Lagi
pengen nulis di multiply. Tapi, bingung mau nulis apa. Akhirnya, cara
standar dan paling mudah, adalah memasukan salah satu pekerjaan saya di
majalah. Ini petikan obrolan saya dengan The S.I.G.I.T. beberapa bulan
lalu. Versi setelah dieditnya, dimuat untuk edisi Februari 2007, di
majalah tempat saya bekerja. Fotonya hasil jepretan Bayu Adhitya.
Pelafalan bahasa Inggris di album perdana terdengar lebih baik dibanding di ep. Kenapa?
Rekti: Mungkin pas di ep mah, nggak ada koreksi. Acil kan paling bener dibandingin yang lain bahasa Inggrisnya, waktu di ep mah, dia nggak ngoreksi.
Adit: Mungkin karena udah banyak manggung juga, jadinya lebih bagus.
Kadar keliaran kalian di sini terdengar sedikit berkurang ya. Jadi kurang slebor.
Rekti: Lebih mikir sih. Dan kalau ep mah, dibilang slebor ya slebor juga sih.
Farri:
Kami ngerasa lebih bener aja. Cuma, keliaran itu hilang. Dari segi
sound, cara memainkan alat. Waktu itu masih mencari jati diri. Sekarang
jadi hilang. [tertawa].
Acil: Dan masih belum bisa main alat [musik].
Rekti:
Sekarang juga, udah males, bosen ngandelin genjrang-genjreng, power
doang. Pengin lebih ada dinamika dalam lagu. Pake perasaan lah. Amarah
lah.
Memang marah sama siapa?
Rekti: Ya namanya juga remaja. Nggak ada sebabnya. [tertawa].
Di panggung juga jadi lebih tenang ya.
Rekti: Oh kalau di panggung waktu launching kemarin mah, tegang Leh! Direkam buat live recording, delapan belas lagu. Panjang kan.
Secara garis besar juga, kayaknya kalian jadi lebih tenang di panggung.
Adit: Soalnya, waktu itu tenggak terus!
Farri: Sekarang kan, alat-alatnya udah mahal, jadi harus lebih hati-hati.
Acil: Dulu juga hobi ngeloncatin bass drum. Sekarang lebih hati-hati.
Rekti:
Mungkin kalau dulu, lebih hajar bleh. Sekarang lebih menikmati lah.
Kalau dulu, mungkin karena masih awal-awal, tegang, mengatasinya dengan
minum-minum. Tapi setiap melihat rekaman yang dulu, pengin kelihatan
mainnya fun, nggak usah dipaksain sok garang.
Adit: Mungkin dulu ada
faktor ini juga, seneng akhirnya bisa manggung. Jadinya meledak-ledak.
Pas udah sering manggung, jadinya capek juga. [tertawa]. Nggak mungkin
kami meledak-ledak terus.
Farri: Kami ingin orang
menikmati musik kami. Kalau kami tonton rekaman dulu, gila kami maen
acak-acakan banget. Gitar fals juga, hajar bleh! Sekarang juga masih
fals, Cuma lebih jago nutupinnya. [tertawa].
Itu sebabnya, banyak yang bilang kalian tidak seliar dulu.
Rekti: Secara pribadi masing-masing, orangnya juga kalem.
Atau mungkin karena sekarang sudah tidak ada yang perlu dibuktikan?
Farri: Masih banyak yang perlu dibuktikan. Banyak banget. Cuma, kami sekarang lebih dewasa mensikapi hal tersebut! [tertawa].
Rekti:
Kalau dulu terlihat liar, ya memang lagi liar aja. Tiga tahun yang lalu
mungkin memang berbeda. Kami nggak pernah pura-pura jadi sok.
Fahri: Terus, materi lagu juga jadi lebih berat. Kalau kami ngaco, jelek aja out put-nya.
Adit: Emosi lagunya juga udah berbeda sih.
Kalau begitu, apa yang bikin lama album perdana ini rilis?
Farri: Pematangan materi, sama kami nyari uang buat rekaman.
Dan kalian seperti jarang keluar dari Bandung selama album perdana belum keluar. Seperti yang jago kandang
Rekti; Kami memang jago kandang, karena nggak diundang juga. [tertawa].
Adit: Mungkin juga sempat terbentur masalah manajemen yang berganti-ganti orang. Ada yang kerja, jadi untuk mengatur jadwal juga jadinya agak sulit.
Atau karena prioritasnya belum besar?
Rekti: Sama besar juga sih. Kami menjemput bola, tapi bolanya tidak ada.
Adit: Mungkin kami harus ada pembuktian dulu lah. Jadi jago kandang dulu.
Acil: Daripada kami misalnya kayak Tahta, tiba-tiba terkenal, dari Bandung katanya, tapi orang Bandung aja nggak tahu. Ini band dari Bandung gitu? [tertawa].
Farri: Kami nguatin di akar dulu.
Bukan berarti sempat kehilangan arah kan?
Adit: Mungkin biasa buat band-band kecil berusaha untuk melawan arus dari pergantian genre atau apapun.
Rekti: Dan emang nggak nyari-nyari label juga.
Pertimbangan memasukan kembali lagu-lagu dari ep?
Rekti: Kami menyadari bahwa banyak orang nggak dapet ep dan nggak pernah denger lagu dari ep.
Adit: Lagu yang diambil itu yang paling mewakili dan waktu itu kami masih nggak puas secara materi.
Lagu Live In New York, sepertinya bercerita soal bales dendam pada yang sudah menganggap remeh kalian.
Rekti: Maksudnya, bisa sampai ke New York dianggap sukses juga, masih ada satu masalah lagi.
Adit: Memang itu mah seperti mimpi untuk sukses lah. Misalnya kami sukses di New York, ternyata di sana banyak orang yang sukses.
Memang pernah dianggap remeh ya
Farri: Bukan secara band sih, tapi secara personal.
Rekti: Masih dianggap cacing cau di panggung-panggung. Maksudnya, diangap band gonjrang gonjreng doang.
Adit: Kami waktu itu bener-bener orang baru di permusikan, dan dianggap anak kemaren sore lah. Mungkin karena kultur di Indonesia ya, senioritas.
Rekti:
Kayak panitia acara suka memandang kami gimanaaa gitu. Saya juga udah
lupa, soalnya saya bukan pedendam. Pokoknya suka kelihatan kan pandangan orang yang menganggap remeh. Dari gaya ngomong lah. Seperti itu sih.
Ada teman saya yang bilang, ah The S.I.G.I.T. dulu indies sekarang rock n’ roll.
Rekti:
Kami nggak pernah bilang kami rock n’ roll. Walaupun kami suka rock
tahun ’70, kami nggak pernah secara terang-terangan mengatakan aliran
kami rock n’ roll. Mungkin yang ditulis media begitu, garage rock. Dan
dari dulu, kami mengaku suka Stone Roses dan yang lain. Bikin lagu
pelan pun, nggak malu-malu. Kami nggak ingin terpatok dengan satu
genre. Kami ingin eklektik.
Fahri: Musik kan tidak satu genre, sayang banget kalau di waktu produktif begini, terpatok di satu. Padahal banyak banget yang bisa dieksplor.
Adit: Jaman modern gini mah, nggak mungkin kami kaku.
Tapi nggak salah juga, kalau orang menyebut kalian rock n’ roll band
Rekti:
Nggak salah juga sih. Dan memang garis besarnya rock, tapi ada hasrat
untuk mengeksplor aliran apapun. Sama sekali nggak mau terpatok maenin
lagu yang begitu aja. Yang saya lihat mah, kadang-kadang di Bandung
aja. Jaman dulu mah punk borok lah. Kalau misalnya terpatok dengan
punk, yang wah dulunya kayak Sex Pistols terus sekarang nggak, silakan
aja. Namanya juga eksplor. Saya bisa bilang begini, karena yang kami
kagumi, banyak yang nggak peduli. Kayak The Clash aja. Album pertama
punk pisan, di album ke-tiga udah ada pop-nya. Itu salah satu fakta
bahwa pematokan genre itu bukan sesuatu yang bagus. Justru eksplor Paul
Simonon ke reggae dan Mick Jones ke lirik romantis, lebih kaya jadinya.
Sok kebayang kalau tiga album The Clash sama.
Fahri: Terus kayak Led
Zeppelin di album Physical Graffiti. Dia banyak banget campurannya.
Tetep benang merahnya rock, Cuma dia banyak memasukan unsur. Roots-nya
satu, tapi influence-nya banyak banget.
Dan pengaruh Led
Zeppelin buat kalian cukup besar ya. Bahkan NME menyebut musik kalian
gonzo zep rock. Bagaimana pendapat kalian soal ini?
Farri: Senang dan tai kucing! [tertawa]. Nggak ada follow up sama sekali.
Rekti: Senang tapi gelisah.
Memang apa yang kalian harapkan ketika waktu itu mengirimkan ep ke NME?
Farri: Maksimalnya sih, kami bisa main ke sana. Cuma, tidak ada satupun. Walaupun kata orang, itu udah gede banget. Nama bisa muncul tercetak di sana. Dan kami memang mengharapkan lebih. [tertawa].
Rekti: Atau, kalau nggak tampil fotonya, walaupun keciiil.
Kalian memanfaatkan MySpace dengan baik?
Rekti: Kalau kami mah paling membangun relasi, kan
udah dapet relasi si wartawan NME, dan dia ngebantu dengan mendengarkan
ke teman-temannya. Dan dari MySpace lumayan lah. Kepakenya buat di situ.
Farri: Kepake buat hubungan internasional.
Rekti:
Walaupun belum ada hubungan yang jelas. Kami sih nggak mau terlalu
maksa, emang MySpace jadi media komunikasi yang baik. Cuma, mengirim
message ke orang-orang yang nggak dikenal dan beriklan terlalu sering
juga, mengganggu si orang itu. Dan kami nggak mau seperti itu. Kami
lebih senang ada yang dateng, terus bilang, ‘Eh lagu kamu bagus. Minta
CD boleh nggak?’
Menurut visible idea of perfection kalian, seberapa sempurna album ini?
Rekti:
Sempurna tidak sempurna. Namanya juga visible idea of perfection.
Dengan menulis judul itu juga, udah mengambigukan si idea of perfection
itu. Album ini sih, tidak akan sempurna seratus persen. Tapi ini udah
maksimal.
Fahri: Nggak bilang sempurna sih, tapi lebih optimal.
Beri pendapat soal band di bawah ini
Teenage Death Star
Adit: Tukang menggagahi wanita. [tertawa].
Rekti: Dia maksimal dengan seadanya dia.
Acil: Endless aja.
Speaker 1st
Adit: Tujuh belas Agustusan [tertawa].
Acil: Speaker first, vocal last! [tertawa]
Farri: Kalau kata mereka bagus, itu bagus!
Rekti: Saya lebih suka kalau Bonni dan Benny yang nyanyi.
The Brandals
Adit: Jiwa yang liar.
Acil: Friends in the hood.
Farri: Teman.
Rekti: Punya signature sound. Kata saya, band Jakarta yang rock, mereka ngekor ke The Brandals.
Slank
Adit: Slebor.
Acil: Karuhun.
Rekti: Rejekinya bagus. Dia juga punya signature sound, tapi saya nggak mau ngikutin.
Farri: Sangat Slank.
The Changcuters
Adit: Beungeut! [muka].
Acil: Seragam.
Farri: Bebaskeun!
Rekti: Stereotype band heureuy, nggak serius.