Dari juri dadakan, hingga nyaris terjadi kawin dadakan. Ini cerita saya berakhir pekan bersama rombongan Seringai di Malang.
Seringai mengajak saya ke Malang, akhir pekan kemarin. Kamis [5/7] sore, Arian tiba-tiba menawarkan saya ikut dalam rombongan. Sound engineer mereka, Jorghi tidak ikut rombongan, karena ada urusan keluarga di Malang. Dia lewat jalan darat. Satu kursi kosong, akhirnya menjadi rejeki saya, setelah Probo dan Jaymz yang ditawarkan lebih dulu, tidak bisa.
Pesawat Air Asia yang dijadwalkan berangkat jam setengah sembilan malam, ternyata mundur hingga sejam kemudian. Sudah lama saya tidak naik pesawat. Hampir lupa rasanya takut terbang. Kemarin, saya diingatkan lagi. Sialan. Untung saja, cuma sejam di udara.
Kami berangkat ke Surabaya. Dari sana, kawan-kawan dari Malang, menjemput. Perjalanan ke Malang menempuh waktu tiga jam. Sebelum terjadi kasus Lapindo, perjalanan bisa ditempuh dengan waktu satu jam setengah, lewat tol. Tapi, gara-gara Bakrie sialan, semuanya berantakan.
Saya akhirnya bisa melihat langsung akibat kecerobohan Bakrie. Rasanya berbeda, dengan hanya melihatnya di teve. Apalagi ketika kami lewat di sana, malam hari. Benar-benar seperti kota mati, yang biasanya hanya ada di film. Sepanjang jalan, saya melihat bangunan hancur, ditinggalkan penghuninya. Dengan lampu-lampu yang menerangi kawasan lumpur, pemandangan dari mobil, adalah area hitam luas, dengan di beberapa titik asap mengepul. Kalau begini, saya benar-benar kesal sama pemerintah, ataupun Bakrie. Jadi terbayang wajah Ical, dengan dagu majunya, yang semakin menyebalkan dan proyek-proyek pembangunan gedung Bakrie di Jakarta. Kurang ajar!
Entah jam satu atau jam dua pagi, kami tiba di Malang. Dingin. Mengingatkan pada cuaca di daerah Ledeng, Bandung. Dan Malang, ternyata banyak kesamaannya dengan Bandung. Kalau Bandung Kota Kembang, Malang Kota Bunga. Hanya bedanya, Malang belum dipenuhi Factory Outlet, tempat penarik orang-orang Jakarta di akhir pekan. Jalanan di Malang tanpa kemacetan. Di siang hari, udara di Malang masih sejuk. Suasananya mirip Bandung di era 80 atau 90-an.
Dan bicara musik underground, ternyata Malang dan Bandung sudah punya cerita sejak lama. Anak-anak Malang yang sepanjang akhir pekan menemani kami—mereka menamakan dirinya Kolektif Radiasi—ternyata sudah sering berkunjung ke Bandung, tepatnya ke Ujung Berung. Kata Ook, salah seorang dari anggota kolektif, mereka belajar cara menggelar event dan membuat zine dari anak-anak Ujung Berung. Dan katanya, anak-anak Ujung Berung, sering menghabiskan waktu di Malang. “Waktu Eben [Burger Kill] belum sekaya sekarang,” kata Ook tertawa.
Tidak seperti di Bandung, yang banyak toko kaos band import, Malang belum ada yang seperti itu. Tapi, kaos-kaos import, piringan hitam, dan merchandise resmi banyak beredar di sana, melalui jalur cokro. Tidak jarang, anak-anak SMA, yang memesan barang-barang itu, tidak tahu apa yang mereka pesan. Tapi, mereka selalu punya pembeli.
Berbeda dengan Bandung, Malang bersih. Saya tidak melihat tumpukan sampah di pinggir jalan. Menyenangkan sekali kotanya. Dan bakso Malangnya, terasa lebih enak dibandingkan bakso Malang di Jakarta atau Bandung, apalagi pangsitnya.
***
Seringai main dalam rangka penutupan Battle of Bands, festival band yang telah digelar di beberapa kota di Jawa bagian Timur. Saya baru tahu itu, begitu tiba di sana. Seharusnya, Seringai mengirimkan perwakilannya menjadi anggota Juri. Ricky malah menawarkan posisi itu ke saya. Setelah mendengar bakal diberi honor, saya langsung menyatakan kesediaan saya. hehe.
Publik Malang, tidak terlalu atraktif menyaksikan Seringai tampil. Hanya segelintir anak remaja yang loncat-loncat di depan panggung. Selebihnya hanya berdiri. Ketika band peserta festival manggung, mereka malah duduk-duduk saja. “Biasa lah. Arema,” kata seseorang, saya lupa siapa, setelah acaranya beres.
Benar-benar pengalaman yang aneh. Tahu-tahu saya jadi satu dari tiga juri. Bermain Tuhan. Menentukan mana yang lebih bagus dibandingkan yang lain. Tiga jam dan sepuluh band. Untung saja, honor setengah juta, bisa melupakan kejenuhan itu.
Kalau itu belum aneh, pengalaman dengan Sound Engineer Seringai menambah lagi daftar keanehan. Jorghi yang datang bersama pacar, memutuskan ingin menikah malam itu juga, di Malang. Dia minta dicarikan penghulu. Pagi harinya, Jorghi menambah lagi perilaku anehnya. Di tengah-tengah obrolan santai, dia tiba-tiba membuka pembicaraan.
“Gue punya visi misi nih Yan, buat memersatukan bangsa Indonesia. Soalnya, tahun 2009, Indonesia bakal pecah. Sultan Hamengkubuwono bakal jadi Raja Jawa, dan Jusuf Kalla bakal jadi perdana menterinya. Nah, kita harus memersatukan bangsa lewat musik Yan,” kata Jorghi.
“Elu tahu dari mana?” kata Arian.
“Dari orang-orang CIA.”
“Nanti aja ya ngobrolnya, masih pagi,” Arian cengengesan sambil mencolek punggung saya.
***
Pesawat pulang, dijadwalkan jam setengah sebelas malam. Ternyata ditunda hingga dua jam. Sialan. Hasilnya, dua jam di bandara. Anak-anak sudah mirip begundal bandara. Kaos hitam. Sebagian bertato. Brewok. Minum-minum. Menggoda perempuan yang lewat di depan kami. Seorang ibu-ibu yang duduk di kursi tunggu di sebelah kami, beberapa kali memandang sinis ke arah kami. Apalagi ketika anak-anak datang membawa beberapa botol bir, dan mulai berbicara soal lokalisasi. Haha.
Setengah satu, pesawat lepas landas. Sampai di kosan dini hari. Dan sekarang saya menuliskannnya untuk kamu. Alhamdulillah, saya selamat lagi dari perjalanan udara. Maklum, setiap naik pesawat, saya selalu berpikir, kalau saat saya telah tiba. Inilah dia. Saya tidak akan melihat lagi esok pagi. Sepanjang perjalanan berdebar dan berdoa.
Ah, coba ada pintu ke mana saja.