Saturday, July 30, 2005

Bodoh Untuk Menangis?

Perpisahan itu tidak harus diiringi air mata.

Itu selalu saya pegang. Dan saya tidak ingin terlihat cengeng. Dengan berkaca-kaca, merasa sedih karena meninggalkan atau kehilangan sesuatu. Laki-laki tidak menangis! Laki-laki harus tegar!

Sampai tadi pagi. Saya merasa sedih. Berkaca-kaca.

Jum'at ini, hari terakhir saya siaran di I Radio. Sudah tiga bulan. Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Kamu mungkin pernah baca tulisan saya tentang ini. Tentang harus memilih. Dan saya memilih meninggalkan radio. Kembali jadi jurnalis. Mimpi lain yang sedang saya kejar.

Tadi pagi, saya pamit di udara. Kepada jutaan pendengar. Sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Mungkin juga belum pernah dilakukan kebanyakan orang. Dan ternyata itu berat. Saya kira akan jadi pamit biasa. Seperti pamit yang biasa saya lakukan setiap jam sepuluh pagi. Ketika siaran berakhir.

Tapi tidak. Semua itu akan jadi pamit yang biasa. Kalau saja SMS itu tidak berdatangan. Kalau saja para produser itu tidak meminta pendengar mengirimkan pesan-pesannya. Kalau saja partner siaran saya, Antrie Suryanto tidak membacanya sambil berkaca-kaca. Dan menitikkan air mata.

Dan yang mereka tulislah, yang akhirnya membuat saya berkaca-kaca. Komentarnya bermacam-macam. Dari yang tidak setuju, sampai yang mendoakan saya. Saya tidak membacanya semua. Karena hanya akan membuat saya lebih terharu dan sedih lagi.


Saya pernah mendapat pelajaran ketika kuliah dulu. Bahwa efek radio itu sangat personal. Dahsyat. Tapi, saya belum tau rasanya. Sampai tadi pagi. Dan semua yang dikatakan soal teori radio dan hubungannya dengan pendengar itu benar adanya.

Belum pernah saya rasakan kehangatan seperti itu. Perhatian dari orang-orang yang tidak saya kenal. Bukan apa-apa. Selama ini, saya belum menganggap bagus kualitas siaran saya. Dan saya pikir, kalaupun saya pamit, para pendengar itu tidak akan kehilangan saya.

Oke, kadang saya berkaca-kaca ketika melihat adegan mengharukan di film. Oke, saya berkaca-kaca, ketika kakek dan teman saya meninggal. Tapi ini berbeda. Saya belum pernah merasakan yang seperti ini.

Padahal saya tau. Mereka pun akan bisa melewati itu semua. Akan ada lagi sosok baru menggantikan suasana pagi mereka. Namanya juga dunia media. Tapi, untuk beberapa saat, tadi pagi, saya sedih, saya kehilangan.

Kehilangan gelombang udara. Tapi mendapat kenangan. Satu lagi momen paling berkesan dalam hidup. Ah sudahlah. Harus diakhiri sekarang. Sebelum tulisan ini jadi semakin sentimentil.

Tuesday, July 26, 2005

Sepanjang Jalan Kenangan

The long and winding road.
That leads to your door.
Will never disappear.
I've seen that road before.
It always leads me here.
Lead me to your door.*

Dan sekali lagi, saya melewati jalan itu.
Padahal, pernah berjanji pada diri sendiri.
Tidak akan lagi melewati jalan itu. Hmmm.

*McCartney, 1969.

Thursday, July 21, 2005

Pemandangan dari Puncak Gunung

Kamu pernah mimpi ada di puncak gunung?
Sementara itu, jauh di dasar gunung.
Orang-orang sedang berkumpul.
Anehnya, saya masih bisa melihat mereka.
Walaupun akhirnya jadi terlihat sangat kecil.

Tapi.

Saya juga jadi terlihat sangat kecil dibandingkan gunung itu.
Saya ada di dua posisi.
Saya merasa kuat. Sekaligus lemah di saat yang sama.
Mungkin kamu juga pernah merasakan itu di kehidupan nyata.
Seperti halnya saya.

Tuesday, July 19, 2005

Untuk Para Pemeran Utama

Dunia ini panggung sandiwara.
Saya selalu percaya itu.
Kita ini sebenarnya sedang memainkan satu skenario besar.
Yang bahkan kita sendiri tidak tau isinya.

Dan kita adalah pemeran utamanya.
Saya juga selalu percaya itu.
Tapi, yang kadang membuat saya bertanya.
Apakah sandiwara yang sedang saya mainkan ini menarik ditonton?

Jadi teringat salah satu lirik dalam puisinya Jim Morrison.
"Did you have a good world when you died? Enough to base a movie on?"

Wednesday, July 06, 2005

Seberapa Siapkah Kita?

"Aku mau nemuin temen-temen yang udah lama nggak aku temuin Leh," kata seorang teman.

Dia mengatakan itu kepada saya tidak kurang sebulan yang lalu. Suatu malam, sesaat sebelum dia mengunjungi rumah temannya. Dan kemarin pagi, dia meninggal. Destiadi Nurgianto.

Kepergiannya seakan mengingatkan saya kembali. Kalau yang namanya usia itu ada di tangan Tuhan. Kematian bukan milik orang tua renta saja. Bukan milik mereka yang sudah terbaring di rumah sakit berbulan-bulan.

Kematian bisa datang begitu saja. Tanpa basa-basi. Langsung mengetuk pintu. Mengajak kita pergi. Dan sekali lagi, saya diingatkan. Entah kenapa, belakangan ini, berita kematian datang bertubi-tubi. Masih ingat dong, tulisan terakhir saya sebelum ini.

Bertubi-tubi. Karena tidak hanya Destiadi Nurgianto. Tapi juga ayah teman saya. Dan kakek teman saya.

Mungkin Tuhan sedang mengingatkan saya kembali. Agar memperbaiki diri. Karena kalau sudah ditinggal pergi. Yang bisa kita lakukan hanyalah bersyukur. Menikmati hidup. Mencoba hidup dengan baik di jalan-Nya. Dan bertanya pada diri kita sendiri,

"Apakah kamu sudah siap kalau suatu hari giliran kematian yang datang menjemputmu?"