Friday, May 29, 2009

Kunobatkan Tika Putri Jadi Fantasi























Sebenarnya, sudah lama saya ingin menulis ini.


Soalnya, khawatir dibilang dirty old man. Tapi, karena kejadian tadi pagi, saya akhirnya berani untuk menulis ini. Karena ternyata saya tak sendiri. Pukul sembilan pagi, Arian masuk kamar saya. Video klip ST12 sedang tayang di Trans TV. Wajah Charly, sang vokalis yang belagu sedang bernyanyi mendayu-dayu. Video klip Peterpan KW3 itu menutup acara DeRings yang tayang setiap hari hingga pukul sembilan. Sampai saat ini, saya tak tahu kapan dimulainya acara itu, karena saya baru terbangun pukul delapan dan baru menyalakan TV pukul delapan lebih.

“Aya nu geulis tah di tivi,” kata Arian penuh semangat, sambil menunjuk ke layar kaca, “maneh nyaho Tika Putri?”

Jeng jeng. Saya bahagia. Ternyata saya tak sendiri. Selama ini, saya membanggakan Tika Putri di kantor, tapi kawan-kawan tak ada yang merespon dengan sikap antusias.

“Enya lah. Geulis. Matakna urang nonton wae DeRings unggal poe, pedah aya Tika Putri,” jawab saya.

Jika Anzarra (anzarra.multiply.com, saya tak tahu cara membuat nama anzarra bisa diklik dari tulisan ini) bisa membanggakan Marsha Timothy atau siapa itu bintang sinetron yang selalu dibanggakannya itu saya lupa namanya, maka saya memilih Tika Putri untuk dibagi kepada kamu. Hehe.

Tika Putri adalah seperti versi muda dari Mike Amalia. Umurnya baru sembilan belas tahun. Gejolak kawula muda masih menggelora. Dan kita masih bisa menikmati keindahan visualnya selama beberapa tahun ke depan, sebelum ada wajah lebih segar menggantikannya. Tika Putri bukan tipe cantik yang sensual. Jika rekannya sesama pembawa acara DeRings, Wiwid Gunawan dan Sandra Dewi adalah tipe mbak-mbak seksi dengan bagian tubuh yang menonjol di banyak bagian, maka Tika Putri menonjol tanpa harus terlihat menonjol bagian tubuhnya.

Tika Putri bermain di film Queen Bee, memerankan seorang anak calon presiden. Ah, saya berterima kasih sekali pada Casting Director yang memilih dia. Filmnya tak jelek, boleh lah, saya beri bintang tiga. Film itu ingin mengajak anak muda untuk tak apatis tapi tidak dengan cara menggurui. Ah sudahlah. Terlalu panjang. Kenal juga tidak. Lebih panjang, bisa-bisa lebih memalukan tulisannya. Haha.

Kalau ada program kencan sehari dengan selebiritis pilihan dan saya harus memilih dari banyak nama, saya mau lah memilih Tika Putri. :D

Foto-foto dari: queenbeediaries.blogspot.com

Monday, May 25, 2009

High Octane Rock di The Rock




Sabtu [23/5] kemarin, Seringai manggung di The Rock, Kemang.

Sampai sekarang, saya tak tahu nama event-nya. Katanya sih, yang menyelenggarakan anak-anak Universitas Binus Internasional. Bahkan, ada yang bilang, itu acara ulang tahun salah satu panitia. Saya juga tak tahu soal waktu dimulai acaranya. Katanya sih, sejak pukul dua belas siang. Acara seperti itu, biasanya menampilkan banyak band.

Saya datang ke sana, pukul tujuh malam. Sebuah band yang saya tak tahu namanya, sedang tampil. Musiknya, tipikal band metal kesukaan remaja masa kini. Dengan vokal yang berteriak, lalu kadang diselingin nyanyian mendayu-dayu seperti sedang membawakan lagu pop menye-menye seakan-akan dia yang paling berat masalahnya di dunia ini.

Penontonnya tak terlalu padat. Masih bisa dibilang lengang. Saya tak tahu berapa perbandingan mereka yang datang ke sana karena temannya manggung alias gratisan—seperti saya. hehe—dengan mereka yang benar-benar membeli tiket. Jadi, analisa soal hubungan harga tiket dan minimnya jumlah penonton tak bisa saya gunakan di sini.

Seringai manggung kira-kira beberapa menit lebih dari pukul setengah delapan malam [bahasa yang bertele-tele nih, maaf]. Sebelumnya, tampil seorang gitaris yang menunjukkan keahliannya melakukan shredding dengan iringan minus one. Lelaki yang juga salah satu panitia itu, bermasturbasi dengan gitarnya selama beberapa menit.

“Terima kasih ya Dhan,” kata Arian sambil melambaikan tangannya ke arah belakang. Para penonton langsung menengok ke arah belakang. Mereka mengira Ahmad Dhani, musisi yang diajak kerjasama untuk mengelola cafe itu, ada di sana. Arian tertawa melihat penonton terkecoh.

Seharusnya, waktu yang tersedia buat Seringai adalah pukul 19.20 hingga pukul 20.20. Tapi, karena waktu sedikit ngaret, akhirnya beberapa lagu harus dipangkas dari set list.

“Skeptikal udah, Alkohol udah, karena waktunya udah mau habis, tadinya mau bawain lima belas lagu, jadi terpaksa ini lagu terakhir ya,” kata Arian, padahal mereka baru menyanyikan satu lagu. Penonton lagi-lagi tertawa. Naluri humor Arian sedang menggelora malam itu. Beberapa kali penonton di The Rock dibuat tertawa.

Beberapa menit menjelang pukul setengah sembilan malam, pertunjukkan berakhir. Saya tak tahu ada kesepakatan apa antara panitia dengan The Rock sehingga harus merampungkan acara sebelum setengah sembilan malam. Mungkin karena pengelola The Rock ingin segera memutar video The Rock dan artis-artis dari Republik Cinta Manajemen di sana. Mungkin crowd dugem atau crowd reguler di sana sebentar lagi berdatangan.

Kali ini, saya memotret dengan kamera poket Canon IXUS 91s lagi. Sekali lagi, saya buat dalam hitam putih. Buat gaya-gayaan aja sebenernya. Hehe. Soalnya, lighting di sana tak bagus.

Wednesday, May 20, 2009

Muda, Beda dan Berbahaya




Superman Is Dead tampil di Prost! dalam salah satu event menjelang bubarnya The Black Hole di sana.

“Kami tahu uang kalian sudah habis buat beli tiket, jadi tak bisa beli minum,” kata Eka Rock, bassis Superman Is Dead sambil tertawa, “kami juga agak kekurangan nih di sini.”

Selasa, 19 Mei 2009, pukul dua belas malam, Prost! Beer House, Kemang. Superman Is Dead menggelar showcase setelah sore harinya berjumpa dengan beberapa wartawan dan bicara soal album baru serta tur mereka ke Amerika Serikat. Tiket yang dibandrol oleh Prost! malam itu memang cukup mahal: Rp 75 ribu. Perbandingannya, event yang biasa digelar di sana memasang tarif antara Rp 25 ribu hingga Rp 50 ribu. Dan Superman Is Dead baru tahu harganya semahal itu, menjelang manggung.

“Kalau di Bali dipasang harga segini, kayaknya bakal sepi nih. Jadi, makasih ya buat yang udah dateng,” tambah Eka.

Prost! tak terlalu padat, tapi juga tak lengang. Di antara wajah-wajah familiar yang biasa terlihat di sana, ada wajah sekelompok lelaki usia belasan yang bernyanyi dengan penuh semangat di depan panggung. Mereka hapal semua lagu yang dibawakan oleh Superman Is Dead. Dan rasanya, tiket sebesar Rp 75 ribu terlalu mahal buat para remaja itu. Apalagi, yang tampil hanya satu nama. Tapi, mereka sepertinya tak terpengaruh dengan tiket mahal, karena sepanjang konser selalu bernyanyi penuh semangat.

Kabarnya, event The Black Hole yang reguler digelar di Prost! akan berakhir. Masalahnya klasik: event yang menampilkan band cutting edge, di luar arus utama, tak menghasilkan. Lebih jelas prospeknya jika cafe atau bar menghadirkan band Top 40 atau DJ dugem. Penonton di event cutting edge tak mengeluarkan uang sebanyak para penonton di event mainstream.

Di lagu “Jika Kami Bersama”, Superman Is Dead mengajak Shaggydog untuk tampil. Mereka memang berkolaborasi dalam lagu itu di album terbaru mereka, Angels and The Outsiders.

“Tadinya mau kami beri judul Superman Is Dog,” kata Bobby Cool, gitaris sekaligus vokalis.

“Saya bangga Superman Is Dead bisa tampil di Warped Tour yang bergengsi. Mereka berarti mau naik haji,” kata Heru, vokalis Shaggydog.

Menjelang pukul satu pagi, Superman Is Dead merampungkan pertunjukkannya. Sebelum tiga lagu terakhir, drummer Jerinx tampil ke depan, bermain gitar membawakan lagu "Lady Rose". Ini jadi selalu ada dalam pertunjukkan Superman Is Dead. Saya tadinya tak berniat memotret. Hanya membawa kamera poket digital Ixus 91S. Tapi, tiba-tiba ingin memuat foto mereka. Jadi, ya hanya seada-adanya. Saya sengaja mengatur ke warna hitam putih karena kalau berwarna, ternyata terlalu banyak terlihat titik-titik putih di gambarnya.

Ah sudahlah, saya harus segera pergi liputan. Silakan nikmati. Oya, caption foto nya adalah kutipan lirik lagu “Jika Kami Bersama.”

Kalau mau baca sedikit berita soal tur mereka di Amerika, klik aja ini:

http://www.rollingstone.co.id/?m=rs&s=news&a=view&id=170

Monday, May 18, 2009

Kami Datang untuk Musik




Hari Minggu [17/5], kemarin saya nonton The S.I.G.I.T. dan The Upstairs di Terusik Traxkustik.

Jika bicara soal dua nama itu, saya selalu teringat soal momen pertama kali saya menginjak kaki di ibukota sebagai jurnalis musik: tahun 2004 waktu saya diterima sebagai reporter di MTV Trax yang sekarang jadi Trax Magazine.

Salah satu album yang paling berkesan ketika mendapat tugas mengulas album adalah mini album The S.I.G.I.T. Sebelumnya, saya sudah pernah mendengar nama mereka ketika masih kuliah di Bandung. Tapi tak tahu bagaimana musiknya. Seorang teman malah pernah berkata bahwa The S.I.G.I.T. dulunya anak-anak indies. Karena trend garage sedang mewabah waktu itu, akhirnya mereka memainkan rock n’ roll. Yah karena pengaruh dia, saya tak penasaran sama albumnya.

Tapi ketika Arian13 memberikan mini album The S.I.G.I.T. saya langsung kepincut sama musiknya. Walaupun secara produksi masih jauh dari kesan maksimal, dan Rekti masih menyanyikan bahasa Inggris dengan logat yang tak terlalu enak didengar, tapi saya menyukai enerji mereka. Dan mini album yang masih berupa kaset itu, selama beberapa minggu menjadi teman perjalanan saya dalam Metro Mini dari Pancoran menuju Gedung Sarinah Thamrin [waktu itu, MTV Traz masih berkantor di Gedung Sarinah]. Rock n’ roll masih hidup dan salah satu hasil regenerasi ada di The S.I.G.I.T. Saya bersyukur sekali waktu itu, masih ada yang memainkan musik seperti itu, di tengah gempuran melodic punk. Ketika banyak remaja dan yang bukan remaja menyukai melodic punk dan senang memakai celana pendek kedodoran dengan boxer terlihat, The S.I.G.I.T. datang dengan celana cutbray, sepatu lancip dan [dua] rambut gondrong keriting.

Sekarang, selamat tinggal rambut keriting. The S.I.G.I.T. adalah dua bonding dan dua lurus alami. Tapi, selamat datang kualitas. Secara sound mereka menunjukkan perubahan yang berarti. Terutama dari segi sound. Anak-anak Kota Kembang itu kini sepertinya mulai menancapkan kuku di ibukota. Setidaknya, jika ukurannya dari banyaknya mahasiswa penggemar The S.I.G.I.T. Beberapa waktu lalu, di Rolling Stone mereka tampil. Penontonnya yang sebagian besar mahasiswa terlihat mengagumi sekali penampilan mereka. Entah peer pressure. Entah karena Rekti yang ganteng. Entah karena benar-benar suka. Apapun, yang jelas itu menandakan musik keras masih punya harapan di negeri ini. Hehe.

Lalu The Upstairs. Saya mendengar nama ini sejak 2001, waktu magang sebagai reporter di Bintang Millenia. Vitri Yuliani, fotografer BM, waktu itu masih jadi pacar Jimi Multhazam. Dia sering memakai kaos The Upstairs ke kantor. Dia mengatakan bahwa The Upstairs adalah band indie terbaik. Baru pada 2002, saya melihat video klip “Antah Berantah” di MTV Indonesia saya mulai memercayai ucapan Vitri soal The Upstairs band yang bagus.

Suatu kali, Arian13 menugaskan saya untuk meliput konser mereka—entah peluncuran album Matraman, entah konser biasa—di salah satu cafe di Blok M yang saya lupa namanya. Di situlah saya jatuh cinta pada mereka. Waktu itu, wajah dan perkataan Jimi tak sebersih sekarang ketika di panggung. Belum banyak Modern Darlings menggelinjang ketika The Upstairs tampil. Backing vokal mereka masih dua. Dan backing vocalist Dian Maryana belum semenarik sekarang, walaupun sudah ada bibitnya, tapi waktu itu dia belum membenahi penampilannya. Hehe.

Momen ketika mereka membawakan “Matraman” adalah momen yang membuat saya mantap mengatakan bahwa saya sepakat dengan orang yang berkata bahwa The Upstairs adalah band yang bagus [oya, ini kalimat tak efektif dan berlebihan]. Saya pikir, “Matraman” adalah salah satu lagu cinta terbaik sepanjang masa. Jimi membawa saya ke suasana di salah satu jalan di ibukota, yang bahkan meskipun saya tak tahu di mana dan seperti apa suasananya, saya bisa membayangkan bagaimana jalan Matraman itu. Lagu itu punya punch line yang oke, “Aku di Matraman, Kau di Kota Kembang.”

Belakangan saya baru tahu bahwa ketika peristiwa itu terjadi, teman Jimi yang jadi inspirasi lagu itu memang benar-benar menunggu kedatangan perempuan pujaannya. Tapi yang ditunggu ternyata sedang di Bandung. Album Matraman, meskipun kata Jimi dibuat dalam kondisi dana terbatas dengan fasilitas terbatas, adalah salah satu album favorit saya, dan sepertinya album terbaik The Upstairs, seperti Appetite For Destruction bagi Guns N’ Roses.

Kemarin, The Upstairs mengadakan launching album ketiganya, Magnet! Magnet! Nuansa album ini seperti perpaduan antara nuansa Matraman dan Energy. Tak terlalu kasar tapi juga tak terlalu rapi. Dian bahkan mendapat porsi bernyanyi sendiri di album ini. Perubahan paling signifikan yang ada di album ini. Dari segi lirik, Jimi memang masih menulis lirik yang brilian. Tapi, saya merindukan lirik Jimi yang naratif. Mungkin karena Jimi berperan sebagai produser juga di sini, atau karena Jimi sudah lama jadi penyiar, dia bisa mengungkapkan sesuatu dengan kalimat yang pendek dan efektif. Tapi, kali ini, lirik buatan Jimi tak terlalu menimbulkan adegan di benak. Kalau boleh mengambil contoh, mendengar lirik “Apakah Aku Ada di Mars...” saya jadi terbayang suasana pesta di sebuah klub dan terbayang bagaimana Jimi terheran-heran di sana. Agaknya saya harus membuka diri terhadap cara bercerita Jimi yang baru. Di album ini, mereka membawakan sebuah daur ulang lagu Dehuminizer, “Sing Thru Me” dan jadinya terdengar lebih menarik buat telinga saya ketimbang versi aslinya.

Ah, sudahlah. Saya sedang malas menulis. Silakan nikmati beberapa foto dari acara Terusik Traxkustik kemarin. Maaf gelap. Lighting tak oke, dan fotografernya masih amatir.


Kalau mau baca tulisan saya untuk web rollingstone.co.id, cek saja ini:

http://www.rollingstone.co.id/index.php?m=rs&s=news&a=view&id=169

Monday, May 11, 2009

[Nyaris] Tak Ada Disko di Liquid Malam Itu




Menonton Jason Statham disetrum dan menikmati kabut asap rokok bersama Seringai di Yogyakarta.

“Gua udah mulai terbiasa nih dengan pemandangan ini,” kata Ricky.

Sabtu, 9 Mei 2009, pukul sembilan pagi kami tiba di bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Entah sudah berapa kali Seringai main di Yogya. Yang jelas, kuantitasnya tak bisa dibilang sedikit. Saya saja, sudah tiga kali ikut bersama Seringai ke Yogya. Masih dengan rasa kantuk yang sangat berat selepas jadi panitia Rolling Stone Private Party 2009, saya berangkat bersama rombongan Seringai pukul setengah delapan pagi. Di pintu masuk bandara, kami bertemu rombongan kru Samsons yang akan berangkat ke Medan. Barang bawaan mereka, jauuuh lebih banyak dari rombongan Seringai. Entah berapa kilo yang harus dibayar mereka untuk kelebihan beban itu. Entah alat apa saja yang dibawa para personel Samsons. Padahal, sound-nya terdengar seperti tak terlalu rumit. Hehe.

Rombongan kali ini terdiri dari—selain tentu saja Arian, Ricky, Khemod dan Sammy—ada road manager Dawo, teknisi gitar Ronny, teknisi bas Chow Min [yang bunyinya bisa terdengar Cokin. Hehe], teknisi drum Labo [yang nama aslinya Yudi, tanpa embel-embel apa-apa di belakangnya] serta sound engineer Albert.

Kami menginap di sebuah hotel yang saya lupa namanya tapi terletak di Jalan Tribrata—nama yang sangat militer sekali. Nama yang pernah membuat Seringai bermasalah dengan pihak Kepolisian Bandung yang saya lupa Polsek atau Polres apa. Karena di salah satu kaos Seringai yang seri Lencana, ada gambar tengkorak seperti aparat memakai topi dengan logo Tribrata itulah, beberapa orang sempat dimintai keterangan.

Di depan hotel kami, ada Cinema XXI. Sudah lama saya tak melihat bioskop yang berdiri sendiri. Bukan termasuk bagian dari pusat perbelanjaan. Cinema XXI yang bernama Empire XXI itu, punya panggung berukuran sedang di sebelahnya. Mengingatkan pada Blitz Megaplex yang ada di pusat perbelanjaan Parisj Pan Java Bandung. Entah kenapa, jaringan bioskop 21 terlihat seperti ingin meniru semua yang dilakukan Blitx Megaplex. Padahal, Blitz baru punya beberapa gedung bioskop. Belum sebanyak 21. Desain peringatan jangan merokok dan jangan menaruh kaki di kursi, mirip dengan yang ada di bioskop Blitz. Warna merah yang dominan dengan aksen warna putih di gambarnya. Saya tak tahu apakah Blitz juga meniru dari bioskop lain [desain gambar sebelum film dimulai, hingga desain tiket box dan makanannya, tapi yang saya heran kenapa 21 seperti yang meniru plek plek apa yang dilakukan Blitz]. Tapi, untunglah. Karena Blitz, harga tiket menurun.

Ah kenapa jadi melantur begini? Maafkan.

Pukul sebelas siang, kami baru bisa masuk kamar. Berhubung jadwal sound check pukul empat sore, kami memanfaatkan waktu luang untuk menonton di bioskop yang letaknya hanya beberapa langkah kaki dari hotel tempat kami menginap. Filmnya: Crank High Voltage dengan bintang utama Jason Statham si botak tapi terlihat jantan. Film yang penuh dengan adegan kekerasan dan gambar-gambar vulgar dengan penampakan payudara di beberapa adegan [mungkin LSF bingung ingin mengedit di bagian mana karena terlalu banyak payudara bersliweran sehingga akhirnya memberi bonus beberapa detik gambar payudara, mungkin juga mereka pikir film itu tak akan laku dan tak akan ditonton banyak orang]. Film yang sangat direkomendasikan ditonton bersama teman-teman. Pokoknya, setelah menonton film ini, pandangan kamu tentang gardu listrik akan berubah.

***

“Malam ini, kita buat Liquid anti disko!” kata MC.

Pukul sebelas malam, Liquid--tempat Seringai tampil dalam event yang diberu judul dengan sangat cheesy: Hi Dude, I Rock—mulai penuh dengan orang. Saya tak tahu kapan acara dimulai, tapi sepertinya ketika kami datang ke sana, baru band pertama yang tampil [setidaknya, band yang namanya tertera di flyer acara].

Gepeng, MC yang sudah tipsy di panggung itu sering kali berkata jorok. Entah karena pengaruh minuman, entah karena dia pervert, entah karena di horny, yang jelas beberapa kali dia mengajak penonton untuk melacur bersamanya. Atau, karena banyak pemandangan perempuan memakai rok sangat pendek dan belahan dada sedikit terbuka yang mengingatkan saya pada lagu “Ladies Night di Ebony” milik Slank. Sepertinya perempuan itu dari scene dugem yang biasa ada di Liquid. Penampakan mereka beberapa kali terlihat di antara sela-sela kaos hitam-hitam dari crowd musik keras yang malam itu terlihat sangat dominan.

Ada tiga band yang tampil sebelum Seringai: Serigala Malam [belakangan ini, banyak sekali band bernama Serigala: Angsa & Serigala, Serigala Jahanam], Scared of Bums dan Something Wrong. Menjelang Seringai tampil, crowd makin padat. Padahal, Seringai tampil pukul satu pagi. Akibatnya, crowd dugem terpaksa harus menunggu pertunjukkan rock itu usai sebelum akhirnya mereka bisa kembali berdansa.

Liquid adalah cafe yang representatif untuk pertunjukkan musik maupun tempat dugem—walauapun ini asumsi dari seorang non pecinta dugem. Ada panggung yang cukup besar untuk menampung band tampil dan bergerak leluasa. Jarak dari penonton ke panggung tak terlalu tinggi. Lantai dua panggung itu, adalah booth DJ yang tak mungkin terjangkau oleh penonton: tak bisa protes kepada DJ jika tak suka dengan musik yang diputarnya.

Asap rokok yang cukup tebal membuatnya seperti kabut jika dilihat dari atas panggung. Saya termasuk yang tak kuat berlama-lama di ruangan penuh asap rokok. Mata perih, hingga membuat berair seperti yang sedih dan terharu padahal sedang ada di tengah konser rock. Tak banyak crowd yang moshing dan stage diving. Hanya belasan orang di mulut panggung yang selalu bernyanyi, berteriak dan mengepalkan kepala ke atas sepanjang penampilan Seringai. Selebihnya, memandang dengan seksama. Asumsi saya, mereka sudah terlalu lelah menunggu. Atau mungkin karena memang sudah dini hari, akibatnya kondisi badan sudah lelah.

Beberapa menit lebih dari pukul dua pagi, Seringai menutup penampilannya. Hanya butuh waktu beberapa detik bagi DJ untuk mengambil alih suasana kembali jadi arena berdansa crowd pecinta dugem. Hanya butuh waktu beberapa detik juga, massa dugem yang bisa dikenali dengan perempuan berok pendek dengan belahan dada untuk mengambil alih lantai dansa dan bergerak standar khas pecinta dugem: kedua tangan diangkat ke atas, pinggul digoyang, kepala kadang sedikit tertunduk kadang pula sedikit menengadah dengan menggelengkan ke kiri dan ke kanan. Mereka masih berdansa dengan penuh semangat. Mungkin sudah menunggu lama pertunjukkan rock itu berakhir.

Adegan konser rock akhirnya ditutup dengan adegan makan dini hari di lesehan sambil terkantuk-kantuk.