Bodoh Untuk Menangis?
Itu selalu saya pegang. Dan saya tidak ingin terlihat cengeng. Dengan berkaca-kaca, merasa sedih karena meninggalkan atau kehilangan sesuatu. Laki-laki tidak menangis! Laki-laki harus tegar!
Sampai tadi pagi. Saya merasa sedih. Berkaca-kaca.
Jum'at ini, hari terakhir saya siaran di I Radio. Sudah tiga bulan. Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Kamu mungkin pernah baca tulisan saya tentang ini. Tentang harus memilih. Dan saya memilih meninggalkan radio. Kembali jadi jurnalis. Mimpi lain yang sedang saya kejar.
Tadi pagi, saya pamit di udara. Kepada jutaan pendengar. Sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Mungkin juga belum pernah dilakukan kebanyakan orang. Dan ternyata itu berat. Saya kira akan jadi pamit biasa. Seperti pamit yang biasa saya lakukan setiap jam sepuluh pagi. Ketika siaran berakhir.
Tapi tidak. Semua itu akan jadi pamit yang biasa. Kalau saja SMS itu tidak berdatangan. Kalau saja para produser itu tidak meminta pendengar mengirimkan pesan-pesannya. Kalau saja partner siaran saya, Antrie Suryanto tidak membacanya sambil berkaca-kaca. Dan menitikkan air mata.
Dan yang mereka tulislah, yang akhirnya membuat saya berkaca-kaca. Komentarnya bermacam-macam. Dari yang tidak setuju, sampai yang mendoakan saya. Saya tidak membacanya semua. Karena hanya akan membuat saya lebih terharu dan sedih lagi.
Saya pernah mendapat pelajaran ketika kuliah dulu. Bahwa efek radio itu sangat personal. Dahsyat. Tapi, saya belum tau rasanya. Sampai tadi pagi. Dan semua yang dikatakan soal teori radio dan hubungannya dengan pendengar itu benar adanya.
Belum pernah saya rasakan kehangatan seperti itu. Perhatian dari orang-orang yang tidak saya kenal. Bukan apa-apa. Selama ini, saya belum menganggap bagus kualitas siaran saya. Dan saya pikir, kalaupun saya pamit, para pendengar itu tidak akan kehilangan saya.
Oke, kadang saya berkaca-kaca ketika melihat adegan mengharukan di film. Oke, saya berkaca-kaca, ketika kakek dan teman saya meninggal. Tapi ini berbeda. Saya belum pernah merasakan yang seperti ini.
Padahal saya tau. Mereka pun akan bisa melewati itu semua. Akan ada lagi sosok baru menggantikan suasana pagi mereka. Namanya juga dunia media. Tapi, untuk beberapa saat, tadi pagi, saya sedih, saya kehilangan.
Kehilangan gelombang udara. Tapi mendapat kenangan. Satu lagi momen paling berkesan dalam hidup. Ah sudahlah. Harus diakhiri sekarang. Sebelum tulisan ini jadi semakin sentimentil.