawa]. Intinya mah, ketika lelaki ketemu cewek, otak sama hati nggak bisa sinkron.


Oke, waktu kita hampir habis, sekarang saatnya trivia. Gue akan menyebutkan dua nama, kalian pilih serta alasannya. Tria, Mick Jagger atau Keith Richards?
T:
Keith Richards. Soalnya gue lebih suka karakternya Keith Richards. Tapi, karena nggak bisa maen gitar, jadi gue niru Mick Jagger!


Sekarang, buat dua gitaris, Brian Jones atau Johnny Ramone?
Q:
Kalau gue, Brian Jones. Attitude-nya lebih asik, lebih keren. Secara tampilan segala macem, keren pisan euy si Brian Jones teh!
A: Johnny Ramone. Karena dulu, saya cuma tahu punk.


Erick, Charlie Watts atau Ringgo Starr?
E:
Dave Grohl! Eh, salah. Ringgo Starr aja deh. Bapaknya indies dia! Dan gue ke arah sana juga, simple tapi digandrungi popularitasnya.


Dipa, Sid Vicious atau Dee Dee Ramone?
D:
Cliff Burton nggak boleh ya? Sid Vicious lah. Soalnya dia nggak bisa maen bass, tapi gayanya keren. Gue juga gitu, biasa-biasa aja maen bass-nya.


Semuanya, The S.I.G.I.T. atau The Brandals?
E:
The S.I.G.I.T. deh, karena musiknya keren. Berbobot.
Q: Waduh, susah nih. Pertanyaannya buah simalakama…The Brandals deh, dia termasuk pelopor garage di Indonesia lah.
D: The Brandals. Video klipnya keren.
A: The S.I.G.I.T. Keren musiknya, saya lebih suka sound mereka.
T: Speaker 1st nggak boleh ya? [tertawa]…The Brandals! Soalnya gara-gara ngelihat The Brandals, gue jadi pengen bikin band, yang attitude-nya berbeda sama mereka. Waktu itu kan mereka, masih suka ngomong, ‘Ngentot! Ngentot!” di panggung. Nah, gue pengen bikin rock n’ roll band, yang attitude-nya, ‘Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Apa kabar semuanya? Baik-baik saja?’


Thursday, March 20, 2008

Musiklo Sampe Mana?




Tak terasa, kompetisi band, LA Lights Indiefest sudah memasuki tahun ke-2.

Padahal, para finalis LA Lights Indiefest pertama saja, belum terdengar gaungnya. Setidaknya, buat saya, belum terasa perubahan yang signifikan dalam karir musik mereka. Biarpun propaganda yang mereka lancarkan mengatakan “Musiklo Sampe Mana?” harus diakui kalau musik para finalis LA Lights Indiefest sebenarnya belum terlalu jauh berjalan.

Biarpun iklan mereka menunjukkan kalau Vox sudah manggung di Singapura, dan mengatakan kalau Dojihatori sudah punya album sendiri, nyatanya karir mereka bisa dibilang belum terlalu jauh berbeda dengan ketika sebelum mereka jadi finalis. Ini memang masih asumsi saya. Akan lebih jelas kalau para finalis itu yang menjawab pertanyaan saya ini.

Bahkan siapa saja para finalis tahun lalu, saya lupa. Kalaupun nama-nama macam 70’s Orgasm Club dan Vox masih terngiang, rasanya bukan karena mereka jadi finalis, melainkan beberapa kali saya melihat mereka manggung. Yang lainnya? Ke mana mereka?

Dan kalau kita bicara kompetisi band yang kemudian dibuatkan album, hanya beberapa nama saja yang akhirnya bisa bertahan. Coba pikirkan, siapa yang kemudian menjadi besar dari kompetisi band yang digelar Log Zhelebour selama bertahun-tahun itu?

Memang, masih terlalu dini untuk menilai apakah kompetisi LA Lights Indiefest ini punya pengaruh signifikan terhadap karir bermusik sebuah band, yang jelas kompetisi di tahun ke-dua ini masih menarik minat banyak band. Ada 1870 band yang mendaftar! Mereka tersebar dari Surabaya, Yogyakarta, Jakarta dan Bandung. Angka ini, 400 lebih banyak dibandingkan kompetisi tahun sebelumnya.

Saya yakin, juri pasti dibuat pusing ketika menyeleksi lagu sebanyak itu. Dari 1870 harus dipilih 10! Rasanya tak mengherankan ketika akhirnya, nama-nama yang terpilih sudah familiar. Pertama, mereka memang sudah terbukti kualitasnya, sudah tinggi jam terbangnya, sudah cukup matang dibandingkan ribuan band lain yang mendaftar. Kedua, nama yang sudah familiar itu mungkin memudahkan juri untuk memutuskan apakah mereka masuk final atau tidak.

Buat saya, ada dua yang familiar; Monkey to Millionaire dan Lipgloss. Yang pertama, karena demonya sudah saya dengarkan jauh sebelum mereka jadi finalis. Yang kedua, meskipun saya belum pernah melihat mereka manggung atau mendengar musik mereka, tapi Lipgloss sudah sering ‘menyerang’ dunia maya. Membombardir milis, atau friendster dan sejenisnya. Saya nyaris terganggu sebenarnya. Pertama, mungkin karena belum kenal. Kedua, karena saya tak suka nama Lipgloss. :p

Cascade…saya tahu nama ini ketika manajer mereka menghampiri saya dalam sebuah acara yang digelar di Monic Setiabudi beberapa minggu lalu. Yang pertama terlintas ketika mendengar nama mereka, adalah Factory Outlet. Saya tak yakin, apakah benar ada FO yang bernama Cascade di Bandung, atau ini hanya perasaan saya.

Covernya tak menunjukkan perubahan yang signifikan. Masih tidak bagus, jika dibandingkan rilisan FFWD Records lainnya. Mudah-mudahan desain cover album ke-dua ini tidak bermasalah seperti halnya gambar gramophone tahun lalu, yang ternyata diambil dari deviant art tanpa ijin. Sekarang, mereka memakai gambar gitar dengan motif-motif di sekelilingnya. Saya sih sebenarnya berharap FFWD punya posisi tawar yang lebih dalam hal ini. Walau bagaimanapun, album ini adalah rilisan mereka juga. Yah, mudah-mudahan kalau LA Lights Indiefest 2009 FFWD masih merilis album kompilasinya, FFWD bisa membujuk LA Lights untuk membuat desain cover album yang lebih menarik dibandingkan dua album yang sudah ada.

***

Minggu [16/3] malam, Bandung diguyur hujan. Di pelataran parkir Sasana Budaya Ganesha, terlihat puluhan remaja, yang didominasi laki-laki berpakaian hitam-hitam. Sebagian dari mereka sepertinya sekumpulan anak-anak yang penuh cinta. Biarpun hujan turun, mereka tetap bertahan. Tidak mencari tempat berteduh. Karena ada seorang kawan yang mengatakan begini:

Semua kalah sama cuek.
Tapi cuek, kalah sama hujan.
Tapi hujan kalah sama cinta.

[contohnya; kalau udah urusan ke rumah pacar mah, hujan-hujanan di atas motor pun, jadi. :p]

Malam itu, ada acara peluncuran album kompilasi LA Lights Indiefest yang ke-dua. Berbeda dengan tahun lalu, kali ini acara digelar di satu tempat saja. Sebelumnya, peluncuran dan penampilan beberapa finalis diadakan di Cihampelas Walk, dan malam harinya bintang tamu dan beberapa finalis lagi, tampil di gedung AACC.

“Habis tiketnya a! habis!” kata seseorang dari kerumunan, ketika saya menuju gerbang masuk.

“Yaaaah, wartawan!” katanya lagi, begitu saya menunjukkan ID pada penjaga gerbang.

Begitu masuk area dalam Sabuga, pengunjung disambut oleh beberapa SPG di stand LA Lights. JAMREVOLUTION. Di sebelah kanan pintu masuk, dipamerkan enam foto vokalis asal Bandung, karya Cagi. Bicara istilah indie, foto-foto yang terpampang di sana, bisa dibilang sudah termasuk papan atas di level indie. :p

“My Friends Can’t Sing,” Cagi memberi judul.

Mungkin karena diberi judul My Friends itulah, semua vokalis dari Bandung. Atau, mungkin karena acaranya digelar di Bandung. Atau mungkin karena mereka saja yang kebetulan bisa meluangkan waktu. Atau mungkin saya sok tahu saja dengan semua analisa tadi.

Selain soal tempat pelaksanaan, yang berbeda dari acara peluncuran album kali ini adalah konsep kolaborasi. Itu sebabnya diberi judul JAMREVOLUTION. Beberapa finalis berkolaborasi dengan satu bintang tamu, yang dirasa warna musiknya senada. Goodnight Electric dengan Monkey To Millionaire. Mocca dengan Cigarettes Nation. Pure Saturday dengan Cascade. Alone At Last dengan Scared of Bums. KOIL dengan Air Hostess For Vacation.

Saya tak bisa mengatakan apa yang terjadi dengan finalis lainnya. Ketika saya datang, sesi kolaborasi baru saja dimulai. Perkawinan antara Monkey dengan Goodnight menghasilkan sesuatu yang menarik. Mocca dengan Cigarettes biasa saja buat saya. Pure dengan Cascade juga tak meninggalkan kesan mendalam. Alone ternyata kalah menarik dibandingkan Scared of Bums. Anak-anak Bali yang mengawinkan melodic punk dengan sedikit heavy metal menghasilkan enerji yang terasa lebih besar dibandingkan musik yang dihasilkan duta emo Kota Kembang.

Kalau KOIL, rasanya sebagian besar penonton malam itu, menunggu KOIL. Sayang, agak kurang maksimal sound yang keluar di lagu pertama. Mungkin itu menjelaskan kenapa kru mereka memakan waktu cukup lama untuk mengatur alat sebelum KOIL tampil. Tapi, tidak salah menempatkan KOIL di akhir acara. Mereka yang karakternya paling kuat dibandingkan bintang tamu lainnya. Seperti biasa, mereka memakai pakaian hitam-hitam yang rasanya bisa dibeli di God Inc. Siapapun bisa berdandan seperti Otong, itu pesannya mungkin. Tapi, hati-hati tak sembarang orang akan terlihat cocok.

The man make the clothes. Not the other way around, kata sebuah ungkapan, kalau saya tak salah kutip.

Bayangkan, seandainya ada orang dengan pakaian hitam-hitam, rumbai-rumbai tak jelas, sepatu new rock, stoking di tangan, rambut panjang tapi berwajah seperti Mandra, rasanya orang akan menertawakannya. Atau, jangan jauh-jauh lah. Waktu Ungu mencoba berdandan hitam-hitam saja, mereka terlihat menggelikan.

Dan yang lebih hebat lagi, adalah ketika seluruh bintang tamu, berkolaborasi membawakan lagu Kosong dari Pure Saturday. Ini rasanya baru terjadi sekali. Crowd bisa mendengarkan Otong KOIL menyanyikan lagu Pure. Ide untuk membawakan lagu itu juga datang dari Otong. Dan mereka berlatih dua hari demi penampilan itu.

LA Lights merekam acara malam itu untuk kepentingan penayangan di teve. Lengkap dengan tepuk tangan rekaman—yang terdengar bergemuruh dan rapi—demi mendukung meriahnya suasana.

Yang direpotkan malam itu, rasanya fotografer. Soal berpindah tempat demi memotret sih tak masalah. Tapi, beberapa kali harus diusir petugas keamanan karena dianggap terlalu dekat dengan obyek, padahal tak masuk dalam gambar kamera—sungguh bisa menyebalkan juga. Apalagi kameramen dengan badannya yang besar-besar dan kameranya yang juga besar itu dengan enak bisa mondar-mandir di depan fotografer.

Ah, banyak ngeluh. Sudah tak usah jadi fotografer saja! Anjis. Kenapa saya jadi ngomong sendiri begini ya? Sudah ah.

Monday, March 10, 2008

Daripada Musik Metal Lebih Baik Musik Jazz




Sejak Java Jazz pertama kali digelar pada 2005, semua selalu sama buat saya.

TENTANG PENGURUSAN ID LIPUTAN

Selalu saja ada hambatan yang cukup mengganggu. Mungkin saya memang harus selalu tak beruntung setiap Java Jazz. Waktu Java Jazz 2004, saya masih kerja di Trax Magazine. Kami salah satu media partner. Harusnya, ID otomatis didapat kan? Dan saya pun sudah mendaftar jauh-jauh hari. Mengirim foto fsn biodata.

Tapi, ketika hari konferensi pers digelar dan ID dibagikan, ID kami tak ada. Belum tercetak. Padahal, di daftar mereka, ada nama saya dan fotografer. Berjam-jam saya harus menunggu panitia mencari ID buat saya. Menunggu. Menunggu. Dan menunggu. Hingga ID liputan beres dibagikan. Bertanya pada panitia yang katanya bertanggungjawab, tapi dioper lagi. Bertanya lagi, dioper lagi.

Hari itu, saya pulang dengan tangan kosong dan penuh amarah. Setelah beberapa kali marah-marah lewat telepon, akhirnya panitia bisa juga memberi ID liputan saya sehari atau dua hari setelahnya, saya lupa.

Java Jazz kedua, saya tak datang. Jadwalnya berbarengan dengan ospek di kampus.

Java Jazz ketiga, saya mendaftar lewat situs resmi mereka. Pendaftaran masih dibuka, ketika saya mendaftar. Dan setelah selesai mendaftar, situs itu memberi keterangan kalau saya telah berhasil mendaftar dan mengucapkan terima kasih telah mendaftar.

Di hari konferensi pers digelar, nama saya tak ada dalam daftar mereka. Lagi-lagi, orang-orang di sana, yang seharusnya bisa memberi keterangan soal ID, mengoper saya ke sana ke mari. Tanya si ini, disuruh ke si itu. Tanya si itu, suruh balik lagi ke si anu. Setelah tahu panitia mana yang benar-benar bertugas, ternyata orang itu begitu sibuk sehingga pertanyaan-pertanyaan saya dijawab dengan ketus. Padahal, kalau mereka sudah menetapkan satu orang yang bertanggungjawab untuk pengurusan ID, seharusnya orang itu diberi pekerjaan satu itu saja di hari konferensi pers.

Lagi-lagi, saya harus marah-marah. Solusinya, panitia memberi saya ID harian. Saya diminta datang ke venue, cari dia di meja media, menunjukkan ID pers, lalu diberi ID liputan.

Hari pertama Java Jazz 2007, saya datang sore hari. Mencari meja media, tak terlihat di pintu luar. Meja resepsionis penerima media, adanya di balik pintu masuk. Untuk masuk ke sana, perlu ID resmi mereka. Sedangkan untuk mendapatkan ID liputan, saya harus masuk dulu ke sana. Serba salah. Penjaga di depan tak tahu menahu soal proses itu.

Beberapa jurnalis di luar pun dijanjikan hal yang sama. Si panitia dihubungi lewat telepon tapi tak juga menjawab. Akhirnya, dia bisa datang setelah salah satu jurnalis yang kami kenal mendatangi dia di Media Room yang ternyata letaknya ada di dalam gedung. Wakwaw.

Java Jazz 2007, panitia tak hanya memberi ID, tapi juga memberi gelang kertas sebagai usaha pencegahan ID disalahgunakan. Siapapun yang kedapatan gelangnya robek atau digunting, nama dia akan dicoret. Ini pertamakalinya, saya merasakan kalau panitia Java Jazz seperti yang terlalu mencurigai mereka yang diberi ID.

Java Jazz 2008, saya yang salah. Lupa mendaftar. Pendaftaran ditutup tanggal 8 Februari, saya baru mendaftar tanggal 20 Februari. Akhir dari pembahasan.

Kali ini, mereka memakai sistem barcode. Wajah mereka yang memakai ID, akan terpampang dengan besar di layar komputer. Panitia lantas mencocokkan wajah di komputer dengan wajah si pemegang ID.

Mereka yang kebagian ID harian, sistemnya masih sama dengan tahun lalu. Akhirnya, cara yang sama harus ditempuh. Si jurnalis harus menitipkan ID pers dan KTP nya pada temannya, si teman mendatangi Media Room yang ada di dalam gedung, dan mengambilkan ID itu untuk temannya.

Sedangkan saya, kali ini saya mendapat tiket harian saja untuk hari Jumat, atas kebaikan Rileks.com. Hehe. Dan memang memakai tiket ternyata lebih nyaman ketimbang memakai ID. Para penjaga tak memberikan perhatian berlebihan untuk yang membeli tiket. Toh, kesempatan memotret pun sama antara pemegang ID dan pembeli tiket. Kecuali special show tentunya.

Dan inilah salah satu kelebihan Java Jazz Festival ketimbang pagelaran musik lainnya. Kamu tak perlu punya ID untuk bisa memotret dengan puas para penampil di sana. Satu-satunya yang membedakan adalah soal spesifikasi kamera dan lensa yang kamu gunakan. Selebihnya, kesempatannya sama. Banyak sekali penonton yang membawa kamera. Dan tak sedikit yang membawa lensa mahal. Haha. Kalau jurnalis, lensa mahal punya kantor. Mereka, lensa mahal punya sendiri. :p

Seorang kawan mengatakan, ada 7000 ID dicetak untuk Java Jazz kali ini.

Maka, rasanya bukan sesuatu yang berlebihan ketika saya merasa di sana seperti lebih banyak yang memakai ID ketimbang yang beli tiket. Yang beli tiket pun, mungkin tak sedikit juga yang gratisan atau membeli tiket di akhir tahun lalu, yang harganya jauh lebih murah. Tiket harian untuk tiga hari saja, dijual Rp 500 ribu.

Ini agaknya mendukung keterangan seorang kawan lain yang mengatakan kalau Java Jazz Festival sebenarnya bukan proyek menguntungkan. Coba saja hitung. Biaya menyewa JHCC salama tiga hari. Biaya menyewa kamar di Hotel Sultan selama minimal tiga hari, entah untuk berapa ratus kamar. Biaya menyewa tata cahaya dan panggung. Biaya untuk membayar kru produksi. Saya tak tahu berapa banyak tiga sponsor besar seperti BNI, Medco Energy dan Telkomsel memberi kontribusi finansialnya, tapi rasanya bukan tak mungkin juga biaya produksi belum tertutup oleh ke-tiga sponsor itu.


TENTANG PERTUNJUKKAN

Saya bukan penggemar berat jazz. Walaupun saya masih bisa menikmati musiknya. Tapi, ketika datang ke sebuah festival jazz, saya pasti dibuat bingung. Tak kenal para penampilnya. Di brosur jadwal pun, panitia tak memberi review singkat soal para penampil itu. Harusnya, ketika penonton masuk, brosur berisi jadwal dan biodata atau review singkat soal para penampil itu. Dengan begitu, mereka yang tak tahu banyak soal jazz bisa mendapat gambaran singkat. Ini akan membantu dalam memutuskan ruang mana dan penampil mana yang harus ditonton.

Bayangkan. Begitu banyak panggung, begitu banyak musisi, tampil di saat yang hampir bersamaan. Jarak dari satu ruang ke ruang lainnya menjadi terasa jauh karena begitu banyak orang di sana. Belum lagi, usaha untuk masuk ke salah satu ruangan perlu tenaga ekstra kalau ternyata penontonnya begitu membludak.

Akhirnya, selalu begitu. Saya masuk ke salah satu ruangan. Menonton 15 sampai 20 menit, lalu pergi. Mencari lagi pertunjukkan yang lain. Lihat sebentar, pergi lagi. Dan begitu seterusnya. Bagusnya, sekarang saya membawa kamera. Jadi, ada tujuan yang lebih jelas biarpun saya tak menikmati pertunjukkannya. Yah minimal untuk mengambil gambar lah.

Yang paling popular buat saya, mungkin hanya Incognito. Itu pun karena dulu, jaman kuliah, teman saya, Syauqy, selalu menyanyikan lagunya dan memuji-muji band itu. Dan sejak 2005, pemandangan si hitam gitaris Incognito, berjalan-jalan di JHCC atau Hotel Sultan selalu tampak.

Ternyata, mbahnya band Top 40 dan band café itu, jadi salah satu duta Java Jazz. Mereka yang akan mengajak lagi musisi-musisi Jazz untuk mau tampil di Indonesia. Atau, dengan kata lain, Incognito adalah home band Java Jazz. Mungkin, lama-lama, si hitam gitaris Incognito akan tinggal di Indonesia, masuk infotainment, mengawini artis lokal, nongkrong di Tanah Abang bersama komunitas kulit hitam dan nge-kos di Haji Nawi.

“Tadinya, Santana mau datang ke Indonesia. Tapi, karena di sini masih banyak pohon ditebang di hutan-hutan, dia menolak untuk datang,” kata Peter Gontha, pendiri Java Jazz Festival waktu konferensi pers digelar, Rabu [5/3] lalu.

Makanya, kali ini Java Jazz diselipkan dengan pesan-pesan lingkungan hidup—seperti halnya trend yang berkembang sekarang. Go Green! Begitu kata pesannya. Di pintu masuk, ada tenda kampanye Go Green itu. Beberapa kali saya lihat sih, di hari pertama, Jumat [7/3] lalu, tenda itu sepi pengunjung. Yah, mungkin mereka datang ke JHCC untuk melihat pertunjukkan musik, bukan mau mencari tahu bagaimana caranya mendaur ulang sebuah produk.

Peter berharap, dengan adanya pesan Go Green ini, tahun depan Santana mau datang setelah melihat ada juga orang Indonesia yang peduli terhadap lingkungan.

Dan soal pertunjukkan, Java Jazz 2004 yang paling meninggalkan kesan buat saya. the God Father of Soul datang! Yeah! James Brown! James Brown! Pertunjukkan yang megah dengan belasan musisi di satu panggung dan dikemas dengan baik. Sebelum James Brown masuk, MC menyemangati penonton membuat panas suasana. Sedikit mirip dengan konsep Orkes Melayu sih kalau versi lokalnya. Tapi, rasanya kemegahan pertunjukkan James Brown baru bisa disaingi oleh pertunjukkan Beyonce beberapa bulan lalu di Mangga Dua.

Tahun lalu, masih ada Jaque Mates yang secara musik lebih dekat ke hati saya. Trio blues bersaudara, yang katanya Java Jazz tahun lalu pertunjukkan terakhir mereka. Tapi, tahun ini saya melihat Tika membawakan lagu “Birokrasi Kompleks”-nya Slank dengan baik. Ah, coba saja dia tidak malu waktu dua tahun lalu diminta tampil oleh Bimbim di konser ulang tahun Slank. “Birokrasi Kompleks” versi Tika benar-benar memberikan nuansa baru, tanpa menghilangkan daya tarik yang sudah ada dari lagu aslinya. Kalau ada tribute album buat Slank, saya merekomendasikan Tika untuk ikut berpartisipasi.

Di jadwal, saya melihat tertulis Sol Project featuring Kaka dan Abdee Slank di lobby stage 3. Ditunggu beberapa menit, tak kunjung datang juga. Padahal, saya dan Jaymz sudah saling berdiskusi soal yang mana stage 3. Ternyata, Sol Project sudah bermain di depan mata kami. Belakangan saya tahu kalau Kaka dan Abdee tak jadi tampil bersama mereka.

Oya, Renee Olstead juga cukup memukau. Panggung dia yang paling menarik secara artistik. Artwork Java Jazz Festival di panggungnya, berbeda dengan artwork Java Jazz di panggung lainnya. Dengan Ron King Big Band, Renee Olstead memang sangat menghibur. Saya kira, Olstead sudah cukup berumur, yah seumuran ibu-ibu atau minimal mbak-mbak lah. Ternyata dia baru mau 19 tahun. Mungkin membawakan musik tua membuat Olstead terlihat lebih tua dari umurnya.

Tapi, dari tahun ke tahun, yang paling menarik buat saya soal Java Jazz, mungkin hanya keramaiannya saja. Ramai tapi tidak panas. Sebagai sebuah festival memang nyaman. Ruangan dingin. Bersih. Tata cahaya dan tata suara yang bagus. Keamanan terjamin. Bebas memotret. Kalau saja ada Java Rock Festival, di tempat yang sama, sepertinya saya akan lebih menikmati.

Hampir tengah malam saya pulang. Betis panas. Pinggang sakit. Selalu begitu setiap Java Jazz.

Sunday, March 09, 2008

We Don't Need Fairy Tales!




Sinjitos Records sedang giat-giatnya memromosikan album Curiouser and Curiouser dari Santamonica.

Rabu [5/3] siang lalu di Blitz Megaplex, mereka mengundang jurnalis dalam rangka pemutaran video klip single kedua mereka, “Ribbons and Tie.”

Bicara soal musik Santamonica, saya sempat dibuat mengernyitkan kening ketika sekira setahun lalu melihat mereka di panggung, membawakan musik yang berbeda dari EP mereka. Entah karena kuping saya masih menyukai musik mereka yang sebelumnya, entah karena saya belum siap mendengar perubahan itu, entah karena waktu itu Santamonica memang sedang tak bermain dengan bagus, entah karena aransemen musik yang mereka mainkan di dua pensi itu belum sematang seperti di album terbaru mereka.

Musik mereka sekarang, terdengar sophisticated, tapi masih catchy dan tak membuat kening berkerut. Yah sedikit banyak mirip nuansa penampilan Iyub dan Dita lah. Fashionable, pintar memadupadankan warna dan model, tapi tidak terlihat aneh dan tidak terlihat intimidatif buat orang yang non fashionable macam saya. Tanpa pretensi.

Dan sebagai sebuah single, “Ribbons and Tie,” ini sepertinya punya potensi untuk jadi single yang bisa menarik kuping baru. Sekarang, persoalannya tinggal bagaimana kemampuan promosi Sinjitos Records dan tentu saja kemauan media massa elektronik untuk mau memberi porsi buat musik Santamonica.

Dan siang itu, video klip yang tak kalah menarik dari lagunya, diputar perdana di depan publik. Ini kali pertama buat saya menyaksikan pemutaran video klip di bioskop mewah macam Blitz Megaplex. Seperti pemutaran perdana film layar lebar saja. Ada penjelasan dari sutradara, perkenalan kru, tanya jawab, dan tentu saja makan gratis. Hehe.

Si sutradara, mengambil konsep video klip itu dari lirik “We don’t need fairytales, we do it our way.” Intinya, sebuah kisah tak harus seindah dongeng dan punya akhiran yang klise bahagia hidup selamanya.

Saya jadi teringat tiga film bertema cinta yang beberapa hari lalu saya tonton; “Ayat-ayat Cinta,” “Love,” dan “From Bandung With Love.”

“Love” yang paling bagus menurut saya, di antara ketiganya. Dan saya sarankan untuk tidak tergiur dengan “From Bandung With Love.” “Ayat-ayat Cinta,” sinematografinya bagus, Carissa Putri-nya memang sungguh pemandangan yang indah, tapi ceritanya saya heran. Cerita begitu kok bisa digilai banyak perempuan ya? Itu kan seperti menggabungkan kisah Nabi Yusuf dan Sleeping Beauty, serta oya jangan lupa, Catatan Si Boy. Hanya bedanya, di “Ayat-ayat Cinta,” diselipi dakwah. Ada kesamaannya dengan film-film Rhoma Irama jaman dulu lah. Hehe.

Ah, maaf jadi melantur.

Begitu mendengar penjelasan soal inspirasi konsep klip, saya jadi bertanya-tanya, apakah lirik itu berasal dari pengalaman Iyub dan Dita. Mungkinkah ada orang yang pernah memandang sebelah mata pada kisah cinta mereka? Hehe. Maklum, asumsi-asumsi itu pengaruh tiga film cinta yang saya tonton beberapa hari sebelumnya. Ketika saya tanya Dita soal apakah lirik ‘We don’t need fairy tales, we do it our way,” merupakan salah satu bentuk kritik terhadap kisah cinta yang cantik seperti kisah cinta di dalam komik, dia menjawab…

Hmmm, saya lupa tepatnya dia menjawab apa. Hahaha. Kurang lebih sih, dia menjawab ya memang ada unsur kritik itu lah, sedikit. Maaf saya lupa. Mungkin kalau Dita membaca ini, bisa menjawab pertanyaannya. :p

Anyway, ini sedikit foto dari acara Rabu siang itu. Waktu Iyub mengundang saya ke sana, dan saya bertanya untuk majalah apa Yub?

“Majalah Multiply aja Leh,” dia tertawa.

Jadi, ini dia Yub, liputannya.

Wednesday, March 05, 2008

LALIEUR LALEULEUS PAREGEL




Ini cerita singkat tentang band yang lahir dari kampus, dan tak pernah berkembang.

Terbentuk tahun 2002 dalam rangka mengisi acara Malam Keakraban Fikom Unpad. Setelah beberapa kali main di kampus, Jatinangor, panggung semacam malam hiburan di Buah Batu, band ini bermain untuk terakhir kalinya pada tahun 2004, di resepsi pernikahan seorang kawan di Gedung Nestle.

Nopember 2007, seorang mahasiswi Fikom Unpad angkatan '07 menghubungi saya. Meminta kami bermain lagi di Makrab Fikom, pada Desember 2007.

Kami menolak. Terlalu mepet waktunya. Tak cukup untuk latihan. Gitaris kami saja, terakhir memegang gitar empat tahun lalu.

Ternyata, acaranya diundur. Januari 2008, si mahasiswi menghubungi saya lagi. Mengatakan kalau jadinya, acara digelar 29 Februari.

Dia terus bertanya. Akhirnya kami luluh.

Led Zeppelin reuni. The Police reuni. Dan kami pun reuni. Hahaha. Sok keren gini ya penjelasannya. Padahal mah, timing-nya tepat. Kami sedang rindu merasakan panggung.

"It's been a long time since I rock n' roll," kata Led Zeppelin.

***

Di studio, ketika latihan untuk pertama kalinya, sejak tiga tahun, para players kami lupa kord. Haha. Saya yakin ini tak terjadi pada Led Zeppelin atau The Police.

Tapi persoalan tak berhenti di situ.

Menjelang latihan ke-2, Ricky Yudhistira, gitaris kami, sakit tipes dan DBD. Yusep Permana aka Pecuy bersedia menggantikan. Dia datang di hari latihan. Tapi, bassist Riki Rusmayadi, gitaris Didiet Rahardja dan vokalis Robby Trishna Sutedja tak bisa datang. Akhirnya, hanya saya, Pecuy, vokalis Bayu Kurnia Prasetya dan drummer Roby Nugraha.

Padahal, tinggal ada waktu satu kali latihan lagi, pas di hari H. Beberapa jam sebelum manggung.Tanpa ada kepastian apakah Didiet bisa datang atau tidak. Karena dia juga sakit.

Ah, susahnya punya dua gitaris yang sudah tua dan sakit-sakitan. :p Atau, ini karena karma punya nama LALIEUR LALEULEUS PAREGEL [alias, pusing-pusing, lemes-lemes, pegel-pegel]?

Hari H, Pecuy mengatakan tak bisa ikut bermain. Dia harus meng-edit film dokumenter di Jakarta. Didiet juga tak bisa bermain. Masih sakit. Ini berarti, hari H, kami terancam tak punya gitaris.

Di tengah kebingungan, Ricky mengabarkan akan datang ke Bandung. Dia baru pulih dari tipes dan DBD. Tadinya, ingin menonton saja. Ah syukurlah. Akhirnya, kami terpaksa harus bermain dengan satu gitar.

Damn. Padahal, ini seharusnya reuni. Sebuah come back yang special. Hahaha.

***

Acara musik di Fikom Unpad selalu sama dari tahun ke tahun. Selalu ada Pom Pom Boys, modern dancer dan band-band kampus. Jaman saya kuliah sih, band-bandnya biasanya didominasi band-band Top 40 atau R n B. Yang biasa membawakan lagu, “Have Fun Go Mad!” Yang biasanya pas lagu itu, gadis-gadis menyambut histeris dan berjoget menggila.

Dan saya, lebih senang menyaksikannya. Hehe.

Kami bermain sekira jam sebelas malam. Sebelumnya, ada band-band dengan kostum aneh-aneh dan para personelnya berusaha melucu. Sepertinya memang harus begitu untuk bisa bertahan di kampus Fikom Unpad. Harus ada unsur menghibur atau lucu atau main-main.

Buktinya, dari sekian banyak band kampus, kami salah satu yang bisa diingat. Padahal, yang suka melucu di panggung cuma saya. Padahal, saya melucu karena tak tahu lagi harus berbuat apa. Tugas utama saya, membuat penonton panas. Menjadi penyambung lidah antara pemain dan penonton. Padahal, saya melucu karena tak bisa bermain instrumen dan tak bisa bernyanyi dengan baik. Padahal, kami penginnya dianggap sebagai rock band yang berbahaya! Hahaha.

Malam itu, kami membawakan lima lagu; Gadis Extravaganza, Kehidupan, Preman, The KKK Took My Baby Away dan Bento. Dua lagu terakhir ternyata liriknya dihapal dengan baik oleh penonton.

Silakan lihat foto-foto ini. Untuk sekali ini, saya posting foto saya dan kawan-kawan lagi manggung. Hehe. Semua hasil jepretan Tetta. Yah sudahlah. Lagi-lagi saya sedang malas untuk menulis. Mungkin karena terlalu jauh jarak dari kejadian dan waktu posting. Mungkin karena saya sekarang sedang Lalieur Laleuleus Paregel.