Menonton Jason Statham disetrum dan menikmati kabut asap rokok bersama Seringai di Yogyakarta.
“Gua udah mulai terbiasa nih dengan pemandangan ini,” kata Ricky.
Sabtu, 9 Mei 2009, pukul sembilan pagi kami tiba di bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Entah sudah berapa kali Seringai main di Yogya. Yang jelas, kuantitasnya tak bisa dibilang sedikit. Saya saja, sudah tiga kali ikut bersama Seringai ke Yogya. Masih dengan rasa kantuk yang sangat berat selepas jadi panitia Rolling Stone Private Party 2009, saya berangkat bersama rombongan Seringai pukul setengah delapan pagi. Di pintu masuk bandara, kami bertemu rombongan kru Samsons yang akan berangkat ke Medan. Barang bawaan mereka, jauuuh lebih banyak dari rombongan Seringai. Entah berapa kilo yang harus dibayar mereka untuk kelebihan beban itu. Entah alat apa saja yang dibawa para personel Samsons. Padahal, sound-nya terdengar seperti tak terlalu rumit. Hehe.
Rombongan kali ini terdiri dari—selain tentu saja Arian, Ricky, Khemod dan Sammy—ada road manager Dawo, teknisi gitar Ronny, teknisi bas Chow Min [yang bunyinya bisa terdengar Cokin. Hehe], teknisi drum Labo [yang nama aslinya Yudi, tanpa embel-embel apa-apa di belakangnya] serta sound engineer Albert.
Kami menginap di sebuah hotel yang saya lupa namanya tapi terletak di Jalan Tribrata—nama yang sangat militer sekali. Nama yang pernah membuat Seringai bermasalah dengan pihak Kepolisian Bandung yang saya lupa Polsek atau Polres apa. Karena di salah satu kaos Seringai yang seri Lencana, ada gambar tengkorak seperti aparat memakai topi dengan logo Tribrata itulah, beberapa orang sempat dimintai keterangan.
Di depan hotel kami, ada Cinema XXI. Sudah lama saya tak melihat bioskop yang berdiri sendiri. Bukan termasuk bagian dari pusat perbelanjaan. Cinema XXI yang bernama Empire XXI itu, punya panggung berukuran sedang di sebelahnya. Mengingatkan pada Blitz Megaplex yang ada di pusat perbelanjaan Parisj Pan Java Bandung. Entah kenapa, jaringan bioskop 21 terlihat seperti ingin meniru semua yang dilakukan Blitx Megaplex. Padahal, Blitz baru punya beberapa gedung bioskop. Belum sebanyak 21. Desain peringatan jangan merokok dan jangan menaruh kaki di kursi, mirip dengan yang ada di bioskop Blitz. Warna merah yang dominan dengan aksen warna putih di gambarnya. Saya tak tahu apakah Blitz juga meniru dari bioskop lain [desain gambar sebelum film dimulai, hingga desain tiket box dan makanannya, tapi yang saya heran kenapa 21 seperti yang meniru plek plek apa yang dilakukan Blitz]. Tapi, untunglah. Karena Blitz, harga tiket menurun.
Ah kenapa jadi melantur begini? Maafkan.
Pukul sebelas siang, kami baru bisa masuk kamar. Berhubung jadwal sound check pukul empat sore, kami memanfaatkan waktu luang untuk menonton di bioskop yang letaknya hanya beberapa langkah kaki dari hotel tempat kami menginap. Filmnya: Crank High Voltage dengan bintang utama Jason Statham si botak tapi terlihat jantan. Film yang penuh dengan adegan kekerasan dan gambar-gambar vulgar dengan penampakan payudara di beberapa adegan [mungkin LSF bingung ingin mengedit di bagian mana karena terlalu banyak payudara bersliweran sehingga akhirnya memberi bonus beberapa detik gambar payudara, mungkin juga mereka pikir film itu tak akan laku dan tak akan ditonton banyak orang]. Film yang sangat direkomendasikan ditonton bersama teman-teman. Pokoknya, setelah menonton film ini, pandangan kamu tentang gardu listrik akan berubah.
***
“Malam ini, kita buat Liquid anti disko!” kata MC.
Pukul sebelas malam, Liquid--tempat Seringai tampil dalam event yang diberu judul dengan sangat cheesy: Hi Dude, I Rock—mulai penuh dengan orang. Saya tak tahu kapan acara dimulai, tapi sepertinya ketika kami datang ke sana, baru band pertama yang tampil [setidaknya, band yang namanya tertera di flyer acara].
Gepeng, MC yang sudah tipsy di panggung itu sering kali berkata jorok. Entah karena pengaruh minuman, entah karena dia pervert, entah karena di horny, yang jelas beberapa kali dia mengajak penonton untuk melacur bersamanya. Atau, karena banyak pemandangan perempuan memakai rok sangat pendek dan belahan dada sedikit terbuka yang mengingatkan saya pada lagu “Ladies Night di Ebony” milik Slank. Sepertinya perempuan itu dari scene dugem yang biasa ada di Liquid. Penampakan mereka beberapa kali terlihat di antara sela-sela kaos hitam-hitam dari crowd musik keras yang malam itu terlihat sangat dominan.
Ada tiga band yang tampil sebelum Seringai: Serigala Malam [belakangan ini, banyak sekali band bernama Serigala: Angsa & Serigala, Serigala Jahanam], Scared of Bums dan Something Wrong. Menjelang Seringai tampil, crowd makin padat. Padahal, Seringai tampil pukul satu pagi. Akibatnya, crowd dugem terpaksa harus menunggu pertunjukkan rock itu usai sebelum akhirnya mereka bisa kembali berdansa.
Liquid adalah cafe yang representatif untuk pertunjukkan musik maupun tempat dugem—walauapun ini asumsi dari seorang non pecinta dugem. Ada panggung yang cukup besar untuk menampung band tampil dan bergerak leluasa. Jarak dari penonton ke panggung tak terlalu tinggi. Lantai dua panggung itu, adalah booth DJ yang tak mungkin terjangkau oleh penonton: tak bisa protes kepada DJ jika tak suka dengan musik yang diputarnya.
Asap rokok yang cukup tebal membuatnya seperti kabut jika dilihat dari atas panggung. Saya termasuk yang tak kuat berlama-lama di ruangan penuh asap rokok. Mata perih, hingga membuat berair seperti yang sedih dan terharu padahal sedang ada di tengah konser rock. Tak banyak crowd yang moshing dan stage diving. Hanya belasan orang di mulut panggung yang selalu bernyanyi, berteriak dan mengepalkan kepala ke atas sepanjang penampilan Seringai. Selebihnya, memandang dengan seksama. Asumsi saya, mereka sudah terlalu lelah menunggu. Atau mungkin karena memang sudah dini hari, akibatnya kondisi badan sudah lelah.
Beberapa menit lebih dari pukul dua pagi, Seringai menutup penampilannya. Hanya butuh waktu beberapa detik bagi DJ untuk mengambil alih suasana kembali jadi arena berdansa crowd pecinta dugem. Hanya butuh waktu beberapa detik juga, massa dugem yang bisa dikenali dengan perempuan berok pendek dengan belahan dada untuk mengambil alih lantai dansa dan bergerak standar khas pecinta dugem: kedua tangan diangkat ke atas, pinggul digoyang, kepala kadang sedikit tertunduk kadang pula sedikit menengadah dengan menggelengkan ke kiri dan ke kanan. Mereka masih berdansa dengan penuh semangat. Mungkin sudah menunggu lama pertunjukkan rock itu berakhir.
Adegan konser rock akhirnya ditutup dengan adegan makan dini hari di lesehan sambil terkantuk-kantuk.