THE SOLEH SOLIHUN INTERVIEW: TEENAGE DEATH STAR
Noise Ambassador dari Kota Kembang bicara soal perkembangan skill bermusik mereka, dan apa yang dibutuhkan supaya mereka bisa mau menerima tawaran manggung.
Pertemuan ini terjadi pada 27 Mei 2008. Saat itu, album perdana Teenage Death Star, Longway to Nowhere belum dirilis. Saya baru beberapa hari bergabung di majalah yang sekarang. Teenage Death Star adalah band pertama yang saya wawancarai. Deputy Managing Editor Adib Hidayat langsung kepincut begitu mendengar album perdana mereka. Dan meminta saya memanggil gitaris Helvi Sjarifudin, vokalis Dandi Achmad Ramdhani alias Sir Dandy alias Achong, gitaris Alvin Yunata, bassis Satria Nurbambang alias Iyo, dan drummer Firman Zaenudin untuk datang ke kantor, diwawancara dan difoto.
Banyak yang terjadi setelah wawancara ini. Sampai tulisan ini dibuat, mereka sudah manggung sebanyak tiga kali paska rilis album perdana. Satu kali mereka membawa Iyub Santamonica, tokoh intelektual di balik sound Teenage Death Star di album perdananya. Satu kali mereka bermain nyaris rapi saking rapinya sampai membuat penonton kaget [salah satu alasannya sih, kata Alvin karena dia memakai Gibson padahal biasanya memakai Fender, jadi tak bisa bermain dengan lepas]. Album perdana mereka juga mencatat rekor penjualan yang bagus, saya lupa tepatnya seperti apa, yang jelas jumlah album Teenage yang diminta dalam minggu-minggu pertama rilis konon melebihi angka permintaan ketika album The S.I.G.I.T. rilis. Belakangan, Achong—yang di wawancara ini baru saja dalam proses awal belajar gitar—sudah mulai membuat lagu-lagu folk berbahasa Indonesia. Lagu pertama yang dirilisnya di video berjudul “Ode to Antruefunk”. Silakan cari videonya di You Tube atau di Facebook. Suatu kali, Achong mengatakan bahwa Ridho Hafiedz tertarik untuk memproduseri album kedua Teenage. Achong hanya tertawa setelah menceritakan itu. Yah, kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi dengan Noise Ambassador dengan semboyan skill is dead ini.
Jadi, mau dibawa ke mana band ini?
Iyo: Anjir langsung ditanya yang berat.
Achong: Mau dibawa ke Cikeas.
Iyo: Soalnya kalau ngomong persiapan sih, si Teenage mah arahnya teh ke konsep nihilis. Apa-apa juga yang dilakukan ya nihil aja.
Di album ini, elu nggak take bas ya?
Iyo: Konsep si Teenage ternyata ya itu tadi, instan. Sangat instan. Tanpa persiapan. Secara tidak sengaja itu jadi konsep.
Kata si Achong, rekaman tuh kan ribet, kalian inginnya langsung jadi
Semua: Iya, rekaman mah emang ribet.
Iyo: Harus nyolokin ini, nyolokin itu. Maunya sih live, sekaligus jadi.
Helvi: Asalnya mah mau nyewa orang lain aja masuk studio, tapi nggak punya duit. Semua dijokiin [tertawa].
Alvin: Kalau rekaman kan, harus diem dulu. Take gitar nunggu dulu. Take drum nunggu dulu.
Achong: Waktu rekaman yang pertama, satu shift sisa dua jam. Kami emang seringnya tanpa persiapan. Kalau mau manggung juga, latihannya cuma sehari sebelum manggung.
Alvin: Teenage mah maunya yang gampang aja, simple.
Iyo: Buat kami, intinya sih bukan itu, tapi vibe-nya. Suasananya. Masalah teknis mah urusan orang.
Helvi: Bikin lagu pun, kan selalu pas latihan. Pas gua maenin gitar misalnya.
Iyo: Setiap latihan selalu gue rekam. Opening track tuh kan pas latihan. Sifatnya insiden, tapi sebenarnya sih intinya, intuisi. Ya itu, jujur lah.
Kalau begitu, di album ini, kalian tidak jadi diri sendiri dong.
Acong: Kalau dari enerji sih, nggak ya. Tapi kalau dari intisari lagu, sebenernya sama. Tapi kalau dari teknis mungkin nggak.
Alvin: Coba aja dengerin “Absolute Beginner Terror” yang versi JKT:SKRG, pasti beda. Tapi efeknya mah sama. Jadi gue mah cuek aja.
Achong: Soalnya kalau manggung juga suka beda.
Iyo: Bukan yang big deal lah buat kami.
Acong: Yang baku buat orang lain, buat kami bisa dikesampingkan.
Kalau begitu, yang big deal buat Teenage apa?
Alvin: Semangatnya euy. Elo tahu kan kalau kami manggung seperti apa. Kayak binatang anak-anak teh kalau udah manggung.
Helvi: Kami nggak ada beban.
Acong: Mendingan begitu. Elo di panggung kayak orang gila, daripada harus bawain lagu dengan rapi.
Iyo: Kata si Alvin juga kan, kalau elu berharap ngelihat Teenage maen rapi, nggak akan kejadian.
Ironis tapi ya, Teenage ingin jadi band panggung, tapi tawaran manggung sering ditolak
Iyo: Sebenernya lain band panggung.
Acong: Band yang lebih milih manggung daripada rekaman, itu bukan?
Alvin: Ya band panggung dong!
Iyo: Nggak pengen sebenernya.
Jadi, buat apa bikin band dong?
Iyo: Nah itu dia [tertawa].
Alvin: Itu pertanyaan dasar sebenernya.
Iyo: Nihil sebenernya.
Achong: Nah kalau dapet pertanyaan itu, sebenernya justru gue pengen tahu, kalau gue bikin band bakal ada apa. Bukan ini band buat apa?
Alvin: Kadang-kadang anak-anak teh susah banget. Begitu dibilangin panggungnya besar, anak-anak malah nggak mau. Jadi aja nggak diambil. Terus, nggak profit juga. Enak sih dapet penghasilan dari band, tapi ada beberapa panggung yang males. Kadang-kadang si Helvi dan Iyo nggak bisa, itu jadi alasan. Itu kejadian waktu rekaman di bandung. Anjir jauh euy studionya, besok aja, padahal ada tawaran manggung.
Kata Achong, waktu mau maen di acara tribute to the Clash, kalian nggak bisa maen ya
Helvi: Waktu kan berjalan terus, kalau yang satu lagi mood, yang lainnya nggak, percuma aja. Ini latihan aja belum.
Ke panitia, bilangnya mah Helvi sakit.
Alvin: [tertawa] Intinya mah males ngulik. Da nggak tahu grip-grip. Yang gue tahu, gitarnya Joe Strummer kayak gitar si Helvi.
Iyo: Sebenernya ada band yang hidup segan mati tak mau. Ini mah band jadi kayak zombie aja. Yah begini aja.
Helvi: Kami juga nggak mau maksain. Tapi akhirnya jadi tegas kan. Kalau misalkan kami nggak ngambil, nggak yang menyesal juga. Ya udah. Kami pernah ngambil job, tapi yang maen cuma bertiga. Akhirnya ngajak orang lain. Tapi banyak yang mau juga.
Kalian menganggap band ini tidak bagus, tapi pendapat orang justru berbeda.
Iyo: Itu jadi karakter yang selalu gue temuin di Teenage. Sementara orang lain perlu persiapan dua ton, kami cukup dua kilo. Itu sebenernya proses yang sudah tersiapkan oleh pengalaman kami. Perjalanan hidup kami masing-masing. Kalau ketemu, nggak perlu berdebat lagi. Tinggal ketawa-ketawa aja. Pada awalnya juga, emang nggak pengen bagus. Nggak pengen keren. Pada awalnya juga, memang nggak beban pengen jadi keren.
Pengen mendekonstruksi?
Iyo: Nggak juga.
Alvin: Itu lumayan gitu juga sih. Soalnya waktu kami rekaman, gue sama Alvin nggak bawa apa-apa. Yang ada di studio aja yang kami pake. Pick gitar juga minjem sama iyub.
Achong: Dulu, beberapa panggung awal, nyetem gitar juga nggak bisa. Semua minta disetemin sama Bayu Brandals waktu itu.
Iyo: Kami nggak tahu grip-grip.
Memang, seberapa minim sih skill kalian?
Alvin: Sekarang mah mungkin agak mendingan ya, si Iyo setelah masuk Pure Saturday. Buta nada mah nggak ya. Tapi nggak tahu grip apa itu. Padahal mungkin grip itu udah ada.
Achong: Lebih gede kemauan daripada kemampuan. Jadi, nggak mampu juga kelihatannya kayak yang bisa.
Helvi: Tapi bukan jadi kendala.
Sekarang, elu udah bisa maen bas, Yo?
Iyo: Belum. Baru bisa maen gitar. Gue grip aja lupa lagi. Di album ini kan gue nggak take bas. Tapi gue nggak keberatan.
Alvin: Nggak ada masalah.
Iyo: Terus bagusnya lagi, yang maen bas lebih jago. Tapi dia harus bisa maen lebih jelek.
Helvi: Kami pernah latihan dan manggung sama gitaris yang jago, tapi tetep aja nggak kena nih. Nggak kepake.
Alvin: Steve Vai juga nggak akan kepake. Kami nggak butuh orang yang jago. Tapi butuh spirit yang sama.
Iyo: Yang bikin kami nyambung ternyata pengalaman kami, pikiran yang sama. Kebetulan kupingnya juga sama.
Alvin: Dan anak-anak nggak pernah nanya lagi dengerin apa sekarang? Kalau band kan biasanya begitu.
Helvi: Biasanya kan harus maen bareng, kompak. Kami mah nggak. Atau karena kami udah kompak.
Iyo: Udah sering salam-salaman. Salam kompak.
Alvin: Emang sejujurnya kalau kami bisa manggung full team lebih enak.
Kata Achong, band ini jadinya semacam mengulangtahunin si Achong.
Iyo: Iya. Intinya kami percaya sama dia. Gimana elo aja deh Chong.
Alvin: Lirik juga yang tahu cuma dia.
Helvi: Kayak Cocteau Twins. Kan yang tahu liriknya cuma vokalisnya.
Alvin: Gue juga tahu liriknya karena suruh jadi backing vocal. Judulnya ternyata itu juga gue nggak tahu.
Helvi: Gue tahu judul albumnya juga pas ke kosan si Achong. Ternyata keren euy.
Alvin: Si Iyo mau maen basnya kayak gimana juga, terserah dia. Walaupun di BB’s si Iyo ampli-nya dimatiin, kami nggak masalah. Da si iyo cuma pengen ngegaya.
Iyo: Terlalu mabuk sebenernya sih waktu itu.
Helvi: Terus, pernah pas manggung waktu si Achong ngomong ke penonton soal lagu berikutnya, ternyata si Firman lagi ke WC nggak bilang-bilang. Ya udah tungguin aja. tapi kami nggak pernah ngebahas. Band lain pernah ada nggak yang ke WC nggak bilang-bilang? Pas kami maenin intro ternyata drumnya malah diem aja.
Jadi, nggak pernah ada perdebatan di Teenage?
Alvin: Nggak ada. Paling perdebatan soal tempo lagu. Itu aja. itu juga lain debat. Kayak belum pernah ngerasa berdebat.
Iyo: Yang membuat kami nyambung sebetulnya bukan selera musik, tapi selera humor.
Acong: Toleransi lah.
Kalau keluar CD kan nanti bakal ada yang berharap kalian manggung
Alvin: Tungguin aja.
Acong: Si band ini lama-lama emang jadi beban moral. Terutama bagi gue. Karena banyak yang sms, nanyain kapan manggung. Gue nggak tahu gimana ekspektasi orang sama band ini, cuma sebisa mungkin fun-nya jangan hilang.
Iyo: PR terbesarnya sebenernya itu.
Selama ini fun-nya belum hilang?
Iyo: Belum. Dan kemaren pas gue dengerin lagi si lagunya kemarin, jadi kepikiran lagi. Banyak ide.
Alvin: Bener. Tapi akhirnya ya gimana nanti lah.
Pas dengerin album ini, kalian jadi merasa keren nggak? Kaget sama hasilnya?
Semua: [tertawa].
Achong: Nanti disangka sombong ah.
Iyo: Kaget sih iya, tapi apa ya…
Helvi: Pas denger sih, gue ngerasa ah boleh juga nih. Sesuai yang diharapkan.
Achong: Pas manggung, kami 80 persen nggak pernah ngedenger keluarnya sound kami gimana.
Alvin: Da gue juga nggak ngerti.
Iyo: Kami berterimakasih banget sama Iyub yang bisa ngambil esensi dari band ini.
Alvin: Semua berkat Iyub. Kami juga nggak tahu ternyata bisa gitu.
Achong: Dia ngomong pokoknya udah tahu bakal keluar gimana sound-nya. Dia dari pertama denger kami mungkin udah punya gambaran kayak gimana.
Alvin: Yang nyuruh kami pake sound itu pun, dia. Gue sih tinggal genjreng. Statusnya emang produser.
Achong: Makanya kalau dengerin part lagunya, masih ada bocoran metronome. Dia juga ngomong sebenernya ini nggak diapa-apain.
Di album ini, katanya ada vokal Achong yang didelete?
Alvin: Si Achong ngomongnya “heres come the rabbit,” gue jadi ikut-ikutan. Ternyata salah ya. Gue males nge-take lagi. Akhirnya si Iyub yang ngebenerin [ngedelete ‘s’ di kata ‘heres’ terus memasukkannya di kata ‘comes’]. Gue takjub sama teknologi. Ternyata teknik rekaman bisa begitu ya.
Helvi: Waktu take sama Yayat juga, kami bilang, ‘santai aja ya.’ Paling kalau misalkan ada gitar yang fals baru dibenerin.
Dari 2002 – 2008, peningkatan skillnya gimana?
Achong: Gue skill vokal nggak meningkat, tapi udah bisa maen gitar sekarang.
Alvin: Anak-anak mah mungkin nambah skill-nya dari nada enaknya jalan ke mana. Kalau soal pengetahuan grip mah tetep nggak nambah.
Iyo: Emang nggak usah susah-susah. Anak SD juga bisa maenin lagu Teenage. Yang penting dapet spiritnya.
Alvin: Walaupun ada yang ngomong, susah loh bawain lagu Teenage.
Achong: Makanya di album jadi dua CD. Yang pertama tribute, delapan lagu dibawain sama orang. Itu juga semacam test case. Gue pengen denger gimana kalau orang lain bawain lagu gue. Soalnya berapa kali ada band sekolah yang minta lirik ke gue, dan mereka bilang setiap ngebawain di sekolah, orang-orang jadi heboh.
Alvin: Mungkin kami mau bikin franchise, Teenage Padang, Teenage apa.
Peran si Firman gimana?
Achong: Dia skill bagus, tapi pelupa. Dia nggak tahu judul lagu ini tuh apa. Gue harus neranginnya sama bunyi drum.
Alvin: Itu sering terjadi. Terutama pas latihan. Perasaan nggak begini yah lagunya.
Acong: Pernah kejadian, gue udah ngomong lama, eh ternyata si Firman nggak tahu lagunya.
Helvi, elo sebagai pemilik labelnya, gimana perasaannya?
Helvi: Susah nggak juga sih. Wawancara radio kan nggak usah berlima.
Achong: Felix aja sendirian [tertawa].
Helvi: Gue sih lebih seneng ke sisi kreatifnya anak-anak di sini. Itu pun juga, ide-idenya spontan juga. Yah seru-seruan aja.
Alvin: Dan kebetulan banget, temen-temen responnya positif. Dan kayak dipanggil Rolling Stone juga, anjir aneh pisan.
Achong: Album belum ada.
Kenapa aneh?
Alvin: Kenapa bisa.
Iyo: Ini band senang-senang. Kalau elo bilang ini band bagus, salah. Ini band jelek. Berarti kalau dimasukkin di Rolling Stone, bagus dong ya?
Achong: Tapi, yang ngomong jelek juga nggak ada. Yang bilang bagus juga nggak ada.
Ada yang ngomong jelek, si Hasief
Semua: [tertawa].
Iyo: Nggak apa-apa lah. Hasief mah fans Pure Saturday.
Alvin: Tapi da gue mah dibilang jelek juga nggak apa-apa.
Iyo: Gue kaget ya dipanggil Rolling Stone. Kalau disebut layak, ya layak. Karena gue bisa memertanggungjawabkan karya kami.
Alvin: Kalau kami bawain lagu-lagu itu di panggung ya bisa juga.
Kalian bakal tergantung sama Iyub dong
Alvin: Iya. Karena kami belum punya duit buat beli efek. Jadi, dia membantu sekaligus menyusahkan kami.
Sampai saat ini, pernah bawain lagu baru kalian di panggung?
Iyo: Belum, boro-boro.
Alvin: Ini kami ngumpul aja terakhir waktu bikin klip.
Achong: Si Firman bikin klip baru. Dari flash.
Kumpul berapa bulan sekali?
Helvi: Lihat tanda-tanda alam sih itu mah.
Achong: Harmoko muncul lagi, nanti kami muncul lagi.
Ada keinginan untuk manggung regular?
Iyo: Gue mah nggak sih.
Alvin: Kalau gue tergantung duit sih.
Jadi, yang bikin kalian mau manggung, duitnya?
Alvin: Nggak juga sih. Kalau misalnya perempuannya cantik-cantik hayu juga. Kalau terlalu gede juga males.
Jadi, kriterianya apa dong supaya Teenage bisa manggung?
Helvi: Pas lagi pada mau aja.
Iyo: Mood.
Achong: Kalau kata gue mah, sebenernya kan manggung itu sudah terjadwal, kami orangnya di luar jadwal, dan susah ngepasin jadwalnya. Gue sering nolak panggung. Gue belum nemu gimana menyiasati manggung yang enak. Selama ini kesimpulannya kami idealnya manggung atas keinginan sendiri. Kasarnya sih, kalau elu mau lihat Teenage manggung tunggu aja kami bikin acara sendiri.
Kasihan mereka yang pengen nonton Teenage dong, harus nunggu mood berlima
Alvin: Itu justru serunya.
Achong: Dan kami nggak punya manajer juga.
Helvi: Dulu kebeneran pas bisa aja kalau elo lihat kami manggung. Nggak masalah mau dibayar berapa.
Achong: Selalu ditanya dulu sama semua, mau nggak?
Alvin: Waktu Helvi dan Iyo nggak bisa, akhirnya kami bertiga.
Iyo: Pernah ya di Surabaya. Yang diberhentiin itu bukan?
Helvi: Itu yang di Score! Asalnya dua lagu udah diberhentiin, tapi anak-anak pengen.
Alvin: Soalnya itu tempat udah rusuh kan, banyak meja pecah.
Pernah manggung tanpa Achong?
Achong: Pernah, Alvin yang nyanyi.
Firman baru saja bergabung di menit-menit ini. Dia harus menyelesaikan dulu pekerjaannya dengan kelompok musik Seurieus.
Firman, emang elo nggak pernah tahu lagu?
Firman: Sekarang udah ada album mah, Insya Alloh. Kan ada judulnya [tertawa]. tapi nggak tahu yang mana. Yang penting buat gue mah, awalnya gimana.
Alvin: Teenage mah menurut gue mah anak-anak kayak lagi piknik ya. Piknik alam bawah sadar. Anjir. Maen musik tuh enak banget. Maunya begitu.
Katanya, sempet ada obrolan soal Teenage mau bubar setelah bikin album ini
Achong: Semakin orang nungguin kami, semakin mereka nungguin kami. Mereka bakal nungguin terus. Santai aja. nanti juga ada. Kayak surprise party aja.
Alvin: Tapi tetep aja, yang nanya mah selalu ada.
Firman: Makanya judulnya Longway to nowhere. Orang luar nanya [mau dibawa ke mana band ini], apalagi kami? [tertawa].
Pertemuan ini terjadi pada 27 Mei 2008. Saat itu, album perdana Teenage Death Star, Longway to Nowhere belum dirilis. Saya baru beberapa hari bergabung di majalah yang sekarang. Teenage Death Star adalah band pertama yang saya wawancarai. Deputy Managing Editor Adib Hidayat langsung kepincut begitu mendengar album perdana mereka. Dan meminta saya memanggil gitaris Helvi Sjarifudin, vokalis Dandi Achmad Ramdhani alias Sir Dandy alias Achong, gitaris Alvin Yunata, bassis Satria Nurbambang alias Iyo, dan drummer Firman Zaenudin untuk datang ke kantor, diwawancara dan difoto.
Banyak yang terjadi setelah wawancara ini. Sampai tulisan ini dibuat, mereka sudah manggung sebanyak tiga kali paska rilis album perdana. Satu kali mereka membawa Iyub Santamonica, tokoh intelektual di balik sound Teenage Death Star di album perdananya. Satu kali mereka bermain nyaris rapi saking rapinya sampai membuat penonton kaget [salah satu alasannya sih, kata Alvin karena dia memakai Gibson padahal biasanya memakai Fender, jadi tak bisa bermain dengan lepas]. Album perdana mereka juga mencatat rekor penjualan yang bagus, saya lupa tepatnya seperti apa, yang jelas jumlah album Teenage yang diminta dalam minggu-minggu pertama rilis konon melebihi angka permintaan ketika album The S.I.G.I.T. rilis. Belakangan, Achong—yang di wawancara ini baru saja dalam proses awal belajar gitar—sudah mulai membuat lagu-lagu folk berbahasa Indonesia. Lagu pertama yang dirilisnya di video berjudul “Ode to Antruefunk”. Silakan cari videonya di You Tube atau di Facebook. Suatu kali, Achong mengatakan bahwa Ridho Hafiedz tertarik untuk memproduseri album kedua Teenage. Achong hanya tertawa setelah menceritakan itu. Yah, kita lihat saja nanti apa yang akan terjadi dengan Noise Ambassador dengan semboyan skill is dead ini.
Jadi, mau dibawa ke mana band ini?
Iyo: Anjir langsung ditanya yang berat.
Achong: Mau dibawa ke Cikeas.
Iyo: Soalnya kalau ngomong persiapan sih, si Teenage mah arahnya teh ke konsep nihilis. Apa-apa juga yang dilakukan ya nihil aja.
Di album ini, elu nggak take bas ya?
Iyo: Konsep si Teenage ternyata ya itu tadi, instan. Sangat instan. Tanpa persiapan. Secara tidak sengaja itu jadi konsep.
Kata si Achong, rekaman tuh kan ribet, kalian inginnya langsung jadi
Semua: Iya, rekaman mah emang ribet.
Iyo: Harus nyolokin ini, nyolokin itu. Maunya sih live, sekaligus jadi.
Helvi: Asalnya mah mau nyewa orang lain aja masuk studio, tapi nggak punya duit. Semua dijokiin [tertawa].
Alvin: Kalau rekaman kan, harus diem dulu. Take gitar nunggu dulu. Take drum nunggu dulu.
Achong: Waktu rekaman yang pertama, satu shift sisa dua jam. Kami emang seringnya tanpa persiapan. Kalau mau manggung juga, latihannya cuma sehari sebelum manggung.
Alvin: Teenage mah maunya yang gampang aja, simple.
Iyo: Buat kami, intinya sih bukan itu, tapi vibe-nya. Suasananya. Masalah teknis mah urusan orang.
Helvi: Bikin lagu pun, kan selalu pas latihan. Pas gua maenin gitar misalnya.
Iyo: Setiap latihan selalu gue rekam. Opening track tuh kan pas latihan. Sifatnya insiden, tapi sebenarnya sih intinya, intuisi. Ya itu, jujur lah.
Kalau begitu, di album ini, kalian tidak jadi diri sendiri dong.
Acong: Kalau dari enerji sih, nggak ya. Tapi kalau dari intisari lagu, sebenernya sama. Tapi kalau dari teknis mungkin nggak.
Alvin: Coba aja dengerin “Absolute Beginner Terror” yang versi JKT:SKRG, pasti beda. Tapi efeknya mah sama. Jadi gue mah cuek aja.
Achong: Soalnya kalau manggung juga suka beda.
Iyo: Bukan yang big deal lah buat kami.
Acong: Yang baku buat orang lain, buat kami bisa dikesampingkan.
Kalau begitu, yang big deal buat Teenage apa?
Alvin: Semangatnya euy. Elo tahu kan kalau kami manggung seperti apa. Kayak binatang anak-anak teh kalau udah manggung.
Helvi: Kami nggak ada beban.
Acong: Mendingan begitu. Elo di panggung kayak orang gila, daripada harus bawain lagu dengan rapi.
Iyo: Kata si Alvin juga kan, kalau elu berharap ngelihat Teenage maen rapi, nggak akan kejadian.
Ironis tapi ya, Teenage ingin jadi band panggung, tapi tawaran manggung sering ditolak
Iyo: Sebenernya lain band panggung.
Acong: Band yang lebih milih manggung daripada rekaman, itu bukan?
Alvin: Ya band panggung dong!
Iyo: Nggak pengen sebenernya.
Jadi, buat apa bikin band dong?
Iyo: Nah itu dia [tertawa].
Alvin: Itu pertanyaan dasar sebenernya.
Iyo: Nihil sebenernya.
Achong: Nah kalau dapet pertanyaan itu, sebenernya justru gue pengen tahu, kalau gue bikin band bakal ada apa. Bukan ini band buat apa?
Alvin: Kadang-kadang anak-anak teh susah banget. Begitu dibilangin panggungnya besar, anak-anak malah nggak mau. Jadi aja nggak diambil. Terus, nggak profit juga. Enak sih dapet penghasilan dari band, tapi ada beberapa panggung yang males. Kadang-kadang si Helvi dan Iyo nggak bisa, itu jadi alasan. Itu kejadian waktu rekaman di bandung. Anjir jauh euy studionya, besok aja, padahal ada tawaran manggung.
Kata Achong, waktu mau maen di acara tribute to the Clash, kalian nggak bisa maen ya
Helvi: Waktu kan berjalan terus, kalau yang satu lagi mood, yang lainnya nggak, percuma aja. Ini latihan aja belum.
Ke panitia, bilangnya mah Helvi sakit.
Alvin: [tertawa] Intinya mah males ngulik. Da nggak tahu grip-grip. Yang gue tahu, gitarnya Joe Strummer kayak gitar si Helvi.
Iyo: Sebenernya ada band yang hidup segan mati tak mau. Ini mah band jadi kayak zombie aja. Yah begini aja.
Helvi: Kami juga nggak mau maksain. Tapi akhirnya jadi tegas kan. Kalau misalkan kami nggak ngambil, nggak yang menyesal juga. Ya udah. Kami pernah ngambil job, tapi yang maen cuma bertiga. Akhirnya ngajak orang lain. Tapi banyak yang mau juga.
Kalian menganggap band ini tidak bagus, tapi pendapat orang justru berbeda.
Iyo: Itu jadi karakter yang selalu gue temuin di Teenage. Sementara orang lain perlu persiapan dua ton, kami cukup dua kilo. Itu sebenernya proses yang sudah tersiapkan oleh pengalaman kami. Perjalanan hidup kami masing-masing. Kalau ketemu, nggak perlu berdebat lagi. Tinggal ketawa-ketawa aja. Pada awalnya juga, emang nggak pengen bagus. Nggak pengen keren. Pada awalnya juga, memang nggak beban pengen jadi keren.
Pengen mendekonstruksi?
Iyo: Nggak juga.
Alvin: Itu lumayan gitu juga sih. Soalnya waktu kami rekaman, gue sama Alvin nggak bawa apa-apa. Yang ada di studio aja yang kami pake. Pick gitar juga minjem sama iyub.
Achong: Dulu, beberapa panggung awal, nyetem gitar juga nggak bisa. Semua minta disetemin sama Bayu Brandals waktu itu.
Iyo: Kami nggak tahu grip-grip.
Memang, seberapa minim sih skill kalian?
Alvin: Sekarang mah mungkin agak mendingan ya, si Iyo setelah masuk Pure Saturday. Buta nada mah nggak ya. Tapi nggak tahu grip apa itu. Padahal mungkin grip itu udah ada.
Achong: Lebih gede kemauan daripada kemampuan. Jadi, nggak mampu juga kelihatannya kayak yang bisa.
Helvi: Tapi bukan jadi kendala.
Sekarang, elu udah bisa maen bas, Yo?
Iyo: Belum. Baru bisa maen gitar. Gue grip aja lupa lagi. Di album ini kan gue nggak take bas. Tapi gue nggak keberatan.
Alvin: Nggak ada masalah.
Iyo: Terus bagusnya lagi, yang maen bas lebih jago. Tapi dia harus bisa maen lebih jelek.
Helvi: Kami pernah latihan dan manggung sama gitaris yang jago, tapi tetep aja nggak kena nih. Nggak kepake.
Alvin: Steve Vai juga nggak akan kepake. Kami nggak butuh orang yang jago. Tapi butuh spirit yang sama.
Iyo: Yang bikin kami nyambung ternyata pengalaman kami, pikiran yang sama. Kebetulan kupingnya juga sama.
Alvin: Dan anak-anak nggak pernah nanya lagi dengerin apa sekarang? Kalau band kan biasanya begitu.
Helvi: Biasanya kan harus maen bareng, kompak. Kami mah nggak. Atau karena kami udah kompak.
Iyo: Udah sering salam-salaman. Salam kompak.
Alvin: Emang sejujurnya kalau kami bisa manggung full team lebih enak.
Kata Achong, band ini jadinya semacam mengulangtahunin si Achong.
Iyo: Iya. Intinya kami percaya sama dia. Gimana elo aja deh Chong.
Alvin: Lirik juga yang tahu cuma dia.
Helvi: Kayak Cocteau Twins. Kan yang tahu liriknya cuma vokalisnya.
Alvin: Gue juga tahu liriknya karena suruh jadi backing vocal. Judulnya ternyata itu juga gue nggak tahu.
Helvi: Gue tahu judul albumnya juga pas ke kosan si Achong. Ternyata keren euy.
Alvin: Si Iyo mau maen basnya kayak gimana juga, terserah dia. Walaupun di BB’s si Iyo ampli-nya dimatiin, kami nggak masalah. Da si iyo cuma pengen ngegaya.
Iyo: Terlalu mabuk sebenernya sih waktu itu.
Helvi: Terus, pernah pas manggung waktu si Achong ngomong ke penonton soal lagu berikutnya, ternyata si Firman lagi ke WC nggak bilang-bilang. Ya udah tungguin aja. tapi kami nggak pernah ngebahas. Band lain pernah ada nggak yang ke WC nggak bilang-bilang? Pas kami maenin intro ternyata drumnya malah diem aja.
Jadi, nggak pernah ada perdebatan di Teenage?
Alvin: Nggak ada. Paling perdebatan soal tempo lagu. Itu aja. itu juga lain debat. Kayak belum pernah ngerasa berdebat.
Iyo: Yang membuat kami nyambung sebetulnya bukan selera musik, tapi selera humor.
Acong: Toleransi lah.
Kalau keluar CD kan nanti bakal ada yang berharap kalian manggung
Alvin: Tungguin aja.
Acong: Si band ini lama-lama emang jadi beban moral. Terutama bagi gue. Karena banyak yang sms, nanyain kapan manggung. Gue nggak tahu gimana ekspektasi orang sama band ini, cuma sebisa mungkin fun-nya jangan hilang.
Iyo: PR terbesarnya sebenernya itu.
Selama ini fun-nya belum hilang?
Iyo: Belum. Dan kemaren pas gue dengerin lagi si lagunya kemarin, jadi kepikiran lagi. Banyak ide.
Alvin: Bener. Tapi akhirnya ya gimana nanti lah.
Pas dengerin album ini, kalian jadi merasa keren nggak? Kaget sama hasilnya?
Semua: [tertawa].
Achong: Nanti disangka sombong ah.
Iyo: Kaget sih iya, tapi apa ya…
Helvi: Pas denger sih, gue ngerasa ah boleh juga nih. Sesuai yang diharapkan.
Achong: Pas manggung, kami 80 persen nggak pernah ngedenger keluarnya sound kami gimana.
Alvin: Da gue juga nggak ngerti.
Iyo: Kami berterimakasih banget sama Iyub yang bisa ngambil esensi dari band ini.
Alvin: Semua berkat Iyub. Kami juga nggak tahu ternyata bisa gitu.
Achong: Dia ngomong pokoknya udah tahu bakal keluar gimana sound-nya. Dia dari pertama denger kami mungkin udah punya gambaran kayak gimana.
Alvin: Yang nyuruh kami pake sound itu pun, dia. Gue sih tinggal genjreng. Statusnya emang produser.
Achong: Makanya kalau dengerin part lagunya, masih ada bocoran metronome. Dia juga ngomong sebenernya ini nggak diapa-apain.
Di album ini, katanya ada vokal Achong yang didelete?
Alvin: Si Achong ngomongnya “heres come the rabbit,” gue jadi ikut-ikutan. Ternyata salah ya. Gue males nge-take lagi. Akhirnya si Iyub yang ngebenerin [ngedelete ‘s’ di kata ‘heres’ terus memasukkannya di kata ‘comes’]. Gue takjub sama teknologi. Ternyata teknik rekaman bisa begitu ya.
Helvi: Waktu take sama Yayat juga, kami bilang, ‘santai aja ya.’ Paling kalau misalkan ada gitar yang fals baru dibenerin.
Dari 2002 – 2008, peningkatan skillnya gimana?
Achong: Gue skill vokal nggak meningkat, tapi udah bisa maen gitar sekarang.
Alvin: Anak-anak mah mungkin nambah skill-nya dari nada enaknya jalan ke mana. Kalau soal pengetahuan grip mah tetep nggak nambah.
Iyo: Emang nggak usah susah-susah. Anak SD juga bisa maenin lagu Teenage. Yang penting dapet spiritnya.
Alvin: Walaupun ada yang ngomong, susah loh bawain lagu Teenage.
Achong: Makanya di album jadi dua CD. Yang pertama tribute, delapan lagu dibawain sama orang. Itu juga semacam test case. Gue pengen denger gimana kalau orang lain bawain lagu gue. Soalnya berapa kali ada band sekolah yang minta lirik ke gue, dan mereka bilang setiap ngebawain di sekolah, orang-orang jadi heboh.
Alvin: Mungkin kami mau bikin franchise, Teenage Padang, Teenage apa.
Peran si Firman gimana?
Achong: Dia skill bagus, tapi pelupa. Dia nggak tahu judul lagu ini tuh apa. Gue harus neranginnya sama bunyi drum.
Alvin: Itu sering terjadi. Terutama pas latihan. Perasaan nggak begini yah lagunya.
Acong: Pernah kejadian, gue udah ngomong lama, eh ternyata si Firman nggak tahu lagunya.
Helvi, elo sebagai pemilik labelnya, gimana perasaannya?
Helvi: Susah nggak juga sih. Wawancara radio kan nggak usah berlima.
Achong: Felix aja sendirian [tertawa].
Helvi: Gue sih lebih seneng ke sisi kreatifnya anak-anak di sini. Itu pun juga, ide-idenya spontan juga. Yah seru-seruan aja.
Alvin: Dan kebetulan banget, temen-temen responnya positif. Dan kayak dipanggil Rolling Stone juga, anjir aneh pisan.
Achong: Album belum ada.
Kenapa aneh?
Alvin: Kenapa bisa.
Iyo: Ini band senang-senang. Kalau elo bilang ini band bagus, salah. Ini band jelek. Berarti kalau dimasukkin di Rolling Stone, bagus dong ya?
Achong: Tapi, yang ngomong jelek juga nggak ada. Yang bilang bagus juga nggak ada.
Ada yang ngomong jelek, si Hasief
Semua: [tertawa].
Iyo: Nggak apa-apa lah. Hasief mah fans Pure Saturday.
Alvin: Tapi da gue mah dibilang jelek juga nggak apa-apa.
Iyo: Gue kaget ya dipanggil Rolling Stone. Kalau disebut layak, ya layak. Karena gue bisa memertanggungjawabkan karya kami.
Alvin: Kalau kami bawain lagu-lagu itu di panggung ya bisa juga.
Kalian bakal tergantung sama Iyub dong
Alvin: Iya. Karena kami belum punya duit buat beli efek. Jadi, dia membantu sekaligus menyusahkan kami.
Sampai saat ini, pernah bawain lagu baru kalian di panggung?
Iyo: Belum, boro-boro.
Alvin: Ini kami ngumpul aja terakhir waktu bikin klip.
Achong: Si Firman bikin klip baru. Dari flash.
Kumpul berapa bulan sekali?
Helvi: Lihat tanda-tanda alam sih itu mah.
Achong: Harmoko muncul lagi, nanti kami muncul lagi.
Ada keinginan untuk manggung regular?
Iyo: Gue mah nggak sih.
Alvin: Kalau gue tergantung duit sih.
Jadi, yang bikin kalian mau manggung, duitnya?
Alvin: Nggak juga sih. Kalau misalnya perempuannya cantik-cantik hayu juga. Kalau terlalu gede juga males.
Jadi, kriterianya apa dong supaya Teenage bisa manggung?
Helvi: Pas lagi pada mau aja.
Iyo: Mood.
Achong: Kalau kata gue mah, sebenernya kan manggung itu sudah terjadwal, kami orangnya di luar jadwal, dan susah ngepasin jadwalnya. Gue sering nolak panggung. Gue belum nemu gimana menyiasati manggung yang enak. Selama ini kesimpulannya kami idealnya manggung atas keinginan sendiri. Kasarnya sih, kalau elu mau lihat Teenage manggung tunggu aja kami bikin acara sendiri.
Kasihan mereka yang pengen nonton Teenage dong, harus nunggu mood berlima
Alvin: Itu justru serunya.
Achong: Dan kami nggak punya manajer juga.
Helvi: Dulu kebeneran pas bisa aja kalau elo lihat kami manggung. Nggak masalah mau dibayar berapa.
Achong: Selalu ditanya dulu sama semua, mau nggak?
Alvin: Waktu Helvi dan Iyo nggak bisa, akhirnya kami bertiga.
Iyo: Pernah ya di Surabaya. Yang diberhentiin itu bukan?
Helvi: Itu yang di Score! Asalnya dua lagu udah diberhentiin, tapi anak-anak pengen.
Alvin: Soalnya itu tempat udah rusuh kan, banyak meja pecah.
Pernah manggung tanpa Achong?
Achong: Pernah, Alvin yang nyanyi.
Firman baru saja bergabung di menit-menit ini. Dia harus menyelesaikan dulu pekerjaannya dengan kelompok musik Seurieus.
Firman, emang elo nggak pernah tahu lagu?
Firman: Sekarang udah ada album mah, Insya Alloh. Kan ada judulnya [tertawa]. tapi nggak tahu yang mana. Yang penting buat gue mah, awalnya gimana.
Alvin: Teenage mah menurut gue mah anak-anak kayak lagi piknik ya. Piknik alam bawah sadar. Anjir. Maen musik tuh enak banget. Maunya begitu.
Katanya, sempet ada obrolan soal Teenage mau bubar setelah bikin album ini
Achong: Semakin orang nungguin kami, semakin mereka nungguin kami. Mereka bakal nungguin terus. Santai aja. nanti juga ada. Kayak surprise party aja.
Alvin: Tapi tetep aja, yang nanya mah selalu ada.
Firman: Makanya judulnya Longway to nowhere. Orang luar nanya [mau dibawa ke mana band ini], apalagi kami? [tertawa].